“Kenapa gak mau pergi ke sekolah?”
Suara datar nan tegas milik seorang wanita yang sedang menatapnya tanpa berkedip tidak membuat sedikitpun Langit takut, bahkan terlihat santai.
“Aku malas bertemu teman-teman di sekolah, Mi!” Langit menjawabnya tanpa beban sedikitpun. Bibirnya mencembik dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Bocah tampan itu belum selesai meluapkan isi hatinya pada Aluna. “Kemarin, Bu Guru suruh gambar anggota keluarga, tapi gambar aku beda sendiri dari teman-temanku karena cuman ada gambar aku sama Mami saja.”
“Terus, masalahnya dimana?” Merasa itu hal yang wajar bagi Aluna. “Di dunia ini, gak hanya kamu koq yang punya gambar seperti itu, jadi gak usah dibikin alasan deh!” Aluna tidak mau menerima begitu saja ucapan Langit meski dalam hatinya merutuki dirinya sendiri yang tidak peka dengan maksud Langit.
Langit mendengkus, wajahnya langsung tertunduk lemah dengan suara bergetar ia berucap. “Mereka bilang aku anak haram dan gak punya Papi.”
Jleb.
Hati Aluna seperti teriris ujung pisau yang tajam. Andai ia berada di posisi Langit, pasti yang bisa dilakukan hanya meneteskan airmata meratapi kesedihannya, tak peduli akan membuatnya malu nantinya.
Sesaat kemudian, Aluna hanya menghela napas berat sebelum menghembuskannya perlahan.
“Sudah Mami bilang kalau Papi sudah meninggal, bilang aja begitu!”
Jahat, Aluna akui hal itu, setidaknya Langit tidak akan bertanya lagi dan lagi. Ibu satu anak ini memang sudah mengangap laki-laki itu tidak ada dalam kehidupannya bersama sang putra.
“Tapi … kenapa Mami selalu gak mau ajak aku ke makamnya Papi.”
Sialnya, Langit selalu memiliki seribu cara untuk menjawab ucapan Aluna.
“Jangan bilang kalau Mami sudah bohong kan!” Langit merasa kalau Aluna sedang membohonginya.
Aluna bangkit berdiri, pembicaraan ini sudah menyita waktunya. Tatapannya datar, menatap wajah tampan yang semakin hari sudah semakin pintar menjawab ucapannya.
“Oke, terserah kamu mau sekolah atau tidak!” Aluna menyeret kakinya keluar kamar, namun sampai di batas pintu dia membalikkan badannya untuk menatap sang putra. “Dan, Mami pastikan mulai besok kamu tidak perlu datang ke sekolah karena … Mami akan pindahkan kamu ke luar negeri.”
Wajah Langit, seketika memucat mendengar ucapan Aluna. Bukan tidak mungkin wanita yang melahirkannya itu akan menepati ucapannya. Dan itu artinya, kesempatan Langit untuk bertemu dengan sang Papi akan semakin kecil, meski ia tidak tahu dimana keberadaan laki-laki itu.
***
Pada akhirnya, Aluna yang memenangkan perdebatan dengan Langit. Terbukti, putra itu mau berangkat ke sekolah meski dengan wajah yang kesal. Beberapa saat kemudian, kendaraan roda empat itu sudah keluar dari halaman rumah. Rumah minimalis yang Aluna beli dari menjual rumah peninggalan sang Papa. Wanita itu sengaja pindah ke luar kota dari rumah yang sebelumnya agar mantan suaminya tidak bisa menemukannya.
Sepanjang perjalanan, wajah Langit tampak murung. Aluna berkali-kali menghela, sebenarnya merasa kasihan juga dengan Langit yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang Ayah. Tapi buat Aluna itu yang terbaik daripada batinnya akan tersiksa dengan pernikahan tanpa cinta yang pada akhirnya akan menyakiti hati orang lain.
Tak terasa, lamunan Aluna harus terhenti saat suara Langit menyadarkannya. “Mi, sudah sampai!”
“Ah, iya, Sayang!” jawab Aluna lantas membelokkan mobilnya ke gerbang sekolahan, beruntung tidak sampai kelewatan tadi. Kalau tidak ia harus akan putar balik nanti.
Dari gerbang tadi, Aluna menuju ke parkiran untuk para pengantar. Meski kadang Langit tidak ingin Aluna mengantarnya sampai kelas, tetapi sang Mami hanya ingin memastikan kalau putranya itu benar-benar akan mengikuti pelajaran di sekolah.
Sudah beberapa kali wali kelasnya mengatakan kalau Langit kerap kali meninggalkan kelas dan menghabiskan waktu di kantin sekolah. Mengingat hal itu rasanya Aluna ingin menghukum Langit. Tapi lagi-lagi Langit membalas ucapan Aluna karena ia bosan dan pelajaran itu sudah ia kuasai.
“Mi, sudah sampai sini aja, ya!” Langit mencegah langkah Aluna yang ingin menyapa jajaran gugu-guru yang sedang menyambut muridnya di depan lobi sekolah. “Tuh, sudah ada Miss Ana,” tunjuk Langit pada wali kelas sekaligus guru kelasnya.
“Ayo jalan, Mami mau ketemu Miss Ana.” Aluna mengabaikan keinginan Langit, wanita itu terus berjalan dan mendekati wali kelasnya Langit. “Selamat Pagi, Miss?” sapanya sambil mengangguk pelan dan jangan tanyakan Langit, karena anaknya itu sudah berlari pergi meninggalkan Aluna. Di tempatnya Aluna hanya bisa berdecak sambil mengelengkan kepalanya, kenapa putranya itu begitu tidak sopannya sampai tidak berpamitan padanya.
Miss Ana menyematkan senyuman ramah lalu balas mengangguk. “Sudah, tidak apa-apa, Bunda. Mungkin dia sedang ingin bermain dengan teman-temannya.” Seolah paham apa yang sedang dikeluhkan oleh wanita di depannya ini.
“Iya, Miss,” jawab Aluna, sedikit kecewa dengan sikap Langit yang menurutnya tidak sopan.
Sesaat kemudian, ada obrolan sedikit mengenai sikap Langit yang Miss Ana rasa perlu disampaikan pada Aluna. Tidak kaget, Aluna mendengarkan dengan serius dan sesekali menganggukan kepalanya tanda dirinya paham.
“Baik, nanti coba saya bicara pelan-pelan dengan Langit masalah itu, Miss!”
“Terima kasih, atas bantuannya,” balas Miss Ana. “Langit anak yang cerdas, saya cuman khawatir akan mempengaruhi nilai akademiknya kalau tidak segera di atasi.” Tidak ada maksud untuk mendikte Aluna, karena Miss Ana benar-benar peduli dengan Langit.
“Baik, kalau begitu saya permisi dulu, Miss.” Setelah dirasa tidak ada lagi yang diobrolkan Aluna segera undur diri. Ibu satu anak itu menyempatkan menyapa beberapa guru yang sedang berdiri di dekat Miss Ana sembari mengangguk sopan.
Aluna melirik pergelangan tangannya, sepertinya sudah sangat mepet sekali waktu yang tersisa. Ia takut terlambat sampai di kampus. Tangannya merogoh tas yang tersampir di pundak, mencari keberadaan ponselnya, mengabari kalau terlambat beberapa menit.
“Aluna!”
Aluna menghentikan langkahnya, ada rasa yang tidak mampu ia jabarkan dan hanya jantungnya yang berdetak kencang. Tidak bertemu selama tujuh tahun, bukan berarti Aluna lupa suara itu. Sekuat tenaga ia paksakan tubuhnya untuk membalik untuk memastikan seseorang tersebut.
“Dok-ter!” suara Aluna terbata, meskipun ingin sekali ia berlari menjauh tapi ia sadar moment seperti itu suatu saat pasti akan terjadi. Dan mungkin saat ini ia sudah tidak bisa menghindarinya lagi.
“Kamu tidak berubah, masih tetap memanggilku, Dokter!” sinis sang pria yang masih saja tampan dan semakin terlihat dewasa. “Anak kamu sekolah disini ju-”
“Papi! Ayo, masuk ke sekolah baruku!”
Atensi Aluna sontak menunduk dan bertemu tatap dengan gadis kecil yang berada dalam genggaman laki-laki tersebut. Darah Aluna berdesir, ada rasa tidak rela ketika pria itu dipanggil Papi dan bukan oleh putranya. Namun, ia bisa apa sekarang. Tujuh tahun mungkin telah merubah segalanya dan satu yang pasti, ia tidak bisa merubah kenyataan saat ini. Kalau waktu itu ia tidak keras kepala dan mau menuruti keinginan pria ini pasti mereka telah menjadi keluarga yang bahagia sekarang.
“Iya, bentar!”
“Tante ini siapa?” tanya gadis kecil itu.
“Ah, ini …,” ucapan laki-laki ini terhenti ketika mendengar suara lembut seorang wanita yang sudah berdiri di sampingnya sambil memeluk lengannya.
tbc
“Lepaskan, suamimu! Aku tahu kalian tidak saling mencintai jadi daripada ke depannya akan begitu sulit buat kalian, lebih baik bercerai.”Ingatan Aluna tertarik ke belakang, mengingat wajah seseorang yang membuatnya menjalani hidup seperti saat ini. Wanita itu beberapa kali menghembuskan napas untuk menghalau sesak yang mendadak di dadanya. Bodohnya, mendapatkan ucapan seperti itu bukannya membentengi dirinya agar tidak terjerat pada pesona sang mantan, hingga laki-laki itu mengambil haknya tanpa penolakan dari Aluna. Semua itu berjalan layaknya air, mengalir begitu saja dan pada akhirnya Aluna lah yang tergelincir oleh air tersebut dan dengan terpaksa menyembunyikan kehamilannya.“Maafkan Mami, Langit. Sepertinya kamu harus melupakan Papi kamu itu,” gumam Aluna. Ia bukan wanita jahat yang egois hingga tega menghancurkan kebahagiaan orang lain, jadi lebih baik dirinya yang mengalah.Setelah hampir sepuluh menit berada di dalam mobil hanya untuk mengingat kejadian di masa lalu, akhirny
“Sayang, ada yang terluka lagi? Apa kita ke rumah sakit saja?”“Maaf, Pak Ryu,” sela Ibu Marta, selaku Kepala Sekolah. “Tadi sudah kami bawa ke ruang kesehatan dan sudah ditangani oleh Dokter yang jaaga. Jadi jangan khawatir karena kami juga sudah melakukan yang terbaik untuk putri Bapak.”Atensi Ryu beralih pada sang kepala sekolah. Ingin marah tapi mendengar penjelasan itu membuat sedikit lega, tetapi ia ingin memastikan sendiri nanti. “Ya, terima kasih, Bu,” ucap Ryu kemudian sedikit berdecak. “Gimana ceritanya sampai anak saya terluka seperti ini? Sekarang hanya terluka tidak menutup kemungkinan lain kali anak saya nyawanya yang melayang, Bu.” Aluna terbelalak dengan bola mata yang membesar, tidak terbesit dipikirannya kalau anaknya menjadi seorang yang jahat hingga sampai membunuh.“Saya gak mau tahu, pokoknya sekolahan harus bertindak tegas dengan anak-anak yang melakukan kekerasan seperti ini atau kalau perlu drop out biar jera dia, ini masalah nyawa saya gak mau main-main!”
“Aluna, tunggu!”Ryu berteriak ketika di jarak 5 meter melihat mantan istrinya sedang berjalan sembari mengandeng putranya yang bernama Langit menuju parkiran mobil.Aluna mengabaikan teriakan Ryu. Ia tidak memiliki kewajiban menuruti keinginan pria itu, mereka tidak memiliki hubungan apa-apa dan ia bebas mau melakukan apa saja.“Berhenti aku bilang, Aluna!” pekik Ryu lebih keras lagi hingga Langit ketakutan. “Mi, aku takut sama Papinya Mauren.”Aluna memejamkan matanya meredam emosi yang sudah di ujung kepalanya sampai membuat anaknya ketakutan, laki-laki ini masih saja suka memaksa.Ia lantas berjongkok untuk bicara dengan Langit. “Langit masuk mobil dulu ya, Mami bicara dengan Papinya Mauren dulu!” ucap Aluna tangannya memegang bahu putranya dan dijawab anggukan kepala oleh sang putra.Ryu yang sedang mengendong Mauren sudah berdiri di hadapan Aluna dan di belakangnya ada baby sitternya. “Bisa bicara sebentar,” tanya Ryu lalu melirik kepergian Langit, masuk ke dalam mobil.“Pi, ayo
Sekujur tubuh Aluna membeku bahkan kakinya tidak bisa digerakkan melihat hal yang mengerikan di depan matanya. Darah segar melumuri tubuh bocah kecil yang sedang tergeletak dengan mata terpejam. Hingga segerombolan orang-orang dengan kepanikan datang mendekat, Aluna pun sadar lalu berlari kencang untuk menembus kerumunan orang-orang tersebut.“Langit!” Aluna menjerit lalu menjatuhkan kedua lututnya di aspal jalanan, menekuknya lantas mendekap tubuh kecil sang putra dengan tangisan pilu. “Bangun, Sayang ... maafkan Mami.”“Cepat panggil ambulans!”Yang Aluna dengar hanya seruan itu, selebihnya indera pendengarannya tidak mampu lagi menampung kata-kata lain. Tubuhnya bergetar hebat dengan isakan yang masih membasahi wajah cantiknya. Di kecupnya wajah Langit berkali-kali dengan selalu mengucapkan rasa bersalahnya. “Maafkan Mami, Nak!”***Entah, apa saja yang ia lakukan ketika mobil putih bersirine itu sudah tiba di pelataran rumah sakit. Pintu belakang dibuka oleh seorang petugas medis,
“Tolong menjauhlah dari kami, Dok!”Aluna pikir, dengan kehadiran Ryu membuat kondisi sang putra menjadi memburuk. Jadi lebih baik pertemuan ini di sudahi saja.Mendengar permintaan Aluna, Ryu refleks menatap wanita yang dari tadi hanya terfokus pada Langit saja dan mengabaikan dirinya yang juga sedang sangat khawatir dengan kondisi Langit.“No,” ucap Ryu tegas menolaknya, dia bukanlah orang yang akan lari dari tanggung jawab kendati mereka sudah tidak terikat dalam pernikahan. “Harusnya kamu sadar dengan penolakan Langit seperti ini, salah satunya juga karena kesalahanmu yang tidak pernah mempertemukan kami, dia tidak mengenal sosok Ayahnya.” Ryu tertawa hambar seolah mengejek dirinya sendiri yang menjadi orang bodoh, anak kandungnya tidak ia kenali padahal anak yang lain sangat ia sayangi. “Langit berhak tahu siapa Ayah kandungnya.”Ini yang ditakutkan Aluna ketika bertemu dengan mantan suaminya. Laki-laki itu akan meminta haknya sebagai Ayah Langit. “Tapi Langit sudah menolak kamu,
“Mi …!”Aluna yang membaringkan wajahnya pada kedua tangan yang terlipat di samping kepala Langit, hanya mengeliat saja ketika mendengar suara yang begitu familiar buatnya. Bukannya segera membuka mata melainkan ia hanya bergumam saja. “Hmm.”Setelah semalam ia tidak bisa tidur karena memikirkan sikap Ryu yang tiba-tiba pergi, membuat wanita yang berprofesi sebagai Dosen itu sulit memejamkan mata. Alhasil, sebelum Subuh dia baru bisa terlelap.“Mami…!” panggilan itu terdengar untuk yang kedua kalinya dengan suara sedikit keras. Detik itu barulah Aluna membuka mata. “Sayang, kamu sudah bangun!”. Aluna menegakkan punggungnya agar bisa menatap sang putra. “Ada yang sakit, Nak!” Tangan Aluna terulur untuk menyentuh tangan Langit kemudian mengusapnya pelan.“Ha-haus, Mi.”“Iya, bentar Mami ambilkan.” Aluna bangkit dan menuju nakas, mengambil air putih yang memang sudah disiapkan oleh rumah sakit. Membuka tutupnya kemudian mendekatkan pada bibir Langit. Bocah itu meneguknya pelan. “Sudah?”
Berbagi“Apa rencanamu setelah ini, Ryu?”Bara menatap penuh selidik pada sang teman lalu meraih gelas di hadapannya yang masih mengepulkan asap. Bibirnya meniup-niup agar hawa napasnya berkurang. Sesaat kemudian menyesapnya. Melihat sang lawan bicara belum memberikan jawaban, ia melanutkan ucapannya. “Kalau Renata tahu kamu masih ngasih perhatian ke mantan, dia bisa ngamuk.”Barayudha Al Ghifari, teman sejawat Ryu. Keduanya sama-sama berprofesi sebagai Dokter Spesialis Jantung. Ryu memang pernah bercerita tentang pernikahan pertamanya dengan Aluna, tetapi pernikahan tersebut kandas bahkan belum genap satu bulan.Pernikahan singkat Ryu tidak banyak yang mengetahui termasuk Bara yang belum sempat dikenalkan dengan Aluna. Yang Bara tahu, pernikahan Ryu dan Aluna adalah pernikahan dadakan yang dibuat oleh Papa Aluna karena Ryu harus bertanggung jawab terhadap kesehatan Papa Aluna. Namun, setelah Papa Aluna meninggal, Aluna menginginkan berpisah dari Ryu. “Aku belum tahu, Bar.” Ada gura
“Mami!” Langit berseru ketika sang Mami melihat kedatangan Aluna.Aluna mendekat menampilkan senyuman lebar pada sang putra. “Ish, jangan keras-keras bicaranya nanti mengganggu pasien lain.”“Oke,” jawab Langit.“Maaf ya, lama,” ujar Aluna bicara pada seseorang yang duduk di sebelah Langit.Tangan Aluna mengulurkan kopi yang tadi sudah dibeli. “Minum dulu!”“Thanks a lot,” ucapnya setelah menerima paperglass tersebut. Kemudian, segera menyesapnya separuh, mumpung masih hangat.“Ada masalah?” tanyanya lagi.“Biasa macet.” Wanita itu mengambil duduk di ujung ranjang Langit, ia tergelak sendiri merasa sedang berbohong dan pastinya pria yang sedang menatapnya lekat itu akan curiga. Gimana ceritanya bisa macet, lha tempatnya aja hanya beberapa meter dari gedung rumah sakit ini.“Oh … macet, ya? Mungkin ada si komo lewat.”Aluna menatapnya sekilas, tak lama kemudian keduanya sama-sama tertawa karena menyadari tengah sama-sama berbohong. Mendadak hati Aluna menghangat mendengar candaan rando
“Mami …!”Panggilan yang diucapkan Mauren tidak membuat wanita yang sedang menatap kosong ke luar jendela bergerak.“Mami … Mauren kang-”Renata menoleh, menatap ke arah Mauren. Detik berikutnya, wanita itu berteriak histeris dengan telunjuk mengarah pada Mauren di ambang pintu.“Mauren, kamu anak sialan. Pergi, pergi … pergi anak sialan kamu!”Awalnya Mauren sudah percaya diri kalau kali ini kunjungannya bakal diterima oleh sang Mami. Akan tetapi, diluar expektasinya ternyata Renata menolak kedatangannya lagi dan ini sudah yang kesekian kalinya.Sementara Alan yang berada di belakang Mauren, seketika memberikan pelukan dari samping pada anak gadisnya itu untuk menguatkan. “Biar Ayah yang coba ya,” ucapnya.“Tap-tapi ….” Suara Mauren bergetar menahan isakan. Ia bisa menerima ketika Renata membentaknya tetapi tidak mengumpatinya. Gadis berusia delapan tahun itu semakin sesak dadanya ketika melihat tatapan tajam sang Mami. Buliran bening yang sempat ditahannya tidak mampu lagi disembun
Setelah tiga hari dua malam berada di rumah sakit, akhirnya Aluna diperbolehkan pulang. Meskipun Bian memberikan kamar VVIP saat di rumah sakit, tetapi Aluna lebih menyukai tinggal di rumah sederhananya.“Sudah semua kan?” tanya Bian sambil menelisik satu persatu barang yang akan dibawanya pulang ke rumah.“Kayaknya ….” Aluna ikut berdiri di samping Bian sambil memperhatikan sekeliling, mana tahu ada yang tertinggal. “Sudah semua deh, Mas.”“Selamat siang!” Suara dokter Lia terdengar dari arah pintu.“Selamat siang, dok,” sapa Aluna menjawab salam dokter Lia. Bian hanya tersenyum menjawab sapaan dokter yang telah membantu proses kelahiran Awan.“Jadi mau pulang hari ini ya?” ucap dokter Lia setelah menatap bayi tampan Aluna yang masih tidur. “Hem … bayinya tampan seperti Ayahnya.” Dokter Lia mengatakan lagi sambil menatap Bian dengan tersenyum.“Dia bukan-”“Ah, terima kasih, dok,” sela Bian dengan terkekeh. Lalu melirik Aluna. Wanita itu sedang menatapnya geregetan dan Bian tidak pe
“Tante, nanti pulang sekolah aku boleh jenguk Mami dulu ya?” tanya Mauren pada Nia. Sudah delapan bulan, semenjak Renata berada di rumah sakit jiwa, Mauren tinggal bersama keluarga Bara. Mauren melanjutkan kunyahannya yang ada di mulutnya baru kemudian melanjutkan ucapannya. “Tapi kalau gak ada ekskul, sih.”“Jangan dulu deh, tunggu Om Bara off dulu aja ya. Nanti biar ditemani,” jawab Nia sambil mengaduk minuman hangatnya untuk sang suami. Biasanya memang Mauren di temani oleh Bara jika ingin datang ke rumah sakit. “Coba tanya sama Om Bara, kapan off.”“Tan, aku ke sana sama Ayah koq.” Mauren segera menghabiskan nasi goreng yang ada di piringnya. Menyisahkan nugget yang biasanya ia makan belakangan. “Jadi gak sama Om.”Mauren memang sudah bisa menerima kehadiran Alan sebagai Ayahnya. Tetapi hubungan mereka tidak lah terlalu dekat karena di saat butuh saja Mauren mendatangi lelaki itu. Alan pun tidak masalah jika Mauren hanya memanfaatkannya saja. Toh, ada darahnya yang mengalir di tu
Delapan bulan kemudian …Aluna meringis, merasakan nyeri itu kembali datang. Sesuai hari perkiraan lahir, harusnya masih seminggu lagi. Akan tetapi, sejak bangun tadi pagi ia merasakan beberapa kali nyeri. Merasa sudah berpengalaman saat melahirkan Langit dulu, Aluna bergegas menuju klinik.“Kita langsung ke rumah sakit saja ya,” ucap Bian. Laki-laki itu langsung berangkat menuju rumah Aluna saat di telepon Aluna. Acara meeting yang masih setengah jalan, terpaksa ia tinggalkan. Tidak masalah meninggalkan kantor, karena Aluna adalah prioritasnya saat ini.“Klinik saja, Mas!” pinta Aluna. Setiap bulan Aluna memang kontrol di klinik tersebut. Selain itu lokasi yang dekat dengan rumah, membuat tidak menghabiskan waktu di perjalanan.Desahan pelan keluar dari bibir Bian. Ia hanya ingin Aluna mendapatkan pelayanan yang terbaik dan lengkap jika datang ke rumah sakit. Tetapi wanita hamil itu ternyata masih saja keras kepala. Aluna masih trauma datang ke rumah sakit setelah kepergian Ryu. Lant
“Stop, Renata!” teriak Bara. Ketika mendengar kegaduhan di dalam kamar, ia tidak bisa menunggu lagi sampai Alan keluar. Tanpa permisi Bara membuka pintu. Untuk pertama kalinya pria itu tercengang dengan apa yang dilihatnya. Akal sehatnya masih menyangkal apa benar ini yang dilakukan oleh istri Ryu. Bara lantas mendekati Renata menarik kedua tangan wanita itu dari kepala Alan kemudian mencengkramnya dengan kuat. “Kamu mau jadi pembunuh, hah? Mau kamu membusuk di buih, hah! Kalau kamu gak bisa mengendalikan diri, terpaksa aku bawa kamu ke rumah sakit jiwa. Mau kamu seperti itu, ya?”“Pergi, Alan!” ucap Bara setelah tangan Renata terlepas dari kepala Alan. “Kamu juga, bodoh atau gimana sih, diam saja diha-”“Saya ikhlas, Mas,” sahut Alan tidak menyimpan dendam sama sekali pada Renata. “Kalau dengan seperti ini bisa membuat Mbak Renata memaafkan saya.”“Konyol itu namanya,” geram Bara. “Mati sia-sia, belum tentu dimaafkan juga.” Kembali decakan kesal keluar dari bibir Bara. “Ck, sebenarny
“Kamu …” Renata mengacungkan telunjuknya dan mengarahkan pada lelaki yang telah memanggilnya beberapa saat yang lalu. “Pergi! Brengsek, kamu!” Tanpa ragu Renata melempar bantal yang ada di sampingnya ke arah laki-laki tersebut.Bara yang masih berada di dalam kamar. Menyadari Renata yang akan mengamuk lagi, ia refleks menutup pintunya rapat. Mengangkat kedua tangannya di depan dada. “Ren, bisa tenang! Aku mau bantu kamu, tapi tolong kamu tenang. Di luar akan banyak orang, kalau kamu seperti ini mereka akan mengira kalau kamu gila. Pasti kamu tahu dimana orang gila berada, kan.”“Kamu ngatain aku gila, Mas?” Di sela amukannya Renata masih bisa berpikir normal. “Aku gak gila, Mas.” Wanita itu jatuh di lantai sambil menekuk lututnya. Suaranya bergetar dengan buliran bening yang tiba-tiba menetes di pipi. “Maaf … Mas Ryu, harusnya … aku, harusnya … aku.” Ada rasa sakit yang tak terlihat menghujam, saat menyadari tindakannya yang telah membuat Ryu menghembuskan napas terakhirnya. Kembali r
“Gimana keadaannya, Mas?”Bara baru saja menutup pintu kamar berwarna putih itu, menoleh ke samping, ada sebelah tangan memeluk lengannya. Berdiri sang istri dengan wajah khawatir. Ia memang merutuki apa yang diperbuat Renata, tetapi melihat kondisinya yang sekarang membuatnya sangat iba. Bara tidak langsung menjawab, laki-laki itu menghela sebentar lalu menatap pintu yang ia tutup barusan. Tidak akan mengira apa yang telah terjadi pada Renata. Jiwanya terguncang setelah melihat sang suami dikubur di bawah tanah. Sementara istri Ryu yang satunya terlihat tegar dan bisa menerima takdir ini. Berjalan menuju sofa yang ada di depannya lantas mendudukan bokongnya di sana. Nia yang tidak melepaskan lengan Bara, mengikuti dengan duduk di sofa yang sama.“Aku pikir, kalau dia masih belum ada perubahan, kita bawa ke rumah sakit saja,” jawabnya lirih. Setelah mengamuk dan berteriak histeris di pemakaman, Bara telah berhasil menenangkan. Namun, ketika sudah sampai di rumah, Renata mengamuk lagi
“Ayah, sekarang aku sudah tidak punya Papi lagi.”Suara Langit memecahkan keheningan diantara ketiga orang yang sedang berada di dalam mobil. Setelah Bian mengatakan untuk mengajak pulang Aluna, wanita itu menurut. Meski hatinya masih tidak rela untuk meninggalkan pemakaman Ryu. Bian benar, ini adalah takdir yang harus Aluna jalani.Kepala Bian menoleh, tujuannya bukan Langit, melainkan Aluna yang berada di sampingnya. Tatapan penuh kesedihan tidak pernah lepas dari jalanan di depannya. Walaupun Bian tahu, Aluna pasti terusik dengan kalimat Langit tersebut.Lalu sentuhan tangan Bian pada punggung tangan wanita itu, meremasnya dengan lembut. “Are you oke?”“Hmm.” Aluna menjawab hanya bergumam. Wanita itu seolah tidak memiliki gairah hidup setelah kehilangan Ryu. Bian paham, dibalik sifat keras ingin meninggalkan Ryu, Aluna sangat mencintai mantan suaminya itu. Aluna lantas mengusap perutnya yang masih rata, seketika terhenyak, kalau di sana ada kehidupan lain, ada calon anaknya. Makany
“Gak mungkin!”Sesaat setelah mengatakan itu, tubuh Aluna ambruk. Dengan sigap, Bian melepaskan genggaman tangan Langit dan meraih pinggang Aluna, lalu mendekapnya dengan erat.“Mami!” Langit mendekati Aluna menampilkan wajah ketakutan. Matanya berembun dengan suara bergetar. “Ayah, Mamiku kenapa?”“Langit cari duduk dulu ya, Ayah urus Mami dulu.” Di saat seperti ini, Bian tidak bisa mengurusi dua orang sekaligus. “Iya,” jawab Langit kemudian meranjak menuju bangku yang tidak jauh dari Bian. Bocah laki-laki itu masih belum paham situasi yang ada. Namun, Bian bisa melihat kalau tangannya beberapa kali mengusap pipi.“Aluna bangun!” panggil Bian sambil menepuk-nepuk pipinya. Saat maniknya bertatapan dengan bangku di sebelah Langit, Bian segera mengangkat tubuh Aluna. Merutuki kebodohannya, harusnya ia bisa pelan-pelan memberitahu Aluna. Melupakan kalau Aluna sedang hamil dan ibu hamil tidak boleh banyak pikiran apalagi stress. “Maaf, harusnya aku-”“Ini ada apa?”Bian sontak mengangka