“Oke, saya segera ke rumah sakit!”Ryu menutup sambungan teleponnya. Ia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa saat yang lalu, pria itu mendapatkan panggilan dari rumah sakit.Dia termasuk salah satu Dokter yang akan ikut rombongan tenaga medis, untuk membantu korban kecelakaan pesawat, yang menelan korban tidak sedikit.Lima belas menit kemudian, Ryu menuruni anak tangga, maniknya lurus menatap ruang makan di lantai bawah. Tampak meja makan yang kosong, padahal hari masih pagi.“Selamat pagi, Pak?” sapa babysitter Mauren sembari membungkukkan badannya.Melihat wajah binggung Ryu membuat gadis yang sudah merawat Mauren dari bayi itu berujar, “Ibu sudah berangkat dan Non Mauren, masih di kamar. Ini saya mau ke kamarnya, memanggil untuk sarapan.”“Ya,” jawab Ryu kemudian. “Ehm, tolong bilang sama Mauren juga Ibu kalau bertanya, kalau saya ada tugas keluar kota, membantu korban kecelakaan.”Harusnya Ryu bisa memberitahu sendiri kepada sang istri, tetapi ia tahu kal
“Lun, maaf baru ngabarin. Aku gak bisa jemput Langit tiga hari ini, karena ada dinas ke luar kota. Gimana kabarnya Langit sekarang? Apa dia menungguku, tolong sampaikan maafku ya!”Aluna menatap datar pada pesan yang dikirim Ryu, lima menit yang lalu. Bahkan wanita itu tidak berniat untuk membalasnya. Hingga dering ponselnya kembali berdering, yang kali ini Ryu sedang menelponnya.“Apa?” jawab Aluna, suaranya tidak enak di dengar.Ryu paham, mantan istrinya itu mungkin sedang kesal dengannya. “Maaf ya. Harusnya aku tidak lupa kabarin kalian, gimana kabarnya Langit?”Aluna berdecak, lalu meluapkan emosinya. “Kalau kamu gak bisa nepati janji, harusnya gak usah berjanji. Karena ulah kamu itu sekarang Langit-”“Aku ganti video call ya,” sela Ryu, mendadak hatinya tidak tenang, ada sesuatu yang menganjal. “Dan nanti tolong berikan sama Langit.”Aluna langsung mematikan tanpa menjawab pria itu. Dua detik kemudian, Ryu menepati ucapannya. Laki-laki itu melakukan video call. Aluna menjawabnya
Aluna mengumpulkan nyawanya, lalu cepat-cepat bergegas bangun sebelum Ryu menyadarinya. Namun, tarikan di lengannya sangat kuat hingga ia ambruk lagi. Menjerit lagi. “Arrgh …! Lepas, Dokter!”Ryu dengan cepat membalik posisi, pria itu mengungkungnya dan sekarang Aluna di bawahnya. Wajah tampan itu kini berubah seperti serigala yang mendapati buruannya. Sekarang Aluna merasa hidupnya dalam bahaya. Bagaimanapun, keputusan untuk mengijinkan Ryu menginap adalah salah besar.“Kenapa berubah lagi, sudah bagus kamu memanggilku Mas, sekarang kembali memanggil Dokter,” gumamnya sambil menatap dengan tatapan sulit diartikan.Semakin lama, tatapan Ryu semakin dalam dan membuat Aluna tidak mampu lagi menolak pesona mantan suaminya itu.Gelenyar aneh, yang tidak pernah ia rasakan pasca berpisah dengan Ryu kini menghampirinya saat laki-laki itu mengusap jari ke pipinya dengan lembut. Pun saat Ryu mengikis jarak keduanya dan wajah mereka kini nyaris bersentuhan.Hep, Aluna langsung menutup mulutnya
“Kamu apa-apaan bilang seperti itu?”Kemarahan Aluna sudah diujung kepalanya. Harusnya Ryu diam saja menanggapi ocehan Ibu-ibu komplek di mana dirinya tinggal.“Lalu, apa aku harus diam juga ketika kamu di-”“Stop!” Aluna memotong ucapan Ryu, menyuruh agar laki-laki itu berhenti. Ia sudah cukup penat dengan semua ini. Sekarang yang ingin ia lakukan hanyalah mengistirahatkan tubuh dan otaknya. “Pulanglah dan gak perlu datang ke sini lagi. Kalau kamu mau ketemu Langit, janjian saja di luar biar aku yang antar. Kamu boleh seharian bersama Langit tapi tidak di rumah ini,” jelas Aluna panjang lebar.Mungkin untuk sementara, biarlah Ryu tidak menampakkan diri di rumahnya dengan begitu gosip itu akan mereda dengan sendirinya. Biasanya kan seperti itu yang terjadi di kehidupan real kita.Ryu mendekat, berdiri di hadapan Aluna. “Daripada kamu terus-terusan jadi bahan omongan tetangga, lebih baik kita jadikan nyata.” Kemudian kedua tangannya terangkat untuk menyentuh bahu Aluna. “Ayo menikah.”
“Permisi, Bu!” Mbok Tum sudah berdiri di depan pintu kamar yang terbuka sedikit setelah mengetuknya. Aluna yang sedang bertelungkup di atas tempat tidur dan matanya fokus pada layar laptop seketika mendongak. “Ada apa, Mbok?” tanyanya. “Ada Pak RT katanya mau ketemu sama Ibu.” “Damn it,” umpat Aluna. Ternyata Pak RT menepati ucapannya, datang di malam hari. Kalau sudah begini, Aluna tidak bisa mundur lagi. Secepatnya ia segera memutuskan, apakah pindah rumah atau menerima tawaran menikah dengan Ryu. Aluna mengacak rambutnya frustasi. “Maaf, jadi bagaimana?” tanya Mbok Tum yang juga binggung dengan sikap sang majikan. “Mbok, tolong temuin dulu, dan bilang saya sedang diluar rumah,” ujar Aluna seraya mengubah posisinya menjadi duduk lalu mencari keberadaan hpnya. “Baik,” jawab Mbok sebelum pergi. Tangan Aluna sedang bergerak dia atas benda canggih itu, membuka room chat dengan Ryu. Tetapi masih belum mengetikkan apa-apa. Mendadak ia ragu apakah keputusannya ini benar. “Argh!” deca
“Maaf!”Suara itu membuat Ryu melepaskan pagutan. Salahnya, yang langsung menerkam istri keduanya itu tidak tahu tempat. Harusnya Ryu sadar mereka masih di ruang tamu yang siapapun akan bisa jelas melihat apa yang mereka lakukan.“Aku tunggu di kamar, istriku!” bisiknya sebelum menjauh dari Aluna. Tanpa merasa bersalah, laki-laki itu berlalu dengan santai dan tersenyum pada Mbok Tum yang wajahnya sudah memerah, entah karena takut atau malu sendiri.“Ryu brengsek! I hate you!” jerit Aluna dengan kepalan tangan meninju udara.Sementara Mbok Tum, tidak bersuara sampai Aluna mengatakan,” Lanjutin pekerjaannya Mbok.” Seolah menyadarkan Mbok Tum yang sedang tertegun.Mbok Tum, yang setiap malam harus memastikan semua pintu harus dikunci, saat melewati ruang tamu tiba-tiba melihat pemandangan yang tidak layak ditonton. Sejak pertama kali menginjakan kaki di rumah ini, semua tampak biasa dan sewajarnya. Sekarang ia harus terbiasa melihat kemesraan pasangan suami istri yang baru saja menikah.
“Malam, Sayang!”“Mami!” Mauren meloncat dari atas kasur, menghampiri Renata di depan pintu kamar. “Aku kangen Mami!” ucapnya dalam dekapan sang Mami.Tangan Renata terulur untuk mengusapi punggung sang putri. Putri yang sudah lima hari ia tinggalkan karena harus berada di luarkota untuk menghadiri seminar dan dinas dari rumah sakit. “Sama, Mami juga kangen kamu, Sayang!” Renata mengecup puncak kepala anak gadisnya.Puas memeluk sang Mami, Mauren melepas dekapan wanita yang melahirkannya itu. “Mami bawa apa?” tanyanya lalu menatap koper yang masih berada di samping Renata. “Ayo kita buka, Mi!”Renata membalas dengan tersenyum sembari menganggukan kepala menyetujuinya. “Oke.” Mengiring Mauren lebih masuk ke dalam kamar, mendudukan sang putri di tepi ranjang lalu ia berjongkok untuk membuka kopernya.Sudah menjadi kebiasaan Renata setiap pulang dari luar kota ia akan memberikan oleh-oleh untuk sang putri. Maka dari itu melihat koper, Mauren langsung paham. Anak seusia Mauren sangat beru
Rahang Renata mengeras dengan kepalan tangan erat, keluar dari ruangan Ryu. Langkahnya menuntunnya hingga lobi rumah sakit. Karena suasana rumah sakit sedang sepi, ia duduk terlebih dulu di salah satu kursi, lalu membuka ponselnya lagi untuk menghubungi sang suami. Nihil, Ryu tidak menjawab teleponnya. Diliriknya jam dipergelangan tangan sudah pukul 9 malam, sudah sangat. Takut tiba-tiba Mauren mencarinya, makanya ia segera pulang.Selang beberapa menit kemudian, wanita itu sudah melajukan mobilnya menuju rumah. Tubuhnya lelah, hatinya juga sangat lelah tetapi Ryu masih belum bisa dihubungi. Perasaannya mulai tidak nyaman. Kemana perginya sang suami, laki-laki itu seolah di telan bumi. Renata hanya berharap semua akan baik-baik saja.“Mami, dari mana? Papi sudah gak pulang, Mami juga pergi aja gak bilang aku,” jelas Mauren yang tahu-tahu sudah duduk di sofa ruang tamu saat Renata tiba. Gadis kecil itu sedang menunggu Renata dengan mata berkaca-kaca, ia pikir semua telah meninggalkanny
“Mami …!”Panggilan yang diucapkan Mauren tidak membuat wanita yang sedang menatap kosong ke luar jendela bergerak.“Mami … Mauren kang-”Renata menoleh, menatap ke arah Mauren. Detik berikutnya, wanita itu berteriak histeris dengan telunjuk mengarah pada Mauren di ambang pintu.“Mauren, kamu anak sialan. Pergi, pergi … pergi anak sialan kamu!”Awalnya Mauren sudah percaya diri kalau kali ini kunjungannya bakal diterima oleh sang Mami. Akan tetapi, diluar expektasinya ternyata Renata menolak kedatangannya lagi dan ini sudah yang kesekian kalinya.Sementara Alan yang berada di belakang Mauren, seketika memberikan pelukan dari samping pada anak gadisnya itu untuk menguatkan. “Biar Ayah yang coba ya,” ucapnya.“Tap-tapi ….” Suara Mauren bergetar menahan isakan. Ia bisa menerima ketika Renata membentaknya tetapi tidak mengumpatinya. Gadis berusia delapan tahun itu semakin sesak dadanya ketika melihat tatapan tajam sang Mami. Buliran bening yang sempat ditahannya tidak mampu lagi disembun
Setelah tiga hari dua malam berada di rumah sakit, akhirnya Aluna diperbolehkan pulang. Meskipun Bian memberikan kamar VVIP saat di rumah sakit, tetapi Aluna lebih menyukai tinggal di rumah sederhananya.“Sudah semua kan?” tanya Bian sambil menelisik satu persatu barang yang akan dibawanya pulang ke rumah.“Kayaknya ….” Aluna ikut berdiri di samping Bian sambil memperhatikan sekeliling, mana tahu ada yang tertinggal. “Sudah semua deh, Mas.”“Selamat siang!” Suara dokter Lia terdengar dari arah pintu.“Selamat siang, dok,” sapa Aluna menjawab salam dokter Lia. Bian hanya tersenyum menjawab sapaan dokter yang telah membantu proses kelahiran Awan.“Jadi mau pulang hari ini ya?” ucap dokter Lia setelah menatap bayi tampan Aluna yang masih tidur. “Hem … bayinya tampan seperti Ayahnya.” Dokter Lia mengatakan lagi sambil menatap Bian dengan tersenyum.“Dia bukan-”“Ah, terima kasih, dok,” sela Bian dengan terkekeh. Lalu melirik Aluna. Wanita itu sedang menatapnya geregetan dan Bian tidak pe
“Tante, nanti pulang sekolah aku boleh jenguk Mami dulu ya?” tanya Mauren pada Nia. Sudah delapan bulan, semenjak Renata berada di rumah sakit jiwa, Mauren tinggal bersama keluarga Bara. Mauren melanjutkan kunyahannya yang ada di mulutnya baru kemudian melanjutkan ucapannya. “Tapi kalau gak ada ekskul, sih.”“Jangan dulu deh, tunggu Om Bara off dulu aja ya. Nanti biar ditemani,” jawab Nia sambil mengaduk minuman hangatnya untuk sang suami. Biasanya memang Mauren di temani oleh Bara jika ingin datang ke rumah sakit. “Coba tanya sama Om Bara, kapan off.”“Tan, aku ke sana sama Ayah koq.” Mauren segera menghabiskan nasi goreng yang ada di piringnya. Menyisahkan nugget yang biasanya ia makan belakangan. “Jadi gak sama Om.”Mauren memang sudah bisa menerima kehadiran Alan sebagai Ayahnya. Tetapi hubungan mereka tidak lah terlalu dekat karena di saat butuh saja Mauren mendatangi lelaki itu. Alan pun tidak masalah jika Mauren hanya memanfaatkannya saja. Toh, ada darahnya yang mengalir di tu
Delapan bulan kemudian …Aluna meringis, merasakan nyeri itu kembali datang. Sesuai hari perkiraan lahir, harusnya masih seminggu lagi. Akan tetapi, sejak bangun tadi pagi ia merasakan beberapa kali nyeri. Merasa sudah berpengalaman saat melahirkan Langit dulu, Aluna bergegas menuju klinik.“Kita langsung ke rumah sakit saja ya,” ucap Bian. Laki-laki itu langsung berangkat menuju rumah Aluna saat di telepon Aluna. Acara meeting yang masih setengah jalan, terpaksa ia tinggalkan. Tidak masalah meninggalkan kantor, karena Aluna adalah prioritasnya saat ini.“Klinik saja, Mas!” pinta Aluna. Setiap bulan Aluna memang kontrol di klinik tersebut. Selain itu lokasi yang dekat dengan rumah, membuat tidak menghabiskan waktu di perjalanan.Desahan pelan keluar dari bibir Bian. Ia hanya ingin Aluna mendapatkan pelayanan yang terbaik dan lengkap jika datang ke rumah sakit. Tetapi wanita hamil itu ternyata masih saja keras kepala. Aluna masih trauma datang ke rumah sakit setelah kepergian Ryu. Lant
“Stop, Renata!” teriak Bara. Ketika mendengar kegaduhan di dalam kamar, ia tidak bisa menunggu lagi sampai Alan keluar. Tanpa permisi Bara membuka pintu. Untuk pertama kalinya pria itu tercengang dengan apa yang dilihatnya. Akal sehatnya masih menyangkal apa benar ini yang dilakukan oleh istri Ryu. Bara lantas mendekati Renata menarik kedua tangan wanita itu dari kepala Alan kemudian mencengkramnya dengan kuat. “Kamu mau jadi pembunuh, hah? Mau kamu membusuk di buih, hah! Kalau kamu gak bisa mengendalikan diri, terpaksa aku bawa kamu ke rumah sakit jiwa. Mau kamu seperti itu, ya?”“Pergi, Alan!” ucap Bara setelah tangan Renata terlepas dari kepala Alan. “Kamu juga, bodoh atau gimana sih, diam saja diha-”“Saya ikhlas, Mas,” sahut Alan tidak menyimpan dendam sama sekali pada Renata. “Kalau dengan seperti ini bisa membuat Mbak Renata memaafkan saya.”“Konyol itu namanya,” geram Bara. “Mati sia-sia, belum tentu dimaafkan juga.” Kembali decakan kesal keluar dari bibir Bara. “Ck, sebenarny
“Kamu …” Renata mengacungkan telunjuknya dan mengarahkan pada lelaki yang telah memanggilnya beberapa saat yang lalu. “Pergi! Brengsek, kamu!” Tanpa ragu Renata melempar bantal yang ada di sampingnya ke arah laki-laki tersebut.Bara yang masih berada di dalam kamar. Menyadari Renata yang akan mengamuk lagi, ia refleks menutup pintunya rapat. Mengangkat kedua tangannya di depan dada. “Ren, bisa tenang! Aku mau bantu kamu, tapi tolong kamu tenang. Di luar akan banyak orang, kalau kamu seperti ini mereka akan mengira kalau kamu gila. Pasti kamu tahu dimana orang gila berada, kan.”“Kamu ngatain aku gila, Mas?” Di sela amukannya Renata masih bisa berpikir normal. “Aku gak gila, Mas.” Wanita itu jatuh di lantai sambil menekuk lututnya. Suaranya bergetar dengan buliran bening yang tiba-tiba menetes di pipi. “Maaf … Mas Ryu, harusnya … aku, harusnya … aku.” Ada rasa sakit yang tak terlihat menghujam, saat menyadari tindakannya yang telah membuat Ryu menghembuskan napas terakhirnya. Kembali r
“Gimana keadaannya, Mas?”Bara baru saja menutup pintu kamar berwarna putih itu, menoleh ke samping, ada sebelah tangan memeluk lengannya. Berdiri sang istri dengan wajah khawatir. Ia memang merutuki apa yang diperbuat Renata, tetapi melihat kondisinya yang sekarang membuatnya sangat iba. Bara tidak langsung menjawab, laki-laki itu menghela sebentar lalu menatap pintu yang ia tutup barusan. Tidak akan mengira apa yang telah terjadi pada Renata. Jiwanya terguncang setelah melihat sang suami dikubur di bawah tanah. Sementara istri Ryu yang satunya terlihat tegar dan bisa menerima takdir ini. Berjalan menuju sofa yang ada di depannya lantas mendudukan bokongnya di sana. Nia yang tidak melepaskan lengan Bara, mengikuti dengan duduk di sofa yang sama.“Aku pikir, kalau dia masih belum ada perubahan, kita bawa ke rumah sakit saja,” jawabnya lirih. Setelah mengamuk dan berteriak histeris di pemakaman, Bara telah berhasil menenangkan. Namun, ketika sudah sampai di rumah, Renata mengamuk lagi
“Ayah, sekarang aku sudah tidak punya Papi lagi.”Suara Langit memecahkan keheningan diantara ketiga orang yang sedang berada di dalam mobil. Setelah Bian mengatakan untuk mengajak pulang Aluna, wanita itu menurut. Meski hatinya masih tidak rela untuk meninggalkan pemakaman Ryu. Bian benar, ini adalah takdir yang harus Aluna jalani.Kepala Bian menoleh, tujuannya bukan Langit, melainkan Aluna yang berada di sampingnya. Tatapan penuh kesedihan tidak pernah lepas dari jalanan di depannya. Walaupun Bian tahu, Aluna pasti terusik dengan kalimat Langit tersebut.Lalu sentuhan tangan Bian pada punggung tangan wanita itu, meremasnya dengan lembut. “Are you oke?”“Hmm.” Aluna menjawab hanya bergumam. Wanita itu seolah tidak memiliki gairah hidup setelah kehilangan Ryu. Bian paham, dibalik sifat keras ingin meninggalkan Ryu, Aluna sangat mencintai mantan suaminya itu. Aluna lantas mengusap perutnya yang masih rata, seketika terhenyak, kalau di sana ada kehidupan lain, ada calon anaknya. Makany
“Gak mungkin!”Sesaat setelah mengatakan itu, tubuh Aluna ambruk. Dengan sigap, Bian melepaskan genggaman tangan Langit dan meraih pinggang Aluna, lalu mendekapnya dengan erat.“Mami!” Langit mendekati Aluna menampilkan wajah ketakutan. Matanya berembun dengan suara bergetar. “Ayah, Mamiku kenapa?”“Langit cari duduk dulu ya, Ayah urus Mami dulu.” Di saat seperti ini, Bian tidak bisa mengurusi dua orang sekaligus. “Iya,” jawab Langit kemudian meranjak menuju bangku yang tidak jauh dari Bian. Bocah laki-laki itu masih belum paham situasi yang ada. Namun, Bian bisa melihat kalau tangannya beberapa kali mengusap pipi.“Aluna bangun!” panggil Bian sambil menepuk-nepuk pipinya. Saat maniknya bertatapan dengan bangku di sebelah Langit, Bian segera mengangkat tubuh Aluna. Merutuki kebodohannya, harusnya ia bisa pelan-pelan memberitahu Aluna. Melupakan kalau Aluna sedang hamil dan ibu hamil tidak boleh banyak pikiran apalagi stress. “Maaf, harusnya aku-”“Ini ada apa?”Bian sontak mengangka