“Baik, kalau begitu kami permisi, Bu.”Aluna pamit lalu membungkukkan badannya pada wali kelas Langit. Ryu yang berada di sampingnya hanya menampilkan senyuman saja.Tak berselang lama, kedua mantan suami istri itu berjalan bersisihan meninggalkan sekolahan. Setelah berkenalan dengan wali kelas dan mengantar Langit ke kelas barunya.“Setelah ini mau kemana, biar aku antar,” tanya Ryu yang memang belum mengetahui kegiatan Aluna apa saja setiap harinya. Jujur, ia merasa malu tidak pernah bertanya sebelumnya. Selama ini, pertemuan mereka lebih banyak membahas masa lalu dan juga tentang Langit.Aluna terus berjalan dan berujar, “Gak perlu, aku naik taxi.”“Aku antar, Aluna,” ucap Ryu sedikit memaksa. “Sekalian ada yang mau aku obrolin sama kamu.” Ryu menarik tangan Aluna dan tidak membiarkan mantannya itu menolak.Aluna mendengus, Ryu kembali ke setelan awal, pria itu sukanya melakukan pemaksaan.“Aku sudah bil-”“Nurut kenapa sih, Lun!” sela Ryu tanpa melepas tangan Aluna seraya membawa
“Aku ….”Suara Aluna terhenti seiring dering ponsel miliknya yang berada di dalam tas. Dengan cekatan ia mengambil dan melihat siapa yang menelpon. Nomor asing, Aluna sudah terbiasa untuk menjawabnya. Profesinya sebagai Dosen, tidak mungkin ia akan menyimpan semua nomor hp mahasiswanya.“Siapa?” tanya Bian penasaran.“Belum tahu,” sahut Aluna lalu segera mengeser icon hijau pada benda pipih elektronik tersebut. “Halo!”“Selamat siang, Ibu. Maaf, ini dengan wali murid dari Langit Yudhistira ya?” tanya wanita disebrang sana saat Aluna sudah menyapa.“Iya, ini dengan siapa ya?” Aluna bertanya balik setelah menjawab pertanyaan penelpon.“Perkenalkan saya Ibu Rose, wali kelas dari Langit Yudhistira.”“Iya, Ibu Rose, salam kenal juga. Saya Maminya Langit,” jawab Aluna dengan sedikit tegang. “Maaf, apa ada masalah dengan anak saya, Bu?”“Oh, tidak. Saya mohon ijin untuk memasukkan nomor Ibu ke group kelas, untuk kemudahan penyampaian segala informasi yang berkaitan dengan sekolahan.”“Oh, si
“Papi …!” teriak Langkit kala melihat mobil Ryu terparkir di depan pagar rumah.Ryu langsung merentangkan kedua tangannya saat Langit mendekat kemudian berhamburan kedalam dekapannya. Tangan besar Ryu mengusap punggung kecil sang putra. Beberapa saak kemudian, Langit mengurai pelukan teringat sesuatu.“Kenapa?” tanya Ryu yang heran dengan perubahan wajah sang anak.Langit melepaskan diri dari Ryu lalu memberi jarak agar bisa bertemu tatap dengan pria dewasa itu. Kedua tangannya di lipat di depan dada sembari mendongak, bola matanya melebar.“Kenapa kemarin gak datang? Apa operasinya Papi sampai malam? Sampai aku tidur, iya?” cecar Langit. Kemarin setelah Bian memberi kesenangan, ia teringat kembli dengan Ryu. Wajar yang ia lakukan mengingat Ryu telah berjanji akan ada untuknya dan juga untuk sang Mami.“Masuk yuk!” Ryu mengandeng tangan Langit seraya mengangkat paper bag yang lumayan besar dan sengaja di letakkan asal saat akan memeluk Langit tadi.Keduanya masuk rumah dan disambut sen
“Mas, apa di rumah sakit ada perombakan jadwal?” tanya Renata. Memandang ke arah Ryu dari pantulan cermin, meja rias. Wanita itu sedang memakai cream malam, aktifitasnya sebelum tidur. “Kamu itu sering banget lho pulang malam!”Ryu tak menjawab. Tiba-tiba lidahnya terasa kelu. Sebelumnya Renata juga pernah bertanya, tetapi ia masih mencoba mencari alasan. Dan sekarang tidak mungkin ia menggunakan alasan yang sama.“Mas!” desah Renata melihat Ryu yang hanya diam saja. “Jangan buat aku berpikir buruk sama kamu ya.”Sebagai seorang istri, wajar kalau Renata curiga. Wajah yang tampan, profesi yang menjanjikan dan tentunya siapa yang tidak mengenal Ryu, putra dari pemilik rumah sakit. Pasti banyak wanita-wanita yang ingin mendekatinya. Di tambah lagi, pembawaan Ryu yang ramah. Tidak ada yang tidak terpesona oleh paras sang Dokter.“Jangan ngaco, buang pikiran burukmu itu!” Ryu mengalihkan perhatian dari ponsel di genggamannya, meletakkan ponselnya di nakas, lalu bergegas berdiri. Mungkin m
“Oke, saya segera ke rumah sakit!”Ryu menutup sambungan teleponnya. Ia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa saat yang lalu, pria itu mendapatkan panggilan dari rumah sakit.Dia termasuk salah satu Dokter yang akan ikut rombongan tenaga medis, untuk membantu korban kecelakaan pesawat, yang menelan korban tidak sedikit.Lima belas menit kemudian, Ryu menuruni anak tangga, maniknya lurus menatap ruang makan di lantai bawah. Tampak meja makan yang kosong, padahal hari masih pagi.“Selamat pagi, Pak?” sapa babysitter Mauren sembari membungkukkan badannya.Melihat wajah binggung Ryu membuat gadis yang sudah merawat Mauren dari bayi itu berujar, “Ibu sudah berangkat dan Non Mauren, masih di kamar. Ini saya mau ke kamarnya, memanggil untuk sarapan.”“Ya,” jawab Ryu kemudian. “Ehm, tolong bilang sama Mauren juga Ibu kalau bertanya, kalau saya ada tugas keluar kota, membantu korban kecelakaan.”Harusnya Ryu bisa memberitahu sendiri kepada sang istri, tetapi ia tahu kal
“Lun, maaf baru ngabarin. Aku gak bisa jemput Langit tiga hari ini, karena ada dinas ke luar kota. Gimana kabarnya Langit sekarang? Apa dia menungguku, tolong sampaikan maafku ya!”Aluna menatap datar pada pesan yang dikirim Ryu, lima menit yang lalu. Bahkan wanita itu tidak berniat untuk membalasnya. Hingga dering ponselnya kembali berdering, yang kali ini Ryu sedang menelponnya.“Apa?” jawab Aluna, suaranya tidak enak di dengar.Ryu paham, mantan istrinya itu mungkin sedang kesal dengannya. “Maaf ya. Harusnya aku tidak lupa kabarin kalian, gimana kabarnya Langit?”Aluna berdecak, lalu meluapkan emosinya. “Kalau kamu gak bisa nepati janji, harusnya gak usah berjanji. Karena ulah kamu itu sekarang Langit-”“Aku ganti video call ya,” sela Ryu, mendadak hatinya tidak tenang, ada sesuatu yang menganjal. “Dan nanti tolong berikan sama Langit.”Aluna langsung mematikan tanpa menjawab pria itu. Dua detik kemudian, Ryu menepati ucapannya. Laki-laki itu melakukan video call. Aluna menjawabnya
Aluna mengumpulkan nyawanya, lalu cepat-cepat bergegas bangun sebelum Ryu menyadarinya. Namun, tarikan di lengannya sangat kuat hingga ia ambruk lagi. Menjerit lagi. “Arrgh …! Lepas, Dokter!”Ryu dengan cepat membalik posisi, pria itu mengungkungnya dan sekarang Aluna di bawahnya. Wajah tampan itu kini berubah seperti serigala yang mendapati buruannya. Sekarang Aluna merasa hidupnya dalam bahaya. Bagaimanapun, keputusan untuk mengijinkan Ryu menginap adalah salah besar.“Kenapa berubah lagi, sudah bagus kamu memanggilku Mas, sekarang kembali memanggil Dokter,” gumamnya sambil menatap dengan tatapan sulit diartikan.Semakin lama, tatapan Ryu semakin dalam dan membuat Aluna tidak mampu lagi menolak pesona mantan suaminya itu.Gelenyar aneh, yang tidak pernah ia rasakan pasca berpisah dengan Ryu kini menghampirinya saat laki-laki itu mengusap jari ke pipinya dengan lembut. Pun saat Ryu mengikis jarak keduanya dan wajah mereka kini nyaris bersentuhan.Hep, Aluna langsung menutup mulutnya
“Kamu apa-apaan bilang seperti itu?”Kemarahan Aluna sudah diujung kepalanya. Harusnya Ryu diam saja menanggapi ocehan Ibu-ibu komplek di mana dirinya tinggal.“Lalu, apa aku harus diam juga ketika kamu di-”“Stop!” Aluna memotong ucapan Ryu, menyuruh agar laki-laki itu berhenti. Ia sudah cukup penat dengan semua ini. Sekarang yang ingin ia lakukan hanyalah mengistirahatkan tubuh dan otaknya. “Pulanglah dan gak perlu datang ke sini lagi. Kalau kamu mau ketemu Langit, janjian saja di luar biar aku yang antar. Kamu boleh seharian bersama Langit tapi tidak di rumah ini,” jelas Aluna panjang lebar.Mungkin untuk sementara, biarlah Ryu tidak menampakkan diri di rumahnya dengan begitu gosip itu akan mereda dengan sendirinya. Biasanya kan seperti itu yang terjadi di kehidupan real kita.Ryu mendekat, berdiri di hadapan Aluna. “Daripada kamu terus-terusan jadi bahan omongan tetangga, lebih baik kita jadikan nyata.” Kemudian kedua tangannya terangkat untuk menyentuh bahu Aluna. “Ayo menikah.”
“Ayah …!”“Mami …!”“Yayah …!”“Mimi …!”Suara-suara berisik itu membuat Aluna mengeliat. “Mas, ayo bangun! Anak-anak sudah pulang itu,” tutur Aluna seraya memukul lengan Bian yang menempel erat di tubuhnya polosnya.“Biarin aja, nanti mereka juga diem sendiri,” ucap Bian tidak peduli.“Mas …!” hardik Aluna sebab Bian mengabaikannya. “Bangun …!”Bian berdecak pelan sebelum melepaskan tangannya dari tubuh Aluna. Bangkit dan mendudukan tubuhnya, lalu menyalakan lampu kamar. Laki-laki itu kemudian memunguti kaos dan celana pendeknya yang tergeletak di lantai. Memakainya dengan cepat dan hendak membuka pintu yang masih terkunci dari dalam. Sementara Aluna berlari ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.Saat pintu dibuka, ketiga anaknya sedang berdiri dengan wajah berseri.“Sudah pulang?” tanya Bian memandang bergantian ke arah Tegar, Langit dan Awan.“Tante belikan banyak makanan, Ayah,” sahut Langit sembari memperlihatkan satu kantung plastik berisi camilan dan susu.“Mama juga belik
“Apa keputusanmu tidak bisa diubah, Mbak?” tanya Alan dengan wajah yang lesu, lalu menghembuskan napas pelan.Segala upaya sudah dilakukan tetapi masih tidak bisa membuat Renata tersentuh dengan sikap dan tindakan yang dilakukan Alan.Renata mengelengkan kepalanya. “Tidak, kamu masih muda dan bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku.”“Kamulah yang terbaik buat aku, Mbak,” sahut Alan tegas, tidak ada keraguan sama sekali di hatinya.Renata hanya tertawa, kemudian beranjak berdiri. Pembicaraan ini pasti tidak akan menemukan titik temu karena keduanya saling keras kepala.“Mbak, aku belum selesai bicara.” Alan bergegas menghampiri Renata. “Tidak masalah kalau kamu tidak bisa mencintaiku, Mbak. Pelan-pelan aku akan buat kamu jatuh cinta sama aku,” ucap Alan, menarik siku lengan Renata dengan pelan. Laki-laki itu masih bersikeras untuk membujuk Renata.Sekali lagi Renata mengeleng tegas. Tidak ada cinta di hatinya untuk Alan, jadi buat apa menerima pinangan dari lelaki itu. Yan
“Mohon maaf Ibu, bisa masuk ke ruangan dokter,” ucap seorang perawat yang datang menghampiri Renata.“Hah, ada apa?” Renata tertegun. Namun, tiga detik kemudian wanita itu beranjak berdiri, sebab dihantui rasa penasaran yang tinggi. “Sebentar aku masuk dulu!” ucapnya pada Aluna sebelum pergi.Pintu berwarna putih itu, Renata buka dengan segera. Seketika mulutnya ternganga melihat pemandangan di depannya. “Kenapa bisa seperti ini?” ucapnya setelah mendekat. Lalu dengan cepat mengambil tisu untuk menolong Alan.“Tadi tiba-tiba Mauren mau muntah, rencananya mau aku ajak ke kamar mandi ternyata dia gak bisa nahan dan berakhirlah seperti ini,” jelas Alan sambil membersihkan bekas muntahan di brankar dengan tisu. Sementara Renata dengan spontan membersihkan baju Mauren.“Dokter Renata!”Renata mendongak dan menatap seseorang setelah namanya di panggil.“Dokter Wahyu!” gumamnya lirih. Dan saat itu juga kenangan Ryu memenuhi pikirannya. Tanpa sadar sudut matanya berembun dan ia melangkah mund
“Sus, tolong anak saya!” ucap Alan ketika tiba di klinik.Laki-laki itu berjalan mendekati meja resepsionis sambil mengendong Mauren. Ya, Mauren terlepas dari gendongan hanya saat berada di dalam mobil saja. Renata juga binggung dengan sikap tiba-tiba putrinya itu. Aneh, itulah yang terlintas di pikirannya.Seorang gadis yang duduk di balik meja resepsionis itu mendongak dan bertemu tatap dengan Alan yang wajahnya terlihat cemas.“Iya, bisa daftar dulu ya,” ucapnya sopan.Alan lalu melirik Renata yang hanya mengekor di belakangnya. “Mi, tolong isi ini,” ucap Alan dan menunjuk dagunya pada satu lembar kertas yang ada di meja, di depannya.Renata pun mendekat dan mengisi form di depannya dalam diam. Sebab, tadi di mobil sudah berdebat dengan Alan. Tidak perlu datang ke klinik karena ia akan mengompres Mauren dan akan memberikan obat penurun panas.“Mohon tunggu sebentar, kurang tiga panggilan lagi, setelah itu putri Bapak ya,” ucapnya sambil tersenyum ramah.Renata sudah seringkali berh
“Ah, apa dia tidak memiliki makanan apapun di sini?” gumam Renata saat membuka kulkas dan tidak menemukan apapun di sana kecuali dua botol air mineral berukuran sedang di pintu kulkas.“Mami …!” teriak Mauren.Suara Mauren itu mengagetkan Renata. Wanita itu buru-buru berlari menuju kamar dan mendapati Mauren yang sudah membuka matanya dengan tatapan sayu.“Sudah bangun?” tanyanya kemudian melangkah mendekat ke arah tempat tidur.“Mi, pusing,” ucap Mauren tiba-tiba.Refleks, Renata langsung menyentuh kening Mauren dengan telapak tangannya kemudian membaliknya dengan punggung tangannya. “Koq demam? Bentar Mami ambilkan kompres dulu.”Renata keluar dari kamar, menuju dapur lagi untuk mencari baskom dan kain. Sementara di dapur, wanita itu mengamati sekeliling, semua yang diperlukan tidak ada di sana.“Ah, apa yang aku harapkan di sini. Dia paling hanya numpang tidur di sini,” keluhnya lalu kembali masuk ke dalam kamar untuk menghubungi Alan.Tidak lama kemudian, Alan mengangkat teleponn
“Mau turun, gak?”“No!” jawab Renata, ia memilih bertahan di dalam mobil saja daripada harus bersama dengan Alan.“Oke,” jawab Alan lalu menutup pintu mobil. Lelaki itu berjalan ke arah belakang dan membuka pintunya.“Alan, mau dibawa ke mana Mauren?” seru Renata. Seketika kepanikan melandanya . “Biarin Mauren tidur di mobil saja!”Alan kemudian menatap Renata sekilas, kalau wanita ini ingin bertahan di dalam mobil ia tidak peduli. Tetapi ia akan membawa Mauren masuk ke dalam apartemennya.“Apa kamu gak kasihan sama Mauren tidurnya gak nyaman seperti itu.”“Aku tetap disini, Mauren juga harus tetap di sini,” sahut Renata cepat, membantah ucapan Alan.Namun, tanpa mendengarkan keinginan Renata, Alan langsung saja mengendong Mauren dan membawanya masuk.“Hey,” seru Renata. Alan menyematkan senyuman tipis kala melirik Renata yang turun dari mobil kemudian mengikuti langkahnya masuk ke dalam gedung apartemen.“Alan, aku bilang-”“Jangan berisik, Mbak!”Tanpa Renata sadari langkahnya terus
“Kamu mau buat aku malu, Alan Sanjaya?”Begitu keluar dari gedung, Renata menarik tangan lelaki itu untuk mengikutinya. Melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan orang-orang. Setelah sampai di ujung koridor yang sepi, wanita itu menghentikan langkahnya sembari berkaca pinggang. Kekesalannya sudah memuncak seiring sikap Alan yang santai seolah tidak pernah melakukan kesalahan.“Mbak …!”“Aku bukan Mbakmu!” jerit Renata frustasi, merasa muak dengan panggilan itu karena Alan memanggilnya dengan suara rendah dan lembut.Sedangkan lelaki itu mengulum senyum. Selama ini, Renata tidak pernah protes dengan cara panggilnya, tetapi tiba-tiba dia mengklaim bukan Mbaknya.“Oke, kalau begitu aku panggil Sayang saja,” ucapnya disertai kekehan, meski mata Renata sudah menyorotnya tajam, Alan tidak peduli.“Jawab aku, Alan!” bentak Renata sudah hilang kesabarannya. “Kamu mau buat aku dan Mauren malu, hah! Belum cukup ka-”Renata tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika kelima jari Alan singgah di bi
Hari ini, Alan sengaja datang ke sekolahan Mauren. Semalam, Bara mengirimkan pesan bahwa di sekolahan Mauren sedang ada acara, tidak membuang kesempatan Alan akan hadir di acara tersebut.Lelaki itu berangkat tanpa memberitahu pada sang putri. Ia tidak peduli, kalau ternyata nanti di sana akan mendapatkan penolakan. Ia bisa memastikan nanti akan bertemu dengan Renata di dalam. Sekali lagi, Alan katakan tidak peduli.Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya dia menepikan mobilnya di parkiran khusus untuk pengunjung.Sikap Alan yang ramah membuat tidak ada kecanggungan bila harus menyapa orang-orang yang sebelumnya tidak kenal. Dengan langkah tegas, tidak ada keraguan sedikitpun lelaki itu berjalan menjangkau menuju gedung Aula, tempat diadakannya acara tersebut.Ketika Alan sudah mencapai gedung tersebut, langkahnya terhenti sebab ada seorang resepsionis yang berjaga sembari menyodorkan buku tamu bagi yang akan masuk.“Selamat siang, maaf dengan wali murid siapa ya
Renata dan Alan duduk bersisihan di teras rumah. Hari ini memang Alan sengaja datang di malam hari untuk bisa bertemu dan berbicara dari hari ke hati dengan Renata. Semenjak kepulangan wanita itu dari rumah sakit dan Alan yang pindah ke apartemen, membuat keduanya jarang bertemu. Sekalinya Alan ingin mengantar Mauren ke sekolah, hal itu sudah lebih dulu dilakukan oleh Renata.Selama hampir sepuluh belas menit, tidak ada yang bersuara di antara keduanya. Hanya suara angin yang bertiup seolah memecahkan keheningan . Dan selama itu pula, tatapan Alan hanya tertuju pada wajah cantik Renata. Dari situ Alan dapat mengamati dengan jelas wajah Renata yang tidak banyak berubah setelah bertahun-tahun tidak bertemu.Sungguh bodoh, dirinya dulu meninggalkan wanita ini. Harusnya saat itu dia tidak meninggalkan Renata dan membangun keluarga kecilnya, mempertahankan wanita yang dia cintai meski jalan itu tidak akan mudah karena pertentangan dari kedua keluarga. Namun, sekarang hanya penyesalan yang