“Mi, kenapa Papi gak bilang aku sih kalau mau ke luar kota?”Langit merajuk karena tidak dipamiti Ryu. Beberapa hari ini Ryu selalu menemaninya sarapan sebelum berangkat ke sekolah tetapi saat ini tidak melihat keberadaannya dan tahu-tahu Aluna mengatakan kalau Ryu sedang berada di luar kota.“Kemarin keburu-buru, Sayang. Jadi gak sempet. Mami udah pernah bilang kan kalau seorang Dokter itu, kapan saja dibutuhkan harus selalu siap. Nah, Papi kan sekarang sedang dibutuhkan jadi mau gak mau harus pergi.” Aluna mencoba memberi penjelasan pada Langit, mengingat kemarin Ryu pergi tanpa berpamitan pada sang anak.“Iya, aku tahu, Mi,” tandas Langit. Tapi sebenarnya bukan seperti itu jawaban yang diinginkannya. Kenapa Ryu tidak memberitahu via telepon saja kalau tidak bisa bertemu langsung. “Kan telepon bisa, Mi. Aku telepon sekarang saja ya?”Aluna menghentikan pergerakannya dari menyiapkan sarapan untuk Langit. Ia akan memberikan Ryu waktu untuk menyelesaikan urusannya dengan istrinya dan t
Wajah lelah dan kusut milik Ryu tampak jelas ketika laki-laki itu keluar dari ruangan poli Jantung. Di hari pertama masuk setelah mengambil cuti, ia sudah dibanjiri oleh beberapa pasien. Selain wajahnya yang tampan, Ryu juga di kenal sebagai Dokter yang ramah. Maka tak jarang ketika jadwal prakteknya telah dibuka banyak pasien yang sudah menunggu.Setelah melewati beberapa koridor-koridor di ruangan poli Jantung, Ryu membelokkan langkahnya menuju ruangan pribadinya. Ketika membuka pintu, seketika matanya terbelalak mendapati Bara yang sedang duduk dengan santai di sofa, disandarkan pungungnya di sandaran sofa lalu matanya terpejam.“Ngapain, Bar!” tanya Ryu berjalan menuju kursinya dan mendudukan bokongnya. “Gak sopan, main masuk ruangan orang!” gerutunya kemudian, tanpa menatap Bara. Tangannya terulur untuk mengambil ponsel yang ia tinggalkan tadi saat jam prakteknya. Namun, suara Bara mengalihkan atensinya.“Gimana rasanya punya dua istri, hah? Mana yang lebih hot kalau di ranjang,
Ryu dan Aluna tercekat mendengarkan suara seseorang yang tiba-tiba datang dan duduk di meja mereka. Wanita itu duduk dengan menyilangkan kedua kakinya. Sikapnya yang tenang namun terkesan arogan membuat perasaan Aluna khawatir kalau Renata akan membuat keributan lagi.“Ren, kamu ngikutin aku?” Pertanyaan yang langsung terbesit di kepala Ryu ketika melihat keberadaan Renata di tempat ini.Renata tidak menampik kalau sedang membuntuti, tetapi bukan Ryu melainkan Aluna. Ia hanya ingin tahu apa yang akan dilakukan wanita yang menjadi madunya itu setelah dirinya mempermalukannya. Renata pikir Aluna akan mengaduh pada Ryu.Ternyata, Renata benar mereka sedang melakukan pertemuan. Mulai hari ini ia akan membuat Aluna tidak nyaman dimanapun ia berada.“Bukan.” Suara Renata terdengar santai namun, maniknya selalu menatap lekat Aluna yang sekarang menundukkan kepalanya. Sementara Ryu sudah berdiri lalu meraih tangan Aluna, menariknya agar mengikutinya.“Berhenti aku bilang, Mas!” ujar Renata c
Dengan langkah kaki yang berat Aluna menuju ruangan Dosen. Manik sendu Aluna bertatapan dengan netra Dosen yang sudah datang. Meski mereka masih menyapa tetapi ada sedikit perubahan dari sikap Dosen tersebut. Seringai tipis yang memang tidak ditunjukkan padanya. Tapi Aluna bukan wanita yang tidak peka hingga mereka berbisik-bisik di belakangnya.“Pagi, Ibu Aluna,” sapa Ibu Reni datar. Biasanya wanita yang tiga tahun di atas Aluna itu selalu menyapanya dengan riang karena memang orangnya yang ramah.Aluna membalas dengan anggukan saja.“Pagi, Bu!” sapa dosen lain yang baru saja datang juga.“Maaf, Ibu Aluna.” Aluna menoleh ke sumber suara k etika namanya dipanggil. “Mohon bisa ke ruangan Rektor sekarang.”Jantung Aluna sudah tidak bisa berdetak dengan beraturan. Apakah ini ada kaitannya dengan keributan yang disebabkan oleh Renata kemarin. Dengan menampilkan sikap tenang, Aluna mengangguk pada staff tata usaha yang bernama Erlin. Lalu berdiri dari duduk nyamannya melangkah menuju gedun
Sudah dua kali Renata bertemu dengan Aluna, semenjak tujuh tahun berlalu. Lebih tepatnya satu kali tanpa disengaja saat ia mengantarkan Mauren ke sekolahan dan satu kali lagi saat Renata menghampiri Aluna di kampus. Setelahnya ia akan berada di belakang layar karena orang lain yang akan bekerja untuknya.Seperti saat ini, sudut bibirnya tertarik ke samping membentuk seulas senyuman kemenangan. Bukan hal yang sulit untuk membuat Aluna menderita. Ia akan melakukan segala cara untuk membuat Ryu hanya kembali melihatnya.“Aku sudah perigatkan kamu tapi kamu malah mendekat hingga Ryu terjebak oleh anakmu,” gumannya. Setelah ia melihat sendiri kekacauan yang ia buat Renata segera melajukan mobilnya agar tidak ada yang melihatnya.Flash on“Gimana senang ya, mau ke sekolah baru,” tanya Ryu ketika di mobil. Perjalanan kali ini adalah menuju ke sekolahan Mauren yang baru. Putrinya itu sangat antusias sekali ingin segera tiba di sekolahan yang akan menemaninya mulai saat ini.“Iya, dong, Pi,” s
Suara teriakan itu datangnya dari dalam rumah. Aluna terbelalak mendapati itu suara adalah suara Mbok Tum. Entah, keberanian dari mana wanita ART itu kini memasang badannya yang kecil itu di depan Aluna. Seolah untuk melindungi sang majikan dari orang-orang jahat yang sudah mencelakai Aluna. Tatapan nyalang Mbok Tum menghujami Ibu-ibu yang sama melongonya dengan Pak RT.“Kalian itu ngakunya orang kaya dan perpendidikan tinggi,” pekik Mbok Tum sambil mengangkat jari telunjuknya mengarahkan kepada satu persatu Ibu-ibu di depannya dengan geram. “Tapi kelakuan anda-anda ini seperti preman pasar.”“Diam kamu pembantu!” teriak wanita yang dikenal bar-bar dari semua Ibu-ibu yang sudah berkumpul. Tidak terima dengan ucapan Mbok Tum, wanita itu langsung bereaksi.“Sudah, Mbok,” lirih Aluna menyentuh bahu Mbok Tum agar menghindar saja. “Jangan ikut campur nanti Mbok yang kena sasaran.”Melihat sang majikan yang terluka tanpa banyak tanya, Mbok Tum hendak mengiring Aluna untuk masuk. Terserah k
“Darimana saja kamu baru pulang?” tanya Ryu dingin ketika melihat kedatangan Renata. Belum juga menjawab, Ryu memekik setelah menyadari ada yang tidak biasa dari sang istri. “Kamu mabuk, Ren!”Sementara itu, Renata masih berdiri membeku. Kedua tangannya masih memegang bagian atas pintu rumah yang terbuka. Ia memang dalam pengaruh minuman keras tetapi tidak sepenuhnya mabuk. Masih bisa menatap tatapan tajam dari mata sang suami.Belum sempat Renata menjawab pertanyaan bernada dingin itu, sang suami yang sedang bertolak pinggang tanpa mengalihkan pandangan itu mengajukan pertanyaan untuk yang kedua kalinya.“Pulang dalam keadaan mabuk, apa itu sekarang kerjaan kamu, hah!” bentak Ryu saat Renata hanya diam saja.“Mami …!” teriak Mauren sembari berjalan cepat untuk menghampiri Renata. Putrinya itu memang menunggu di kamar namun, bentakan Ryu terdengar olehnya. Ingin melihat apa yang terjadi, Mauren menggerakkan kakinya keluar kamar.Tetapi sebelum Mauren sampai di depan Renata, Ryu menghe
Ya, Aluna akan menepi ke kampung halaman Mbok Tum. Dia sudah tidak bekerja, otomatis tidak ada beban pekerjaan yang harus ia selesaikan. Sedangkan sekolah Langit, nanti akan ia pikirkan untuk mencari solusinya.Tidak ada acara pamitan kepada tetangga sebelah rumah karena memang orang-orang itu yang menginginkan dirinya untuk pergi.“Mi, memangnya kita mau kemana sih?” tanya Langit.Lelaki kecil Aluna itu masih binggung dengan kalimat Aluna yang mengatakan bahwa mereka semua akan pindah ke tempat yang lebih tenang dan damai daripada di rumah yang ditinggali sekarang. Kendatipun Aluna hanya ingin memberikan Langit gambaran kebahagiaan di tempat lain.“Oke, aku suka, Mi!” Langit berseru, mungkin saat ini ia sudah membayangkan kebahagiaan di sana.Sesaat kemudian, ia mengingat Ryu. “Terus, Papi bagaimana, Mi?”Aluna melirik Mbok Tum. Tetapi percuma saja karena Mbok Tum juga tidak akan berani menjawabnya.“Nanti kalau kerjaan Papi sudah selesai, pasti akan nyusul.” Aluna berbohong demi aga
“Ah, apa dia tidak memiliki makanan apapun di sini?” gumam Renata saat membuka kulkas dan tidak menemukan apapun di sana kecuali dua botol air mineral berukuran sedang di pintu kulkas.“Mami …!” teriak Mauren.Suara Mauren itu mengagetkan Renata. Wanita itu buru-buru berlari menuju kamar dan mendapati Mauren yang sudah membuka matanya dengan tatapan sayu.“Sudah bangun?” tanyanya kemudian melangkah mendekat ke arah tempat tidur.“Mi, pusing,” ucap Mauren tiba-tiba.Refleks, Renata langsung menyentuh kening Mauren dengan telapak tangannya kemudian membaliknya dengan punggung tangannya. “Koq demam? Bentar Mami ambilkan kompres dulu.”Renata keluar dari kamar, menuju dapur lagi untuk mencari baskom dan kain. Sementara di dapur, wanita itu mengamati sekeliling, semua yang diperlukan tidak ada di sana.“Ah, apa yang aku harapkan di sini. Dia paling hanya numpang tidur di sini,” keluhnya lalu kembali masuk ke dalam kamar untuk menghubungi Alan.Tidak lama kemudian, Alan mengangkat teleponn
“Mau turun, gak?”“No!” jawab Renata, ia memilih bertahan di dalam mobil saja daripada harus bersama dengan Alan.“Oke,” jawab Alan lalu menutup pintu mobil. Lelaki itu berjalan ke arah belakang dan membuka pintunya.“Alan, mau dibawa ke mana Mauren?” seru Renata. Seketika kepanikan melandanya . “Biarin Mauren tidur di mobil saja!”Alan kemudian menatap Renata sekilas, kalau wanita ini ingin bertahan di dalam mobil ia tidak peduli. Tetapi ia akan membawa Mauren masuk ke dalam apartemennya.“Apa kamu gak kasihan sama Mauren tidurnya gak nyaman seperti itu.”“Aku tetap disini, Mauren juga harus tetap di sini,” sahut Renata cepat, membantah ucapan Alan.Namun, tanpa mendengarkan keinginan Renata, Alan langsung saja mengendong Mauren dan membawanya masuk.“Hey,” seru Renata. Alan menyematkan senyuman tipis kala melirik Renata yang turun dari mobil kemudian mengikuti langkahnya masuk ke dalam gedung apartemen.“Alan, aku bilang-”“Jangan berisik, Mbak!”Tanpa Renata sadari langkahnya terus
“Kamu mau buat aku malu, Alan Sanjaya?”Begitu keluar dari gedung, Renata menarik tangan lelaki itu untuk mengikutinya. Melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan orang-orang. Setelah sampai di ujung koridor yang sepi, wanita itu menghentikan langkahnya sembari berkaca pinggang. Kekesalannya sudah memuncak seiring sikap Alan yang santai seolah tidak pernah melakukan kesalahan.“Mbak …!”“Aku bukan Mbakmu!” jerit Renata frustasi, merasa muak dengan panggilan itu karena Alan memanggilnya dengan suara rendah dan lembut.Sedangkan lelaki itu mengulum senyum. Selama ini, Renata tidak pernah protes dengan cara panggilnya, tetapi tiba-tiba dia mengklaim bukan Mbaknya.“Oke, kalau begitu aku panggil Sayang saja,” ucapnya disertai kekehan, meski mata Renata sudah menyorotnya tajam, Alan tidak peduli.“Jawab aku, Alan!” bentak Renata sudah hilang kesabarannya. “Kamu mau buat aku dan Mauren malu, hah! Belum cukup ka-”Renata tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika kelima jari Alan singgah di bi
Hari ini, Alan sengaja datang ke sekolahan Mauren. Semalam, Bara mengirimkan pesan bahwa di sekolahan Mauren sedang ada acara, tidak membuang kesempatan Alan akan hadir di acara tersebut.Lelaki itu berangkat tanpa memberitahu pada sang putri. Ia tidak peduli, kalau ternyata nanti di sana akan mendapatkan penolakan. Ia bisa memastikan nanti akan bertemu dengan Renata di dalam. Sekali lagi, Alan katakan tidak peduli.Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya dia menepikan mobilnya di parkiran khusus untuk pengunjung.Sikap Alan yang ramah membuat tidak ada kecanggungan bila harus menyapa orang-orang yang sebelumnya tidak kenal. Dengan langkah tegas, tidak ada keraguan sedikitpun lelaki itu berjalan menjangkau menuju gedung Aula, tempat diadakannya acara tersebut.Ketika Alan sudah mencapai gedung tersebut, langkahnya terhenti sebab ada seorang resepsionis yang berjaga sembari menyodorkan buku tamu bagi yang akan masuk.“Selamat siang, maaf dengan wali murid siapa ya
Renata dan Alan duduk bersisihan di teras rumah. Hari ini memang Alan sengaja datang di malam hari untuk bisa bertemu dan berbicara dari hari ke hati dengan Renata. Semenjak kepulangan wanita itu dari rumah sakit dan Alan yang pindah ke apartemen, membuat keduanya jarang bertemu. Sekalinya Alan ingin mengantar Mauren ke sekolah, hal itu sudah lebih dulu dilakukan oleh Renata.Selama hampir sepuluh belas menit, tidak ada yang bersuara di antara keduanya. Hanya suara angin yang bertiup seolah memecahkan keheningan . Dan selama itu pula, tatapan Alan hanya tertuju pada wajah cantik Renata. Dari situ Alan dapat mengamati dengan jelas wajah Renata yang tidak banyak berubah setelah bertahun-tahun tidak bertemu.Sungguh bodoh, dirinya dulu meninggalkan wanita ini. Harusnya saat itu dia tidak meninggalkan Renata dan membangun keluarga kecilnya, mempertahankan wanita yang dia cintai meski jalan itu tidak akan mudah karena pertentangan dari kedua keluarga. Namun, sekarang hanya penyesalan yang
“Sayang, ayo kita foto dulu.” Bian mengandeng tangan Aluna mengajaknya ke arah dekor yang sengaja disiapkan untuk acara ijab kabulnya tadi. “Langit dan Tegar mana ya?” Netra Bian menatap kesana kemari, mencari keberadaan kedua putranya itu.“Mereka kayaknya di depan, Mas,” sahut Aluna.“Zi, tolong panggilkan Langit sama Tegar di luar,” pinta Bian yang tiba-tiba melihat keberadaan wanita itu. “Bilangin mau diajak foto keluarga.”Ziya tidak menjawab, namun langkahnya menuju luar rumah untuk memanggil kedua anak Bian itu.“Sayang, Langit, Tegar,” panggilnya sambil melambaikan tangan. “Ayah ngajakin foto dulu.”Langit dan Tegar bergegas masuk ke dalam rumah dan meninggalkan permainannya dengan anak tetangga sebelah rumah.Cekrek, cekrek, cekrek, cekrek, cekrek.Entah sudah berapa banyak dan berapa pose yang dilakukan kelima orang itu di depan kamera, Aluna sudah merasakan capek sekali.“Tenang, nanti aku pijitin kamu,” ucap Bian dengan kerlingan jahil untuk menggoda sang istri. “Ish …!” d
“Langit biar duduk di belakang, sepertinya dia ngantuk itu,” ucap Bian pada Aluna, ketika membuka pintu belakang mobil dan melirik pada pemuda kecil yang tengah menguap.Tanpa banyak protes, Langit masuk dan duduk, lebih tepatnya membaringkan tubuhnya miring menghadap ke punggung bangku kemudian menutup mata.Aluna menatap Bian tanpa berkata-kata, lelaki itu selalu tahu apapun yang terjadi pada anak-anaknya. “Padahal tadi kayaknya tidak ada tanda-tanda ngantuk deh!”Bian membukakan pintu di samping kemudi, menyuruh Aluna untuk masuk. Lantas berputar mengitari mobil dan langsung duduk di bangku kemudi. Memasang sabuk pengaman dan mulai menjalankan kereta besinya. “Sejak dipemakaman tadi matanya sudah merah, Sayang.”Entah, Aluna tiba-tiba tersipu mendengar Bian memanggilnya Sayang, mungkin juga saat ini wajahnya tengah memerah karena malu. Hingga memalingkan wajahnya ke jendela, yang ada di sampingnya.“Kamu kalau malu-malu seperti itu kayak ABG saja!”Celetukkan Bian sanggup membuat A
“Hati-hati!” seru Bian, mengeratkan tangannya yang mengenggam pergelangan tangan Langit.Kemudian, lelaki itu kembali menuntun Langit. Berjalan menyusuri jalan setapak di sela-sela antara satu makam dengan makam yang lain.Kenapa tidak dengan melangkahi makam saja kan lebih cepat. Konon katanya, menurut ceramah agama yang ia dengar, jika berziarah tidak boleh berjalan di atas makam. Sebab, menghormati jenazah di dalam kubur sama pentingnya dengan menghormati manusia yang masih hidup karena kuburan memiliki kedudukan dan sangat dimuliakan.Beberapa kuburan, gundukan tanahnya masih basah dengan taburan bunga-bunga yang masih segar. Setelah menempuh berjalan kaki yang lumayan jauh dari pintu masuk, netra Aluna berhenti pada salah satu makam tujuannya. Namun, jantungnya berdegup kencang tatkala melihat karangan bunga segar yang seseorang tinggalkan.Apakah ini bunga dari Renata? Tapi siapa lagi keluarga Ryu, selain wanita itu. Jadi Renata sudah sembuh, bukankah ia sedang di rawat di rumah
Aluna merasakan kaku di kakinya yang menekuk, maka ia hendak menselonjorkan kedua kakinya itu. Namun, kenapa malah menabrak sesuatu yang keras. “Argh, apa ini?” rintihnya.Mata wanita itu menyipit menyesuaikan dengan cahaya lampu yang masuk dari celah korden. Menyadari ini bukan tempat tidurnya, Aluna seketika menegakkan tubuhnya. Bersandar pada punggung sofa lalu matanya menyusuri sekitar. “Ah, kenapa aku tidur di sofa,” gumamnya tampak kebingungan. Lalu matanya melirik paper bag yang semalam di bawa Bian belum berpindah tempat. “Jam 2,” ujarnya lirih setelah melirik jam dinding.“Awan!” ujarnya teringat akan apa yang terjadi semalam. Wanita itu berlari menuju kamar. Terperangah melihat pemandangan di depannya hingga membuat kedua kakinya membeku. Bian tertidur dengan memeluk Awan dari samping. Bayinya itu tampak sangat tenang dan nyaman, tidak seperti saat semalam bersamanya. Interaksi keduanya selayaknya Bapak dan Anak.Setelah beberapa saat, dengan gerakan kaki pelan, Aluna mendek