“Apa keputusanmu tidak bisa diubah, Mbak?” tanya Alan dengan wajah yang lesu, lalu menghembuskan napas pelan.Segala upaya sudah dilakukan tetapi masih tidak bisa membuat Renata tersentuh dengan sikap dan tindakan yang dilakukan Alan.Renata mengelengkan kepalanya. “Tidak, kamu masih muda dan bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku.”“Kamulah yang terbaik buat aku, Mbak,” sahut Alan tegas, tidak ada keraguan sama sekali di hatinya.Renata hanya tertawa, kemudian beranjak berdiri. Pembicaraan ini pasti tidak akan menemukan titik temu karena keduanya saling keras kepala.“Mbak, aku belum selesai bicara.” Alan bergegas menghampiri Renata. “Tidak masalah kalau kamu tidak bisa mencintaiku, Mbak. Pelan-pelan aku akan buat kamu jatuh cinta sama aku,” ucap Alan, menarik siku lengan Renata dengan pelan. Laki-laki itu masih bersikeras untuk membujuk Renata.Sekali lagi Renata mengeleng tegas. Tidak ada cinta di hatinya untuk Alan, jadi buat apa menerima pinangan dari lelaki itu. Yan
“Ayah …!”“Mami …!”“Yayah …!”“Mimi …!”Suara-suara berisik itu membuat Aluna mengeliat. “Mas, ayo bangun! Anak-anak sudah pulang itu,” tutur Aluna seraya memukul lengan Bian yang menempel erat di tubuhnya polosnya.“Biarin aja, nanti mereka juga diem sendiri,” ucap Bian tidak peduli.“Mas …!” hardik Aluna sebab Bian mengabaikannya. “Bangun …!”Bian berdecak pelan sebelum melepaskan tangannya dari tubuh Aluna. Bangkit dan mendudukan tubuhnya, lalu menyalakan lampu kamar. Laki-laki itu kemudian memunguti kaos dan celana pendeknya yang tergeletak di lantai. Memakainya dengan cepat dan hendak membuka pintu yang masih terkunci dari dalam. Sementara Aluna berlari ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.Saat pintu dibuka, ketiga anaknya sedang berdiri dengan wajah berseri.“Sudah pulang?” tanya Bian memandang bergantian ke arah Tegar, Langit dan Awan.“Tante belikan banyak makanan, Ayah,” sahut Langit sembari memperlihatkan satu kantung plastik berisi camilan dan susu.“Mama juga belik
“Kenapa gak mau pergi ke sekolah?”Suara datar nan tegas milik seorang wanita yang sedang menatapnya tanpa berkedip tidak membuat sedikitpun Langit takut, bahkan terlihat santai. “Aku malas bertemu teman-teman di sekolah, Mi!” Langit menjawabnya tanpa beban sedikitpun. Bibirnya mencembik dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Bocah tampan itu belum selesai meluapkan isi hatinya pada Aluna. “Kemarin, Bu Guru suruh gambar anggota keluarga, tapi gambar aku beda sendiri dari teman-temanku karena cuman ada gambar aku sama Mami saja.”“Terus, masalahnya dimana?” Merasa itu hal yang wajar bagi Aluna. “Di dunia ini, gak hanya kamu koq yang punya gambar seperti itu, jadi gak usah dibikin alasan deh!” Aluna tidak mau menerima begitu saja ucapan Langit meski dalam hatinya merutuki dirinya sendiri yang tidak peka dengan maksud Langit.Langit mendengkus, wajahnya langsung tertunduk lemah dengan suara bergetar ia berucap. “Mereka bilang aku anak haram dan gak punya Papi.” Jleb.Hati Aluna se
“Lepaskan, suamimu! Aku tahu kalian tidak saling mencintai jadi daripada ke depannya akan begitu sulit buat kalian, lebih baik bercerai.”Ingatan Aluna tertarik ke belakang, mengingat wajah seseorang yang membuatnya menjalani hidup seperti saat ini. Wanita itu beberapa kali menghembuskan napas untuk menghalau sesak yang mendadak di dadanya. Bodohnya, mendapatkan ucapan seperti itu bukannya membentengi dirinya agar tidak terjerat pada pesona sang mantan, hingga laki-laki itu mengambil haknya tanpa penolakan dari Aluna. Semua itu berjalan layaknya air, mengalir begitu saja dan pada akhirnya Aluna lah yang tergelincir oleh air tersebut dan dengan terpaksa menyembunyikan kehamilannya.“Maafkan Mami, Langit. Sepertinya kamu harus melupakan Papi kamu itu,” gumam Aluna. Ia bukan wanita jahat yang egois hingga tega menghancurkan kebahagiaan orang lain, jadi lebih baik dirinya yang mengalah.Setelah hampir sepuluh menit berada di dalam mobil hanya untuk mengingat kejadian di masa lalu, akhirny
“Sayang, ada yang terluka lagi? Apa kita ke rumah sakit saja?”“Maaf, Pak Ryu,” sela Ibu Marta, selaku Kepala Sekolah. “Tadi sudah kami bawa ke ruang kesehatan dan sudah ditangani oleh Dokter yang jaaga. Jadi jangan khawatir karena kami juga sudah melakukan yang terbaik untuk putri Bapak.”Atensi Ryu beralih pada sang kepala sekolah. Ingin marah tapi mendengar penjelasan itu membuat sedikit lega, tetapi ia ingin memastikan sendiri nanti. “Ya, terima kasih, Bu,” ucap Ryu kemudian sedikit berdecak. “Gimana ceritanya sampai anak saya terluka seperti ini? Sekarang hanya terluka tidak menutup kemungkinan lain kali anak saya nyawanya yang melayang, Bu.” Aluna terbelalak dengan bola mata yang membesar, tidak terbesit dipikirannya kalau anaknya menjadi seorang yang jahat hingga sampai membunuh.“Saya gak mau tahu, pokoknya sekolahan harus bertindak tegas dengan anak-anak yang melakukan kekerasan seperti ini atau kalau perlu drop out biar jera dia, ini masalah nyawa saya gak mau main-main!”
“Aluna, tunggu!”Ryu berteriak ketika di jarak 5 meter melihat mantan istrinya sedang berjalan sembari mengandeng putranya yang bernama Langit menuju parkiran mobil.Aluna mengabaikan teriakan Ryu. Ia tidak memiliki kewajiban menuruti keinginan pria itu, mereka tidak memiliki hubungan apa-apa dan ia bebas mau melakukan apa saja.“Berhenti aku bilang, Aluna!” pekik Ryu lebih keras lagi hingga Langit ketakutan. “Mi, aku takut sama Papinya Mauren.”Aluna memejamkan matanya meredam emosi yang sudah di ujung kepalanya sampai membuat anaknya ketakutan, laki-laki ini masih saja suka memaksa.Ia lantas berjongkok untuk bicara dengan Langit. “Langit masuk mobil dulu ya, Mami bicara dengan Papinya Mauren dulu!” ucap Aluna tangannya memegang bahu putranya dan dijawab anggukan kepala oleh sang putra.Ryu yang sedang mengendong Mauren sudah berdiri di hadapan Aluna dan di belakangnya ada baby sitternya. “Bisa bicara sebentar,” tanya Ryu lalu melirik kepergian Langit, masuk ke dalam mobil.“Pi, ayo
Sekujur tubuh Aluna membeku bahkan kakinya tidak bisa digerakkan melihat hal yang mengerikan di depan matanya. Darah segar melumuri tubuh bocah kecil yang sedang tergeletak dengan mata terpejam. Hingga segerombolan orang-orang dengan kepanikan datang mendekat, Aluna pun sadar lalu berlari kencang untuk menembus kerumunan orang-orang tersebut.“Langit!” Aluna menjerit lalu menjatuhkan kedua lututnya di aspal jalanan, menekuknya lantas mendekap tubuh kecil sang putra dengan tangisan pilu. “Bangun, Sayang ... maafkan Mami.”“Cepat panggil ambulans!”Yang Aluna dengar hanya seruan itu, selebihnya indera pendengarannya tidak mampu lagi menampung kata-kata lain. Tubuhnya bergetar hebat dengan isakan yang masih membasahi wajah cantiknya. Di kecupnya wajah Langit berkali-kali dengan selalu mengucapkan rasa bersalahnya. “Maafkan Mami, Nak!”***Entah, apa saja yang ia lakukan ketika mobil putih bersirine itu sudah tiba di pelataran rumah sakit. Pintu belakang dibuka oleh seorang petugas medis,
“Tolong menjauhlah dari kami, Dok!”Aluna pikir, dengan kehadiran Ryu membuat kondisi sang putra menjadi memburuk. Jadi lebih baik pertemuan ini di sudahi saja.Mendengar permintaan Aluna, Ryu refleks menatap wanita yang dari tadi hanya terfokus pada Langit saja dan mengabaikan dirinya yang juga sedang sangat khawatir dengan kondisi Langit.“No,” ucap Ryu tegas menolaknya, dia bukanlah orang yang akan lari dari tanggung jawab kendati mereka sudah tidak terikat dalam pernikahan. “Harusnya kamu sadar dengan penolakan Langit seperti ini, salah satunya juga karena kesalahanmu yang tidak pernah mempertemukan kami, dia tidak mengenal sosok Ayahnya.” Ryu tertawa hambar seolah mengejek dirinya sendiri yang menjadi orang bodoh, anak kandungnya tidak ia kenali padahal anak yang lain sangat ia sayangi. “Langit berhak tahu siapa Ayah kandungnya.”Ini yang ditakutkan Aluna ketika bertemu dengan mantan suaminya. Laki-laki itu akan meminta haknya sebagai Ayah Langit. “Tapi Langit sudah menolak kamu,
“Ayah …!”“Mami …!”“Yayah …!”“Mimi …!”Suara-suara berisik itu membuat Aluna mengeliat. “Mas, ayo bangun! Anak-anak sudah pulang itu,” tutur Aluna seraya memukul lengan Bian yang menempel erat di tubuhnya polosnya.“Biarin aja, nanti mereka juga diem sendiri,” ucap Bian tidak peduli.“Mas …!” hardik Aluna sebab Bian mengabaikannya. “Bangun …!”Bian berdecak pelan sebelum melepaskan tangannya dari tubuh Aluna. Bangkit dan mendudukan tubuhnya, lalu menyalakan lampu kamar. Laki-laki itu kemudian memunguti kaos dan celana pendeknya yang tergeletak di lantai. Memakainya dengan cepat dan hendak membuka pintu yang masih terkunci dari dalam. Sementara Aluna berlari ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.Saat pintu dibuka, ketiga anaknya sedang berdiri dengan wajah berseri.“Sudah pulang?” tanya Bian memandang bergantian ke arah Tegar, Langit dan Awan.“Tante belikan banyak makanan, Ayah,” sahut Langit sembari memperlihatkan satu kantung plastik berisi camilan dan susu.“Mama juga belik
“Apa keputusanmu tidak bisa diubah, Mbak?” tanya Alan dengan wajah yang lesu, lalu menghembuskan napas pelan.Segala upaya sudah dilakukan tetapi masih tidak bisa membuat Renata tersentuh dengan sikap dan tindakan yang dilakukan Alan.Renata mengelengkan kepalanya. “Tidak, kamu masih muda dan bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku.”“Kamulah yang terbaik buat aku, Mbak,” sahut Alan tegas, tidak ada keraguan sama sekali di hatinya.Renata hanya tertawa, kemudian beranjak berdiri. Pembicaraan ini pasti tidak akan menemukan titik temu karena keduanya saling keras kepala.“Mbak, aku belum selesai bicara.” Alan bergegas menghampiri Renata. “Tidak masalah kalau kamu tidak bisa mencintaiku, Mbak. Pelan-pelan aku akan buat kamu jatuh cinta sama aku,” ucap Alan, menarik siku lengan Renata dengan pelan. Laki-laki itu masih bersikeras untuk membujuk Renata.Sekali lagi Renata mengeleng tegas. Tidak ada cinta di hatinya untuk Alan, jadi buat apa menerima pinangan dari lelaki itu. Yan
“Mohon maaf Ibu, bisa masuk ke ruangan dokter,” ucap seorang perawat yang datang menghampiri Renata.“Hah, ada apa?” Renata tertegun. Namun, tiga detik kemudian wanita itu beranjak berdiri, sebab dihantui rasa penasaran yang tinggi. “Sebentar aku masuk dulu!” ucapnya pada Aluna sebelum pergi.Pintu berwarna putih itu, Renata buka dengan segera. Seketika mulutnya ternganga melihat pemandangan di depannya. “Kenapa bisa seperti ini?” ucapnya setelah mendekat. Lalu dengan cepat mengambil tisu untuk menolong Alan.“Tadi tiba-tiba Mauren mau muntah, rencananya mau aku ajak ke kamar mandi ternyata dia gak bisa nahan dan berakhirlah seperti ini,” jelas Alan sambil membersihkan bekas muntahan di brankar dengan tisu. Sementara Renata dengan spontan membersihkan baju Mauren.“Dokter Renata!”Renata mendongak dan menatap seseorang setelah namanya di panggil.“Dokter Wahyu!” gumamnya lirih. Dan saat itu juga kenangan Ryu memenuhi pikirannya. Tanpa sadar sudut matanya berembun dan ia melangkah mund
“Sus, tolong anak saya!” ucap Alan ketika tiba di klinik.Laki-laki itu berjalan mendekati meja resepsionis sambil mengendong Mauren. Ya, Mauren terlepas dari gendongan hanya saat berada di dalam mobil saja. Renata juga binggung dengan sikap tiba-tiba putrinya itu. Aneh, itulah yang terlintas di pikirannya.Seorang gadis yang duduk di balik meja resepsionis itu mendongak dan bertemu tatap dengan Alan yang wajahnya terlihat cemas.“Iya, bisa daftar dulu ya,” ucapnya sopan.Alan lalu melirik Renata yang hanya mengekor di belakangnya. “Mi, tolong isi ini,” ucap Alan dan menunjuk dagunya pada satu lembar kertas yang ada di meja, di depannya.Renata pun mendekat dan mengisi form di depannya dalam diam. Sebab, tadi di mobil sudah berdebat dengan Alan. Tidak perlu datang ke klinik karena ia akan mengompres Mauren dan akan memberikan obat penurun panas.“Mohon tunggu sebentar, kurang tiga panggilan lagi, setelah itu putri Bapak ya,” ucapnya sambil tersenyum ramah.Renata sudah seringkali berh
“Ah, apa dia tidak memiliki makanan apapun di sini?” gumam Renata saat membuka kulkas dan tidak menemukan apapun di sana kecuali dua botol air mineral berukuran sedang di pintu kulkas.“Mami …!” teriak Mauren.Suara Mauren itu mengagetkan Renata. Wanita itu buru-buru berlari menuju kamar dan mendapati Mauren yang sudah membuka matanya dengan tatapan sayu.“Sudah bangun?” tanyanya kemudian melangkah mendekat ke arah tempat tidur.“Mi, pusing,” ucap Mauren tiba-tiba.Refleks, Renata langsung menyentuh kening Mauren dengan telapak tangannya kemudian membaliknya dengan punggung tangannya. “Koq demam? Bentar Mami ambilkan kompres dulu.”Renata keluar dari kamar, menuju dapur lagi untuk mencari baskom dan kain. Sementara di dapur, wanita itu mengamati sekeliling, semua yang diperlukan tidak ada di sana.“Ah, apa yang aku harapkan di sini. Dia paling hanya numpang tidur di sini,” keluhnya lalu kembali masuk ke dalam kamar untuk menghubungi Alan.Tidak lama kemudian, Alan mengangkat teleponn
“Mau turun, gak?”“No!” jawab Renata, ia memilih bertahan di dalam mobil saja daripada harus bersama dengan Alan.“Oke,” jawab Alan lalu menutup pintu mobil. Lelaki itu berjalan ke arah belakang dan membuka pintunya.“Alan, mau dibawa ke mana Mauren?” seru Renata. Seketika kepanikan melandanya . “Biarin Mauren tidur di mobil saja!”Alan kemudian menatap Renata sekilas, kalau wanita ini ingin bertahan di dalam mobil ia tidak peduli. Tetapi ia akan membawa Mauren masuk ke dalam apartemennya.“Apa kamu gak kasihan sama Mauren tidurnya gak nyaman seperti itu.”“Aku tetap disini, Mauren juga harus tetap di sini,” sahut Renata cepat, membantah ucapan Alan.Namun, tanpa mendengarkan keinginan Renata, Alan langsung saja mengendong Mauren dan membawanya masuk.“Hey,” seru Renata. Alan menyematkan senyuman tipis kala melirik Renata yang turun dari mobil kemudian mengikuti langkahnya masuk ke dalam gedung apartemen.“Alan, aku bilang-”“Jangan berisik, Mbak!”Tanpa Renata sadari langkahnya terus
“Kamu mau buat aku malu, Alan Sanjaya?”Begitu keluar dari gedung, Renata menarik tangan lelaki itu untuk mengikutinya. Melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan orang-orang. Setelah sampai di ujung koridor yang sepi, wanita itu menghentikan langkahnya sembari berkaca pinggang. Kekesalannya sudah memuncak seiring sikap Alan yang santai seolah tidak pernah melakukan kesalahan.“Mbak …!”“Aku bukan Mbakmu!” jerit Renata frustasi, merasa muak dengan panggilan itu karena Alan memanggilnya dengan suara rendah dan lembut.Sedangkan lelaki itu mengulum senyum. Selama ini, Renata tidak pernah protes dengan cara panggilnya, tetapi tiba-tiba dia mengklaim bukan Mbaknya.“Oke, kalau begitu aku panggil Sayang saja,” ucapnya disertai kekehan, meski mata Renata sudah menyorotnya tajam, Alan tidak peduli.“Jawab aku, Alan!” bentak Renata sudah hilang kesabarannya. “Kamu mau buat aku dan Mauren malu, hah! Belum cukup ka-”Renata tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika kelima jari Alan singgah di bi
Hari ini, Alan sengaja datang ke sekolahan Mauren. Semalam, Bara mengirimkan pesan bahwa di sekolahan Mauren sedang ada acara, tidak membuang kesempatan Alan akan hadir di acara tersebut.Lelaki itu berangkat tanpa memberitahu pada sang putri. Ia tidak peduli, kalau ternyata nanti di sana akan mendapatkan penolakan. Ia bisa memastikan nanti akan bertemu dengan Renata di dalam. Sekali lagi, Alan katakan tidak peduli.Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya dia menepikan mobilnya di parkiran khusus untuk pengunjung.Sikap Alan yang ramah membuat tidak ada kecanggungan bila harus menyapa orang-orang yang sebelumnya tidak kenal. Dengan langkah tegas, tidak ada keraguan sedikitpun lelaki itu berjalan menjangkau menuju gedung Aula, tempat diadakannya acara tersebut.Ketika Alan sudah mencapai gedung tersebut, langkahnya terhenti sebab ada seorang resepsionis yang berjaga sembari menyodorkan buku tamu bagi yang akan masuk.“Selamat siang, maaf dengan wali murid siapa ya
Renata dan Alan duduk bersisihan di teras rumah. Hari ini memang Alan sengaja datang di malam hari untuk bisa bertemu dan berbicara dari hari ke hati dengan Renata. Semenjak kepulangan wanita itu dari rumah sakit dan Alan yang pindah ke apartemen, membuat keduanya jarang bertemu. Sekalinya Alan ingin mengantar Mauren ke sekolah, hal itu sudah lebih dulu dilakukan oleh Renata.Selama hampir sepuluh belas menit, tidak ada yang bersuara di antara keduanya. Hanya suara angin yang bertiup seolah memecahkan keheningan . Dan selama itu pula, tatapan Alan hanya tertuju pada wajah cantik Renata. Dari situ Alan dapat mengamati dengan jelas wajah Renata yang tidak banyak berubah setelah bertahun-tahun tidak bertemu.Sungguh bodoh, dirinya dulu meninggalkan wanita ini. Harusnya saat itu dia tidak meninggalkan Renata dan membangun keluarga kecilnya, mempertahankan wanita yang dia cintai meski jalan itu tidak akan mudah karena pertentangan dari kedua keluarga. Namun, sekarang hanya penyesalan yang