Sekujur tubuh Aluna membeku bahkan kakinya tidak bisa digerakkan melihat hal yang mengerikan di depan matanya. Darah segar melumuri tubuh bocah kecil yang sedang tergeletak dengan mata terpejam. Hingga segerombolan orang-orang dengan kepanikan datang mendekat, Aluna pun sadar lalu berlari kencang untuk menembus kerumunan orang-orang tersebut.
“Langit!” Aluna menjerit lalu menjatuhkan kedua lututnya di aspal jalanan, menekuknya lantas mendekap tubuh kecil sang putra dengan tangisan pilu. “Bangun, Sayang ... maafkan Mami.”
“Cepat panggil ambulans!”
Yang Aluna dengar hanya seruan itu, selebihnya indera pendengarannya tidak mampu lagi menampung kata-kata lain. Tubuhnya bergetar hebat dengan isakan yang masih membasahi wajah cantiknya. Di kecupnya wajah Langit berkali-kali dengan selalu mengucapkan rasa bersalahnya. “Maafkan Mami, Nak!”
***
Entah, apa saja yang ia lakukan ketika mobil putih bersirine itu sudah tiba di pelataran rumah sakit. Pintu belakang dibuka oleh seorang petugas medis, Aluna hanya mengikutinya tanpa memikirkan yang lain.
“Maaf, Ibu tidak boleh masuk!” seorang wanita yang ia yakini seorang Dokter menghalau langkah Aluna saat akan ikut masuk ke dalam ruangan. “Serahkan pada kami.”
Baru saja bibirnya bergerak memprotes, tiba-tiba pintu sudah ditutup dan ia hanya bisa terpaku melihat dengan tatapan kosong. Tubuh Aluna luruh ke lantai dengan menekuk lututnya, tangisnya pecah kembali membayangkan anaknya sedang berjuang sendirian di dalam sana. Ia tidak sanggup membayangkan bagaimana hidupnya jika kehilangan Langit. Satu-satunya yang membuatnya bertahan hidup adalah Langit.
“Permisi, Ibu!”
Aluna mendongak melihat seorang suster menghampirinya. Dengan bantuannya Aluna ditarik lalu didudukan disalah satu bangku kosong.
“Bisa ke loket dulu untuk pendaftaran pasien.”
Aluna mengeleng tidak ingin jauh dari Langit, ia ingin orang pertama yang ada di sisi Langit ketika pria kecilnya itu sadar. “Ta-pi, saya mau menunggu anak saya dulu,” lirih Aluna dengan matanya yang sembab.
“Maaf Ibu, itu sudah prosedurnya jadi mohon kerjasamanya, di dalam sudah ada Dokter yang akan berusaha untuk menyelamatkan anak Ibu.”
“Nanti saja, sus,” tolak Aluna, pokonya ia ingin menunggu sampai pintu di depannya ini terbuka.
Sang suster belum beranjak, karena dia mengikuti prosedur rumah sakit. “Tapi, Bu-”
“Saya mau disini dulu, bisa ngerti gak!” sentak Aluna, merasa tidak dimengerti. Harusnya suster itu paham maksudnya, bagaimanapun ia tengah cemas, tidak ada orang yang membantunya, pikirannya kacau takut kehilangan sang anak.
Sang suster menghembuskan napas melihat bagaimana kacaunya Aluna. Saat bersamaan, seorang Dokter yang keluar dari ruang operasi melihat keributan itu.
“Ada apa, sus?” tanyanya.
“Ini Ibu ti-”
“Aluna!” desis sang Dokter tidak sengaja melihat wanita yang tengah menunduk. “Ada apa, siapa yang sakit?”
Tubuh Ryu tertarik saat tangan Aluna mencengkram lengannya. Bahkan suster tersebut terkesima dengan sikap tiba-tiba Aluna.
“Dokter, tolong anak saya,” suara serak Aluna karena terlalu banyak menangis masuk ke dalam indera pendengaran sang Dokter. “Tolong selamatnya anak saya!”
“Langit,” gumam Ryu tanpa menolak tangan mantan istrinya itu yang pada lengannya.
Suster yang melihat tidak melakukan apa-apa, tapi ia dapat melihat kalau kedua orang itu seperti sudah saling mengenal.
“Langit kenapa?”
“Kecelakaaan, Dokter!” Bukan Aluna yang menjawab, melainkan suster karena melihat Aluna yang kembali meneteskan airmatanya dengan mengelengkan kepalanya, wanita itu bahkan tidak sanggup berkata-kata.
***
Akhirnya setelah membujuk Aluna, Ryu berhasil membawa mantan istrinya itu menuju ruangannya. Ia ingin menenangkan wanita yang sedang kacau itu. Sengaja Ryu meminta pada asistennya agar tidak menganggunya agar bisa memiliki waktu dengan Aluna lebih banyak. Meskipun beberapa orang disana menaruh curiga tapi bisa apa mereka kalau yang memberi perintah adalah putra pemiliki rumah sakit.
“Sekarang, coba ceritakan apa yang sudah terjadi?” tanya Ryu setelah melihat Aluna yang sudah tenang. Laki-laki menatap ke dalam mata Aluna yang basah, jika saja dirinya masih berstatus suami akan direngkuhnya wanita ini.
Aluna mulai bercerita seolah seperti terdorong sesuatu dari dalam hatinya. Aluna berharap akan mendapatkan kelegaan bercerita dengan Ayah kandungnya meskipun dia menolak mengatakan bahwa Langit anak kandung pria itu.
“Oke, kamu gak perlu khawatir, saya akan bertarung nyawa untuk anak kita.”
“Langit bukan anak anda, Dokter!”
“Terus saja berbohong, Aluna!” Ryu mengabaikan ucapan Aluna, ia sangat yakin kalau Langit adalah keturunan dari benih yang ia titipkan pada Aluna sebelum perceraian.
“Tapi memang be-”
“Permisi Dokter.” Seorang suster membuka pintu setelah mengetuknya.
“Ya.”
“Pasien anfal,” ucap suster lalu kebetulan mengenali siapa orang tua pasien. Maniknya berlari menatap Aluna. “Putranya Ibu.”
Ryu bergegas berdiri dan meninggalkan Alunan guna memastikan sendiri. Begitu belum terlalu jauh, wanita itu menarik lengan Ryu yang otomatis menghentikan langkah pria itu. “Apa yang terjadi dengan Langit?”
“Dokter, tolong selamatnya anak saya!”
Ryu mendesah kasar mendengar panggilan mantan istrinya itu. “Kamu lupa, aku ini Ayahnya, Aluna!” ucapnya tegas dengan aura dominan membuat Aluna menciut nyalinya melupakan hal itu. “Tidak perlu memohon seperti itu, aku juga akan menyelamatkan anakku, paham!”
Aluna dapat melihat kilatan amarah dari tatapan Ryu, tatapan yang sama setelah ketukan palu pengadilan yang mengabulkan permohonan perceraiannya.
“Oke, sebagai Dokter itu memang tanggung jawab, Anda.” Aluna mencoba mengabaikan Ryu sebagai Ayah Langit dan lebih melihat kepada profesi laki-laki itu.
Tanpa berkata lagi, Ryu meninggalkan Aluna dan menuju ruangan operasi. Sebagai Direktur sekaligus anak pemilik rumah sakit, membuat Ryu bebas melakukan apa saja termasuk masuk ke dalam ruangan yang tidak semua orang boleh masuk.
Dari dalam ruangan itu, sudah ada Dokter yang menanganinya. Ia sempat memantau langsung tindakan yang diambil oleh Dokter-dokter tersebut hingga jantungnya seakan berhenti berdetak ketika melihat satu garis datar di hadapannnya. Tut …
***
Beberapa jam kemudian.
“Makanlah dulu! Langit sudah baik-baik saja sekarang.”
Aluna mengabaikan kalimat yang terlontar dari pria di sampingnya. Beberapa saat yang lalu, Ryu mengambil alih tugas salah satu Dokter yang ada di ruang operasi. Kehebatan Ryu dalam menangani pasien memang tidak diragukan lagi, beruntung nyawa Langit bisa diselamatkan oleh Ayah kandungnya.
“Aluna Yudhistira!”
Aluna masih bergeming seolah tidak terpengaruh dengan panggilan Ryu. Meski ia tahu mantan suaminya itu kini sedang menahan amarahnya. Kotak makan yang ada di atas nakas itu, diambilnya dan buka. Aluna masih tidak peduli dengan yang dilakukan lelaki itu hingga sesuatu yang dingin menyentuh bibir bawahnya.
“Buka mulut!” Ryu menyodorkan sendok berisi nasi dan sepotong daging. “Kamu harus mengumpulkan banyak tenaga untuk menjaga anak kita.”
Bukannya membuka mulut, Aluna menatap tajam mantan suaminya itu. “Langit hanya anakku!”
“Seberapa keras kamu menolakku tetap saja, ada darahku mengalir di tubuh Langit, karena dia anakku. Jadi lebih baik sudahi keras kepalamu itu.”
Tanpa mereka sadari karena sibuk dengan perdebatan, Langit tengah tersadar dan mendengarkan kalimat panjang Ryu. Bukannya senang, bocah itu tidak terima kalau ada yang memiliki sang Papi selain dirinya. Sebelumnya Langit sudah tidak menyukai Ryu karena pria itu telah memarahi sang Mami makanya ia bertekad tidak akan membuat sang Mami sedih.
“Langit! Kamu sudah sadar, sayang!” Aluna terhenyak mendapati jari kelingking Langit bergerak.
Sedangkan Ryu yang berada sedikit jauh dari ranjang, berjalan mendekatinya. Laki-laki itu juga merasa lega dengan bangunnya Langit. Baru saja tangannya ingin mengenggam tangan munggil Langit ketika tangan kecil itu menepisnya, memberontak tidak mau digenggam.
“Langit, ini …
Belum juga Aluna selesai mengatakannya tetapi respon yang diberikan Langit adalah mengelengkan kepalanya.
“Pergi!” teriak Langit meski dengan kesakitan. “Om, jangan marahi Mamiku lagi.”
Wajah penyesalan tergambar jelas di wajah Ryu. Pertemuan yang harusnya diwarnai kebahagiaan, nyatanya telah menorehkan luka di hati sang putra. “Sayang … maafkan Papi.” Ryu menyentuh punggung tangan Langit tapi naasnya bocah tujuh tahun itu langsung menepis dengan kasar.
“Pergi! Pergi …! Per-”
“Langit!” teriak Aluna menatap monitor yang bergerak lurus dengan bunyi panjang tut …
tbc
“Tolong menjauhlah dari kami, Dok!”Aluna pikir, dengan kehadiran Ryu membuat kondisi sang putra menjadi memburuk. Jadi lebih baik pertemuan ini di sudahi saja.Mendengar permintaan Aluna, Ryu refleks menatap wanita yang dari tadi hanya terfokus pada Langit saja dan mengabaikan dirinya yang juga sedang sangat khawatir dengan kondisi Langit.“No,” ucap Ryu tegas menolaknya, dia bukanlah orang yang akan lari dari tanggung jawab kendati mereka sudah tidak terikat dalam pernikahan. “Harusnya kamu sadar dengan penolakan Langit seperti ini, salah satunya juga karena kesalahanmu yang tidak pernah mempertemukan kami, dia tidak mengenal sosok Ayahnya.” Ryu tertawa hambar seolah mengejek dirinya sendiri yang menjadi orang bodoh, anak kandungnya tidak ia kenali padahal anak yang lain sangat ia sayangi. “Langit berhak tahu siapa Ayah kandungnya.”Ini yang ditakutkan Aluna ketika bertemu dengan mantan suaminya. Laki-laki itu akan meminta haknya sebagai Ayah Langit. “Tapi Langit sudah menolak kamu,
“Mi …!”Aluna yang membaringkan wajahnya pada kedua tangan yang terlipat di samping kepala Langit, hanya mengeliat saja ketika mendengar suara yang begitu familiar buatnya. Bukannya segera membuka mata melainkan ia hanya bergumam saja. “Hmm.”Setelah semalam ia tidak bisa tidur karena memikirkan sikap Ryu yang tiba-tiba pergi, membuat wanita yang berprofesi sebagai Dosen itu sulit memejamkan mata. Alhasil, sebelum Subuh dia baru bisa terlelap.“Mami…!” panggilan itu terdengar untuk yang kedua kalinya dengan suara sedikit keras. Detik itu barulah Aluna membuka mata. “Sayang, kamu sudah bangun!”. Aluna menegakkan punggungnya agar bisa menatap sang putra. “Ada yang sakit, Nak!” Tangan Aluna terulur untuk menyentuh tangan Langit kemudian mengusapnya pelan.“Ha-haus, Mi.”“Iya, bentar Mami ambilkan.” Aluna bangkit dan menuju nakas, mengambil air putih yang memang sudah disiapkan oleh rumah sakit. Membuka tutupnya kemudian mendekatkan pada bibir Langit. Bocah itu meneguknya pelan. “Sudah?”
Berbagi“Apa rencanamu setelah ini, Ryu?”Bara menatap penuh selidik pada sang teman lalu meraih gelas di hadapannya yang masih mengepulkan asap. Bibirnya meniup-niup agar hawa napasnya berkurang. Sesaat kemudian menyesapnya. Melihat sang lawan bicara belum memberikan jawaban, ia melanutkan ucapannya. “Kalau Renata tahu kamu masih ngasih perhatian ke mantan, dia bisa ngamuk.”Barayudha Al Ghifari, teman sejawat Ryu. Keduanya sama-sama berprofesi sebagai Dokter Spesialis Jantung. Ryu memang pernah bercerita tentang pernikahan pertamanya dengan Aluna, tetapi pernikahan tersebut kandas bahkan belum genap satu bulan.Pernikahan singkat Ryu tidak banyak yang mengetahui termasuk Bara yang belum sempat dikenalkan dengan Aluna. Yang Bara tahu, pernikahan Ryu dan Aluna adalah pernikahan dadakan yang dibuat oleh Papa Aluna karena Ryu harus bertanggung jawab terhadap kesehatan Papa Aluna. Namun, setelah Papa Aluna meninggal, Aluna menginginkan berpisah dari Ryu. “Aku belum tahu, Bar.” Ada gura
“Mami!” Langit berseru ketika sang Mami melihat kedatangan Aluna.Aluna mendekat menampilkan senyuman lebar pada sang putra. “Ish, jangan keras-keras bicaranya nanti mengganggu pasien lain.”“Oke,” jawab Langit.“Maaf ya, lama,” ujar Aluna bicara pada seseorang yang duduk di sebelah Langit.Tangan Aluna mengulurkan kopi yang tadi sudah dibeli. “Minum dulu!”“Thanks a lot,” ucapnya setelah menerima paperglass tersebut. Kemudian, segera menyesapnya separuh, mumpung masih hangat.“Ada masalah?” tanyanya lagi.“Biasa macet.” Wanita itu mengambil duduk di ujung ranjang Langit, ia tergelak sendiri merasa sedang berbohong dan pastinya pria yang sedang menatapnya lekat itu akan curiga. Gimana ceritanya bisa macet, lha tempatnya aja hanya beberapa meter dari gedung rumah sakit ini.“Oh … macet, ya? Mungkin ada si komo lewat.”Aluna menatapnya sekilas, tak lama kemudian keduanya sama-sama tertawa karena menyadari tengah sama-sama berbohong. Mendadak hati Aluna menghangat mendengar candaan rando
“Dokter itu … apa, Aluna?” desak Bian ketika Aluna belum juga menjelaskan padahal sudah 5 menit berlalu.“Aluna!”Sontak Bian dan Aluna kompak menoleh pada suara tegas seseorang.“Kalau mau pacaran jangan di rumah sakit. Gak modal banget,” ucap Ryu sinis.Laki-laki itu menyimpan kekesalan karena Aluna pergi meninggalkan kamar sedangkan ia datang untuk mengecek kondisi Langit bukannya malah berdua dengan seorang pria. Ryu juga tidak peduli apa hubungan Aluna dengan pria itu, ia hanya tidak suka Aluna mengabaikan anaknya demi laki-laki lain.Aluna terkesiap dengan ucapan Ryu. Tangannya terkepal kuat hingga ingin melayangkan tamparan di wajahnya kalau saja bukan di tempat umum.“Kita gak lagi paca- ah, sial!” Aluna mengumpat ketika Ryu berjalan melewatinya dan tidak mau mendengarkan penjelasannya.“Hey, mau kemana, Mas!” Aluna mencekal pergelangan tangan Bian, melihat pria itu akan mengejar langkah Ryu.Bian menepis tangan Aluna dengan tatapan datar. “Kalau kamu gak mau bicara, biar aku
Kalau saja tidak sedang menjemput Renata, Ryu akan banyak berbicara dengan seseorang yang ditemuinya di dalam lift tadi. Begitu melihat keberadaan sang istri Ryu langsung melambaikan tangannya. “Mas, aku kangen sama kamu!”Ryu tersenyum lebar mendengar ucapan Renata. Sudah empat hari mereka berpisah karena Renata harus pergi ke luar kota untuk menghadiri seminar dengan salah satu Yayasan peduli anak. Di sana Renata sebagai narasumber sekaligus sebagai Dokter Anak.“Ayo pulang,” ajak Ryu seraya mengandeng tangan Renata untuk meninggalkan terminal kedatangan.Mereka berjalan menyusuri koridor menuju lobi bandara. Sampai di sana, Ryu meminta Renata untuk menunggu karena Ryu hendak mengambil mobil. Hingga mobil berwarna hitam milik Ryu sudah terparkir di depan lobi, Renata mengampiri kemudian membuka pintu sebelah kemudi. Perlahan Ryu menjalankan mobilnya meniggalkan pelataran lobi.Renata menunggu sampai Ryu memasang sabuk pengamannya, baru ia menahan Ryu yang hendak mengemudi. “Mas …!
“Gara-gara kamu sih, kan jadinya telat!” Renata mengerucutkan bibirnya kekesalannya sudah memuncak meski dia begitu menikmati cumbuan Ryu. “Aku kan gak enak sama Dokter Bambang, dipikirnya gak profesional.”Renata menuruni anak tangga menuju ruang makan.“Pagi, Mami!”Kali ini hilang sudah kekesalan di hati wanita itu melihat Mauren mendekatinya. Gadis kecilnya itu berhambur memeluknya erat. “Aku kangen sama Mami, tapi … Papi jahat, aku gak boleh masuk kamar tadi.”Renata melirik Ryu yang tanpa rasa bersalah, suaminya itu melengang menarik kursi lalu duduk dengan tenang di sana.“Kan sudah dibilang Mami masih mandi kenapa tetap mau masuk,” jawab Ryu tanpa mengalihkan perhatiannya dari piring yang sudah terisi nasi dengan ayam goreng krispi. Jelas dia tidak mau disalahkan.“Tapi aku kan mau nungguin Mami di dalam, Pi,” balas Mauren masih merasa kesal dengan penolakan Ryu setelah mengurai pelukan. Jangan lupakan tatapan kebencian terlihat dari kedua bola matanya.Renata memijat pelipisn
“Selamat pulang ke rumah dan tetap kontrol ya, untuk merawat luka-luka yang belum sepenuhnya sembuh.”“Iya, Dok,” balas Aluna. “Dan terima kasih sudah merawat putra saya sampai kami pulang.”Bara menganggukan kepalanya. Menyesalkan sikap Ryu yang masih belum datang padahal kemarin ia sudah mengatakan kalau Langit hari ini sudah bisa pulang.“Kalau ada apa-apa bisa langsung datang ke rumah sakit atau telepon ke …” Bara tidak melanjutkan ucapannya melihat perubahan wajah Aluna. “Ah, maksud saya telepon ke rumah sakit,” ralat Bara untuk menghindari kesalahpahaman.“Baik-baik ya, Langit.” Bara mengacak puncak kepala Langit. “Semoga lekas sembuh dan tidak kembali lagi ke rumah sakit lagi.”“Terima kasih, Dokter.” Langit berujar dengan sopan. Lalu seorang perawat sudah menyiapkan kursi rodanya untuk membawa Langit keluar kamar.Hari ini yang membawa Langit pulang hanya Aluna, Bian berhalangan karena laki-laki itu harus menghadiri meeting ke luar negeri. Sebelum melangkah keluar tiba-tiba po
“Ayah …!”“Mami …!”“Yayah …!”“Mimi …!”Suara-suara berisik itu membuat Aluna mengeliat. “Mas, ayo bangun! Anak-anak sudah pulang itu,” tutur Aluna seraya memukul lengan Bian yang menempel erat di tubuhnya polosnya.“Biarin aja, nanti mereka juga diem sendiri,” ucap Bian tidak peduli.“Mas …!” hardik Aluna sebab Bian mengabaikannya. “Bangun …!”Bian berdecak pelan sebelum melepaskan tangannya dari tubuh Aluna. Bangkit dan mendudukan tubuhnya, lalu menyalakan lampu kamar. Laki-laki itu kemudian memunguti kaos dan celana pendeknya yang tergeletak di lantai. Memakainya dengan cepat dan hendak membuka pintu yang masih terkunci dari dalam. Sementara Aluna berlari ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.Saat pintu dibuka, ketiga anaknya sedang berdiri dengan wajah berseri.“Sudah pulang?” tanya Bian memandang bergantian ke arah Tegar, Langit dan Awan.“Tante belikan banyak makanan, Ayah,” sahut Langit sembari memperlihatkan satu kantung plastik berisi camilan dan susu.“Mama juga belik
“Apa keputusanmu tidak bisa diubah, Mbak?” tanya Alan dengan wajah yang lesu, lalu menghembuskan napas pelan.Segala upaya sudah dilakukan tetapi masih tidak bisa membuat Renata tersentuh dengan sikap dan tindakan yang dilakukan Alan.Renata mengelengkan kepalanya. “Tidak, kamu masih muda dan bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku.”“Kamulah yang terbaik buat aku, Mbak,” sahut Alan tegas, tidak ada keraguan sama sekali di hatinya.Renata hanya tertawa, kemudian beranjak berdiri. Pembicaraan ini pasti tidak akan menemukan titik temu karena keduanya saling keras kepala.“Mbak, aku belum selesai bicara.” Alan bergegas menghampiri Renata. “Tidak masalah kalau kamu tidak bisa mencintaiku, Mbak. Pelan-pelan aku akan buat kamu jatuh cinta sama aku,” ucap Alan, menarik siku lengan Renata dengan pelan. Laki-laki itu masih bersikeras untuk membujuk Renata.Sekali lagi Renata mengeleng tegas. Tidak ada cinta di hatinya untuk Alan, jadi buat apa menerima pinangan dari lelaki itu. Yan
“Mohon maaf Ibu, bisa masuk ke ruangan dokter,” ucap seorang perawat yang datang menghampiri Renata.“Hah, ada apa?” Renata tertegun. Namun, tiga detik kemudian wanita itu beranjak berdiri, sebab dihantui rasa penasaran yang tinggi. “Sebentar aku masuk dulu!” ucapnya pada Aluna sebelum pergi.Pintu berwarna putih itu, Renata buka dengan segera. Seketika mulutnya ternganga melihat pemandangan di depannya. “Kenapa bisa seperti ini?” ucapnya setelah mendekat. Lalu dengan cepat mengambil tisu untuk menolong Alan.“Tadi tiba-tiba Mauren mau muntah, rencananya mau aku ajak ke kamar mandi ternyata dia gak bisa nahan dan berakhirlah seperti ini,” jelas Alan sambil membersihkan bekas muntahan di brankar dengan tisu. Sementara Renata dengan spontan membersihkan baju Mauren.“Dokter Renata!”Renata mendongak dan menatap seseorang setelah namanya di panggil.“Dokter Wahyu!” gumamnya lirih. Dan saat itu juga kenangan Ryu memenuhi pikirannya. Tanpa sadar sudut matanya berembun dan ia melangkah mund
“Sus, tolong anak saya!” ucap Alan ketika tiba di klinik.Laki-laki itu berjalan mendekati meja resepsionis sambil mengendong Mauren. Ya, Mauren terlepas dari gendongan hanya saat berada di dalam mobil saja. Renata juga binggung dengan sikap tiba-tiba putrinya itu. Aneh, itulah yang terlintas di pikirannya.Seorang gadis yang duduk di balik meja resepsionis itu mendongak dan bertemu tatap dengan Alan yang wajahnya terlihat cemas.“Iya, bisa daftar dulu ya,” ucapnya sopan.Alan lalu melirik Renata yang hanya mengekor di belakangnya. “Mi, tolong isi ini,” ucap Alan dan menunjuk dagunya pada satu lembar kertas yang ada di meja, di depannya.Renata pun mendekat dan mengisi form di depannya dalam diam. Sebab, tadi di mobil sudah berdebat dengan Alan. Tidak perlu datang ke klinik karena ia akan mengompres Mauren dan akan memberikan obat penurun panas.“Mohon tunggu sebentar, kurang tiga panggilan lagi, setelah itu putri Bapak ya,” ucapnya sambil tersenyum ramah.Renata sudah seringkali berh
“Ah, apa dia tidak memiliki makanan apapun di sini?” gumam Renata saat membuka kulkas dan tidak menemukan apapun di sana kecuali dua botol air mineral berukuran sedang di pintu kulkas.“Mami …!” teriak Mauren.Suara Mauren itu mengagetkan Renata. Wanita itu buru-buru berlari menuju kamar dan mendapati Mauren yang sudah membuka matanya dengan tatapan sayu.“Sudah bangun?” tanyanya kemudian melangkah mendekat ke arah tempat tidur.“Mi, pusing,” ucap Mauren tiba-tiba.Refleks, Renata langsung menyentuh kening Mauren dengan telapak tangannya kemudian membaliknya dengan punggung tangannya. “Koq demam? Bentar Mami ambilkan kompres dulu.”Renata keluar dari kamar, menuju dapur lagi untuk mencari baskom dan kain. Sementara di dapur, wanita itu mengamati sekeliling, semua yang diperlukan tidak ada di sana.“Ah, apa yang aku harapkan di sini. Dia paling hanya numpang tidur di sini,” keluhnya lalu kembali masuk ke dalam kamar untuk menghubungi Alan.Tidak lama kemudian, Alan mengangkat teleponn
“Mau turun, gak?”“No!” jawab Renata, ia memilih bertahan di dalam mobil saja daripada harus bersama dengan Alan.“Oke,” jawab Alan lalu menutup pintu mobil. Lelaki itu berjalan ke arah belakang dan membuka pintunya.“Alan, mau dibawa ke mana Mauren?” seru Renata. Seketika kepanikan melandanya . “Biarin Mauren tidur di mobil saja!”Alan kemudian menatap Renata sekilas, kalau wanita ini ingin bertahan di dalam mobil ia tidak peduli. Tetapi ia akan membawa Mauren masuk ke dalam apartemennya.“Apa kamu gak kasihan sama Mauren tidurnya gak nyaman seperti itu.”“Aku tetap disini, Mauren juga harus tetap di sini,” sahut Renata cepat, membantah ucapan Alan.Namun, tanpa mendengarkan keinginan Renata, Alan langsung saja mengendong Mauren dan membawanya masuk.“Hey,” seru Renata. Alan menyematkan senyuman tipis kala melirik Renata yang turun dari mobil kemudian mengikuti langkahnya masuk ke dalam gedung apartemen.“Alan, aku bilang-”“Jangan berisik, Mbak!”Tanpa Renata sadari langkahnya terus
“Kamu mau buat aku malu, Alan Sanjaya?”Begitu keluar dari gedung, Renata menarik tangan lelaki itu untuk mengikutinya. Melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan orang-orang. Setelah sampai di ujung koridor yang sepi, wanita itu menghentikan langkahnya sembari berkaca pinggang. Kekesalannya sudah memuncak seiring sikap Alan yang santai seolah tidak pernah melakukan kesalahan.“Mbak …!”“Aku bukan Mbakmu!” jerit Renata frustasi, merasa muak dengan panggilan itu karena Alan memanggilnya dengan suara rendah dan lembut.Sedangkan lelaki itu mengulum senyum. Selama ini, Renata tidak pernah protes dengan cara panggilnya, tetapi tiba-tiba dia mengklaim bukan Mbaknya.“Oke, kalau begitu aku panggil Sayang saja,” ucapnya disertai kekehan, meski mata Renata sudah menyorotnya tajam, Alan tidak peduli.“Jawab aku, Alan!” bentak Renata sudah hilang kesabarannya. “Kamu mau buat aku dan Mauren malu, hah! Belum cukup ka-”Renata tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika kelima jari Alan singgah di bi
Hari ini, Alan sengaja datang ke sekolahan Mauren. Semalam, Bara mengirimkan pesan bahwa di sekolahan Mauren sedang ada acara, tidak membuang kesempatan Alan akan hadir di acara tersebut.Lelaki itu berangkat tanpa memberitahu pada sang putri. Ia tidak peduli, kalau ternyata nanti di sana akan mendapatkan penolakan. Ia bisa memastikan nanti akan bertemu dengan Renata di dalam. Sekali lagi, Alan katakan tidak peduli.Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya dia menepikan mobilnya di parkiran khusus untuk pengunjung.Sikap Alan yang ramah membuat tidak ada kecanggungan bila harus menyapa orang-orang yang sebelumnya tidak kenal. Dengan langkah tegas, tidak ada keraguan sedikitpun lelaki itu berjalan menjangkau menuju gedung Aula, tempat diadakannya acara tersebut.Ketika Alan sudah mencapai gedung tersebut, langkahnya terhenti sebab ada seorang resepsionis yang berjaga sembari menyodorkan buku tamu bagi yang akan masuk.“Selamat siang, maaf dengan wali murid siapa ya
Renata dan Alan duduk bersisihan di teras rumah. Hari ini memang Alan sengaja datang di malam hari untuk bisa bertemu dan berbicara dari hari ke hati dengan Renata. Semenjak kepulangan wanita itu dari rumah sakit dan Alan yang pindah ke apartemen, membuat keduanya jarang bertemu. Sekalinya Alan ingin mengantar Mauren ke sekolah, hal itu sudah lebih dulu dilakukan oleh Renata.Selama hampir sepuluh belas menit, tidak ada yang bersuara di antara keduanya. Hanya suara angin yang bertiup seolah memecahkan keheningan . Dan selama itu pula, tatapan Alan hanya tertuju pada wajah cantik Renata. Dari situ Alan dapat mengamati dengan jelas wajah Renata yang tidak banyak berubah setelah bertahun-tahun tidak bertemu.Sungguh bodoh, dirinya dulu meninggalkan wanita ini. Harusnya saat itu dia tidak meninggalkan Renata dan membangun keluarga kecilnya, mempertahankan wanita yang dia cintai meski jalan itu tidak akan mudah karena pertentangan dari kedua keluarga. Namun, sekarang hanya penyesalan yang