“Tolong menjauhlah dari kami, Dok!”
Aluna pikir, dengan kehadiran Ryu membuat kondisi sang putra menjadi memburuk. Jadi lebih baik pertemuan ini di sudahi saja.
Mendengar permintaan Aluna, Ryu refleks menatap wanita yang dari tadi hanya terfokus pada Langit saja dan mengabaikan dirinya yang juga sedang sangat khawatir dengan kondisi Langit.
“No,” ucap Ryu tegas menolaknya, dia bukanlah orang yang akan lari dari tanggung jawab kendati mereka sudah tidak terikat dalam pernikahan. “Harusnya kamu sadar dengan penolakan Langit seperti ini, salah satunya juga karena kesalahanmu yang tidak pernah mempertemukan kami, dia tidak mengenal sosok Ayahnya.” Ryu tertawa hambar seolah mengejek dirinya sendiri yang menjadi orang bodoh, anak kandungnya tidak ia kenali padahal anak yang lain sangat ia sayangi. “Langit berhak tahu siapa Ayah kandungnya.”
Ini yang ditakutkan Aluna ketika bertemu dengan mantan suaminya. Laki-laki itu akan meminta haknya sebagai Ayah Langit. “Tapi Langit sudah menolak kamu, Dok! Jadi percuma saja kalau kamu tetap memaksa.” Daripada menyuruh Ryu menjauh yang pastinya tidak akan dituruti , lebih baik menyadarkan mantan suaminya itu dengan fakta yang ada. Fakta yang tidak bisa disangkal kalau Langit tidak menginginkannya.
Tidak salah yang dikatakan Aluna bahwa Ryu menerima penolakan dari sang putra. Tetapi ia ingin bersikap egois dengan mengabaikan hal itu. “I don’t care. Aku akan berusa-”
“Enggak, aku bilang cukup sampai disini.” Aluna mengangkat telapak tangannya mengarahkan pada Ryu, menegaskan ia tidak mau berkompromi lagi. Lalu decakan kecil keluar dari bibirnya sebelum melanjutkan ucapannya. “Kalau sampai terjadi sesuatu dengan anakku, saya tidak akan pernah memaafkanmu, Dok!”
Ryu berjalan mendekat, menurunkan tangan Aluna yang masih bebas di udara. “Turunkan tanganmu, juga emosimu karena … sekarang kondisi Langit sudah membaik.” Ryu mencoba bersabar menghadapi Ibu dari yang melahirkan anaknya. Lantas, Aluna mendesis sembari menarik tangannya yang hampir saja di genggam Ryu. “Jangan pegang-pegang!”
Ryu terkekeh melihat lengannya dipukul oleh Aluna. Mantan istrinya itu masih saja galak padahal sudah tujuh tahun berlalu tetapi sikapnya masih tidak berubah. Namun, wajahnya berubah canggung ketika ia baru menyadari sesuatu. Laki-laki itu mendekati brankar kemudian menepuk pelan bahu seseorang yang sudah membantu untuk menyelamatkan Langit.
Ryu bisa melakukan tindakan sendiri kalau saja Aluna bisa tenang, tapi yang terjadi wanita itu membuat kosentrasinya pecah dengan kepanikan. Sementara Ryu yang menenangkan Aluna dan Langit ditangani oleh Dokter Bara.
“Apa kalian berdua sudah bisa tenang sekarang, hah?” Bara menatap Ryu dan Aluna bergantian. Sudah lima menit ia berdiri hanya untuk menjadi penonton drama mantan suami istri yang sedang berseteru.
“Hmm,” jawab Ryu dengan deheman seraya menatap sekilas wajah Bara yang datar.
“Bersyukur, Langit sudah melewati masa kritis.”
“Ok, thanks.”
“Dan, jaga sikap kamu.” Bara mengacungkan telunjuknya ke dada Ryu. “Kamu Dokter dan ini rumah sakit jadi jangan menganggu ketenangan pasien lain, oke?”
Ryu mengangguk, sadar perdebatannya dengan Aluna bisa menganggu ketenangan pasien lain. “O-oke.”
Tiba-tiba merasa menyesal telah berbicara kasar saat di sekolahan tadi. Andai dia bisa mengontrol emosinya mungkin saja pertemuannya dengan Langit akan membawa kebaikan untuk keduanya.
“Besok, kita lihat lagi perkembangan Langit. Harusnya sudah tidak ada masalah serius lagi.” Bara melirik Aluna yang hanya terdiam, wanita itu selalu menunduk tanpa mau merespon ucapannya. Dan Bara juga tidak akrab, sebab tidak mengenal lebih banyak mantan istri dari teman sejawatnya itu. “Tolong bisa tenang, kondisi Langit sudah lebih baik.”
Mendengar nada bicara Bara yang lebih lembut, ia tahu kalau Dokter itu sedang berbicara dengannya berbeda saat bicara dengan Ryu tadi. Maka dari itu Aluna memberanikan untuk mengangkat wajahnya dan langsung bertatapan dengan manik datar Bara. “B-baik, Dokter. Terima kasih!”
Merasa sudah tidak ada lagi yang dilakukannya, Bara berniat untuk meninggalkan ruangan namun sebelum benar-benar pergi ia berkata. “Kalau ada masalah, tolong selesaikan di luar sana. Permisi!” Sesaat kemudian, Bara melangkahkan kakinya menuju pintu dan menghilang di balik pintu.
Sekarang, di ruangan itu menyisahkan Langit yang masih terpejam dan Aluna bersama Ryu. Keduanya menatap ke arah brankar di mana Langit masih belum sadar. Sampai suara Aluna mengalun di telinga Ryu.
“Sekarang, tolong tinggalkan kami dan anggap pertemuan ini tidak pernah ada.” Aluna akan mengingatkan lagi keinginannya pada Ryu. Penolakan Langit sudah cukup beralasan kalau putranya itu tidak menginginkan Ryu di hidup kami, jadi lebih baik tidak ada pertemuan lagi setelah kejadian ini. “Dan, terima kasih tadi sempat menolong anak saya.” Sesaat setelah mengatakan hal itu Aluna menatap Ryu dengan penuh pengharapan agar pria itu mau menuruti keinginannya.
“Oke,” jawab Ryu yang membuat Aluna sedikit terkejut meski itu yang dinginkannya. Ryu rasa sementara dia akan menuruti keinginan Aluna daripada berdebat tidak ada ujungnya. Diam-diam Ryu akan berusaha untuk mendekati keduanya lagi, pastinya dengan cara yang baik agar Langit bisa menerima kehadirannya kembali. “Tolong, jaga anak kita, aku pergi!”
Aluna menatap langkah kaki yang perlahan menjauh dan kemudian menghilang dari pandangannya. Sementara, Ryu dengan langkah tanpa ada keraguan menutup rapat pintu itu tanpa menoleh untuk melihat reaksi mantan istrinya itu.
Bodoh, kenapa mengharapkan Ryu menolak keinginannya. Harusnya Aluna sadar bahwa dia dan Langit bukan prioritasnya sekarang, karena ada orang lain yang Ryu harus jaga perasaannya. Ya, anak dan istrinya di rumah.
Selepas kepergian Ryu, Aluna tidak dapat membendung lagi tangisnya, telapak tangannya menyentuh dada, terasa sesak yang membuatnya kesulitan bernapas.
Perlahan, dia luruhkan tubuh yang sudah tidak bisa berdiri dengan sempurna itu. Dipeluknya kedua lututnya dengan menyembunyikan wajahnya yang sudah basah di atas lututnya. Banyak hal yang sulit ia terima, keadaan Langit juga sikap Ryu yang terkesan tidak peduli, memang apa yang diharapkan Aluna, Ryu kan merengek tetap tinggal. Buru-buru Aluna mengeleng, hal itu tidak akan terjadi. Dengan kekuatan yang masih ada Aluna mengangkat wajahnya dan mengumpulkan tekadnya untuk bangkit.
“Oke, lupakan laki-laki itu. toh, Langit juga menolak kehadirannya. Kalau Langit sudah membaik, aku akan pindahkan rumah sakitnya agar mereka tidak bisa bertemu lagi. Dan, aku dan Langit akan hidup seperti sebelumnya,” tekad Aluna sudah bulat untuk melupakan semuanya.
Untuk urusan Langit kalau bertanya, dipikirkan nanti. “Semangat untuk kesembuhan Langit, Aluna,” ucap Aluna lalu bangkit berdiri mendekati ranjang kemudian mengusap pelan kepala Langit lalu melabuhkan kecupan di sana.
***
Bohong kalau Ryu sekarang sedang baik-baik saja. Langkah pria itu gontai menuju ke ruangannya.
Sudah berlalu tujuh tahun tetapi ia masih merasa bersalah pada mantan mertuanya yang sudah tiada karena tidak bisa menepati janjinya untuk menjaga Aluna. Lalu sekarang dihadapkan pada kenyataan ia memiliki anak dari mantan istrinya itu.
Ryu melangkah menuju kursi kerjanya setelah menutup pintu lalu menguncinya agar ketenangan tidak terganggu. Disandarkannya punggung lebarnya sebelum mengela napas panjang. Pertemuannya dengan Aluna adalah yang sudah lama ia harapkan. Selama ini Ryu ingin tahu kabar mantan istrinya yang seolah hilang di telan bumi semenjak putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan cerainya.
“Lalu, sekarang aku harus bagaimana, Aluna!” ucapnya frustasi. “Harusnya Langit juga mendapatkan kasih sayangku seperti Mauren.”
Atensi Ryu teralihkan pada ponsel yang bergerak di dalam saku celananya. Segera ia keluarkan dan tampak di sana Mauren is calling, seolah disadarkan bahwa ia memiliki anak lain yang juga harus diperhatikan saat ini.
“Papiiiii … aku mau ketemu sekarang!”
tbc
“Mi …!”Aluna yang membaringkan wajahnya pada kedua tangan yang terlipat di samping kepala Langit, hanya mengeliat saja ketika mendengar suara yang begitu familiar buatnya. Bukannya segera membuka mata melainkan ia hanya bergumam saja. “Hmm.”Setelah semalam ia tidak bisa tidur karena memikirkan sikap Ryu yang tiba-tiba pergi, membuat wanita yang berprofesi sebagai Dosen itu sulit memejamkan mata. Alhasil, sebelum Subuh dia baru bisa terlelap.“Mami…!” panggilan itu terdengar untuk yang kedua kalinya dengan suara sedikit keras. Detik itu barulah Aluna membuka mata. “Sayang, kamu sudah bangun!”. Aluna menegakkan punggungnya agar bisa menatap sang putra. “Ada yang sakit, Nak!” Tangan Aluna terulur untuk menyentuh tangan Langit kemudian mengusapnya pelan.“Ha-haus, Mi.”“Iya, bentar Mami ambilkan.” Aluna bangkit dan menuju nakas, mengambil air putih yang memang sudah disiapkan oleh rumah sakit. Membuka tutupnya kemudian mendekatkan pada bibir Langit. Bocah itu meneguknya pelan. “Sudah?”
Berbagi“Apa rencanamu setelah ini, Ryu?”Bara menatap penuh selidik pada sang teman lalu meraih gelas di hadapannya yang masih mengepulkan asap. Bibirnya meniup-niup agar hawa napasnya berkurang. Sesaat kemudian menyesapnya. Melihat sang lawan bicara belum memberikan jawaban, ia melanutkan ucapannya. “Kalau Renata tahu kamu masih ngasih perhatian ke mantan, dia bisa ngamuk.”Barayudha Al Ghifari, teman sejawat Ryu. Keduanya sama-sama berprofesi sebagai Dokter Spesialis Jantung. Ryu memang pernah bercerita tentang pernikahan pertamanya dengan Aluna, tetapi pernikahan tersebut kandas bahkan belum genap satu bulan.Pernikahan singkat Ryu tidak banyak yang mengetahui termasuk Bara yang belum sempat dikenalkan dengan Aluna. Yang Bara tahu, pernikahan Ryu dan Aluna adalah pernikahan dadakan yang dibuat oleh Papa Aluna karena Ryu harus bertanggung jawab terhadap kesehatan Papa Aluna. Namun, setelah Papa Aluna meninggal, Aluna menginginkan berpisah dari Ryu. “Aku belum tahu, Bar.” Ada gura
“Mami!” Langit berseru ketika sang Mami melihat kedatangan Aluna.Aluna mendekat menampilkan senyuman lebar pada sang putra. “Ish, jangan keras-keras bicaranya nanti mengganggu pasien lain.”“Oke,” jawab Langit.“Maaf ya, lama,” ujar Aluna bicara pada seseorang yang duduk di sebelah Langit.Tangan Aluna mengulurkan kopi yang tadi sudah dibeli. “Minum dulu!”“Thanks a lot,” ucapnya setelah menerima paperglass tersebut. Kemudian, segera menyesapnya separuh, mumpung masih hangat.“Ada masalah?” tanyanya lagi.“Biasa macet.” Wanita itu mengambil duduk di ujung ranjang Langit, ia tergelak sendiri merasa sedang berbohong dan pastinya pria yang sedang menatapnya lekat itu akan curiga. Gimana ceritanya bisa macet, lha tempatnya aja hanya beberapa meter dari gedung rumah sakit ini.“Oh … macet, ya? Mungkin ada si komo lewat.”Aluna menatapnya sekilas, tak lama kemudian keduanya sama-sama tertawa karena menyadari tengah sama-sama berbohong. Mendadak hati Aluna menghangat mendengar candaan rando
“Dokter itu … apa, Aluna?” desak Bian ketika Aluna belum juga menjelaskan padahal sudah 5 menit berlalu.“Aluna!”Sontak Bian dan Aluna kompak menoleh pada suara tegas seseorang.“Kalau mau pacaran jangan di rumah sakit. Gak modal banget,” ucap Ryu sinis.Laki-laki itu menyimpan kekesalan karena Aluna pergi meninggalkan kamar sedangkan ia datang untuk mengecek kondisi Langit bukannya malah berdua dengan seorang pria. Ryu juga tidak peduli apa hubungan Aluna dengan pria itu, ia hanya tidak suka Aluna mengabaikan anaknya demi laki-laki lain.Aluna terkesiap dengan ucapan Ryu. Tangannya terkepal kuat hingga ingin melayangkan tamparan di wajahnya kalau saja bukan di tempat umum.“Kita gak lagi paca- ah, sial!” Aluna mengumpat ketika Ryu berjalan melewatinya dan tidak mau mendengarkan penjelasannya.“Hey, mau kemana, Mas!” Aluna mencekal pergelangan tangan Bian, melihat pria itu akan mengejar langkah Ryu.Bian menepis tangan Aluna dengan tatapan datar. “Kalau kamu gak mau bicara, biar aku
Kalau saja tidak sedang menjemput Renata, Ryu akan banyak berbicara dengan seseorang yang ditemuinya di dalam lift tadi. Begitu melihat keberadaan sang istri Ryu langsung melambaikan tangannya. “Mas, aku kangen sama kamu!”Ryu tersenyum lebar mendengar ucapan Renata. Sudah empat hari mereka berpisah karena Renata harus pergi ke luar kota untuk menghadiri seminar dengan salah satu Yayasan peduli anak. Di sana Renata sebagai narasumber sekaligus sebagai Dokter Anak.“Ayo pulang,” ajak Ryu seraya mengandeng tangan Renata untuk meninggalkan terminal kedatangan.Mereka berjalan menyusuri koridor menuju lobi bandara. Sampai di sana, Ryu meminta Renata untuk menunggu karena Ryu hendak mengambil mobil. Hingga mobil berwarna hitam milik Ryu sudah terparkir di depan lobi, Renata mengampiri kemudian membuka pintu sebelah kemudi. Perlahan Ryu menjalankan mobilnya meniggalkan pelataran lobi.Renata menunggu sampai Ryu memasang sabuk pengamannya, baru ia menahan Ryu yang hendak mengemudi. “Mas …!
“Gara-gara kamu sih, kan jadinya telat!” Renata mengerucutkan bibirnya kekesalannya sudah memuncak meski dia begitu menikmati cumbuan Ryu. “Aku kan gak enak sama Dokter Bambang, dipikirnya gak profesional.”Renata menuruni anak tangga menuju ruang makan.“Pagi, Mami!”Kali ini hilang sudah kekesalan di hati wanita itu melihat Mauren mendekatinya. Gadis kecilnya itu berhambur memeluknya erat. “Aku kangen sama Mami, tapi … Papi jahat, aku gak boleh masuk kamar tadi.”Renata melirik Ryu yang tanpa rasa bersalah, suaminya itu melengang menarik kursi lalu duduk dengan tenang di sana.“Kan sudah dibilang Mami masih mandi kenapa tetap mau masuk,” jawab Ryu tanpa mengalihkan perhatiannya dari piring yang sudah terisi nasi dengan ayam goreng krispi. Jelas dia tidak mau disalahkan.“Tapi aku kan mau nungguin Mami di dalam, Pi,” balas Mauren masih merasa kesal dengan penolakan Ryu setelah mengurai pelukan. Jangan lupakan tatapan kebencian terlihat dari kedua bola matanya.Renata memijat pelipisn
“Selamat pulang ke rumah dan tetap kontrol ya, untuk merawat luka-luka yang belum sepenuhnya sembuh.”“Iya, Dok,” balas Aluna. “Dan terima kasih sudah merawat putra saya sampai kami pulang.”Bara menganggukan kepalanya. Menyesalkan sikap Ryu yang masih belum datang padahal kemarin ia sudah mengatakan kalau Langit hari ini sudah bisa pulang.“Kalau ada apa-apa bisa langsung datang ke rumah sakit atau telepon ke …” Bara tidak melanjutkan ucapannya melihat perubahan wajah Aluna. “Ah, maksud saya telepon ke rumah sakit,” ralat Bara untuk menghindari kesalahpahaman.“Baik-baik ya, Langit.” Bara mengacak puncak kepala Langit. “Semoga lekas sembuh dan tidak kembali lagi ke rumah sakit lagi.”“Terima kasih, Dokter.” Langit berujar dengan sopan. Lalu seorang perawat sudah menyiapkan kursi rodanya untuk membawa Langit keluar kamar.Hari ini yang membawa Langit pulang hanya Aluna, Bian berhalangan karena laki-laki itu harus menghadiri meeting ke luar negeri. Sebelum melangkah keluar tiba-tiba po
Tidak bisa, semua yang dilakukan Ryu saat ini sudah berada di luar batas yang Aluna berikan. Dan Aluna tidak mau tinggal diam saja. Wanita itu dengan amarah yang sudah memuncak, menghampiri sofa dimana Ryu membaringkan tubuhnya. Dengan kekuatannya yang ada menarik tangan Ryu meski tubuh besar pria itu hanya terguncang sedikit.“Pulang, saya tidak mau anda di rumah saya!”Aluna mencoba menarik Ryu sekali lagi, tapi masih tidak berhasil. Sementara Ryu, hanya tersenyum samar meskipun tubuhnya bergerak tapi tidak bergeser sedikitpun.“Istirahatlah, Aluna,” ujar Ryu. Bagaimanapun, Aluna perlu istirahat setelah beberapa hari merawat Langit di rumah sakit. Andai saja diperbolehkan, Ryu juga mau merawat Langit saat di rumah sakit tetapi Aluna pasti tidak mengijinkan. Daripada berdebat di rumah sakit, lebih baik Ryu menggantinya untuk merawat di rumah seperti saat ini. “Sekarang, biar aku yang gantian merawat anak kita di rumah. Kamu cukup istirahat saja.”Anak kita, dua kali Ryu mengatakan ka
“Mau turun, gak?”“No!” jawab Renata, ia memilih bertahan di dalam mobil saja daripada harus bersama dengan Alan.“Oke,” jawab Alan lalu menutup pintu mobil. Lelaki itu berjalan ke arah belakang dan membuka pintunya.“Alan, mau dibawa ke mana Mauren?” seru Renata. Seketika kepanikan melandanya . “Biarin Mauren tidur di mobil saja!”Alan kemudian menatap Renata sekilas, kalau wanita ini ingin bertahan di dalam mobil ia tidak peduli. Tetapi ia akan membawa Mauren masuk ke dalam apartemennya.“Apa kamu gak kasihan sama Mauren tidurnya gak nyaman seperti itu.”“Aku tetap disini, Mauren juga harus tetap di sini,” sahut Renata cepat, membantah ucapan Alan.Namun, tanpa mendengarkan keinginan Renata, Alan langsung saja mengendong Mauren dan membawanya masuk.“Hey,” seru Renata. Alan menyematkan senyuman tipis kala melirik Renata yang turun dari mobil kemudian mengikuti langkahnya masuk ke dalam gedung apartemen.“Alan, aku bilang-”“Jangan berisik, Mbak!”Tanpa Renata sadari langkahnya terus
“Kamu mau buat aku malu, Alan Sanjaya?”Begitu keluar dari gedung, Renata menarik tangan lelaki itu untuk mengikutinya. Melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan orang-orang. Setelah sampai di ujung koridor yang sepi, wanita itu menghentikan langkahnya sembari berkaca pinggang. Kekesalannya sudah memuncak seiring sikap Alan yang santai seolah tidak pernah melakukan kesalahan.“Mbak …!”“Aku bukan Mbakmu!” jerit Renata frustasi, merasa muak dengan panggilan itu karena Alan memanggilnya dengan suara rendah dan lembut.Sedangkan lelaki itu mengulum senyum. Selama ini, Renata tidak pernah protes dengan cara panggilnya, tetapi tiba-tiba dia mengklaim bukan Mbaknya.“Oke, kalau begitu aku panggil Sayang saja,” ucapnya disertai kekehan, meski mata Renata sudah menyorotnya tajam, Alan tidak peduli.“Jawab aku, Alan!” bentak Renata sudah hilang kesabarannya. “Kamu mau buat aku dan Mauren malu, hah! Belum cukup ka-”Renata tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika kelima jari Alan singgah di bi
Hari ini, Alan sengaja datang ke sekolahan Mauren. Semalam, Bara mengirimkan pesan bahwa di sekolahan Mauren sedang ada acara, tidak membuang kesempatan Alan akan hadir di acara tersebut.Lelaki itu berangkat tanpa memberitahu pada sang putri. Ia tidak peduli, kalau ternyata nanti di sana akan mendapatkan penolakan. Ia bisa memastikan nanti akan bertemu dengan Renata di dalam. Sekali lagi, Alan katakan tidak peduli.Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya dia menepikan mobilnya di parkiran khusus untuk pengunjung.Sikap Alan yang ramah membuat tidak ada kecanggungan bila harus menyapa orang-orang yang sebelumnya tidak kenal. Dengan langkah tegas, tidak ada keraguan sedikitpun lelaki itu berjalan menjangkau menuju gedung Aula, tempat diadakannya acara tersebut.Ketika Alan sudah mencapai gedung tersebut, langkahnya terhenti sebab ada seorang resepsionis yang berjaga sembari menyodorkan buku tamu bagi yang akan masuk.“Selamat siang, maaf dengan wali murid siapa ya
Renata dan Alan duduk bersisihan di teras rumah. Hari ini memang Alan sengaja datang di malam hari untuk bisa bertemu dan berbicara dari hari ke hati dengan Renata. Semenjak kepulangan wanita itu dari rumah sakit dan Alan yang pindah ke apartemen, membuat keduanya jarang bertemu. Sekalinya Alan ingin mengantar Mauren ke sekolah, hal itu sudah lebih dulu dilakukan oleh Renata.Selama hampir sepuluh belas menit, tidak ada yang bersuara di antara keduanya. Hanya suara angin yang bertiup seolah memecahkan keheningan . Dan selama itu pula, tatapan Alan hanya tertuju pada wajah cantik Renata. Dari situ Alan dapat mengamati dengan jelas wajah Renata yang tidak banyak berubah setelah bertahun-tahun tidak bertemu.Sungguh bodoh, dirinya dulu meninggalkan wanita ini. Harusnya saat itu dia tidak meninggalkan Renata dan membangun keluarga kecilnya, mempertahankan wanita yang dia cintai meski jalan itu tidak akan mudah karena pertentangan dari kedua keluarga. Namun, sekarang hanya penyesalan yang
“Sayang, ayo kita foto dulu.” Bian mengandeng tangan Aluna mengajaknya ke arah dekor yang sengaja disiapkan untuk acara ijab kabulnya tadi. “Langit dan Tegar mana ya?” Netra Bian menatap kesana kemari, mencari keberadaan kedua putranya itu.“Mereka kayaknya di depan, Mas,” sahut Aluna.“Zi, tolong panggilkan Langit sama Tegar di luar,” pinta Bian yang tiba-tiba melihat keberadaan wanita itu. “Bilangin mau diajak foto keluarga.”Ziya tidak menjawab, namun langkahnya menuju luar rumah untuk memanggil kedua anak Bian itu.“Sayang, Langit, Tegar,” panggilnya sambil melambaikan tangan. “Ayah ngajakin foto dulu.”Langit dan Tegar bergegas masuk ke dalam rumah dan meninggalkan permainannya dengan anak tetangga sebelah rumah.Cekrek, cekrek, cekrek, cekrek, cekrek.Entah sudah berapa banyak dan berapa pose yang dilakukan kelima orang itu di depan kamera, Aluna sudah merasakan capek sekali.“Tenang, nanti aku pijitin kamu,” ucap Bian dengan kerlingan jahil untuk menggoda sang istri. “Ish …!” d
“Langit biar duduk di belakang, sepertinya dia ngantuk itu,” ucap Bian pada Aluna, ketika membuka pintu belakang mobil dan melirik pada pemuda kecil yang tengah menguap.Tanpa banyak protes, Langit masuk dan duduk, lebih tepatnya membaringkan tubuhnya miring menghadap ke punggung bangku kemudian menutup mata.Aluna menatap Bian tanpa berkata-kata, lelaki itu selalu tahu apapun yang terjadi pada anak-anaknya. “Padahal tadi kayaknya tidak ada tanda-tanda ngantuk deh!”Bian membukakan pintu di samping kemudi, menyuruh Aluna untuk masuk. Lantas berputar mengitari mobil dan langsung duduk di bangku kemudi. Memasang sabuk pengaman dan mulai menjalankan kereta besinya. “Sejak dipemakaman tadi matanya sudah merah, Sayang.”Entah, Aluna tiba-tiba tersipu mendengar Bian memanggilnya Sayang, mungkin juga saat ini wajahnya tengah memerah karena malu. Hingga memalingkan wajahnya ke jendela, yang ada di sampingnya.“Kamu kalau malu-malu seperti itu kayak ABG saja!”Celetukkan Bian sanggup membuat A
“Hati-hati!” seru Bian, mengeratkan tangannya yang mengenggam pergelangan tangan Langit.Kemudian, lelaki itu kembali menuntun Langit. Berjalan menyusuri jalan setapak di sela-sela antara satu makam dengan makam yang lain.Kenapa tidak dengan melangkahi makam saja kan lebih cepat. Konon katanya, menurut ceramah agama yang ia dengar, jika berziarah tidak boleh berjalan di atas makam. Sebab, menghormati jenazah di dalam kubur sama pentingnya dengan menghormati manusia yang masih hidup karena kuburan memiliki kedudukan dan sangat dimuliakan.Beberapa kuburan, gundukan tanahnya masih basah dengan taburan bunga-bunga yang masih segar. Setelah menempuh berjalan kaki yang lumayan jauh dari pintu masuk, netra Aluna berhenti pada salah satu makam tujuannya. Namun, jantungnya berdegup kencang tatkala melihat karangan bunga segar yang seseorang tinggalkan.Apakah ini bunga dari Renata? Tapi siapa lagi keluarga Ryu, selain wanita itu. Jadi Renata sudah sembuh, bukankah ia sedang di rawat di rumah
Aluna merasakan kaku di kakinya yang menekuk, maka ia hendak menselonjorkan kedua kakinya itu. Namun, kenapa malah menabrak sesuatu yang keras. “Argh, apa ini?” rintihnya.Mata wanita itu menyipit menyesuaikan dengan cahaya lampu yang masuk dari celah korden. Menyadari ini bukan tempat tidurnya, Aluna seketika menegakkan tubuhnya. Bersandar pada punggung sofa lalu matanya menyusuri sekitar. “Ah, kenapa aku tidur di sofa,” gumamnya tampak kebingungan. Lalu matanya melirik paper bag yang semalam di bawa Bian belum berpindah tempat. “Jam 2,” ujarnya lirih setelah melirik jam dinding.“Awan!” ujarnya teringat akan apa yang terjadi semalam. Wanita itu berlari menuju kamar. Terperangah melihat pemandangan di depannya hingga membuat kedua kakinya membeku. Bian tertidur dengan memeluk Awan dari samping. Bayinya itu tampak sangat tenang dan nyaman, tidak seperti saat semalam bersamanya. Interaksi keduanya selayaknya Bapak dan Anak.Setelah beberapa saat, dengan gerakan kaki pelan, Aluna mendek
“Mami, Adik bangun lagi?” teriak Langit berjalan menghampiri Aluna yang sedang duduk di meja makan untuk mengisi perutnya. Sejak pagi, wanita itu belum mengisi perutnya.Mendengar ucapan Langit, Aluna segera berlari menuju kamar. Lalu merebahkan diri, berbaring miring menghadap Awan. Aluna membuka kancing dasternya lalu bersiap untuk menyusui Awan. Tetapi bayi itu menolaknya dan masih merengek.“Adik gak mau minum, Mi,” celetuk Langit yang hanya bisa memandang interaksi antara sang Mami dengan Adik.Benar, Awan menolak ASInya. Pada akhirnya Aluna mengendong bayi berusia dua bulan itu. Sejak pagi tadi Awan rewel karena badannya demam dan Aluna hanya mengompreskan air hangat di kening sang putra. Awan masih terlalu kecil jika harus diminumi obat sebab itu Aluna tidak membawanya ke dokter.Di saat seperti ini, Aluna mengingat Ryu. Mantan suaminya itu akan menjadi orang yang paling cerewet jika berhubungan dengan kesehatan. “Anak kita demam, Mas!” gumamnya dalam hati.“Sayang, tolong ambi