Share

Teror di alam mimpi

Penulis: Pini arso
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Rum! Rumana! Rumana!" Terdengar jelas suara Gunadi memanggil namanya, namun ia tak bisa melihat sosok suaminya itu.

"Oeekk... Ooeekk..." Kini suara anaknya --Rayhan, yang masih balita menangis. Membuat Rumana sadar kalau ASI nya kini terasa nyeri dan hampir bengkak, sudah berapa lama dia tak memberikan ASI pada anaknya.

Rumana yang panik berusaha mencari jalan pulang, dalam pikirannya ingin segera menyusui Rayhan. Dia sudah putus asa untuk mencari Rihanna dan Rianti di tempat ini, tetapi dia teringat perkataan makhluk mengerikan tadi. Jika nyawa kedua anaknya mungkin sudah di antar pada yang maha kuasa, tetapi mungkin yang dia maksud sukmanya masih ada di sini.

Rumana harus bisa menemukan kedua anaknya di tempat yang mengerikan ini, dia tak mungkin tega membiarkan sukma kedua anaknya tertahan dan ketakutan. Tapi bagaimana caranya? Dia tak tahu apa-apa tentang makhluk halus dan sejenisnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang, dia sungguh dilema. Di satu sisi, dia harus mencari jalan pulang, namun di sisi lain, dia juga ingin menyelamatkan kedua anaknya dari makhluk itu.

Brukk!!

"Astaghfirullah!" Netra Rumana terbelalak. Seorang wanita dengan senyum menyeringai tiba-tiba jatuh di depannya, membuat jantung Rumana hampir terlepas dari tempatnya. Wanita itu terus menatap tajam pada Rumana. Tatapan membunuh sama seperti yang Rasmadi lakukan, membuat Rumana tak mampu menggerakkan satu jaripun karena saking syok dan takutnya.

"Wraaaww!" Triak makhluk mengerikan itu tepat di muka Rumana. Sontak Rumana mundur menjauhi makhluk mengerikan itu, untungnya kini dia telah mampu menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Sehingga dia bisa lari.

Makhluk menyerupai wanita dengan rambut menjuntai menutupi hampir seluruh badannya, yang kadang menunjukkan wajah aslinya yang sangat mengerikan itu seperti menikmati ketakutan Rumana. Dia terus menyeringai dengan sesekali mengeluarkan tongkat sabit mautnya, mirip seperti yang menangkap kedua anaknya, tetapi ini lebih seram dan tidak terlalu besar.

Rumana terus berlari dan menghindar dari sasaran sabit maut yang di genggam oleh makhluk itu, dengan sesekali mengurut dadanya yang kehabisan oksigen. Keringat sebiji jagung terus keluar dari dahi dan tubuhnya, kini pakaian yang ia kenakan sudah basah oleh peluh dan darah akibat goresan pandan berduri yang dia lewati, dan beberapa luka dari sabit maut yang sedikit berhasil mengenai tubuhnya.

"Hosh...hosh..." jantung Rumana berpacu tak beraturan, hingga bisa dia dengar detak jantungnya sendiri. Dia berhenti sejenak untuk mengambil oksigen sebanyak mungkin.

"Kenapa makhluk itu seperti ingin menelanku hidup-hidup, bahkan sabit mautnya selalu dia arahkan padaku, apa mau dia dariku. Bukankah dia telah mengambil kedua anakku, dasar makhluk terkutuk. Tapi aku tak bisa menghadapi dia sendiri, aku harus bisa terus menghindar darinya. Jangan sampai aku tertangkap olehnya," gumam Rumana di tengah kelelahan nya.

Rumana kehabisan tenaga, dia tak bisa lagi berlari untuk menghindari serangan maut itu. Ia mencoba sembunyi di semak pandan berduri, meski sakit karena goresan duri pandan, dia berharap tanaman bahan baku tikar anyam itu bisa menyembunyikan dirinya dari makhluk misterius yang sangat mengerikan.

"Semoga dia tidak melihatku di sini. Pandan berduri, tolong sembunyikan aku dari makhluk mengerikan itu," gumamnya seraya meringkuk di atas tajamnya pandan berduri.

Baru sesaat dia sembunyi, tangannya terasa menyentuh sesuatu. Lembut dan berair, segera Rumana lihat benda itu untuk memastikan. Ia tajamkan pengelihatan dan mendekatkan benda itu tepat di depan matanya.

"Jabang bayi!! Astaghfirullah!" Dia langsung melempar benda itu ke aliran sungai agar terbawa arus dan lenyap dari hadapannya. Ternyata sepotong kepala manusia berlumuran darah, dengan mata yang hampir keluar, mulutnya juga dipenuhi belat*ung yang membuatnya mual dan ngeri secara bersamaan.

Kini berganti kedua tangannya membungkam kuat-kuat mulutnya agar tak mengeluarkan suara lagi, dia lupa ada makhluk mengerikan yang juga sedang mengincarnya dari belakang.

Rumana menangis, ketakutan seorang diri di tengah kegelapan yang sangat mengerikan. Jika bisa, dia memilih pingsan saja. Hatinya remuk redam, takut bercampur duka. Bagaimana tidak, itu kepala anak pertamanya.

Sementara itu, makhluk mengerikan pembawa tongkat sabit maut masih saja mencarinya. Makhluk itu sengaja memukulkan sabitnya ke bebatuan, sehingga menimbulkan suara. Seperti memberi kode pada Rumana bahwa dia bisa kapan saja membunuhnya. Rumana lemas tak berdaya, dia memilih memejamkan mata, pasrah jika memang harus tertangkap oleh makhluk itu.

Di tengah keputusasaan nya, sebuah bisikan menuntun hatinya.

"Ibu, Ibu, tolong Rianti, Bu. Rianti sakit, Rianti takut di sini, Bu." Sura itu terus mendayu-dayu di telinga Rumana. Bergantian memanggilnya, kadang Rianti, kadang Rihana. Mau berteriak memanggil kedua anaknya, tetapi dia takut makhluk itu akan menangkapnya. Akhirnya dengan berjongkok dan memeluk kedua lututnya, Ruman beringsut dari tempat itu, berusaha mengikuti sumber suara kedua anaknya.

Rumana berharap, dia masih bisa bertemu dengan sukma kedua anaknya. Dia akan mengajaknya pulang atau keluar dari tempat ini. Suara mereka terdengar semakin pilu dan putus asa, dia tahu kedua anaknya pasti sangat ketakutan sama seperti dirinya.

Saat suara dentingan sabit maut tak lagi terdengar, Rumana mengintip suasana di luar semak belukar pandan berduri. Memastikan makhluk itu tidak akan mengejarnya lagi. Di rasanya aman, dia segera berlari dengan terus menajamkan telinga, agar tak kehilangan jejak suara kedua anaknya.

Karena gelap, dia tak bisa melihat jalan dengan pasti. Tiba-tiba kakinya tersandung sesuatu, dia terjerembab ke bebatuan pinggir sungai, hingga keningnya berdarah. Di singkirkannya sesuatu yang membuatnya terjatuh.

"Ya Allah!" Pekik Rumana tertahan. Sepotong tangan berlumuran darah segar, yang sangat anyir baunya sedang dia pegang. Mengetahui hal itu, refleks dia membuang kasar potongan tangan itu.

Rumana kembali terisak, dia sangat takut dan putus asa. Suara kedua anaknya sudah tak lagi terdengar oleh telinga. Membuatnya memutuskan untuk beristirahat di pinggir sungai. Kerongkongan nya terasa sangat kering, karena terus berlari dan mengeluarkan banyak keringat. Tanpa pikir panjang, dia mencoba mengambil air sungai yang jernih mengalir dengan kedua telapak tangannya.

Belum sempat ia menenggak air itu untuk membasahi kerongkongannya, bau anyir tiba-tiba menyeruak lagi, membuat perutnya bergejolak seperti diaduk-aduk. Dia tajamkan penglihatannya, ternyata benar, air sungai yang tadi jernih itu, kini berubah jadi darah segar yang mengeluarkan bau anyir yang begitu menyengat.

Sontak Rumana membuang air di kedua telapak tangannya, yang hampir di tenggak. Dia bersyukur belum sempat menenggaknya. Menyaksikan aliran sungai menjadi aliran darah segar, membuatnya semakin takut. Dia berlari menjauhi sungai darah mengerikan itu. Terus berlari tanpa arah, hingga mengantarnya pada sebuah tempat seperti gua.

***

Karena dilanda ketakutan yang luar biasa, lagi-lagi Rumana ceroboh dan langsung masuk ke dalam. Ada obor di dinding-dinding gua itu, membuatnya sedikit lega. Dia masuk dan semakin ke dalam.

"Rihanna... Rianti...!" Pekik Rumana yang menemukan kedua anaknya sedang meringkuk berpelukan di sudut gua itu. Ada sedikit kelegaan di hati Rumana, karena akhirnya bisa menemukan kedua sukma anaknya. Ya, dia menyadari bahwa itu hanya sukma kedua anaknya. Karena dia ingat, jasadnya sudah hampir di kuburkan dalam satu liang lahat.

Rumana langsung memeluk haru kedua anaknya yang tampak pucat dan menggigil kedinginan. Hatinya berkecamuk, dia harus bisa keluar dari gua ini. Di tengah kelegaannya telah menemukan kedua anaknya, dia kembali di kejutkan dengan sosok yang kini di peluknya. Bukan lagi Rihana dan Rianti yang dia peluk, melainkan dua anak kecil dengan wajah yang hancur. Kedua bola mata yang hampir keluar, dan mulut yang terus menganga hingga hampir robek.

"Aaaakk! Siapa kalian, kemana kedua anaku!" Triak Rumana kaget mengetahui yang dia peluk bukan lagi kedua anaknya.

Lagi-lagi Rumana seperti di permainan. Dia marah bercampur takut. Ingin keluar tapi di mana jalannya.

Kini dua makhluk itu siap menerkam Rumana, sekuat tenaga dia mendorong kedua makhluk mengerikan itu hingga terjatuh. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, dia kembali berlari keluar dari gua.

"Hah...hah... Apa-apaan ini, siapa yang sedang mempermainkan aku. Dimana Rihanna dan Rianti, kenapa yang tadi aku lihat seperti kedua anaku berubah jadi setan mengerikan. Ya Allah tolong selamatkan aku dan selamtkan sukma kedua anakku dari tempat ini." Rumana kembali terisak.

Ada apa ini, kenapa dia seperti di teror tiada henti di tempat yang menyeramkan ini. Apa kesalahannya hingga dia harus mengalami ini semua?

Rumana terus bertanya-tanya dalam hati, di tengah usahanya berlari menghindari dua bocah mengerikan yang mengelebubinya dengan menjelma jadi kedua anaknya.

Sementara itu, di dunia nyata, tubuh Rumana masih terbaring tak berdaya. Anaknya yang masih balita terpaksa di sambung dengan susu formula. Beberapa hari balita malang itu terus rewel dan sempat demam.

"Sudah seminggu lamanya Rumana tak sadarkan diri, apa sebaiknya kita kuburkan saja dia. Hidup tidak, matipun tidak, bikin repot saja." Ujar Rasmadi pada Istrinya.

🥀🥀🥀

Bab terkait

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Rayhan kejang

    "Hust! Kalo ngomong mbok ya di jaga to, Pak. Nanti kalo anakmu dengar bagaimana? sudah dihajar sampe memar begitu masih aja bicara ngawur," ujar Tuminah-- istri Rasmadi. Yang sedang menyeka tubuh Rumana dengan telaten."Loh kan memang kenyataannya, lihat aja, anaknya nangis terus setiap hari, sudah kaya di tinggal mati beneran aja. Berbisik banget loh, Bu," gerutu Rasmadi pada istrinya."Ya, itu kan salah bapak sendiri. Kenapa bapak tampar Rumana sampai pingsan begini," ujar Tuminah menahah kesal pada Rasmadi."Bapak nggak sengaja, Bu. Niatnya cuma bikin dia takut dan diam saat prosesi pemakaman. Dasar menantu lemah, di sentuh pipinya sedikit aja masa langsung pingsan ber hari-hari gini," dengus Rasmadi kesal menatap tubuh menantunya."Siapapun bisa tumbang saat kehilangan dua putri sekaligus, Pak," Tuminah masih membela menantunya. "Ah, kamu ini, sama aja kayak anakmu, bela menantu yang nggak di ingunkan ini," cibir Rasmadi pada istrinya."Tapi tunggu. Bu, coba sini deh, deket sama

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Bertemu silumn ular

    Treng!! Treng!! Treng!!Suara besi beradu dengan bebatuan di pinggir sungai, membuat nyali Rumana kian menciut. Dia sadar, pasti makhluk itu datang lagi mencarinya. Di kejar dua bocah setan yang sangat mengerikan di tambah makhluk misterius yang begitu seram, sudah seperti paket komplit yang menguji nyali.Mau lanjut lari ke ke pinggiran sungai untuk menghindari kejaran dua setan cilik tapi takut di hadang makhluk menyeramkan lagi, kalau lari ke hutan, sama saja bunuh diri. Dua setan cilik itu terlihat sangat mengerikan dengan mulut sobek dan bola mata yang hampir keluar, lidah yang terus mengeluarkan air liur, terkesan begitu menjijikan dan mengerikan. Seperti zombie yang pernah dia tonton di televisi, tetapi mana ada zombie di negeri ini. Bukankah makhluk mengerikan itu hanya ada di luar negeri.Membayangkan bertemu mereka lagi sudah sangat membuat Rumana bergidik ngeri. Bagai buah simalakama, mau mundur takut, maju apa lagi. Kedua netra Rumana menyapu sekeliling yang hanya ada kege

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Bab 8

    🥀🥀🥀"Abah!" Gunadi tersentak membaca nama Ayah mertua tertera di layar ponselnya. "Astaghfirullah! Bagaimana ini." Raut wajah Gunadi terlihat begitu panik.Bagaimana tidak, setelah kematian kedua putrinya ditambah Rumana yang tidak sadarkan diri hinggi kini, membuat Gunadi tak sempat menyentuh ponselnya. Kesibukannya mengurus Bagas dan Rayhan begitu menyita waktu, tenaga dan fikirnannya. Bahkan terdengar kabar bahwa kematian kedua putrinya sampai di beritakan di televisi. Dia yakin berita itu juga ramai di jagat maya. Makanya dia lebih memilih fokus saja mengurus anak-anak dan istrinya, daripada lebih hancur melihat pemberitaan yang beredar. "Apa itu Ayah mertuamu, Gun?" Tuminah penasaran dengan putranya yang langsung pucat pasi, setelah menatap layar ponsel dan mengagumkan nama Abah. "Iya, Bu. Aku bingung mau ngomong apa sama Abah. Aku suami yang gagal menjaga kedua anak, dan kini, Istriku juga masih terbaring lemah. Jika Abah tahu, mungkin aku bisa langsung di bunuh," tukas G

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Bab 9

    🥀🥀🥀"Kenapa kamu malah menyuruh mertuamu datang, Gun." Tuminah tak mengerti dengan pemikiran putranya, bukannya mengatakan saja yang sebenarnya, malah dia meminta mertuanya datang. Apa bukan bunuh diri namanya?"Aku ga bisa mengatakan semua ini lewat telefon, Bu. Biar Abah melihat sendiri kondisi putri tercintanya. Kalaupun nanti aku harus menerima caci makinya, aku ikhlas. Aku berharap kedatangan Abah bisa menyadarkan Rumana," ungkap Gunadi memandangi Istrinya.Bagi Gunadi saat ini, kesadaran Rumana adalah yang utama. Rasanya dia tak sanggup menjalani hari-hari lebih lama lagi tanpa Rumana. Seminggu tanpanya, sudah sangat melelahkan dan membuat Gunadi stres. Matanya kembali berkaca, saat menyadari betapa dia sangat membutuhkan peran Istri nya saat ini. Gunadi berjanji, jika Rumana bangun, dia tidak akan pernah sekalipun menyalahkan atau kasar padanya. Dia akan memperlakukan Rumana seperti Ratu di hatinya. "Rumana, bangunlah. Berapa lama kamu akan terus begini, ingatlah aku, Rum.

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Bab 10

    Part 10.Dua hari setelah dua bocah meninggal tenggelam."Tolong..! Tolong...! Siapapun di sana, tolong aku." Seorang wanita paruh baya terikat tangan dan kakinya di sebuah gubug di tengah hutan, dengan mata di tutup kain. Suaranya mulai parau karena terus berteriak, tetapi tak juga ada bantuan datang.Dia tak tahu bagaimana bisa sampai di tempat itu. Yang dia ingat, dia ingin berkunjung ke kampung halaman adik iparnya, ingin silaturahim karena sudah lama tak bersua, mumpung keluarga adiknya sedang mudik ke Kebumen. Sebuah kota yang ingin dia kunjungi karena terkenal banyaknya tempat pariwisata.Dia menaiki ojek dari stasiun Kebumen menuju desa Gunadi. Hingga sampailah dia, di pinggir jalan raya yang masih sangat sepi. Arloji di tangannya masih menunjukkan pukul 04.40 pagi, maka ia putuskan untuk berhenti di pinggir jalan raya itu untuk melanjutkan perjalanan ke rumah mertua Rumana, yang tidak terlalu jauh dari jalan raya. Menurut Kinanti, jika tukang ojek itu mengantarnya sampai dep

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Bab 11

    Tak mau terkecoh dengan ucapan Iblis lagi, Rumana menggendong Rianti dan menuntun Rihanna untuk segera berlari. Tanpa memperdulikan perkataan Raja Cobra.Rumana lari lintang pukang tanpa arah, menghindari kejaran Raja Cobra yang terus menyeringai di belakang, dengan sesekali meliukan badannya yang setengah ular. Wajah Raja Cobra yang tadinya sangat tampan, kini berubah sangat menyeramkan. Dengan taring yang tiba-tiba muncul di sela-sela gigi rapihnya, dan lidah panjang yang sesekali menjulur. Membuat Rumana semakin waspada, takut-takut Raja Cobra akan menyemburkan bisa nya. Suasana yang gelap gulita semakin menyulitkan langkahnya. Sehingga dia harus berhati-hati saat lari menggendong Rianti dan Rihanna dalam tuntunannya. "Aduh!!" Pekik Rihanna terjatuh, rupanya kakinya tersandung dan tersangkut akar belukar. Dengan sigap, Rumana melepaskan akar yang melilit kaki anaknya. Tetapi siapa sangka akar yang sedang dia lepaskan itu, berubah jadi jari-jari tangan yang kurus dan mengerikan.

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Bab 12

    "Rum... Rumana...!! Sadarlah Rum! Ini Ummi sayang. Jangan seperti ini, Nak. Huuuhuu." Ratmini tersedu memangku anaknya yang seperti itu. "Letakkan Rumana, Mi. Biar Abah periksa," kata I Ketut Sudikerta mengintruksikan sang istri untuk meletakan anaknya di kasur saja.Ratmini mengikuti saran suami. Diletakannya kepala Rumana dari pangkuannya ke bantal yang sejak delapan hari yang lalu jadi tempatnya menyandarkan kepala. Ratmini tak henti-hentinya menangis, kaget dan penasaran kenapa anaknya bisa jadi seperti ini. Dia berfikir mungkin Rumana tertekan dan belum bisa mengikhlaskan kedua putrinya, tetapi reaksinya itu kenapa tidak wajar. Ada apa sebenarnya dengan putri keduanya ini? Ratmini sungguh tak mengerti.Niat hati datang untuk menghibur Rumana yang kehilangan kedua anaknya, tetapi dia malah di suguhi dengan keadaan sang putri yang memprihatinkan. Membuat Ratmini sangat sedih. Dia menerka-- apa kiranya yang tengah menimpa keluarga Rumana. Musibah kehilangan dua anak tengah ia hada

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Bab 13

    🥀🥀🥀Setelah di beri makan dan minum oleh Tarno dan Parjo, Kinanti terlihat tak begitu pucat lagi. Duduknya mulai tegak, dan tatapannya semakin tajam. Namun dia belum mau bicara sepatah katapun. Entah apa yang sedang dia fikirkan. Karena hari sudah hampir petang, dan suasana remang-remang di tengah hutan, Tarno dan Parjo memutuskan untuk segera turun gunung. Merasa kasihan pada wanita yang dia tolong, Tarno berfikir akan mengajaknya turun. Mencarikan tempat tinggal untuknya, atau di titipkan ke rumah kakaknya. Yang suaminya sedang merantau di kota, sehingga di rumah itu hanya ada sang kakak dan anak-anak nya. Itu lebih baik, daripada di rumah Tarno yang kedua orang tuanya tengah pergi ke luar kota. Sedangkan dia sendiri masih bujangan dan tinggal sendiri. Itu bisa jadi fitnah untuk mereka. Tak mungkin juga Tarno meninggalkan wanita cantik ini sendirian dalam ketakutan di tengah hutan."Apa kamu bisa jalan?" Tanya Tarno memastikan pada Kinanti, yang di balas anggukan olehnya. "B

Bab terbaru

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Ending

    "Hentikan, Rumana! Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Sudikerta yang baru tiba. Mata Rumana memicing. Ia mulai paham dengan situasinya sekarang. Untuk apa pria tua itu menghentikannya? Datang disaat ia sudah berhasil menemukan kedua putranya beserta Nandini. Rumana rasa hanya sia-sia saja kedatangan mereka. "Abah ... Untuk apa Abah menyusul ke tempat ini jika hanya untuk menghentikanku. Biarkan aku hancurkan mereka, sebagaimana mereka menghancurkan duniaku, Bah! Mereka yang memulai!" lantang Rumana. Ia tak terima jika Sudikerta atau siapapun menghalangi aksinya menumpas Gayatri dan para ateknya. Ia bukan lagi Rumana yang pasrah menerima segala petaka yang hampir membuatnya g*la. "Tidak, Rum. Biarkan Abah yang menyelesaikan semua kekacauan ini. Karena semua berawal dari kesalahan Abah," ucap Sudikerta. Wajahnya tampak sendu."Maksud Abah apa?" tanya Rumana tak mengerti.Gayatri tertawa sinis ke arah Sudikerta. Dengan sekali kedipan mata, semua orang yang tadi Rumana kira bisa lol

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Chapter 58

    "Tutup mata, Bu," pinta Zaki pada Rumana. Rumana menurut saja karena saking takutnya. Pemuda itu lantas dengan cepat merapal sebuah doa. Terlihat dari gerakan bibirnya. "Sekarang buka mata, Bu Rum." Zaki meniup kedua mata Rumana perlahan. Rumana tampak mengedip beberapa kali dan mengecek kedua matanya. Memastikan apakah makhluk berbentuk kelapa sang ayah mertua sudah benar-benar hilang."Tadi itu sihir, Bu. Kita pasti sedang dipantau oleh makhluk alam ini. Ayo, kita gegas temukan mereka dan keluar dari sini," terang Zaki seakan mengerti kebingungan Rumana. Mereka kembali berjalan mencari sumber suara Bagas yang sempat mereka tangkap sebelumnya. "Itu mereka, Mbak!" Tangan Raganta terulur menunjuk sebuah gubug tua yang terlihat paling kokoh diantara gubug lainnya. Gegas, Rumana berlari menghampiri Nandini yang tengah meringkuk memeluk Bagas dan Rayhan di gendongan. "Allohuakbar, Nandini! Anak-anakku," pekik Rumana menghambur mendekap Bagas. Rumana terisak-isak menciumi pucuk ke

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Chapter 57

    Setelah melewati berbagai gangguan, Rumana dan dua pemuda tampan itu sudah kembali berada di dalam gua. Rumana mencoba menguatkan diri dan tekad untuk menyentuh ukiran di sisi dinding gua. Kali ini tak ada gangguan berarti yang menghalanginya.Akan tetapi, beberapa saat setelah ia menyentuhkan tangannya ke ukiran tersebut, guncangan kecil mulai ia rasakan. Disusul guncangan hebat yang membuat semuanya panik. "Guanya seperti akan runtuh, kita harus lari dari sini," ujar Raganta dengan wajah panik. "Tidak! Mungkin ini hanya efek dari sentuhan tangan saya. Ini bisa jadi benar-benar pintu masuk ke alam sarpa seperti yang dikatakan Kiai. Aku tidak akan keluar!" teriak Rumana masih kuat dengan pendiriannya. Dia terus berpegang pada dinding gua."Jangan konyol, Mbak. Kita semua bisa mati di sini kalo nggak cepat-cepat lari menyelamatkan diri!" sengit Raganta. Nada Raganta mulai emosi, dia menarik lengan Zaki dan Rumana. Setuju dengan pendapat Raganta, Zaki juga terlihat panik dan mulai m

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Chapter 56

    Rumana mengikuti saran Kiai Hambali untuk menjemput kedua anaknya dan Nandini yang konon dibawa oleh pengikut Gayatri. Dia mulai melangkah menyusuri lorong gua yang gelap dan sempit. Sebuah tempat yang terletak di dalam hutan Larangan yang jarang dijamah manusia. Sensasi mencekam mulai ia rasakan tatkala kakinya semakin maju ke dalam gua. Gelap, lembab, dan sumpak mendominasi nuansa di dalam gua. Rasa takut mulai bergelayut di hati Rumana, tapi ia juga tak mau menghentikan langkah demi kedua buah hatinya. Ia mengamati setiap sudut gua dengan pencahayaan yang terbatas dari cahaya obor. Ada Zaki dan Raganta yang turut menemani atas permintaan kiai Hambali.Perhatian Rumana jatuh pada sebuah dinding gua yang terlihat mencolok. Ada ukiran yang menggambarkan seperti gapura dan beberapa ukiran unik lainnya terpahat di sana. "Apa mungkin ini pintunya, ya?" Gumam Rumana. "Raga, Zaki, coba lihat ini."Kedua pemuda itu sontak mendekat. Mengarahkan cahaya obor mereka ke dinding gua yang dimak

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Chapter 55

    "Allohuma sholi, wa salim 'ala sayyidina, Muhammadin shohibil busyro, solatan tu basyiru Nabiha. Waakhlana waauladana, wa jami'a masyayikhina, wamualimina wathalabatana wa thalibatina. Min yaumina hadzha illaa, yaumil akhiroh." Entah sudah berapa kali Rumana melantunkan selawat Busro yang diyakini bisa membawa kabar bahagia bagi yang mengamalkannya itu. Kedua matanya terpejam, ia duduk di atas sajadah selepas salat Isya di kamar. Berharap segera mendapatkan kabar bahagia seperti yang terkandung dalam selawat tersebut. Kabar baik tentang kedua anaknya yang kembali dalam keadaan sehat selamat. Kabar baik tentang kondisi Kinanti, dan kabar baik tentang kemungkinan Gunadi masih hidup, meski dia telah menyaksikan sendiri prosesi pemakamannya kala itu. Kabar baik yang ia harap membawa kebahagiaan.Dia benar-benar berharap jika semua yang tengah terjadi dalam hidupnya saat ini hanyalah sebuah mimpi buruk, dan ia ingin sekali ada yang membangunkannya dari tidur panjang ini. Tok ... Tok ..

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    chapter 54

    "Aaakkk!" Jeritan Kinanti menyadarkan Sudikerta, bahwa yang dia tusuk bukan Gayatri, tapi putrinya sendiri. "Mbak Kinan!" jerit Rumana. Tubuh Kinanti perlahan roboh ke pelukannya. Dia menopang tubuh sang kakak yang sudah bersimbah darah di bagian perutnya. Sudikerta yang semula menggenggam erat pusakanya itu, reflek menjatuhkan keris ke lantai hingga menimbulkan suara dentingan cukup keras. Sudikerta bergetar hebat melihat darah segar yang muncrat dari perut sang putri dan menempel di tangannya. Dia segera meraih tub uh Kinanti dan membawanya dalam pekukan. "K-kenapa ... K-Kinanti ... Kinanti!" raung Sudikerta seakan sangat menyesali perbuatannya, tetapi semua hanya sia-sia.Diletakkannya tub uh bersimbah dar4h itu di atas dipan, dengan berusaha menutupi luka guna menyumbat dar4h yang terus mengucur dari perut bagian atas.Sementara itu, Gayatri tertawa puas melihat penderitaan Sudikerta. Dia beralih pada Rumana yang terus tergugu seakan menyalahkan sang ayah."Kau lihat kan, Rum

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    chapter 53

    Kecurigaan Rumana pada sang ayah semakin menjadi, dia merasa Sudikerta memang telah menyembunyikan sesuatu darinya, atau mungkin dari seluruh keluarganya."Apa yang Abah sembunyikan di kamar itu?" tanya Rumana. Sudikerta menatap sekilas Rumana, kemudian berdiri dan berjalan menuju kamar mendiang mertuanya. Di depan pintu di dalam kamar itu, Sudikerta duduk bersimpuh. Mulutnya komat-kamit seperti sedang merapal sebuah mantra atau doa. Rumana dan Kinanti hanya menyaksikan dengan seksama apa yang tengah dilakukan Sudikerta. Meski ia ingin sekali bertanya, tapi dia menahan diri setelah melihat betapa Sudikerta berkonsentrasi dan tak mungkin untuk di ganggu. Tiba-tiba saja, terdengar suara tawa membahana dari seorang wanita. Tetapi tak Rumana lihat wujudnya. Suaranya seperti mengudara di dalam ruangan itu. Bau bunga melati juga menelusup ke dalam indra penciuman mereka. Rumana memasang badan waspada, sedangkan Kinanti justru bersembunyi di balik tub uh Rumana. "Siapa di sana!" seru

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    chapter 52

    "Kamu sudah melakukan semua sesuai rencana kan, Galuh!" Seorang wanita berkebaya warna biru laut, dengan rambut disanggul berhiaskan bunga melati di rambutnya, tengah menatap nyi Galuh. Riasan di wajah menambah pancaran cantiknya wanita itu. "Sudah, Ibu Ratu." Galuh membungkuk di depan wanita itu."Bagus! Sudah waktunya Sudikerta menerima akibat dari perbuatannya. Sekaranglah waktumu membayar semuanya, dan kamu harus tau dan mengingat itu, Sudikerta!" Wanita yang dipanggil ibu ratu oleh galuh itu bermonolog lalu menyeringai. Ada gurat kepuasan dari kedua netranya.Sudah puluhan tahun lamanya dia menantikan hari itu datang. Hari dimana dia bisa membalaskan dendam kesumat pada lelaki yang telah meluluhlantakkan kehidupannya dulu. Dimana dia kehilangan satu persatu orang-orang yang dicintainya, yang dekat dengannya, dan yang dengan tulus menolongnya, tanpa tahu sebab dari semua petaka yang menimpanya. Hal itu tentu membuatnya amat terpukul, frustasi dan depresi. Hampir saja dia dipasu

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Chapter 51

    Rumana masih bungkam, enggan memberikan keterangan. Kendatai Kinanti terus memaksa untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi sampai dia pulang dalam kondisi mengenaskan seperti ini, tapi Rumana tetap tutup mulut. "Apa seseorang mengancamu?" tanya Kinanti terus memancing Rumana supaya mau bicara.Jawaban Rumana hanya berupa gelengan. Tapi, kenapa dia bungkam?Rumana masih syok dengan semua kenyataan pahit yang dia terima dari mulut Galuh. Entah kenyataan itu benar atau hanya untuk mengecohnya agar membenci sang ayah. Semua tragedi naas dalam hidupnya setelah pulang kampung ke Kebumen, dia pikir mungkin ada kaitannya denhan ayah mertua--Rasmadi. Tapi, nyatanya justru Sudikerta lah yang banyak andil di dalamnya tanpa dia duga sebelumnya.Dia kenal Abah orang yang rajin beribadah, taat menjalankan perintah Allah, tapi kenapa justru masa lalunya seburuk itu hingga berimbas pada keluarganya. Rumana masih tak terima dan mungkin akan menganggap ucapan buruk Galuh tentang Sudikerta hany

DMCA.com Protection Status