“Selamat pulang ke rumah dan tetap kontrol ya, untuk merawat luka-luka yang belum sepenuhnya sembuh.”“Iya, Dok,” balas Aluna. “Dan terima kasih sudah merawat putra saya sampai kami pulang.”Bara menganggukan kepalanya. Menyesalkan sikap Ryu yang masih belum datang padahal kemarin ia sudah mengatakan kalau Langit hari ini sudah bisa pulang.“Kalau ada apa-apa bisa langsung datang ke rumah sakit atau telepon ke …” Bara tidak melanjutkan ucapannya melihat perubahan wajah Aluna. “Ah, maksud saya telepon ke rumah sakit,” ralat Bara untuk menghindari kesalahpahaman.“Baik-baik ya, Langit.” Bara mengacak puncak kepala Langit. “Semoga lekas sembuh dan tidak kembali lagi ke rumah sakit lagi.”“Terima kasih, Dokter.” Langit berujar dengan sopan. Lalu seorang perawat sudah menyiapkan kursi rodanya untuk membawa Langit keluar kamar.Hari ini yang membawa Langit pulang hanya Aluna, Bian berhalangan karena laki-laki itu harus menghadiri meeting ke luar negeri. Sebelum melangkah keluar tiba-tiba po
Tidak bisa, semua yang dilakukan Ryu saat ini sudah berada di luar batas yang Aluna berikan. Dan Aluna tidak mau tinggal diam saja. Wanita itu dengan amarah yang sudah memuncak, menghampiri sofa dimana Ryu membaringkan tubuhnya. Dengan kekuatannya yang ada menarik tangan Ryu meski tubuh besar pria itu hanya terguncang sedikit.“Pulang, saya tidak mau anda di rumah saya!”Aluna mencoba menarik Ryu sekali lagi, tapi masih tidak berhasil. Sementara Ryu, hanya tersenyum samar meskipun tubuhnya bergerak tapi tidak bergeser sedikitpun.“Istirahatlah, Aluna,” ujar Ryu. Bagaimanapun, Aluna perlu istirahat setelah beberapa hari merawat Langit di rumah sakit. Andai saja diperbolehkan, Ryu juga mau merawat Langit saat di rumah sakit tetapi Aluna pasti tidak mengijinkan. Daripada berdebat di rumah sakit, lebih baik Ryu menggantinya untuk merawat di rumah seperti saat ini. “Sekarang, biar aku yang gantian merawat anak kita di rumah. Kamu cukup istirahat saja.”Anak kita, dua kali Ryu mengatakan ka
“Mami!”Aluna menoleh sekilas ke belakang, tersenyum lebar ketika Langit berjalan mendekat, sebelum kembali mengaduk ayam kecap yang ada di wajah. “Sudah bangun ya!”“Mami masak apa?” tanya Langit yang kini sudah berada di samping Aluna. Meski tinggi badannya tidak bisa menjangkau tinggi kichenset yang akhirnya Langit berjinjit untuk melihat ke dalam wajan. “Aku gak bisa lihat Mami.”Kembali Aluna menyunggingkan senyuman lalu meletakkan spatula kemudian mengendong Langit yang tiba-tiba girang saat bisa melihat apa yang ada di dalam wajan. “Wah, ayam kecap ya. Aku suka, aku suka Mi!”Wanita itu mengangguk, berjalan menuju meja makan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari dapur. Mendudukan sang putra dengan berujar, “Tunggu sini, Mami ambilkan makan buat kamu.”Langit mengangguk, tidak sabar akan makan menu kesukaannya setelah beberapa hari hanya makan, makanan dari rumah sakit yang tidak seenak masakan sang Mami. Sementara Aluna kembali ke dapur. Mengaduk sekali lagi setelahnya mematika
“Maaf, bukannya waktu itu Pak Ryu sudah tidak memperpanjang permasalahannya ya, Bu?” tanya Ibu Martha selaku kepala sekolah, saat Aluna tiba-tiba datang menemuinya.Aluna mengerti, pasti keputusannya ini akan disangkut pautkan dengan perdebatannya dengan Ryu waktu itu. “Memang, Bu. Tetapi ini keputusan dari saya pribadi. Kebetulan saya akan pindah rumah dan disana ada sekolahan yang dekat dari rumah.” Aluna mengatakan dengan tenang.“Oh, begitu ya, Bu. Sayang sekali harus pindah ya, padahal mau kenaikan kelas.”Aluna memang tidak memikirkan hal itu, yang penting Langit harus pindah dari sekolah ini. Dan ia berharap Ryu tidak akan mencarinya. Semalaman ia berpikir keras, obrolan dengan Ryu sudah terlalu jauh dan ia harus tegas mengambil keputusan.“Tidak papa, Bu,” jawab Aluna. Menurutnya, kepindahan sekolah Langit harus segera dilakukan agar Ryu tidak akan kembali mengusiknya.“Tapi, Ibu harus melalui proses terlebih dahulu. Jadi begini ….” Ibu Marta menjeda ucapannya mengambil kertas
Drrrrttt …Drrrrttt …Aluna melirik ponsel yang ia letakkan di dashboard mobil usai berbincang dengan Bian beberapa saat yang lalu.“Mas Bian,” gumamnya. Dengan tergesa Aluna langsung menerima panggilan tersebut. Pikirannya sontak tertuju pada Langit, mungkin telah terjadi sesuatu di rumah.“Ya, Mas,” jawab Aluna dengan perasaan yang tidak baik.“Lun, mantan suami kamu ada di sini,” sahut Bian di sana. “Aku sudah usir dia baik-baik tapi gagal, malah sekarang ia tidur di kamar sama Langit.”Cittt …Aluna seketika menghentikan mobilnya, beruntung tidak ada kendaraan di belakangnya.“Lun, Aluna … kamu kenapa?” teriak Bian karena tidak mendapat respon dari Aluna.Kemampuan berbicara Aluna mendadak menghilang. Kenapa Ryu jadi bersikap kurang ajar begitu. Harusnya pria itu menghormati batasan yang diberikan Aluna. Kemarin menerobos masuk sekarang tidur di kamarnya. Besok apa lagi, Aluna sampai memijat pelipisnya.“I-iya, Mas.” Aluna membalas panggilan Bian. “Tunggu, limabelas menit lagi aku
Ryu menepati janjinya.Ia selalu datang untuk menemui Langit setelah pulang dari rumah sakit. Pria itu selalu membawakan Langit hadiah setiap kali datang. Jangan tanyakan bagaimana bahagianya Langit. Dihadirkan sosok Papi yang selalu ditunggu-tunggu kedatangannya, ditambah bonus mainan.Dan ini hari ketiga Ryu datang dengan membawa remote car. Sebelumnya, di hari pertama sejak pengakuan Ryu adalah Papinya Langit, lelaki itu membawakan mainan robot yang lumayan mahal, dilihat dari kecanggihan dan ukurannya yang besar. Tampaknya Ryu tidak memikirkan harganya, mengingat robot itu pernah Aluna lihat kalau limited edition.Sedangkan hari keduanya, Ryu membawakan sepeda untuk Langit. Putranya bukan tidak memiliki sepeda, melainkan Ryu membelikan sepeda yang lebih canggih dari yang dimiliki Langit sebelumnya.“Pi, kata Mami besok aku masuk sekolah lagi,” ujar Langit pada Ryu. Putranya itu sedang berbaring di pangkuannya, setelah kelelahan bermain. Tangan Ryu mengusap-usap kepala Langit sambi
Renata mendecakan lidahnya ketika suara sirine mobil ambulans lebih kencang daripada suara seseorang yang menjawab pertanyaannya.“Apa!”Sesaat kemudian, ia menyadari bahwa sedang menelpon poli UGD. Buru-buru Renata memutus panggilan sepihak, bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka, seseorang berdiri di ambang pintu .“Mas, kamu darimana aja koq baru pulang?” tanya Renata menghampiri Ryu yang datang dengan wajah lelahnya. “Aku khawatir makanya barusan telepon rumah sakit.”“Kamu telepon rumah sakit?” Ryu mengernyit, tampak terkejut. Tidak biasanya sang istri melakukan hal itu. “Untuk apa?”Tangan Renata tiba-tiba mengalungkan pada leher Ryu. “Iya, hp kamu mati, Mas.”“Oh,” jawab Ryu santai, melirik kedua tangan Renata di lehernya tanpa mau melepasnya.Renata menempelkan tubuhnya dengan sang suami, berjinjit kemudian mendaratkan bibirnya pada bibir Ryu, mengecupnya sekilas. “Kenapa hanya oh saja? Memangnya kamu darimana sih, Mas?” Renata masih penasaran dengan jawaban Ryu.Melihat ke
“Baik, kalau begitu kami permisi, Bu.”Aluna pamit lalu membungkukkan badannya pada wali kelas Langit. Ryu yang berada di sampingnya hanya menampilkan senyuman saja.Tak berselang lama, kedua mantan suami istri itu berjalan bersisihan meninggalkan sekolahan. Setelah berkenalan dengan wali kelas dan mengantar Langit ke kelas barunya.“Setelah ini mau kemana, biar aku antar,” tanya Ryu yang memang belum mengetahui kegiatan Aluna apa saja setiap harinya. Jujur, ia merasa malu tidak pernah bertanya sebelumnya. Selama ini, pertemuan mereka lebih banyak membahas masa lalu dan juga tentang Langit.Aluna terus berjalan dan berujar, “Gak perlu, aku naik taxi.”“Aku antar, Aluna,” ucap Ryu sedikit memaksa. “Sekalian ada yang mau aku obrolin sama kamu.” Ryu menarik tangan Aluna dan tidak membiarkan mantannya itu menolak.Aluna mendengus, Ryu kembali ke setelan awal, pria itu sukanya melakukan pemaksaan.“Aku sudah bil-”“Nurut kenapa sih, Lun!” sela Ryu tanpa melepas tangan Aluna seraya membawa
“Mami …!”Panggilan yang diucapkan Mauren tidak membuat wanita yang sedang menatap kosong ke luar jendela bergerak.“Mami … Mauren kang-”Renata menoleh, menatap ke arah Mauren. Detik berikutnya, wanita itu berteriak histeris dengan telunjuk mengarah pada Mauren di ambang pintu.“Mauren, kamu anak sialan. Pergi, pergi … pergi anak sialan kamu!”Awalnya Mauren sudah percaya diri kalau kali ini kunjungannya bakal diterima oleh sang Mami. Akan tetapi, diluar expektasinya ternyata Renata menolak kedatangannya lagi dan ini sudah yang kesekian kalinya.Sementara Alan yang berada di belakang Mauren, seketika memberikan pelukan dari samping pada anak gadisnya itu untuk menguatkan. “Biar Ayah yang coba ya,” ucapnya.“Tap-tapi ….” Suara Mauren bergetar menahan isakan. Ia bisa menerima ketika Renata membentaknya tetapi tidak mengumpatinya. Gadis berusia delapan tahun itu semakin sesak dadanya ketika melihat tatapan tajam sang Mami. Buliran bening yang sempat ditahannya tidak mampu lagi disembun
Setelah tiga hari dua malam berada di rumah sakit, akhirnya Aluna diperbolehkan pulang. Meskipun Bian memberikan kamar VVIP saat di rumah sakit, tetapi Aluna lebih menyukai tinggal di rumah sederhananya.“Sudah semua kan?” tanya Bian sambil menelisik satu persatu barang yang akan dibawanya pulang ke rumah.“Kayaknya ….” Aluna ikut berdiri di samping Bian sambil memperhatikan sekeliling, mana tahu ada yang tertinggal. “Sudah semua deh, Mas.”“Selamat siang!” Suara dokter Lia terdengar dari arah pintu.“Selamat siang, dok,” sapa Aluna menjawab salam dokter Lia. Bian hanya tersenyum menjawab sapaan dokter yang telah membantu proses kelahiran Awan.“Jadi mau pulang hari ini ya?” ucap dokter Lia setelah menatap bayi tampan Aluna yang masih tidur. “Hem … bayinya tampan seperti Ayahnya.” Dokter Lia mengatakan lagi sambil menatap Bian dengan tersenyum.“Dia bukan-”“Ah, terima kasih, dok,” sela Bian dengan terkekeh. Lalu melirik Aluna. Wanita itu sedang menatapnya geregetan dan Bian tidak pe
“Tante, nanti pulang sekolah aku boleh jenguk Mami dulu ya?” tanya Mauren pada Nia. Sudah delapan bulan, semenjak Renata berada di rumah sakit jiwa, Mauren tinggal bersama keluarga Bara. Mauren melanjutkan kunyahannya yang ada di mulutnya baru kemudian melanjutkan ucapannya. “Tapi kalau gak ada ekskul, sih.”“Jangan dulu deh, tunggu Om Bara off dulu aja ya. Nanti biar ditemani,” jawab Nia sambil mengaduk minuman hangatnya untuk sang suami. Biasanya memang Mauren di temani oleh Bara jika ingin datang ke rumah sakit. “Coba tanya sama Om Bara, kapan off.”“Tan, aku ke sana sama Ayah koq.” Mauren segera menghabiskan nasi goreng yang ada di piringnya. Menyisahkan nugget yang biasanya ia makan belakangan. “Jadi gak sama Om.”Mauren memang sudah bisa menerima kehadiran Alan sebagai Ayahnya. Tetapi hubungan mereka tidak lah terlalu dekat karena di saat butuh saja Mauren mendatangi lelaki itu. Alan pun tidak masalah jika Mauren hanya memanfaatkannya saja. Toh, ada darahnya yang mengalir di tu
Delapan bulan kemudian …Aluna meringis, merasakan nyeri itu kembali datang. Sesuai hari perkiraan lahir, harusnya masih seminggu lagi. Akan tetapi, sejak bangun tadi pagi ia merasakan beberapa kali nyeri. Merasa sudah berpengalaman saat melahirkan Langit dulu, Aluna bergegas menuju klinik.“Kita langsung ke rumah sakit saja ya,” ucap Bian. Laki-laki itu langsung berangkat menuju rumah Aluna saat di telepon Aluna. Acara meeting yang masih setengah jalan, terpaksa ia tinggalkan. Tidak masalah meninggalkan kantor, karena Aluna adalah prioritasnya saat ini.“Klinik saja, Mas!” pinta Aluna. Setiap bulan Aluna memang kontrol di klinik tersebut. Selain itu lokasi yang dekat dengan rumah, membuat tidak menghabiskan waktu di perjalanan.Desahan pelan keluar dari bibir Bian. Ia hanya ingin Aluna mendapatkan pelayanan yang terbaik dan lengkap jika datang ke rumah sakit. Tetapi wanita hamil itu ternyata masih saja keras kepala. Aluna masih trauma datang ke rumah sakit setelah kepergian Ryu. Lant
“Stop, Renata!” teriak Bara. Ketika mendengar kegaduhan di dalam kamar, ia tidak bisa menunggu lagi sampai Alan keluar. Tanpa permisi Bara membuka pintu. Untuk pertama kalinya pria itu tercengang dengan apa yang dilihatnya. Akal sehatnya masih menyangkal apa benar ini yang dilakukan oleh istri Ryu. Bara lantas mendekati Renata menarik kedua tangan wanita itu dari kepala Alan kemudian mencengkramnya dengan kuat. “Kamu mau jadi pembunuh, hah? Mau kamu membusuk di buih, hah! Kalau kamu gak bisa mengendalikan diri, terpaksa aku bawa kamu ke rumah sakit jiwa. Mau kamu seperti itu, ya?”“Pergi, Alan!” ucap Bara setelah tangan Renata terlepas dari kepala Alan. “Kamu juga, bodoh atau gimana sih, diam saja diha-”“Saya ikhlas, Mas,” sahut Alan tidak menyimpan dendam sama sekali pada Renata. “Kalau dengan seperti ini bisa membuat Mbak Renata memaafkan saya.”“Konyol itu namanya,” geram Bara. “Mati sia-sia, belum tentu dimaafkan juga.” Kembali decakan kesal keluar dari bibir Bara. “Ck, sebenarny
“Kamu …” Renata mengacungkan telunjuknya dan mengarahkan pada lelaki yang telah memanggilnya beberapa saat yang lalu. “Pergi! Brengsek, kamu!” Tanpa ragu Renata melempar bantal yang ada di sampingnya ke arah laki-laki tersebut.Bara yang masih berada di dalam kamar. Menyadari Renata yang akan mengamuk lagi, ia refleks menutup pintunya rapat. Mengangkat kedua tangannya di depan dada. “Ren, bisa tenang! Aku mau bantu kamu, tapi tolong kamu tenang. Di luar akan banyak orang, kalau kamu seperti ini mereka akan mengira kalau kamu gila. Pasti kamu tahu dimana orang gila berada, kan.”“Kamu ngatain aku gila, Mas?” Di sela amukannya Renata masih bisa berpikir normal. “Aku gak gila, Mas.” Wanita itu jatuh di lantai sambil menekuk lututnya. Suaranya bergetar dengan buliran bening yang tiba-tiba menetes di pipi. “Maaf … Mas Ryu, harusnya … aku, harusnya … aku.” Ada rasa sakit yang tak terlihat menghujam, saat menyadari tindakannya yang telah membuat Ryu menghembuskan napas terakhirnya. Kembali r
“Gimana keadaannya, Mas?”Bara baru saja menutup pintu kamar berwarna putih itu, menoleh ke samping, ada sebelah tangan memeluk lengannya. Berdiri sang istri dengan wajah khawatir. Ia memang merutuki apa yang diperbuat Renata, tetapi melihat kondisinya yang sekarang membuatnya sangat iba. Bara tidak langsung menjawab, laki-laki itu menghela sebentar lalu menatap pintu yang ia tutup barusan. Tidak akan mengira apa yang telah terjadi pada Renata. Jiwanya terguncang setelah melihat sang suami dikubur di bawah tanah. Sementara istri Ryu yang satunya terlihat tegar dan bisa menerima takdir ini. Berjalan menuju sofa yang ada di depannya lantas mendudukan bokongnya di sana. Nia yang tidak melepaskan lengan Bara, mengikuti dengan duduk di sofa yang sama.“Aku pikir, kalau dia masih belum ada perubahan, kita bawa ke rumah sakit saja,” jawabnya lirih. Setelah mengamuk dan berteriak histeris di pemakaman, Bara telah berhasil menenangkan. Namun, ketika sudah sampai di rumah, Renata mengamuk lagi
“Ayah, sekarang aku sudah tidak punya Papi lagi.”Suara Langit memecahkan keheningan diantara ketiga orang yang sedang berada di dalam mobil. Setelah Bian mengatakan untuk mengajak pulang Aluna, wanita itu menurut. Meski hatinya masih tidak rela untuk meninggalkan pemakaman Ryu. Bian benar, ini adalah takdir yang harus Aluna jalani.Kepala Bian menoleh, tujuannya bukan Langit, melainkan Aluna yang berada di sampingnya. Tatapan penuh kesedihan tidak pernah lepas dari jalanan di depannya. Walaupun Bian tahu, Aluna pasti terusik dengan kalimat Langit tersebut.Lalu sentuhan tangan Bian pada punggung tangan wanita itu, meremasnya dengan lembut. “Are you oke?”“Hmm.” Aluna menjawab hanya bergumam. Wanita itu seolah tidak memiliki gairah hidup setelah kehilangan Ryu. Bian paham, dibalik sifat keras ingin meninggalkan Ryu, Aluna sangat mencintai mantan suaminya itu. Aluna lantas mengusap perutnya yang masih rata, seketika terhenyak, kalau di sana ada kehidupan lain, ada calon anaknya. Makany
“Gak mungkin!”Sesaat setelah mengatakan itu, tubuh Aluna ambruk. Dengan sigap, Bian melepaskan genggaman tangan Langit dan meraih pinggang Aluna, lalu mendekapnya dengan erat.“Mami!” Langit mendekati Aluna menampilkan wajah ketakutan. Matanya berembun dengan suara bergetar. “Ayah, Mamiku kenapa?”“Langit cari duduk dulu ya, Ayah urus Mami dulu.” Di saat seperti ini, Bian tidak bisa mengurusi dua orang sekaligus. “Iya,” jawab Langit kemudian meranjak menuju bangku yang tidak jauh dari Bian. Bocah laki-laki itu masih belum paham situasi yang ada. Namun, Bian bisa melihat kalau tangannya beberapa kali mengusap pipi.“Aluna bangun!” panggil Bian sambil menepuk-nepuk pipinya. Saat maniknya bertatapan dengan bangku di sebelah Langit, Bian segera mengangkat tubuh Aluna. Merutuki kebodohannya, harusnya ia bisa pelan-pelan memberitahu Aluna. Melupakan kalau Aluna sedang hamil dan ibu hamil tidak boleh banyak pikiran apalagi stress. “Maaf, harusnya aku-”“Ini ada apa?”Bian sontak mengangka