“Mi …!”
Aluna yang membaringkan wajahnya pada kedua tangan yang terlipat di samping kepala Langit, hanya mengeliat saja ketika mendengar suara yang begitu familiar buatnya. Bukannya segera membuka mata melainkan ia hanya bergumam saja. “Hmm.”
Setelah semalam ia tidak bisa tidur karena memikirkan sikap Ryu yang tiba-tiba pergi, membuat wanita yang berprofesi sebagai Dosen itu sulit memejamkan mata. Alhasil, sebelum Subuh dia baru bisa terlelap.
“Mami…!” panggilan itu terdengar untuk yang kedua kalinya dengan suara sedikit keras.
Detik itu barulah Aluna membuka mata. “Sayang, kamu sudah bangun!”. Aluna menegakkan punggungnya agar bisa menatap sang putra. “Ada yang sakit, Nak!” Tangan Aluna terulur untuk menyentuh tangan Langit kemudian mengusapnya pelan.
“Ha-haus, Mi.”
“Iya, bentar Mami ambilkan.” Aluna bangkit dan menuju nakas, mengambil air putih yang memang sudah disiapkan oleh rumah sakit. Membuka tutupnya kemudian mendekatkan pada bibir Langit. Bocah itu meneguknya pelan. “Sudah?” tanya Aluna setelah Langit mencoba menjauhkan botol dari bibirnya. Langit hanya menjawab dengan anggukan tanpa bersuara.
Aluna meletakkan kembali botol pada tempat semula. Setelahnya ia duduk di samping brankar seraya membelai puncak kepala Langit. “Apa yang dirasakan sekarang? Ah … Mami panggilkan Dokter dulu ya!”
Tanpa menunggu jawaban Langit, Aluna segera meraih tombol darurat yang ada di dinding di atas brankar, menekannya dan langsung terhubung ke ruang perawat. “Sus, anak saya sudah sadar. Oh, iya … atas nama Langit Yudhistira.”
Suatu kebahagiaan pagi ini bisa melihat Langit sudah sadar. Mengingat kondisi Langit yang memburuk semalam.
“Selamat pagi!”
Aluna sontak berubah menegang setelah mendengar ketukan pintu dan sekarang melihat kedatangan seseorang yang pastinya tidak diharapkan. Tidak berbeda dengan Aluna, Langit juga merasakan hal yang sama bahwa ia tidak menyukai Ryu.
“Mi, kenapa ada Papi Mauren di sini?” tanya Langit pada Aluna meski tatapannya tertuju pada Ryu yang kini berjalan mendekat. “Om, jangan marahi Mamiku lagi! Langit tidak akan nakal lagi sama Mauren,” ucap Langit sambil mengelengkan kepalanya pelan.
Aluna tidak menyukai situasi seperti ini. Langit perlu ketenangan dan hal seperti ini bisa saja menguncang jiwanya. “Langit, Om ini Dokter di sini ja- eh, jangan mendekat, mau ngapain Dokter?”
Terlambat, Ryu sudah mengikis jarak dengan Langit dan apa yang laki-laki itu lakukan membuat Aluna, apalagi Langit tercengang.
“Maaf,” Banyak penyesalan di hatinya yang tidak mampu diucapan apalagi membuat sang anak ketakutan. Pelukan Ryu kian erat, tanpa terasa setetes buliran bening jatuh dari sudut matanya. “Maafkan … Om yang sudah kasar sama Mami kamu ya.” Lebih dia tidak memaksa Langit untuk memanggilnya Papi. Cukup dengan panggilan Om asal bisa sedekat ini dengan sang anak.
Ada rasa haru di hati Ryu mendapatkan kesempatan memeluk Langit. Kalau saja dia tidak menututi keinginan Aluna untuk berpisah, mungkin kini mereka menjadi keluarga yang bahagia. Tapi ya sudahlah, sekarang tidak ada gunanya meratapi masa lalu. Dan mulai hari ini ia sudah berjanji dalam hati untuk mengambil hati Langit.
“Sesak, Om!”
Celetukan Langit menyadarkan Ryu. Dokter spesialis Jantung itu lalu melepas dekapannya pada Langit. Sekali lagi ia mengucapkan penyesalannya. “Om minta maaf ya.”
Sementara Aluna yang berdiri di samping brankar itu tidak bisa berbuat apa-apa. Jujur ada sedikit rasa yang sulit diungkapkan ketika melihat kedua laki-laki berbeda generasi itu berpelukan. Namun, buru-buru ia sadarkan dirinya agar tidak terlalu berharap pada mantan suaminya itu. Aluna tidak mau menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Ryu.
Aluna tidak tahu kalau kedatangan Ryu karena panggilannya pada perawat beberapa saat yang lalu, ia pikir mantan suaminya itu memang datang khusus untuk Langit. Maka dari itu Aluna berniat untuk menekan tombol lagi karena sudah terlalu lama menunggu sedangkan Dokter ataupun perawat belum juga ada yang datang.
“Hal …
“Sudah ada saya, Aluna. Tidak perlu panggil Dokter lagi.” Ryu berseru membuat Aluna menghentikan suaranya pada sambungan intercom padahal suster yang disana sudah berteriak menjawab panggilannya. “Hari ini saya sebagai Dokter jaga.”
Aluna langsung memutus sambungan tanpa memberi penjelasan.
“Oh, ya sudah. Tolong periksa anakku sekarang,” ujar Aluna kemudian menyingkir agar Ryu lebih leluasa untuk memeriksa.
“Anakmu juga anakku, Aluna!” gumam Ryu tanpa menoleh kearah Aluna yang sudah berjalan menjauh.
Selang beberapa detik seorang perawat datang dengan file di tangannya. Seolah paham apa yang harus dilakukan, Ryu segera bangkit dan memeriksa kondisi Langit. Lantas, perawat tersebut dan Ryu terlibat pembicaraan serius dengan bahasa kedokteran yang hanya dipahami oleh mereka berdua. Sampai akhirnya Ryu berkata pada Aluna bahwa kondisi Langit sudah jauh lebih baik dan kalau tidak ada masalah lain, lusa kemungkinan sudah bisa pulang.
“Oke, kamu lanjutkan pekerjaanmu!” Ryu berucap pada perawat yang sudah menemaninya untuk meninggalkan ruangan.
Aluna hampir bisa bernaapas lega dengan kepergian perawat, itu artinya sebentar lagi Ryu juga akan meninggalkan ruangan ini. Namun, pikirannya salah karena, mantan suaminya itu sedang menarik kursi dan sengaja duduk di samping Langit.
“Om, bolehkan ngobrol-ngobrol dengan kamu? Ah, anggap Om sebagai teman kamu, dan kamu bisa cerita apa saja dengan Om.”
Daripada menuruti ucapan Aluna untuk menjauh, lebih baik ia bersikap hanya seperti Dokter baik hati yang peduli pada pasiennya.
Langit tampak ragu, apakah dia harus bersikap baik pada Papinya Muren ini, sementara di sekolah sikap Ryu tidak sebaik saat ini.
“Kamu jangan takut ya, Om cuman pengen jadi teman Langit. Dan atas nama Mauren, Om minta maaf ya atas sikapnya.”
Langit hanya mengangguk tanpa mau berucap.
Ryu mengulurkan jari kelingkingnya di hadapan Langit. “Bisa kita berteman, Boy?”
Lagi-lagi Langit dibuat tidak percaya dengan yang dilihat saat ini. Laki-laki yang diawal pertemuannya bersikap acuh, kasar bahkan yang melekat di ingatan Langit memarahi sang Mami nyatanya sekarang seperti memiliki dua kepribadian, menjadi lebih peduli dan perhatian.
Jari kelingking itu masih bertahan di hadapannya. Langit melirik sang Mami, seolah meminta persetujuan apakah ia harus menerima atau tidak. Akan tetapi gelengan kepala Aluna adalah jawabannya.
Langit refleks mengeleng juga setelah mengalihkan seluruh atensinya pada Ryu.
Ryu tahu, mungkin Langit masih butuh waktu untuk bisa melupakan sikap tidak menyenangkan Ryu.
“Oke, tidak papa kalau tidak mau,” tandas Ryu sambil menurunkan jemarinya, mencoba bersabar menghadapi Langit.
“Sekarang, apa yang dirasakan Langit, ah, maksudnya apa bagian tubuh Langit ada yang sakit?”
Langit mengeleng lesu, tidak tahu harus bersikap apa. Tanpa merasa sakit hati, Ryu hanya tersenyum melihat sikap acuh Langit.
“Ah …, kalau ice cream atau coklat mana yang disukai Langit?” tanya Ryu mencoba mengenal sang putra dengan obrolan ringan yang disukai anak-anak.
“Ice cream!” Seketika Langit berseru menjawab.
“Dokter, kapan anda akan pergi. Saya rasa, Langit masih butuh istirahat.”
Tidak sabar harus menunggu Ryu pergi. Aluna yakin kalau pria itu sengaja berlama-lama di kamar Langit untuk mendekatkan diri dengan putranya.
“Langit, kalau misalnya setelah pulang dari rumah sakit, Om traktir makan ice cream mau atau tidak? Langit boleh makan sepuasnya dan terserah mau dimana tempatnya.” Mengabaikan ucapan Aluna, Ryu masih saja mencoba mendekati sang anak. “Atau mau selain ice cream juga boleh.”
“Dokter!” Bisa dengar ucapan saya tidak?”desis Aluna menahan kemarahan yang sudah memuncak karena ucapannya yang sebelumnya diabaikan oleh Ryu.
Satu hal yang Ryu tidak boleh lakukan adalah memarahi Aluna, karena itu permintaan Langit. Jadi meskipun Aluna sudah mencoba menarik tangannya agar pergi, laki-laki itu tidak sekalipun membalasnya.
“Saya bisa cekal anda masuk ke kamar Langit kalau terus tidak tahu diri,” ucap Aluna pelan dan dibalas tatapan datar oleh Ryu.
“Oke, Langit, nanti Om datang lagi ya. Sekarang kamu istirahat .”
Langit terpaksa harus meninggalkan kamar inap Langit. Sebab Aluna sebab ancaman mantan istrinya itu dan juga sudah berhasil menyeretnya sampai di ambang pintu.
“Saya harap ini pertemuan terakhir kita!” Belum juga mendapatkan jawaban Ryu, ia sudah menutup rapat pintunya.
“Mami, kenapa Om Dokter jadi baik sama Langit ya?”
“Itu karena …
tbc
Berbagi“Apa rencanamu setelah ini, Ryu?”Bara menatap penuh selidik pada sang teman lalu meraih gelas di hadapannya yang masih mengepulkan asap. Bibirnya meniup-niup agar hawa napasnya berkurang. Sesaat kemudian menyesapnya. Melihat sang lawan bicara belum memberikan jawaban, ia melanutkan ucapannya. “Kalau Renata tahu kamu masih ngasih perhatian ke mantan, dia bisa ngamuk.”Barayudha Al Ghifari, teman sejawat Ryu. Keduanya sama-sama berprofesi sebagai Dokter Spesialis Jantung. Ryu memang pernah bercerita tentang pernikahan pertamanya dengan Aluna, tetapi pernikahan tersebut kandas bahkan belum genap satu bulan.Pernikahan singkat Ryu tidak banyak yang mengetahui termasuk Bara yang belum sempat dikenalkan dengan Aluna. Yang Bara tahu, pernikahan Ryu dan Aluna adalah pernikahan dadakan yang dibuat oleh Papa Aluna karena Ryu harus bertanggung jawab terhadap kesehatan Papa Aluna. Namun, setelah Papa Aluna meninggal, Aluna menginginkan berpisah dari Ryu. “Aku belum tahu, Bar.” Ada gura
“Mami!” Langit berseru ketika sang Mami melihat kedatangan Aluna.Aluna mendekat menampilkan senyuman lebar pada sang putra. “Ish, jangan keras-keras bicaranya nanti mengganggu pasien lain.”“Oke,” jawab Langit.“Maaf ya, lama,” ujar Aluna bicara pada seseorang yang duduk di sebelah Langit.Tangan Aluna mengulurkan kopi yang tadi sudah dibeli. “Minum dulu!”“Thanks a lot,” ucapnya setelah menerima paperglass tersebut. Kemudian, segera menyesapnya separuh, mumpung masih hangat.“Ada masalah?” tanyanya lagi.“Biasa macet.” Wanita itu mengambil duduk di ujung ranjang Langit, ia tergelak sendiri merasa sedang berbohong dan pastinya pria yang sedang menatapnya lekat itu akan curiga. Gimana ceritanya bisa macet, lha tempatnya aja hanya beberapa meter dari gedung rumah sakit ini.“Oh … macet, ya? Mungkin ada si komo lewat.”Aluna menatapnya sekilas, tak lama kemudian keduanya sama-sama tertawa karena menyadari tengah sama-sama berbohong. Mendadak hati Aluna menghangat mendengar candaan rando
“Dokter itu … apa, Aluna?” desak Bian ketika Aluna belum juga menjelaskan padahal sudah 5 menit berlalu.“Aluna!”Sontak Bian dan Aluna kompak menoleh pada suara tegas seseorang.“Kalau mau pacaran jangan di rumah sakit. Gak modal banget,” ucap Ryu sinis.Laki-laki itu menyimpan kekesalan karena Aluna pergi meninggalkan kamar sedangkan ia datang untuk mengecek kondisi Langit bukannya malah berdua dengan seorang pria. Ryu juga tidak peduli apa hubungan Aluna dengan pria itu, ia hanya tidak suka Aluna mengabaikan anaknya demi laki-laki lain.Aluna terkesiap dengan ucapan Ryu. Tangannya terkepal kuat hingga ingin melayangkan tamparan di wajahnya kalau saja bukan di tempat umum.“Kita gak lagi paca- ah, sial!” Aluna mengumpat ketika Ryu berjalan melewatinya dan tidak mau mendengarkan penjelasannya.“Hey, mau kemana, Mas!” Aluna mencekal pergelangan tangan Bian, melihat pria itu akan mengejar langkah Ryu.Bian menepis tangan Aluna dengan tatapan datar. “Kalau kamu gak mau bicara, biar aku
Kalau saja tidak sedang menjemput Renata, Ryu akan banyak berbicara dengan seseorang yang ditemuinya di dalam lift tadi. Begitu melihat keberadaan sang istri Ryu langsung melambaikan tangannya. “Mas, aku kangen sama kamu!”Ryu tersenyum lebar mendengar ucapan Renata. Sudah empat hari mereka berpisah karena Renata harus pergi ke luar kota untuk menghadiri seminar dengan salah satu Yayasan peduli anak. Di sana Renata sebagai narasumber sekaligus sebagai Dokter Anak.“Ayo pulang,” ajak Ryu seraya mengandeng tangan Renata untuk meninggalkan terminal kedatangan.Mereka berjalan menyusuri koridor menuju lobi bandara. Sampai di sana, Ryu meminta Renata untuk menunggu karena Ryu hendak mengambil mobil. Hingga mobil berwarna hitam milik Ryu sudah terparkir di depan lobi, Renata mengampiri kemudian membuka pintu sebelah kemudi. Perlahan Ryu menjalankan mobilnya meniggalkan pelataran lobi.Renata menunggu sampai Ryu memasang sabuk pengamannya, baru ia menahan Ryu yang hendak mengemudi. “Mas …!
“Gara-gara kamu sih, kan jadinya telat!” Renata mengerucutkan bibirnya kekesalannya sudah memuncak meski dia begitu menikmati cumbuan Ryu. “Aku kan gak enak sama Dokter Bambang, dipikirnya gak profesional.”Renata menuruni anak tangga menuju ruang makan.“Pagi, Mami!”Kali ini hilang sudah kekesalan di hati wanita itu melihat Mauren mendekatinya. Gadis kecilnya itu berhambur memeluknya erat. “Aku kangen sama Mami, tapi … Papi jahat, aku gak boleh masuk kamar tadi.”Renata melirik Ryu yang tanpa rasa bersalah, suaminya itu melengang menarik kursi lalu duduk dengan tenang di sana.“Kan sudah dibilang Mami masih mandi kenapa tetap mau masuk,” jawab Ryu tanpa mengalihkan perhatiannya dari piring yang sudah terisi nasi dengan ayam goreng krispi. Jelas dia tidak mau disalahkan.“Tapi aku kan mau nungguin Mami di dalam, Pi,” balas Mauren masih merasa kesal dengan penolakan Ryu setelah mengurai pelukan. Jangan lupakan tatapan kebencian terlihat dari kedua bola matanya.Renata memijat pelipisn
“Selamat pulang ke rumah dan tetap kontrol ya, untuk merawat luka-luka yang belum sepenuhnya sembuh.”“Iya, Dok,” balas Aluna. “Dan terima kasih sudah merawat putra saya sampai kami pulang.”Bara menganggukan kepalanya. Menyesalkan sikap Ryu yang masih belum datang padahal kemarin ia sudah mengatakan kalau Langit hari ini sudah bisa pulang.“Kalau ada apa-apa bisa langsung datang ke rumah sakit atau telepon ke …” Bara tidak melanjutkan ucapannya melihat perubahan wajah Aluna. “Ah, maksud saya telepon ke rumah sakit,” ralat Bara untuk menghindari kesalahpahaman.“Baik-baik ya, Langit.” Bara mengacak puncak kepala Langit. “Semoga lekas sembuh dan tidak kembali lagi ke rumah sakit lagi.”“Terima kasih, Dokter.” Langit berujar dengan sopan. Lalu seorang perawat sudah menyiapkan kursi rodanya untuk membawa Langit keluar kamar.Hari ini yang membawa Langit pulang hanya Aluna, Bian berhalangan karena laki-laki itu harus menghadiri meeting ke luar negeri. Sebelum melangkah keluar tiba-tiba po
Tidak bisa, semua yang dilakukan Ryu saat ini sudah berada di luar batas yang Aluna berikan. Dan Aluna tidak mau tinggal diam saja. Wanita itu dengan amarah yang sudah memuncak, menghampiri sofa dimana Ryu membaringkan tubuhnya. Dengan kekuatannya yang ada menarik tangan Ryu meski tubuh besar pria itu hanya terguncang sedikit.“Pulang, saya tidak mau anda di rumah saya!”Aluna mencoba menarik Ryu sekali lagi, tapi masih tidak berhasil. Sementara Ryu, hanya tersenyum samar meskipun tubuhnya bergerak tapi tidak bergeser sedikitpun.“Istirahatlah, Aluna,” ujar Ryu. Bagaimanapun, Aluna perlu istirahat setelah beberapa hari merawat Langit di rumah sakit. Andai saja diperbolehkan, Ryu juga mau merawat Langit saat di rumah sakit tetapi Aluna pasti tidak mengijinkan. Daripada berdebat di rumah sakit, lebih baik Ryu menggantinya untuk merawat di rumah seperti saat ini. “Sekarang, biar aku yang gantian merawat anak kita di rumah. Kamu cukup istirahat saja.”Anak kita, dua kali Ryu mengatakan ka
“Mami!”Aluna menoleh sekilas ke belakang, tersenyum lebar ketika Langit berjalan mendekat, sebelum kembali mengaduk ayam kecap yang ada di wajah. “Sudah bangun ya!”“Mami masak apa?” tanya Langit yang kini sudah berada di samping Aluna. Meski tinggi badannya tidak bisa menjangkau tinggi kichenset yang akhirnya Langit berjinjit untuk melihat ke dalam wajan. “Aku gak bisa lihat Mami.”Kembali Aluna menyunggingkan senyuman lalu meletakkan spatula kemudian mengendong Langit yang tiba-tiba girang saat bisa melihat apa yang ada di dalam wajan. “Wah, ayam kecap ya. Aku suka, aku suka Mi!”Wanita itu mengangguk, berjalan menuju meja makan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari dapur. Mendudukan sang putra dengan berujar, “Tunggu sini, Mami ambilkan makan buat kamu.”Langit mengangguk, tidak sabar akan makan menu kesukaannya setelah beberapa hari hanya makan, makanan dari rumah sakit yang tidak seenak masakan sang Mami. Sementara Aluna kembali ke dapur. Mengaduk sekali lagi setelahnya mematika
“Mami …!”Panggilan yang diucapkan Mauren tidak membuat wanita yang sedang menatap kosong ke luar jendela bergerak.“Mami … Mauren kang-”Renata menoleh, menatap ke arah Mauren. Detik berikutnya, wanita itu berteriak histeris dengan telunjuk mengarah pada Mauren di ambang pintu.“Mauren, kamu anak sialan. Pergi, pergi … pergi anak sialan kamu!”Awalnya Mauren sudah percaya diri kalau kali ini kunjungannya bakal diterima oleh sang Mami. Akan tetapi, diluar expektasinya ternyata Renata menolak kedatangannya lagi dan ini sudah yang kesekian kalinya.Sementara Alan yang berada di belakang Mauren, seketika memberikan pelukan dari samping pada anak gadisnya itu untuk menguatkan. “Biar Ayah yang coba ya,” ucapnya.“Tap-tapi ….” Suara Mauren bergetar menahan isakan. Ia bisa menerima ketika Renata membentaknya tetapi tidak mengumpatinya. Gadis berusia delapan tahun itu semakin sesak dadanya ketika melihat tatapan tajam sang Mami. Buliran bening yang sempat ditahannya tidak mampu lagi disembun
Setelah tiga hari dua malam berada di rumah sakit, akhirnya Aluna diperbolehkan pulang. Meskipun Bian memberikan kamar VVIP saat di rumah sakit, tetapi Aluna lebih menyukai tinggal di rumah sederhananya.“Sudah semua kan?” tanya Bian sambil menelisik satu persatu barang yang akan dibawanya pulang ke rumah.“Kayaknya ….” Aluna ikut berdiri di samping Bian sambil memperhatikan sekeliling, mana tahu ada yang tertinggal. “Sudah semua deh, Mas.”“Selamat siang!” Suara dokter Lia terdengar dari arah pintu.“Selamat siang, dok,” sapa Aluna menjawab salam dokter Lia. Bian hanya tersenyum menjawab sapaan dokter yang telah membantu proses kelahiran Awan.“Jadi mau pulang hari ini ya?” ucap dokter Lia setelah menatap bayi tampan Aluna yang masih tidur. “Hem … bayinya tampan seperti Ayahnya.” Dokter Lia mengatakan lagi sambil menatap Bian dengan tersenyum.“Dia bukan-”“Ah, terima kasih, dok,” sela Bian dengan terkekeh. Lalu melirik Aluna. Wanita itu sedang menatapnya geregetan dan Bian tidak pe
“Tante, nanti pulang sekolah aku boleh jenguk Mami dulu ya?” tanya Mauren pada Nia. Sudah delapan bulan, semenjak Renata berada di rumah sakit jiwa, Mauren tinggal bersama keluarga Bara. Mauren melanjutkan kunyahannya yang ada di mulutnya baru kemudian melanjutkan ucapannya. “Tapi kalau gak ada ekskul, sih.”“Jangan dulu deh, tunggu Om Bara off dulu aja ya. Nanti biar ditemani,” jawab Nia sambil mengaduk minuman hangatnya untuk sang suami. Biasanya memang Mauren di temani oleh Bara jika ingin datang ke rumah sakit. “Coba tanya sama Om Bara, kapan off.”“Tan, aku ke sana sama Ayah koq.” Mauren segera menghabiskan nasi goreng yang ada di piringnya. Menyisahkan nugget yang biasanya ia makan belakangan. “Jadi gak sama Om.”Mauren memang sudah bisa menerima kehadiran Alan sebagai Ayahnya. Tetapi hubungan mereka tidak lah terlalu dekat karena di saat butuh saja Mauren mendatangi lelaki itu. Alan pun tidak masalah jika Mauren hanya memanfaatkannya saja. Toh, ada darahnya yang mengalir di tu
Delapan bulan kemudian …Aluna meringis, merasakan nyeri itu kembali datang. Sesuai hari perkiraan lahir, harusnya masih seminggu lagi. Akan tetapi, sejak bangun tadi pagi ia merasakan beberapa kali nyeri. Merasa sudah berpengalaman saat melahirkan Langit dulu, Aluna bergegas menuju klinik.“Kita langsung ke rumah sakit saja ya,” ucap Bian. Laki-laki itu langsung berangkat menuju rumah Aluna saat di telepon Aluna. Acara meeting yang masih setengah jalan, terpaksa ia tinggalkan. Tidak masalah meninggalkan kantor, karena Aluna adalah prioritasnya saat ini.“Klinik saja, Mas!” pinta Aluna. Setiap bulan Aluna memang kontrol di klinik tersebut. Selain itu lokasi yang dekat dengan rumah, membuat tidak menghabiskan waktu di perjalanan.Desahan pelan keluar dari bibir Bian. Ia hanya ingin Aluna mendapatkan pelayanan yang terbaik dan lengkap jika datang ke rumah sakit. Tetapi wanita hamil itu ternyata masih saja keras kepala. Aluna masih trauma datang ke rumah sakit setelah kepergian Ryu. Lant
“Stop, Renata!” teriak Bara. Ketika mendengar kegaduhan di dalam kamar, ia tidak bisa menunggu lagi sampai Alan keluar. Tanpa permisi Bara membuka pintu. Untuk pertama kalinya pria itu tercengang dengan apa yang dilihatnya. Akal sehatnya masih menyangkal apa benar ini yang dilakukan oleh istri Ryu. Bara lantas mendekati Renata menarik kedua tangan wanita itu dari kepala Alan kemudian mencengkramnya dengan kuat. “Kamu mau jadi pembunuh, hah? Mau kamu membusuk di buih, hah! Kalau kamu gak bisa mengendalikan diri, terpaksa aku bawa kamu ke rumah sakit jiwa. Mau kamu seperti itu, ya?”“Pergi, Alan!” ucap Bara setelah tangan Renata terlepas dari kepala Alan. “Kamu juga, bodoh atau gimana sih, diam saja diha-”“Saya ikhlas, Mas,” sahut Alan tidak menyimpan dendam sama sekali pada Renata. “Kalau dengan seperti ini bisa membuat Mbak Renata memaafkan saya.”“Konyol itu namanya,” geram Bara. “Mati sia-sia, belum tentu dimaafkan juga.” Kembali decakan kesal keluar dari bibir Bara. “Ck, sebenarny
“Kamu …” Renata mengacungkan telunjuknya dan mengarahkan pada lelaki yang telah memanggilnya beberapa saat yang lalu. “Pergi! Brengsek, kamu!” Tanpa ragu Renata melempar bantal yang ada di sampingnya ke arah laki-laki tersebut.Bara yang masih berada di dalam kamar. Menyadari Renata yang akan mengamuk lagi, ia refleks menutup pintunya rapat. Mengangkat kedua tangannya di depan dada. “Ren, bisa tenang! Aku mau bantu kamu, tapi tolong kamu tenang. Di luar akan banyak orang, kalau kamu seperti ini mereka akan mengira kalau kamu gila. Pasti kamu tahu dimana orang gila berada, kan.”“Kamu ngatain aku gila, Mas?” Di sela amukannya Renata masih bisa berpikir normal. “Aku gak gila, Mas.” Wanita itu jatuh di lantai sambil menekuk lututnya. Suaranya bergetar dengan buliran bening yang tiba-tiba menetes di pipi. “Maaf … Mas Ryu, harusnya … aku, harusnya … aku.” Ada rasa sakit yang tak terlihat menghujam, saat menyadari tindakannya yang telah membuat Ryu menghembuskan napas terakhirnya. Kembali r
“Gimana keadaannya, Mas?”Bara baru saja menutup pintu kamar berwarna putih itu, menoleh ke samping, ada sebelah tangan memeluk lengannya. Berdiri sang istri dengan wajah khawatir. Ia memang merutuki apa yang diperbuat Renata, tetapi melihat kondisinya yang sekarang membuatnya sangat iba. Bara tidak langsung menjawab, laki-laki itu menghela sebentar lalu menatap pintu yang ia tutup barusan. Tidak akan mengira apa yang telah terjadi pada Renata. Jiwanya terguncang setelah melihat sang suami dikubur di bawah tanah. Sementara istri Ryu yang satunya terlihat tegar dan bisa menerima takdir ini. Berjalan menuju sofa yang ada di depannya lantas mendudukan bokongnya di sana. Nia yang tidak melepaskan lengan Bara, mengikuti dengan duduk di sofa yang sama.“Aku pikir, kalau dia masih belum ada perubahan, kita bawa ke rumah sakit saja,” jawabnya lirih. Setelah mengamuk dan berteriak histeris di pemakaman, Bara telah berhasil menenangkan. Namun, ketika sudah sampai di rumah, Renata mengamuk lagi
“Ayah, sekarang aku sudah tidak punya Papi lagi.”Suara Langit memecahkan keheningan diantara ketiga orang yang sedang berada di dalam mobil. Setelah Bian mengatakan untuk mengajak pulang Aluna, wanita itu menurut. Meski hatinya masih tidak rela untuk meninggalkan pemakaman Ryu. Bian benar, ini adalah takdir yang harus Aluna jalani.Kepala Bian menoleh, tujuannya bukan Langit, melainkan Aluna yang berada di sampingnya. Tatapan penuh kesedihan tidak pernah lepas dari jalanan di depannya. Walaupun Bian tahu, Aluna pasti terusik dengan kalimat Langit tersebut.Lalu sentuhan tangan Bian pada punggung tangan wanita itu, meremasnya dengan lembut. “Are you oke?”“Hmm.” Aluna menjawab hanya bergumam. Wanita itu seolah tidak memiliki gairah hidup setelah kehilangan Ryu. Bian paham, dibalik sifat keras ingin meninggalkan Ryu, Aluna sangat mencintai mantan suaminya itu. Aluna lantas mengusap perutnya yang masih rata, seketika terhenyak, kalau di sana ada kehidupan lain, ada calon anaknya. Makany
“Gak mungkin!”Sesaat setelah mengatakan itu, tubuh Aluna ambruk. Dengan sigap, Bian melepaskan genggaman tangan Langit dan meraih pinggang Aluna, lalu mendekapnya dengan erat.“Mami!” Langit mendekati Aluna menampilkan wajah ketakutan. Matanya berembun dengan suara bergetar. “Ayah, Mamiku kenapa?”“Langit cari duduk dulu ya, Ayah urus Mami dulu.” Di saat seperti ini, Bian tidak bisa mengurusi dua orang sekaligus. “Iya,” jawab Langit kemudian meranjak menuju bangku yang tidak jauh dari Bian. Bocah laki-laki itu masih belum paham situasi yang ada. Namun, Bian bisa melihat kalau tangannya beberapa kali mengusap pipi.“Aluna bangun!” panggil Bian sambil menepuk-nepuk pipinya. Saat maniknya bertatapan dengan bangku di sebelah Langit, Bian segera mengangkat tubuh Aluna. Merutuki kebodohannya, harusnya ia bisa pelan-pelan memberitahu Aluna. Melupakan kalau Aluna sedang hamil dan ibu hamil tidak boleh banyak pikiran apalagi stress. “Maaf, harusnya aku-”“Ini ada apa?”Bian sontak mengangka