Para pengurus jenazah itu bingung dengan maksud ucapan si kakek. Menguburkan tanpa menyolatkan, mana boleh. Dalam Islam, bukankah sudah seharusnya sebelum di makamkan jenazah harus melalui beberapa proses.
Di mandikan untuk mensucikan hadas jenazah, di pakaikan kain kafan sebagai pakaian terakhir, dan di sholatkan untuk menyempurnakan proses pemakaman.Lalu bagaimana bisa di kubur tanpa di sholatkan terlebih dahulu, ajaran macam apa yang kakek Rasmadi terima. Seorang warga harus ada yang mengingatkan, bukankah sudah kewajiban kita sebagai saudara se iman untuk saling mengingatkan dalam hal kebaikan.Maka, seorang ustadz yang akan melakukan semua prosesi itu langsung mengingatkan sang kakek."Maaf ya, Pak Rasmadi. Sebelum mayit di semayamkan, terlebih dahulu harus di sholatkan, Pak. Ini semua demi kebaikan mayit. Apa Bapak tidak kasihan pada kedua cucu Bapak, jika tidak di sholatkan. Saya sebagai ustadz yang merasa bersalah, karena tidak bisa menjalankan tugas mengurus mayit sepeti pada umumnya. Lebih baik di sholatkan ya, Pak," ujar sang Ustadz."Trimakasih sudah mengurus kedua jenazah cucu saya, Ustadz. Tetapi saya selaku kakek dari almarhumah Rianti dan Rihana, keberatan jika mereka harus di sholatkan. Untuk mempersingkat waktu juga, sebaiknya cepat di kafani dan bawa langsung ke pemakaman," timpal Rasmadi tegas pada sang Ustadz.Rumana dan Gunadi yang mendengar perdebatan Rasmadi dan sang Ustadz, menghampiri mereka. Samar tapi pasti, kedua orang tua mayit mendengar apa yang sedang mereka bahas."Bapak apa-apaan sih, kenapa anak-anaku tidak boleh di sholatkan," ujar Gunadi pada sang ayah."Iya, Pak. Saya sebagai Ibunya tidak mau kalau anak saya tidak di sholatkan sebelum di makamkan," imbuh Rumana masih berderai air mata."Tolong sholatkan saja, Pak ustadz. Saya Ayah kedua jenazah anak saya, jadi saya juga berhak menentukan akan bagaimana prosesi pemakaman ini!" Ucap Gunadai sedikit meninggi."DIAM KAU BOCAH!" bentak Rasmadi pada putra sulungnya. "Kalian turuti saja perintahku. Jangan banyak tanya, ini suda jadi tradisi keluarga kita, Gun. Ingat itu!"Tatapan membunuh yang terpancar dari kedua netra Rasmadi, membuat nyali Gunadi ciut, dan tak berani lagi membantah perintah ayahnya.Demi menjaga situasi tetap kondusif, sang ustadz terpaksa menuruti perintah Rasmadi. Begitu juga dengan Gunadi, ia tak lagi melontarkan sepatah katapun. Bagai di hipnotis oleh tatapan maut sang Ayah."Mas! kenapa diam saja. Kita bawa Rianti dan Rihana ke Jogja saja, kita makamkan mereka dengan layak di sana. Aku nggak mau anak kita dimakamkan dengan cara tak wajar seperti ini," ujar Rumana terisak. Berharap sang suami mau menuruti permintaannya."Kamu g*la, ya! Mana mungkin kita makamkan mereka di Jogja. Perjalanan kebumen Jogja memakan waktu lama, mau pakai biaya dari mana kita untuk membawa mereka ke sana!" Bentak Gunadi pada Rumana."Aku ada tabungan kok, Mas. Kita bawa mereka saja ya, kita makamkan dengan layak di Jogja. Aku nggak rela anakku di makamkan tanpa di sholatkan," ujar Rumana kekeuh."Nggak. Kita akan tetap makamkan anak-anak di sini. Dan akan menuruti semua perintah Ayah, kamu kendalikan dirimu. Ini semua juga salahmu," tukas Gunadi dingin.Mendengar pernyataan sang suami yang terus saja menyalakannya, hati Rumana bagai di iris belati tajam. Sangat sakit, tapi tak berdarah. Ia hendak meminta Ibu mertua untuk menasihati Ayah mertua, namun sepertinya sia-sia. Karena dia tahu, Ibu mertuanya itu amat sangat takut pada sang suami.Di dekat jenazah kedua gadis belia itu, wanita berkerudung hitam pashmina menyaksikan drama pemakaman yang terjadi di rumah duka. Lagi-lagi dia tersenyum puas dengan keputusan yang Rasmadi ambil.**Setelah pemakaian kain kafan kedua jenazah selesai, tanpa di sholatkan seperti perintah Rasmadi, para warga yang membantu mengangkat keranda jenazah langsung membawa keduanya ke pemakaman.Hal ganjil terjadi lagi di pemakaman. Liang lahatnya hanya ada satu, padahal jenazahnya dua. Seharusnya ada dua liang lahat di sana.Gunadi yang menyadari hal itu hanya bisa diam, dia teringat tatapan membunuh sang Ayah. Dia tahu, pasti semua ini juga atas perintahnya. Maka dia tak berani berkata-kata lagi."Mas, ini kenapa hanya ada satu liang lahat. Seharusnya dua kan, Mas," ujar Rumana mengguncang tubuh suaminya. Ia bingung kenapa hanya ada satu liang lahat."Tanya saja pada Bapak," timpal Gunadi lemah."Pak! Apa ini semua Bapak juga yang minta. Apa Bapak mau menguburkan Rihana dan Rianti dalam satu liang lahat?!" Tuntut Rumana pada Rasmadi.Tanpa menjawab kebingungan menantunya, Rasmadi hanya mengangguk pada tukang gali untuk menjalankan perintahnya."Silahkan Bapak Gunadi turun ke liang lahat, untuk menyemayankan kedua putrinya yang terakhir kali," ujar tukang gali."Nggak! Gali satu liang lahat lagi untuk anakku! Jangan seperti ini, Pak. Bapak tega sekali menguburkan kedua cucumu dalam satu liang lahat," isak Rumana sudah hampir kehilangan tenaga.Satu tamparan mendarat di pipi Rumana yang sudah tak berdaya, dan seketika langsung kehilangan kesadaran. Gunadi menangkap tubuh Istrinya yang hampir menyentuh tanah akibat ulah sang Ayah."Astaghfirullah. Istighfar, Pak Rasmadi. Menantumu sedang berduka, tega sekali Bapak menamparnya sampai pingsan," ujar sang Ustadz. Semua warga yang menyaksikan terkejut dengan sikap agresif Rasmadi. Mereka tak pernah tau saat Rasmadi sedang emosi seperti itu.Terlebih di pemakaman, yang seharusnya dalam keadaan hikmat. Kini semua terdiam tak ada yang membantah perintah Rasmadi lagi, demi menghindari keributan lebih parah di pemakaman.Akhirnya jenazah kedua anak Rumana dan Gunadi di semayamkan di satu liang lahat. Tanpa menunggu Rumana sadar dari pingsannya, membuat para pengantar kedua jenazah itu tak bisa tidak menitikan air mata duka.***Sementara itu, di alam yang berbeda, Rumana kembali di hadapkan pada nuansa alam yang menyeramkan. Suasana kegelapan yang hanya pernah dia lihat di Film-film horor. Dan kini dia sendiri yang berada di dalamnya, membuat aliran darahnya seakan berhenti, tubuhnya terpaku, dan kedua netranya menyapu ke segala arah dengan waspada.Ia takut ada makhluk mengerikan yang dia lihat beberapa waktu lalu, yang telah menangkap kedua anaknya. Dia hanya bisa berdo'a, semoga tidak ada hal yang menyeramkan lagi di sini. Tempat itu sudah cukup menyiutkan nyalinya, ia tak bisa bayangkan jika tiba-tiba ada sosok lain yang menyeramkan menghadangnya. Dia hanya sendiri, tanpa melihat kedua anaknya lagi di tempat ini.Rumana berusaha melafadz ayat-ayat suci yang dia bisa, namun lidahnya seperti tak mau bergerak, kelu, kaku. Dia tak bisa bersuara. Dia mencoba berteriak, tetapi tidak keluar suara apapun. Membuatnya semakin panik, dan dia juga tidak bisa bergerak dari tempatnya berdiri. Sebenarnya ada apa ini, kenapa dengan tubuhnya. Seluruh tubuh Rumana seperti terkunci. Dia hanya bisa menggerakan kedua bola matanya.Saat Rumana sedang terus berusaha menggerakkan lidah dan anggota badannya yang lain, sesosok makhluk menyerupai wanita berpakaian serba hitam dengan rambut menutupi seluruh wajahnya tiba-tiba muncul di depannya. Membuatnya semakin kalut dan tak berdaya, matanya membulat penuh ketakutan yang tertahan."Pulanglah! Anakmu tidak di sini lagi." Suara menggelar memekakkan telinga terlontar dari makhluk itu, Rumana ingat betul, itu makhluk yang sama dengan yang menangkap Rihanna dan Rianti.Seketika tubuh Rumana bisa di gerakan, dia langsung histeris ketakutan. Menyadari suaranya telah kembali, dia memberanikan diri untuk menanyakan keberadaan putri-putrinya pada makhluk itu."Sebenarnya kemana kau bawa kedua anakku, pulangkan dia padaku, Iblis!" Bentak Rumana takut-takut berani pada makhluk itu."Ha ha ha. Aku sudah antarkan nyawa kedua anakmu ke tempat yang seharusnya. Tetapi jika kau ingin tahu kemana sukma kedua anakmu, ikutilah kata hatimu. Dan temukan jawabannya!" Makhluk itu langsung hilang di iringi suara kikikan yang memekakkan telinga."Rumana! Sadar, Rum. Ingat Rayhan dan Bagas. Lihatlah Rayhan terus menangis karena haus. Dia butuh ASI. Sadarlah, Rum. Mas minta maaf kalau sempat menyalahkanmu, bangunlah, Rum. Mas janji nggak akan menyalahkan kamu lagi. Jangan tinggalkan kami juga." Gunadi menangis, dengan memeluk tubuh istrinya yang sangat dingin dan pucat.Sudah ber jam-jam Rumana tak sadarkan diri, Gunadi juga terus menyalahkan Ayahnya--Rasmadi, yang menyebabkan Rumana jadi begini.🥀🥀🥀"Rum! Rumana! Rumana!" Terdengar jelas suara Gunadi memanggil namanya, namun ia tak bisa melihat sosok suaminya itu. "Oeekk... Ooeekk..." Kini suara anaknya --Rayhan, yang masih balita menangis. Membuat Rumana sadar kalau ASI nya kini terasa nyeri dan hampir bengkak, sudah berapa lama dia tak memberikan ASI pada anaknya. Rumana yang panik berusaha mencari jalan pulang, dalam pikirannya ingin segera menyusui Rayhan. Dia sudah putus asa untuk mencari Rihanna dan Rianti di tempat ini, tetapi dia teringat perkataan makhluk mengerikan tadi. Jika nyawa kedua anaknya mungkin sudah di antar pada yang maha kuasa, tetapi mungkin yang dia maksud sukmanya masih ada di sini. Rumana harus bisa menemukan kedua anaknya di tempat yang mengerikan ini, dia tak mungkin tega membiarkan sukma kedua anaknya tertahan dan ketakutan. Tapi bagaimana caranya? Dia tak tahu apa-apa tentang makhluk halus dan sejenisnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang, dia sungguh dilema. Di satu sisi, dia harus mencari jala
"Hust! Kalo ngomong mbok ya di jaga to, Pak. Nanti kalo anakmu dengar bagaimana? sudah dihajar sampe memar begitu masih aja bicara ngawur," ujar Tuminah-- istri Rasmadi. Yang sedang menyeka tubuh Rumana dengan telaten."Loh kan memang kenyataannya, lihat aja, anaknya nangis terus setiap hari, sudah kaya di tinggal mati beneran aja. Berbisik banget loh, Bu," gerutu Rasmadi pada istrinya."Ya, itu kan salah bapak sendiri. Kenapa bapak tampar Rumana sampai pingsan begini," ujar Tuminah menahah kesal pada Rasmadi."Bapak nggak sengaja, Bu. Niatnya cuma bikin dia takut dan diam saat prosesi pemakaman. Dasar menantu lemah, di sentuh pipinya sedikit aja masa langsung pingsan ber hari-hari gini," dengus Rasmadi kesal menatap tubuh menantunya."Siapapun bisa tumbang saat kehilangan dua putri sekaligus, Pak," Tuminah masih membela menantunya. "Ah, kamu ini, sama aja kayak anakmu, bela menantu yang nggak di ingunkan ini," cibir Rasmadi pada istrinya."Tapi tunggu. Bu, coba sini deh, deket sama
Treng!! Treng!! Treng!!Suara besi beradu dengan bebatuan di pinggir sungai, membuat nyali Rumana kian menciut. Dia sadar, pasti makhluk itu datang lagi mencarinya. Di kejar dua bocah setan yang sangat mengerikan di tambah makhluk misterius yang begitu seram, sudah seperti paket komplit yang menguji nyali.Mau lanjut lari ke ke pinggiran sungai untuk menghindari kejaran dua setan cilik tapi takut di hadang makhluk menyeramkan lagi, kalau lari ke hutan, sama saja bunuh diri. Dua setan cilik itu terlihat sangat mengerikan dengan mulut sobek dan bola mata yang hampir keluar, lidah yang terus mengeluarkan air liur, terkesan begitu menjijikan dan mengerikan. Seperti zombie yang pernah dia tonton di televisi, tetapi mana ada zombie di negeri ini. Bukankah makhluk mengerikan itu hanya ada di luar negeri.Membayangkan bertemu mereka lagi sudah sangat membuat Rumana bergidik ngeri. Bagai buah simalakama, mau mundur takut, maju apa lagi. Kedua netra Rumana menyapu sekeliling yang hanya ada kege
🥀🥀🥀"Abah!" Gunadi tersentak membaca nama Ayah mertua tertera di layar ponselnya. "Astaghfirullah! Bagaimana ini." Raut wajah Gunadi terlihat begitu panik.Bagaimana tidak, setelah kematian kedua putrinya ditambah Rumana yang tidak sadarkan diri hinggi kini, membuat Gunadi tak sempat menyentuh ponselnya. Kesibukannya mengurus Bagas dan Rayhan begitu menyita waktu, tenaga dan fikirnannya. Bahkan terdengar kabar bahwa kematian kedua putrinya sampai di beritakan di televisi. Dia yakin berita itu juga ramai di jagat maya. Makanya dia lebih memilih fokus saja mengurus anak-anak dan istrinya, daripada lebih hancur melihat pemberitaan yang beredar. "Apa itu Ayah mertuamu, Gun?" Tuminah penasaran dengan putranya yang langsung pucat pasi, setelah menatap layar ponsel dan mengagumkan nama Abah. "Iya, Bu. Aku bingung mau ngomong apa sama Abah. Aku suami yang gagal menjaga kedua anak, dan kini, Istriku juga masih terbaring lemah. Jika Abah tahu, mungkin aku bisa langsung di bunuh," tukas G
🥀🥀🥀"Kenapa kamu malah menyuruh mertuamu datang, Gun." Tuminah tak mengerti dengan pemikiran putranya, bukannya mengatakan saja yang sebenarnya, malah dia meminta mertuanya datang. Apa bukan bunuh diri namanya?"Aku ga bisa mengatakan semua ini lewat telefon, Bu. Biar Abah melihat sendiri kondisi putri tercintanya. Kalaupun nanti aku harus menerima caci makinya, aku ikhlas. Aku berharap kedatangan Abah bisa menyadarkan Rumana," ungkap Gunadi memandangi Istrinya.Bagi Gunadi saat ini, kesadaran Rumana adalah yang utama. Rasanya dia tak sanggup menjalani hari-hari lebih lama lagi tanpa Rumana. Seminggu tanpanya, sudah sangat melelahkan dan membuat Gunadi stres. Matanya kembali berkaca, saat menyadari betapa dia sangat membutuhkan peran Istri nya saat ini. Gunadi berjanji, jika Rumana bangun, dia tidak akan pernah sekalipun menyalahkan atau kasar padanya. Dia akan memperlakukan Rumana seperti Ratu di hatinya. "Rumana, bangunlah. Berapa lama kamu akan terus begini, ingatlah aku, Rum.
Part 10.Dua hari setelah dua bocah meninggal tenggelam."Tolong..! Tolong...! Siapapun di sana, tolong aku." Seorang wanita paruh baya terikat tangan dan kakinya di sebuah gubug di tengah hutan, dengan mata di tutup kain. Suaranya mulai parau karena terus berteriak, tetapi tak juga ada bantuan datang.Dia tak tahu bagaimana bisa sampai di tempat itu. Yang dia ingat, dia ingin berkunjung ke kampung halaman adik iparnya, ingin silaturahim karena sudah lama tak bersua, mumpung keluarga adiknya sedang mudik ke Kebumen. Sebuah kota yang ingin dia kunjungi karena terkenal banyaknya tempat pariwisata.Dia menaiki ojek dari stasiun Kebumen menuju desa Gunadi. Hingga sampailah dia, di pinggir jalan raya yang masih sangat sepi. Arloji di tangannya masih menunjukkan pukul 04.40 pagi, maka ia putuskan untuk berhenti di pinggir jalan raya itu untuk melanjutkan perjalanan ke rumah mertua Rumana, yang tidak terlalu jauh dari jalan raya. Menurut Kinanti, jika tukang ojek itu mengantarnya sampai dep
Tak mau terkecoh dengan ucapan Iblis lagi, Rumana menggendong Rianti dan menuntun Rihanna untuk segera berlari. Tanpa memperdulikan perkataan Raja Cobra.Rumana lari lintang pukang tanpa arah, menghindari kejaran Raja Cobra yang terus menyeringai di belakang, dengan sesekali meliukan badannya yang setengah ular. Wajah Raja Cobra yang tadinya sangat tampan, kini berubah sangat menyeramkan. Dengan taring yang tiba-tiba muncul di sela-sela gigi rapihnya, dan lidah panjang yang sesekali menjulur. Membuat Rumana semakin waspada, takut-takut Raja Cobra akan menyemburkan bisa nya. Suasana yang gelap gulita semakin menyulitkan langkahnya. Sehingga dia harus berhati-hati saat lari menggendong Rianti dan Rihanna dalam tuntunannya. "Aduh!!" Pekik Rihanna terjatuh, rupanya kakinya tersandung dan tersangkut akar belukar. Dengan sigap, Rumana melepaskan akar yang melilit kaki anaknya. Tetapi siapa sangka akar yang sedang dia lepaskan itu, berubah jadi jari-jari tangan yang kurus dan mengerikan.
"Rum... Rumana...!! Sadarlah Rum! Ini Ummi sayang. Jangan seperti ini, Nak. Huuuhuu." Ratmini tersedu memangku anaknya yang seperti itu. "Letakkan Rumana, Mi. Biar Abah periksa," kata I Ketut Sudikerta mengintruksikan sang istri untuk meletakan anaknya di kasur saja.Ratmini mengikuti saran suami. Diletakannya kepala Rumana dari pangkuannya ke bantal yang sejak delapan hari yang lalu jadi tempatnya menyandarkan kepala. Ratmini tak henti-hentinya menangis, kaget dan penasaran kenapa anaknya bisa jadi seperti ini. Dia berfikir mungkin Rumana tertekan dan belum bisa mengikhlaskan kedua putrinya, tetapi reaksinya itu kenapa tidak wajar. Ada apa sebenarnya dengan putri keduanya ini? Ratmini sungguh tak mengerti.Niat hati datang untuk menghibur Rumana yang kehilangan kedua anaknya, tetapi dia malah di suguhi dengan keadaan sang putri yang memprihatinkan. Membuat Ratmini sangat sedih. Dia menerka-- apa kiranya yang tengah menimpa keluarga Rumana. Musibah kehilangan dua anak tengah ia hada
"Hentikan, Rumana! Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Sudikerta yang baru tiba. Mata Rumana memicing. Ia mulai paham dengan situasinya sekarang. Untuk apa pria tua itu menghentikannya? Datang disaat ia sudah berhasil menemukan kedua putranya beserta Nandini. Rumana rasa hanya sia-sia saja kedatangan mereka. "Abah ... Untuk apa Abah menyusul ke tempat ini jika hanya untuk menghentikanku. Biarkan aku hancurkan mereka, sebagaimana mereka menghancurkan duniaku, Bah! Mereka yang memulai!" lantang Rumana. Ia tak terima jika Sudikerta atau siapapun menghalangi aksinya menumpas Gayatri dan para ateknya. Ia bukan lagi Rumana yang pasrah menerima segala petaka yang hampir membuatnya g*la. "Tidak, Rum. Biarkan Abah yang menyelesaikan semua kekacauan ini. Karena semua berawal dari kesalahan Abah," ucap Sudikerta. Wajahnya tampak sendu."Maksud Abah apa?" tanya Rumana tak mengerti.Gayatri tertawa sinis ke arah Sudikerta. Dengan sekali kedipan mata, semua orang yang tadi Rumana kira bisa lol
"Tutup mata, Bu," pinta Zaki pada Rumana. Rumana menurut saja karena saking takutnya. Pemuda itu lantas dengan cepat merapal sebuah doa. Terlihat dari gerakan bibirnya. "Sekarang buka mata, Bu Rum." Zaki meniup kedua mata Rumana perlahan. Rumana tampak mengedip beberapa kali dan mengecek kedua matanya. Memastikan apakah makhluk berbentuk kelapa sang ayah mertua sudah benar-benar hilang."Tadi itu sihir, Bu. Kita pasti sedang dipantau oleh makhluk alam ini. Ayo, kita gegas temukan mereka dan keluar dari sini," terang Zaki seakan mengerti kebingungan Rumana. Mereka kembali berjalan mencari sumber suara Bagas yang sempat mereka tangkap sebelumnya. "Itu mereka, Mbak!" Tangan Raganta terulur menunjuk sebuah gubug tua yang terlihat paling kokoh diantara gubug lainnya. Gegas, Rumana berlari menghampiri Nandini yang tengah meringkuk memeluk Bagas dan Rayhan di gendongan. "Allohuakbar, Nandini! Anak-anakku," pekik Rumana menghambur mendekap Bagas. Rumana terisak-isak menciumi pucuk ke
Setelah melewati berbagai gangguan, Rumana dan dua pemuda tampan itu sudah kembali berada di dalam gua. Rumana mencoba menguatkan diri dan tekad untuk menyentuh ukiran di sisi dinding gua. Kali ini tak ada gangguan berarti yang menghalanginya.Akan tetapi, beberapa saat setelah ia menyentuhkan tangannya ke ukiran tersebut, guncangan kecil mulai ia rasakan. Disusul guncangan hebat yang membuat semuanya panik. "Guanya seperti akan runtuh, kita harus lari dari sini," ujar Raganta dengan wajah panik. "Tidak! Mungkin ini hanya efek dari sentuhan tangan saya. Ini bisa jadi benar-benar pintu masuk ke alam sarpa seperti yang dikatakan Kiai. Aku tidak akan keluar!" teriak Rumana masih kuat dengan pendiriannya. Dia terus berpegang pada dinding gua."Jangan konyol, Mbak. Kita semua bisa mati di sini kalo nggak cepat-cepat lari menyelamatkan diri!" sengit Raganta. Nada Raganta mulai emosi, dia menarik lengan Zaki dan Rumana. Setuju dengan pendapat Raganta, Zaki juga terlihat panik dan mulai m
Rumana mengikuti saran Kiai Hambali untuk menjemput kedua anaknya dan Nandini yang konon dibawa oleh pengikut Gayatri. Dia mulai melangkah menyusuri lorong gua yang gelap dan sempit. Sebuah tempat yang terletak di dalam hutan Larangan yang jarang dijamah manusia. Sensasi mencekam mulai ia rasakan tatkala kakinya semakin maju ke dalam gua. Gelap, lembab, dan sumpak mendominasi nuansa di dalam gua. Rasa takut mulai bergelayut di hati Rumana, tapi ia juga tak mau menghentikan langkah demi kedua buah hatinya. Ia mengamati setiap sudut gua dengan pencahayaan yang terbatas dari cahaya obor. Ada Zaki dan Raganta yang turut menemani atas permintaan kiai Hambali.Perhatian Rumana jatuh pada sebuah dinding gua yang terlihat mencolok. Ada ukiran yang menggambarkan seperti gapura dan beberapa ukiran unik lainnya terpahat di sana. "Apa mungkin ini pintunya, ya?" Gumam Rumana. "Raga, Zaki, coba lihat ini."Kedua pemuda itu sontak mendekat. Mengarahkan cahaya obor mereka ke dinding gua yang dimak
"Allohuma sholi, wa salim 'ala sayyidina, Muhammadin shohibil busyro, solatan tu basyiru Nabiha. Waakhlana waauladana, wa jami'a masyayikhina, wamualimina wathalabatana wa thalibatina. Min yaumina hadzha illaa, yaumil akhiroh." Entah sudah berapa kali Rumana melantunkan selawat Busro yang diyakini bisa membawa kabar bahagia bagi yang mengamalkannya itu. Kedua matanya terpejam, ia duduk di atas sajadah selepas salat Isya di kamar. Berharap segera mendapatkan kabar bahagia seperti yang terkandung dalam selawat tersebut. Kabar baik tentang kedua anaknya yang kembali dalam keadaan sehat selamat. Kabar baik tentang kondisi Kinanti, dan kabar baik tentang kemungkinan Gunadi masih hidup, meski dia telah menyaksikan sendiri prosesi pemakamannya kala itu. Kabar baik yang ia harap membawa kebahagiaan.Dia benar-benar berharap jika semua yang tengah terjadi dalam hidupnya saat ini hanyalah sebuah mimpi buruk, dan ia ingin sekali ada yang membangunkannya dari tidur panjang ini. Tok ... Tok ..
"Aaakkk!" Jeritan Kinanti menyadarkan Sudikerta, bahwa yang dia tusuk bukan Gayatri, tapi putrinya sendiri. "Mbak Kinan!" jerit Rumana. Tubuh Kinanti perlahan roboh ke pelukannya. Dia menopang tubuh sang kakak yang sudah bersimbah darah di bagian perutnya. Sudikerta yang semula menggenggam erat pusakanya itu, reflek menjatuhkan keris ke lantai hingga menimbulkan suara dentingan cukup keras. Sudikerta bergetar hebat melihat darah segar yang muncrat dari perut sang putri dan menempel di tangannya. Dia segera meraih tub uh Kinanti dan membawanya dalam pekukan. "K-kenapa ... K-Kinanti ... Kinanti!" raung Sudikerta seakan sangat menyesali perbuatannya, tetapi semua hanya sia-sia.Diletakkannya tub uh bersimbah dar4h itu di atas dipan, dengan berusaha menutupi luka guna menyumbat dar4h yang terus mengucur dari perut bagian atas.Sementara itu, Gayatri tertawa puas melihat penderitaan Sudikerta. Dia beralih pada Rumana yang terus tergugu seakan menyalahkan sang ayah."Kau lihat kan, Rum
Kecurigaan Rumana pada sang ayah semakin menjadi, dia merasa Sudikerta memang telah menyembunyikan sesuatu darinya, atau mungkin dari seluruh keluarganya."Apa yang Abah sembunyikan di kamar itu?" tanya Rumana. Sudikerta menatap sekilas Rumana, kemudian berdiri dan berjalan menuju kamar mendiang mertuanya. Di depan pintu di dalam kamar itu, Sudikerta duduk bersimpuh. Mulutnya komat-kamit seperti sedang merapal sebuah mantra atau doa. Rumana dan Kinanti hanya menyaksikan dengan seksama apa yang tengah dilakukan Sudikerta. Meski ia ingin sekali bertanya, tapi dia menahan diri setelah melihat betapa Sudikerta berkonsentrasi dan tak mungkin untuk di ganggu. Tiba-tiba saja, terdengar suara tawa membahana dari seorang wanita. Tetapi tak Rumana lihat wujudnya. Suaranya seperti mengudara di dalam ruangan itu. Bau bunga melati juga menelusup ke dalam indra penciuman mereka. Rumana memasang badan waspada, sedangkan Kinanti justru bersembunyi di balik tub uh Rumana. "Siapa di sana!" seru
"Kamu sudah melakukan semua sesuai rencana kan, Galuh!" Seorang wanita berkebaya warna biru laut, dengan rambut disanggul berhiaskan bunga melati di rambutnya, tengah menatap nyi Galuh. Riasan di wajah menambah pancaran cantiknya wanita itu. "Sudah, Ibu Ratu." Galuh membungkuk di depan wanita itu."Bagus! Sudah waktunya Sudikerta menerima akibat dari perbuatannya. Sekaranglah waktumu membayar semuanya, dan kamu harus tau dan mengingat itu, Sudikerta!" Wanita yang dipanggil ibu ratu oleh galuh itu bermonolog lalu menyeringai. Ada gurat kepuasan dari kedua netranya.Sudah puluhan tahun lamanya dia menantikan hari itu datang. Hari dimana dia bisa membalaskan dendam kesumat pada lelaki yang telah meluluhlantakkan kehidupannya dulu. Dimana dia kehilangan satu persatu orang-orang yang dicintainya, yang dekat dengannya, dan yang dengan tulus menolongnya, tanpa tahu sebab dari semua petaka yang menimpanya. Hal itu tentu membuatnya amat terpukul, frustasi dan depresi. Hampir saja dia dipasu
Rumana masih bungkam, enggan memberikan keterangan. Kendatai Kinanti terus memaksa untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi sampai dia pulang dalam kondisi mengenaskan seperti ini, tapi Rumana tetap tutup mulut. "Apa seseorang mengancamu?" tanya Kinanti terus memancing Rumana supaya mau bicara.Jawaban Rumana hanya berupa gelengan. Tapi, kenapa dia bungkam?Rumana masih syok dengan semua kenyataan pahit yang dia terima dari mulut Galuh. Entah kenyataan itu benar atau hanya untuk mengecohnya agar membenci sang ayah. Semua tragedi naas dalam hidupnya setelah pulang kampung ke Kebumen, dia pikir mungkin ada kaitannya denhan ayah mertua--Rasmadi. Tapi, nyatanya justru Sudikerta lah yang banyak andil di dalamnya tanpa dia duga sebelumnya.Dia kenal Abah orang yang rajin beribadah, taat menjalankan perintah Allah, tapi kenapa justru masa lalunya seburuk itu hingga berimbas pada keluarganya. Rumana masih tak terima dan mungkin akan menganggap ucapan buruk Galuh tentang Sudikerta hany