**Inara tahu, Gavin berkali-kali menoleh memandangnya dari balik kemudi. Terlihat dari sudut mata. Namun, Inara sama sekali tidak berani memandang balik. Ini menjengkelkan, benar. Sebab setelah memandang sekilas, Gavin tersenyum-senyum seperti orang lupa diri. Inara merasa sangat terintimidasi karenanya.“Pak Gavin, apakah ini terlihat sangat aneh di mata anda?” desahnya frustasi. Perempuan itu mencengkeram ujung dress berwarna merah marun yang ia kenakan.“Menurutmu, apakah aneh?”“T-tidak, Pak. Tadi waktu di cermin, kelihatan bagus, kok.”“Nah, ya sudah. Berarti nggak aneh.”“Tapi kenapa Pak Gavin menoleh-noleh terus sambil tersenyum begitu?”“Aku tidak tahu kalau aslinya kamu sangat cerewet, Inara. Terjawab sudah dari mana Aylin mendapatkan sifat itu.”Bungkam sudah. Inara seperti mati kutu mendapat pernyataan seperti itu dari Tuan CEO ini. Baginya, ini sangat memalukan. Lantas ia hanya cemberut dengan tangan terus mencengkeram ujung dress yang tepat berada di atas lututnya itu.“
**“Di mana kamu berada beberapa malam ini, Gavin?”Jessica bersendekap dengan kedua hasta menyilang di atas dada. Kerutan halus menghiasi dahinya yang sepagi ini sudah bening berkilauan bersaput make up.“Kenapa bertanya?” jawab Gavin singkat. Membuat yang lebih muda merotasikan bola mata, kesal.“Kalau telepon atau chat aku yang nggak kamu balas, oke lah. Tapi ini Mami, Vin. Please, respek sedikit sama orang tua.”“Jangan bawa-bawa orang tuaku hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.”“What your mean?”Gavin masih fokus kepada berkas-berkas yang bertebaran di atas meja kerjanya. Sama sekali mengabaikan gadis yang sudah effort bangun dan berdandan sepagi ini hanya untuk menemuinya.“Kamu bisa saja mendapatkan seluruh simpati Mami dengan pura-pura perhatian kepadanya. Tapi sorry to say, itu nggak akan berpengaruh apapun buat aku.” “Gosh!” Jessica berdecak frustasi. Rambut panjangnya yang pagi ini di-curly cantik bergoyang seiring gerakan kepalanya. “Bisa-bisanya kamu ngomong seper
**“Aylin, hari ini kita mau ngapain, Nak?” Inara bertanya kepada putri kecilnya sembari mengepang surai panjang gadis cilik tersebut.Hari masih cukup pagi, namun Inara seperti sudah menyelesaikan tugas-tugas rumahnya. Apalagi sekarang ada seorang maid yang dipekerjakan Gavin di rumah itu agar Inara tidak terlalu repot mengurus tetek bengek hal temeh temeh seputar perumahtanggan. Gavin hanya ingin perempuan itu fokus kepada putrinya saja.“Aylin mau menanam bunga, Mama,” tutur putri kecil tersebut dengan semangat. “Kemarin Aylin jalan-jalan sama Opa Joseph dan lihat bunga-bunga bagus, terus Aylin dibelikan biji supaya bisa ditanam sendiri. Begitu kata Opa.”Inara terkekeh pelan. Gembira melihat tumbuh kembang putrinya yang semakin ke sini semakin baik. Benar, sumber daya memang salah satu faktor kesuksesan membesarkan buah hati. Sepertinya, Inara sekarang mulai mensyukuri keadaan. Semua ini tidak akan terjadi jika dulu ia memaksa membawa kabur Aylin dan menolak pendekatan Gavin lagi.
**“Apa kalian sudah gila, ha?”Inara merasa tubuhnya diraih dan dijauhkan dari tangan-tangan kasar milik Riani dan Jessica. Saat ia membuka mata kembali, ternyata Gavin sedang berdiri menjulang di depannya. Melindungi tubuhnya yang kecil di balik punggung lebar milik pria itu. Inara bahkan tidak tahu kapan Gavin datang. Tiba-tiba saja ia berada di sana.“Gavin?” Riani tampak agak terkejut. “Kapan kamu datang?”“Kenapa kalian berdua di sini?” Lelaki itu justru balik bertanya. Rahangnya mengeras, dengan urat pelipis tampak berkedut. Nada bicaranya dingin dan tenang, namun jelas terdapat gejolak kemarahan yang dahsyat di sana.“Berani-beraninya melakukan hal menjijikkan seperti itu kepada putriku dan ibunya. Apa maksud kalian, ha?”“Dia yang mulai!” sambar Jessica berapi-api. “Dia jambak rambut aku, Vin!”“Tanya dirimu sendiri, mengapa dia sampai menjambak rambutmu.”Jessica kehilangan kata-kata. Tentu saja ia tidak lupa, Inara menarik rambutnya karena sebelumnya ia yang lebih dulu mena
**Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Jam kantor segera berakhir, namun Gavin belum sama sekali membereskan berkas-berkas yang bertebaran di atas meja kerjanya. Bukan karena sangat rajin, tapi pria itu sedang bimbang. Ia ingin segera bertemu dengan putri kecilnya di rumah, namun juga tidak ingin pulang sebab rasanya masih belum sanggup bertemu dengan Inara.“Lagian ide bodoh apaan yang membuatku membawanya ke salon kecantikan tempo hari?” gerutunya kesal. “Sekarang aku kalau di rumah jadi ingin lihat dia terus. Oh, shibal!”Jadi bagaimana? Haruskah Gavin pulang ke apartemen saja?“Ya, ya. Sebaiknya aku memang harus pulang ke apartemen saja sementara ini. Sampai aku benar-benar bisa menahan hasratku. Kalau nggak, aku beneran bisa jadi pelaku kriminal dua kali. Ah, sialan banget!”Berpikir-pikir sejenak, Gavin sedikit terperanjat kala ia teringat tawaran Aldo kemarin. Pria itu lantas mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja guna menghubungi sang teman.Panggilan telepon d
**Apa itu?Inara menatap nyalang Gavin yang belum sadar bahwa dirinya ada di sana. Ia tidak tahu bagaimana menyebut rasa yang saat ini berkecamuk dalam hatinya, namun yang jelas, ia tidak suka melihat Gavin seperti itu. Perempuan dengan baju kurang bahan yang berada di sana seperti tampak bangga dan justru sepenuh hati menyerahkan diri kepada sang CEO.Itu memuakkan, sungguh. Inara membayangkan dirinya berjalan mendekat dan menarik rambut si gadis jalang sampai tercerabut lepas dari kulit kepalanya serta melemparnya menjauh dari Gavin. Tapi hal itu jelas hanya terjadi dalam bayangannya saja.“Kenapa hanya berdiri di sana? Masuklah, kamu mencari Gavin, kan?”Inara terkesiap, baru sadar jika ada seseorang di balik pintu yang menunggu dirinya masuk. Perempuan itu ragu-ragu. Mengerling lelaki yang masih menampakkan senyum menyebalkan.“Ap-apa Pak Gavin sedang sibuk?” Inara menyesali pertanyaannya, sebab hal seperti itu seharusnya sudah tidak perlu lagi dipertanyakan. Terlihat jelas bahw
**“Pak Gavin, lepaskan saya!”Inara menyentakkan tubuhnya lepas dari kungkungan Gavin. Shock, perempuan itu menutupi bibirnya yang terasa perih dengan telapak tangan.“Bisa-bisanya Pak Gavin lakukan itu!”Namun, agaknya percuma saja perempuan itu marah-marah. Sebab Gavin sepertinya sama sekali tidak sadar. Ia mengeluh pelan, berguling di atas sofa kemudian diam dengan mata terpejam erat dan desir napas teratur. Tuan Direktur itu tertidur lelap. Sama sekali mengabaikan Inara yang berdiri tertegun dengan bibir bengkak dan sedikit berdarah.“Dia mabuk,” gerutu Inara pelan. Menatap sengit ke arah Gavin dengan perasaan penuh dendam. Ingin rasanya ia mengguyur pria itu dengan seember air, tapi sebaiknya tidak usah.“Aku pulang saja. Memang ini salahku, segala mengkhawatirkan lelaki semacam Gavin. Seharusnya aku sadar, diriku sendiri yang perlu dikhawatirkan bukannya dia.”Perempuan itu berbalik dan seketika langkahnya membeku. “Dari tadi pintunya kebuka lebar begini, kah?”Benar, pintu apa
**Gavin tidak jadi sarapan. Ia buru-buru menutup kembali ponselnya dan beralih memandang Inara yang saat itu tengah menatapnya penuh rasa khawatir. Dan meninjau dari seperti apa sikap perempuan ini, Gavin yakin sekali Inara tidak –belum– tahu tentang video yang baru saja ia tonton dan mungkin saat ini membuat gempar jagat maya. “Aku berangkat ke kantor sekarang,” tegasnya seraya beranjak dari kursi meja makan.“Pak, tapi anda belum makan apa-apa,” cegah Inara. Perempuan itu yakin sekali ada yang tidak beres dengan sang CEO ini.“Nggak perlu. Ingat kata-kataku tadi, Inara. Jangan kelayapan keluar rumah. Telepon aku kalau ada apa-apa.”Dan laki-laki itu berlalu, menjauh dari pandangan. Meninggalkan Inara sendirian yang menggerutu sebal.“Jangan kelayapan-jangan kelayapan, cara ngomongnya udah kayak aku ini perempuan yang hobinya berkeliaran malam-malam kayak kuntilanak begitu. Sebentar baik, sebentar ketus. Orang aneh!” “Mama, Om kenapa?” Pertanyaan Aylin membuat fokus Inara kembali.