“Mi …!”
Aluna yang membaringkan wajahnya pada kedua tangan yang terlipat di samping kepala Langit, hanya mengeliat saja ketika mendengar suara yang begitu familiar buatnya. Bukannya segera membuka mata melainkan ia hanya bergumam saja. “Hmm.”
Setelah semalam ia tidak bisa tidur karena memikirkan sikap Ryu yang tiba-tiba pergi, membuat wanita yang berprofesi sebagai Dosen itu sulit memejamkan mata. Alhasil, sebelum Subuh dia baru bisa terlelap.
“Mami…!” panggilan itu terdengar untuk yang kedua kalinya dengan suara sedikit keras.
Detik itu barulah Aluna membuka mata. “Sayang, kamu sudah bangun!”. Aluna menegakkan punggungnya agar bisa menatap sang putra. “Ada yang sakit, Nak!” Tangan Aluna terulur untuk menyentuh tangan Langit kemudian mengusapnya pelan.
“Ha-haus, Mi.”
“Iya, bentar Mami ambilkan.” Aluna bangkit dan menuju nakas, mengambil air putih yang memang sudah disiapkan oleh rumah sakit. Membuka tutupnya kemudian mendekatkan pada bibir Langit. Bocah itu meneguknya pelan. “Sudah?” tanya Aluna setelah Langit mencoba menjauhkan botol dari bibirnya. Langit hanya menjawab dengan anggukan tanpa bersuara.
Aluna meletakkan kembali botol pada tempat semula. Setelahnya ia duduk di samping brankar seraya membelai puncak kepala Langit. “Apa yang dirasakan sekarang? Ah … Mami panggilkan Dokter dulu ya!”
Tanpa menunggu jawaban Langit, Aluna segera meraih tombol darurat yang ada di dinding di atas brankar, menekannya dan langsung terhubung ke ruang perawat. “Sus, anak saya sudah sadar. Oh, iya … atas nama Langit Yudhistira.”
Suatu kebahagiaan pagi ini bisa melihat Langit sudah sadar. Mengingat kondisi Langit yang memburuk semalam.
“Selamat pagi!”
Aluna sontak berubah menegang setelah mendengar ketukan pintu dan sekarang melihat kedatangan seseorang yang pastinya tidak diharapkan. Tidak berbeda dengan Aluna, Langit juga merasakan hal yang sama bahwa ia tidak menyukai Ryu.
“Mi, kenapa ada Papi Mauren di sini?” tanya Langit pada Aluna meski tatapannya tertuju pada Ryu yang kini berjalan mendekat. “Om, jangan marahi Mamiku lagi! Langit tidak akan nakal lagi sama Mauren,” ucap Langit sambil mengelengkan kepalanya pelan.
Aluna tidak menyukai situasi seperti ini. Langit perlu ketenangan dan hal seperti ini bisa saja menguncang jiwanya. “Langit, Om ini Dokter di sini ja- eh, jangan mendekat, mau ngapain Dokter?”
Terlambat, Ryu sudah mengikis jarak dengan Langit dan apa yang laki-laki itu lakukan membuat Aluna, apalagi Langit tercengang.
“Maaf,” Banyak penyesalan di hatinya yang tidak mampu diucapan apalagi membuat sang anak ketakutan. Pelukan Ryu kian erat, tanpa terasa setetes buliran bening jatuh dari sudut matanya. “Maafkan … Om yang sudah kasar sama Mami kamu ya.” Lebih dia tidak memaksa Langit untuk memanggilnya Papi. Cukup dengan panggilan Om asal bisa sedekat ini dengan sang anak.
Ada rasa haru di hati Ryu mendapatkan kesempatan memeluk Langit. Kalau saja dia tidak menututi keinginan Aluna untuk berpisah, mungkin kini mereka menjadi keluarga yang bahagia. Tapi ya sudahlah, sekarang tidak ada gunanya meratapi masa lalu. Dan mulai hari ini ia sudah berjanji dalam hati untuk mengambil hati Langit.
“Sesak, Om!”
Celetukan Langit menyadarkan Ryu. Dokter spesialis Jantung itu lalu melepas dekapannya pada Langit. Sekali lagi ia mengucapkan penyesalannya. “Om minta maaf ya.”
Sementara Aluna yang berdiri di samping brankar itu tidak bisa berbuat apa-apa. Jujur ada sedikit rasa yang sulit diungkapkan ketika melihat kedua laki-laki berbeda generasi itu berpelukan. Namun, buru-buru ia sadarkan dirinya agar tidak terlalu berharap pada mantan suaminya itu. Aluna tidak mau menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Ryu.
Aluna tidak tahu kalau kedatangan Ryu karena panggilannya pada perawat beberapa saat yang lalu, ia pikir mantan suaminya itu memang datang khusus untuk Langit. Maka dari itu Aluna berniat untuk menekan tombol lagi karena sudah terlalu lama menunggu sedangkan Dokter ataupun perawat belum juga ada yang datang.
“Hal …
“Sudah ada saya, Aluna. Tidak perlu panggil Dokter lagi.” Ryu berseru membuat Aluna menghentikan suaranya pada sambungan intercom padahal suster yang disana sudah berteriak menjawab panggilannya. “Hari ini saya sebagai Dokter jaga.”
Aluna langsung memutus sambungan tanpa memberi penjelasan.
“Oh, ya sudah. Tolong periksa anakku sekarang,” ujar Aluna kemudian menyingkir agar Ryu lebih leluasa untuk memeriksa.
“Anakmu juga anakku, Aluna!” gumam Ryu tanpa menoleh kearah Aluna yang sudah berjalan menjauh.
Selang beberapa detik seorang perawat datang dengan file di tangannya. Seolah paham apa yang harus dilakukan, Ryu segera bangkit dan memeriksa kondisi Langit. Lantas, perawat tersebut dan Ryu terlibat pembicaraan serius dengan bahasa kedokteran yang hanya dipahami oleh mereka berdua. Sampai akhirnya Ryu berkata pada Aluna bahwa kondisi Langit sudah jauh lebih baik dan kalau tidak ada masalah lain, lusa kemungkinan sudah bisa pulang.
“Oke, kamu lanjutkan pekerjaanmu!” Ryu berucap pada perawat yang sudah menemaninya untuk meninggalkan ruangan.
Aluna hampir bisa bernaapas lega dengan kepergian perawat, itu artinya sebentar lagi Ryu juga akan meninggalkan ruangan ini. Namun, pikirannya salah karena, mantan suaminya itu sedang menarik kursi dan sengaja duduk di samping Langit.
“Om, bolehkan ngobrol-ngobrol dengan kamu? Ah, anggap Om sebagai teman kamu, dan kamu bisa cerita apa saja dengan Om.”
Daripada menuruti ucapan Aluna untuk menjauh, lebih baik ia bersikap hanya seperti Dokter baik hati yang peduli pada pasiennya.
Langit tampak ragu, apakah dia harus bersikap baik pada Papinya Muren ini, sementara di sekolah sikap Ryu tidak sebaik saat ini.
“Kamu jangan takut ya, Om cuman pengen jadi teman Langit. Dan atas nama Mauren, Om minta maaf ya atas sikapnya.”
Langit hanya mengangguk tanpa mau berucap.
Ryu mengulurkan jari kelingkingnya di hadapan Langit. “Bisa kita berteman, Boy?”
Lagi-lagi Langit dibuat tidak percaya dengan yang dilihat saat ini. Laki-laki yang diawal pertemuannya bersikap acuh, kasar bahkan yang melekat di ingatan Langit memarahi sang Mami nyatanya sekarang seperti memiliki dua kepribadian, menjadi lebih peduli dan perhatian.
Jari kelingking itu masih bertahan di hadapannya. Langit melirik sang Mami, seolah meminta persetujuan apakah ia harus menerima atau tidak. Akan tetapi gelengan kepala Aluna adalah jawabannya.
Langit refleks mengeleng juga setelah mengalihkan seluruh atensinya pada Ryu.
Ryu tahu, mungkin Langit masih butuh waktu untuk bisa melupakan sikap tidak menyenangkan Ryu.
“Oke, tidak papa kalau tidak mau,” tandas Ryu sambil menurunkan jemarinya, mencoba bersabar menghadapi Langit.
“Sekarang, apa yang dirasakan Langit, ah, maksudnya apa bagian tubuh Langit ada yang sakit?”
Langit mengeleng lesu, tidak tahu harus bersikap apa. Tanpa merasa sakit hati, Ryu hanya tersenyum melihat sikap acuh Langit.
“Ah …, kalau ice cream atau coklat mana yang disukai Langit?” tanya Ryu mencoba mengenal sang putra dengan obrolan ringan yang disukai anak-anak.
“Ice cream!” Seketika Langit berseru menjawab.
“Dokter, kapan anda akan pergi. Saya rasa, Langit masih butuh istirahat.”
Tidak sabar harus menunggu Ryu pergi. Aluna yakin kalau pria itu sengaja berlama-lama di kamar Langit untuk mendekatkan diri dengan putranya.
“Langit, kalau misalnya setelah pulang dari rumah sakit, Om traktir makan ice cream mau atau tidak? Langit boleh makan sepuasnya dan terserah mau dimana tempatnya.” Mengabaikan ucapan Aluna, Ryu masih saja mencoba mendekati sang anak. “Atau mau selain ice cream juga boleh.”
“Dokter!” Bisa dengar ucapan saya tidak?”desis Aluna menahan kemarahan yang sudah memuncak karena ucapannya yang sebelumnya diabaikan oleh Ryu.
Satu hal yang Ryu tidak boleh lakukan adalah memarahi Aluna, karena itu permintaan Langit. Jadi meskipun Aluna sudah mencoba menarik tangannya agar pergi, laki-laki itu tidak sekalipun membalasnya.
“Saya bisa cekal anda masuk ke kamar Langit kalau terus tidak tahu diri,” ucap Aluna pelan dan dibalas tatapan datar oleh Ryu.
“Oke, Langit, nanti Om datang lagi ya. Sekarang kamu istirahat .”
Langit terpaksa harus meninggalkan kamar inap Langit. Sebab Aluna sebab ancaman mantan istrinya itu dan juga sudah berhasil menyeretnya sampai di ambang pintu.
“Saya harap ini pertemuan terakhir kita!” Belum juga mendapatkan jawaban Ryu, ia sudah menutup rapat pintunya.
“Mami, kenapa Om Dokter jadi baik sama Langit ya?”
“Itu karena …
tbc
Berbagi“Apa rencanamu setelah ini, Ryu?”Bara menatap penuh selidik pada sang teman lalu meraih gelas di hadapannya yang masih mengepulkan asap. Bibirnya meniup-niup agar hawa napasnya berkurang. Sesaat kemudian menyesapnya. Melihat sang lawan bicara belum memberikan jawaban, ia melanutkan ucapannya. “Kalau Renata tahu kamu masih ngasih perhatian ke mantan, dia bisa ngamuk.”Barayudha Al Ghifari, teman sejawat Ryu. Keduanya sama-sama berprofesi sebagai Dokter Spesialis Jantung. Ryu memang pernah bercerita tentang pernikahan pertamanya dengan Aluna, tetapi pernikahan tersebut kandas bahkan belum genap satu bulan.Pernikahan singkat Ryu tidak banyak yang mengetahui termasuk Bara yang belum sempat dikenalkan dengan Aluna. Yang Bara tahu, pernikahan Ryu dan Aluna adalah pernikahan dadakan yang dibuat oleh Papa Aluna karena Ryu harus bertanggung jawab terhadap kesehatan Papa Aluna. Namun, setelah Papa Aluna meninggal, Aluna menginginkan berpisah dari Ryu. “Aku belum tahu, Bar.” Ada gura
“Mami!” Langit berseru ketika sang Mami melihat kedatangan Aluna.Aluna mendekat menampilkan senyuman lebar pada sang putra. “Ish, jangan keras-keras bicaranya nanti mengganggu pasien lain.”“Oke,” jawab Langit.“Maaf ya, lama,” ujar Aluna bicara pada seseorang yang duduk di sebelah Langit.Tangan Aluna mengulurkan kopi yang tadi sudah dibeli. “Minum dulu!”“Thanks a lot,” ucapnya setelah menerima paperglass tersebut. Kemudian, segera menyesapnya separuh, mumpung masih hangat.“Ada masalah?” tanyanya lagi.“Biasa macet.” Wanita itu mengambil duduk di ujung ranjang Langit, ia tergelak sendiri merasa sedang berbohong dan pastinya pria yang sedang menatapnya lekat itu akan curiga. Gimana ceritanya bisa macet, lha tempatnya aja hanya beberapa meter dari gedung rumah sakit ini.“Oh … macet, ya? Mungkin ada si komo lewat.”Aluna menatapnya sekilas, tak lama kemudian keduanya sama-sama tertawa karena menyadari tengah sama-sama berbohong. Mendadak hati Aluna menghangat mendengar candaan rando
“Dokter itu … apa, Aluna?” desak Bian ketika Aluna belum juga menjelaskan padahal sudah 5 menit berlalu.“Aluna!”Sontak Bian dan Aluna kompak menoleh pada suara tegas seseorang.“Kalau mau pacaran jangan di rumah sakit. Gak modal banget,” ucap Ryu sinis.Laki-laki itu menyimpan kekesalan karena Aluna pergi meninggalkan kamar sedangkan ia datang untuk mengecek kondisi Langit bukannya malah berdua dengan seorang pria. Ryu juga tidak peduli apa hubungan Aluna dengan pria itu, ia hanya tidak suka Aluna mengabaikan anaknya demi laki-laki lain.Aluna terkesiap dengan ucapan Ryu. Tangannya terkepal kuat hingga ingin melayangkan tamparan di wajahnya kalau saja bukan di tempat umum.“Kita gak lagi paca- ah, sial!” Aluna mengumpat ketika Ryu berjalan melewatinya dan tidak mau mendengarkan penjelasannya.“Hey, mau kemana, Mas!” Aluna mencekal pergelangan tangan Bian, melihat pria itu akan mengejar langkah Ryu.Bian menepis tangan Aluna dengan tatapan datar. “Kalau kamu gak mau bicara, biar aku
Kalau saja tidak sedang menjemput Renata, Ryu akan banyak berbicara dengan seseorang yang ditemuinya di dalam lift tadi. Begitu melihat keberadaan sang istri Ryu langsung melambaikan tangannya. “Mas, aku kangen sama kamu!”Ryu tersenyum lebar mendengar ucapan Renata. Sudah empat hari mereka berpisah karena Renata harus pergi ke luar kota untuk menghadiri seminar dengan salah satu Yayasan peduli anak. Di sana Renata sebagai narasumber sekaligus sebagai Dokter Anak.“Ayo pulang,” ajak Ryu seraya mengandeng tangan Renata untuk meninggalkan terminal kedatangan.Mereka berjalan menyusuri koridor menuju lobi bandara. Sampai di sana, Ryu meminta Renata untuk menunggu karena Ryu hendak mengambil mobil. Hingga mobil berwarna hitam milik Ryu sudah terparkir di depan lobi, Renata mengampiri kemudian membuka pintu sebelah kemudi. Perlahan Ryu menjalankan mobilnya meniggalkan pelataran lobi.Renata menunggu sampai Ryu memasang sabuk pengamannya, baru ia menahan Ryu yang hendak mengemudi. “Mas …!
“Gara-gara kamu sih, kan jadinya telat!” Renata mengerucutkan bibirnya kekesalannya sudah memuncak meski dia begitu menikmati cumbuan Ryu. “Aku kan gak enak sama Dokter Bambang, dipikirnya gak profesional.”Renata menuruni anak tangga menuju ruang makan.“Pagi, Mami!”Kali ini hilang sudah kekesalan di hati wanita itu melihat Mauren mendekatinya. Gadis kecilnya itu berhambur memeluknya erat. “Aku kangen sama Mami, tapi … Papi jahat, aku gak boleh masuk kamar tadi.”Renata melirik Ryu yang tanpa rasa bersalah, suaminya itu melengang menarik kursi lalu duduk dengan tenang di sana.“Kan sudah dibilang Mami masih mandi kenapa tetap mau masuk,” jawab Ryu tanpa mengalihkan perhatiannya dari piring yang sudah terisi nasi dengan ayam goreng krispi. Jelas dia tidak mau disalahkan.“Tapi aku kan mau nungguin Mami di dalam, Pi,” balas Mauren masih merasa kesal dengan penolakan Ryu setelah mengurai pelukan. Jangan lupakan tatapan kebencian terlihat dari kedua bola matanya.Renata memijat pelipisn
“Selamat pulang ke rumah dan tetap kontrol ya, untuk merawat luka-luka yang belum sepenuhnya sembuh.”“Iya, Dok,” balas Aluna. “Dan terima kasih sudah merawat putra saya sampai kami pulang.”Bara menganggukan kepalanya. Menyesalkan sikap Ryu yang masih belum datang padahal kemarin ia sudah mengatakan kalau Langit hari ini sudah bisa pulang.“Kalau ada apa-apa bisa langsung datang ke rumah sakit atau telepon ke …” Bara tidak melanjutkan ucapannya melihat perubahan wajah Aluna. “Ah, maksud saya telepon ke rumah sakit,” ralat Bara untuk menghindari kesalahpahaman.“Baik-baik ya, Langit.” Bara mengacak puncak kepala Langit. “Semoga lekas sembuh dan tidak kembali lagi ke rumah sakit lagi.”“Terima kasih, Dokter.” Langit berujar dengan sopan. Lalu seorang perawat sudah menyiapkan kursi rodanya untuk membawa Langit keluar kamar.Hari ini yang membawa Langit pulang hanya Aluna, Bian berhalangan karena laki-laki itu harus menghadiri meeting ke luar negeri. Sebelum melangkah keluar tiba-tiba po
Tidak bisa, semua yang dilakukan Ryu saat ini sudah berada di luar batas yang Aluna berikan. Dan Aluna tidak mau tinggal diam saja. Wanita itu dengan amarah yang sudah memuncak, menghampiri sofa dimana Ryu membaringkan tubuhnya. Dengan kekuatannya yang ada menarik tangan Ryu meski tubuh besar pria itu hanya terguncang sedikit.“Pulang, saya tidak mau anda di rumah saya!”Aluna mencoba menarik Ryu sekali lagi, tapi masih tidak berhasil. Sementara Ryu, hanya tersenyum samar meskipun tubuhnya bergerak tapi tidak bergeser sedikitpun.“Istirahatlah, Aluna,” ujar Ryu. Bagaimanapun, Aluna perlu istirahat setelah beberapa hari merawat Langit di rumah sakit. Andai saja diperbolehkan, Ryu juga mau merawat Langit saat di rumah sakit tetapi Aluna pasti tidak mengijinkan. Daripada berdebat di rumah sakit, lebih baik Ryu menggantinya untuk merawat di rumah seperti saat ini. “Sekarang, biar aku yang gantian merawat anak kita di rumah. Kamu cukup istirahat saja.”Anak kita, dua kali Ryu mengatakan ka
“Mami!”Aluna menoleh sekilas ke belakang, tersenyum lebar ketika Langit berjalan mendekat, sebelum kembali mengaduk ayam kecap yang ada di wajah. “Sudah bangun ya!”“Mami masak apa?” tanya Langit yang kini sudah berada di samping Aluna. Meski tinggi badannya tidak bisa menjangkau tinggi kichenset yang akhirnya Langit berjinjit untuk melihat ke dalam wajan. “Aku gak bisa lihat Mami.”Kembali Aluna menyunggingkan senyuman lalu meletakkan spatula kemudian mengendong Langit yang tiba-tiba girang saat bisa melihat apa yang ada di dalam wajan. “Wah, ayam kecap ya. Aku suka, aku suka Mi!”Wanita itu mengangguk, berjalan menuju meja makan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari dapur. Mendudukan sang putra dengan berujar, “Tunggu sini, Mami ambilkan makan buat kamu.”Langit mengangguk, tidak sabar akan makan menu kesukaannya setelah beberapa hari hanya makan, makanan dari rumah sakit yang tidak seenak masakan sang Mami. Sementara Aluna kembali ke dapur. Mengaduk sekali lagi setelahnya mematika
“Ayah …!”“Mami …!”“Yayah …!”“Mimi …!”Suara-suara berisik itu membuat Aluna mengeliat. “Mas, ayo bangun! Anak-anak sudah pulang itu,” tutur Aluna seraya memukul lengan Bian yang menempel erat di tubuhnya polosnya.“Biarin aja, nanti mereka juga diem sendiri,” ucap Bian tidak peduli.“Mas …!” hardik Aluna sebab Bian mengabaikannya. “Bangun …!”Bian berdecak pelan sebelum melepaskan tangannya dari tubuh Aluna. Bangkit dan mendudukan tubuhnya, lalu menyalakan lampu kamar. Laki-laki itu kemudian memunguti kaos dan celana pendeknya yang tergeletak di lantai. Memakainya dengan cepat dan hendak membuka pintu yang masih terkunci dari dalam. Sementara Aluna berlari ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.Saat pintu dibuka, ketiga anaknya sedang berdiri dengan wajah berseri.“Sudah pulang?” tanya Bian memandang bergantian ke arah Tegar, Langit dan Awan.“Tante belikan banyak makanan, Ayah,” sahut Langit sembari memperlihatkan satu kantung plastik berisi camilan dan susu.“Mama juga belik
“Apa keputusanmu tidak bisa diubah, Mbak?” tanya Alan dengan wajah yang lesu, lalu menghembuskan napas pelan.Segala upaya sudah dilakukan tetapi masih tidak bisa membuat Renata tersentuh dengan sikap dan tindakan yang dilakukan Alan.Renata mengelengkan kepalanya. “Tidak, kamu masih muda dan bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku.”“Kamulah yang terbaik buat aku, Mbak,” sahut Alan tegas, tidak ada keraguan sama sekali di hatinya.Renata hanya tertawa, kemudian beranjak berdiri. Pembicaraan ini pasti tidak akan menemukan titik temu karena keduanya saling keras kepala.“Mbak, aku belum selesai bicara.” Alan bergegas menghampiri Renata. “Tidak masalah kalau kamu tidak bisa mencintaiku, Mbak. Pelan-pelan aku akan buat kamu jatuh cinta sama aku,” ucap Alan, menarik siku lengan Renata dengan pelan. Laki-laki itu masih bersikeras untuk membujuk Renata.Sekali lagi Renata mengeleng tegas. Tidak ada cinta di hatinya untuk Alan, jadi buat apa menerima pinangan dari lelaki itu. Yan
“Mohon maaf Ibu, bisa masuk ke ruangan dokter,” ucap seorang perawat yang datang menghampiri Renata.“Hah, ada apa?” Renata tertegun. Namun, tiga detik kemudian wanita itu beranjak berdiri, sebab dihantui rasa penasaran yang tinggi. “Sebentar aku masuk dulu!” ucapnya pada Aluna sebelum pergi.Pintu berwarna putih itu, Renata buka dengan segera. Seketika mulutnya ternganga melihat pemandangan di depannya. “Kenapa bisa seperti ini?” ucapnya setelah mendekat. Lalu dengan cepat mengambil tisu untuk menolong Alan.“Tadi tiba-tiba Mauren mau muntah, rencananya mau aku ajak ke kamar mandi ternyata dia gak bisa nahan dan berakhirlah seperti ini,” jelas Alan sambil membersihkan bekas muntahan di brankar dengan tisu. Sementara Renata dengan spontan membersihkan baju Mauren.“Dokter Renata!”Renata mendongak dan menatap seseorang setelah namanya di panggil.“Dokter Wahyu!” gumamnya lirih. Dan saat itu juga kenangan Ryu memenuhi pikirannya. Tanpa sadar sudut matanya berembun dan ia melangkah mund
“Sus, tolong anak saya!” ucap Alan ketika tiba di klinik.Laki-laki itu berjalan mendekati meja resepsionis sambil mengendong Mauren. Ya, Mauren terlepas dari gendongan hanya saat berada di dalam mobil saja. Renata juga binggung dengan sikap tiba-tiba putrinya itu. Aneh, itulah yang terlintas di pikirannya.Seorang gadis yang duduk di balik meja resepsionis itu mendongak dan bertemu tatap dengan Alan yang wajahnya terlihat cemas.“Iya, bisa daftar dulu ya,” ucapnya sopan.Alan lalu melirik Renata yang hanya mengekor di belakangnya. “Mi, tolong isi ini,” ucap Alan dan menunjuk dagunya pada satu lembar kertas yang ada di meja, di depannya.Renata pun mendekat dan mengisi form di depannya dalam diam. Sebab, tadi di mobil sudah berdebat dengan Alan. Tidak perlu datang ke klinik karena ia akan mengompres Mauren dan akan memberikan obat penurun panas.“Mohon tunggu sebentar, kurang tiga panggilan lagi, setelah itu putri Bapak ya,” ucapnya sambil tersenyum ramah.Renata sudah seringkali berh
“Ah, apa dia tidak memiliki makanan apapun di sini?” gumam Renata saat membuka kulkas dan tidak menemukan apapun di sana kecuali dua botol air mineral berukuran sedang di pintu kulkas.“Mami …!” teriak Mauren.Suara Mauren itu mengagetkan Renata. Wanita itu buru-buru berlari menuju kamar dan mendapati Mauren yang sudah membuka matanya dengan tatapan sayu.“Sudah bangun?” tanyanya kemudian melangkah mendekat ke arah tempat tidur.“Mi, pusing,” ucap Mauren tiba-tiba.Refleks, Renata langsung menyentuh kening Mauren dengan telapak tangannya kemudian membaliknya dengan punggung tangannya. “Koq demam? Bentar Mami ambilkan kompres dulu.”Renata keluar dari kamar, menuju dapur lagi untuk mencari baskom dan kain. Sementara di dapur, wanita itu mengamati sekeliling, semua yang diperlukan tidak ada di sana.“Ah, apa yang aku harapkan di sini. Dia paling hanya numpang tidur di sini,” keluhnya lalu kembali masuk ke dalam kamar untuk menghubungi Alan.Tidak lama kemudian, Alan mengangkat teleponn
“Mau turun, gak?”“No!” jawab Renata, ia memilih bertahan di dalam mobil saja daripada harus bersama dengan Alan.“Oke,” jawab Alan lalu menutup pintu mobil. Lelaki itu berjalan ke arah belakang dan membuka pintunya.“Alan, mau dibawa ke mana Mauren?” seru Renata. Seketika kepanikan melandanya . “Biarin Mauren tidur di mobil saja!”Alan kemudian menatap Renata sekilas, kalau wanita ini ingin bertahan di dalam mobil ia tidak peduli. Tetapi ia akan membawa Mauren masuk ke dalam apartemennya.“Apa kamu gak kasihan sama Mauren tidurnya gak nyaman seperti itu.”“Aku tetap disini, Mauren juga harus tetap di sini,” sahut Renata cepat, membantah ucapan Alan.Namun, tanpa mendengarkan keinginan Renata, Alan langsung saja mengendong Mauren dan membawanya masuk.“Hey,” seru Renata. Alan menyematkan senyuman tipis kala melirik Renata yang turun dari mobil kemudian mengikuti langkahnya masuk ke dalam gedung apartemen.“Alan, aku bilang-”“Jangan berisik, Mbak!”Tanpa Renata sadari langkahnya terus
“Kamu mau buat aku malu, Alan Sanjaya?”Begitu keluar dari gedung, Renata menarik tangan lelaki itu untuk mengikutinya. Melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan orang-orang. Setelah sampai di ujung koridor yang sepi, wanita itu menghentikan langkahnya sembari berkaca pinggang. Kekesalannya sudah memuncak seiring sikap Alan yang santai seolah tidak pernah melakukan kesalahan.“Mbak …!”“Aku bukan Mbakmu!” jerit Renata frustasi, merasa muak dengan panggilan itu karena Alan memanggilnya dengan suara rendah dan lembut.Sedangkan lelaki itu mengulum senyum. Selama ini, Renata tidak pernah protes dengan cara panggilnya, tetapi tiba-tiba dia mengklaim bukan Mbaknya.“Oke, kalau begitu aku panggil Sayang saja,” ucapnya disertai kekehan, meski mata Renata sudah menyorotnya tajam, Alan tidak peduli.“Jawab aku, Alan!” bentak Renata sudah hilang kesabarannya. “Kamu mau buat aku dan Mauren malu, hah! Belum cukup ka-”Renata tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika kelima jari Alan singgah di bi
Hari ini, Alan sengaja datang ke sekolahan Mauren. Semalam, Bara mengirimkan pesan bahwa di sekolahan Mauren sedang ada acara, tidak membuang kesempatan Alan akan hadir di acara tersebut.Lelaki itu berangkat tanpa memberitahu pada sang putri. Ia tidak peduli, kalau ternyata nanti di sana akan mendapatkan penolakan. Ia bisa memastikan nanti akan bertemu dengan Renata di dalam. Sekali lagi, Alan katakan tidak peduli.Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya dia menepikan mobilnya di parkiran khusus untuk pengunjung.Sikap Alan yang ramah membuat tidak ada kecanggungan bila harus menyapa orang-orang yang sebelumnya tidak kenal. Dengan langkah tegas, tidak ada keraguan sedikitpun lelaki itu berjalan menjangkau menuju gedung Aula, tempat diadakannya acara tersebut.Ketika Alan sudah mencapai gedung tersebut, langkahnya terhenti sebab ada seorang resepsionis yang berjaga sembari menyodorkan buku tamu bagi yang akan masuk.“Selamat siang, maaf dengan wali murid siapa ya
Renata dan Alan duduk bersisihan di teras rumah. Hari ini memang Alan sengaja datang di malam hari untuk bisa bertemu dan berbicara dari hari ke hati dengan Renata. Semenjak kepulangan wanita itu dari rumah sakit dan Alan yang pindah ke apartemen, membuat keduanya jarang bertemu. Sekalinya Alan ingin mengantar Mauren ke sekolah, hal itu sudah lebih dulu dilakukan oleh Renata.Selama hampir sepuluh belas menit, tidak ada yang bersuara di antara keduanya. Hanya suara angin yang bertiup seolah memecahkan keheningan . Dan selama itu pula, tatapan Alan hanya tertuju pada wajah cantik Renata. Dari situ Alan dapat mengamati dengan jelas wajah Renata yang tidak banyak berubah setelah bertahun-tahun tidak bertemu.Sungguh bodoh, dirinya dulu meninggalkan wanita ini. Harusnya saat itu dia tidak meninggalkan Renata dan membangun keluarga kecilnya, mempertahankan wanita yang dia cintai meski jalan itu tidak akan mudah karena pertentangan dari kedua keluarga. Namun, sekarang hanya penyesalan yang