Setelah tiga hari menghilang. Ryu akan pulang ke rumah yang ia tempati bersama Renata dan Mauren. Laki-laki itu juga binggung sendiri. Sebutan apa yang pas untuk kedua rumahnya kali ini. Rumah pertama atau rumah kedua, rumah Renata atau rumah Aluna, istri pertama atau istri kedua.“Papi mau berangkat ke luar kota ya?”Ryu mengeryit, darimana Langit mengetahui rencananya. “Langit, tahu kalau Papi mau ke luar kota?”Melihat travel bag di lantai dan di isi dengan beberapa pakaian Ryu, dan juga Aluna yang mengatakan kalau Ryu akan pergi untuk beberapa hari membuat jiwa penasaran Langit menyala. “Berapa lama?”Sebenarnya travel bag itu untuk mengecoh Renata, jadi seakan-akan Ryu telah melakukan perjalanan dinas, padahal ia tengah menjalin pernikahan dengan mantan istrinya.“Tahu lah!” Bukan Langit yang menjawab. Melainkan Aluna yang baru saja datang dari dapur. Wanita itu membawa sepiring pisang coklat untuk camilan di pagi hari. Sesaat kemudian, maniknya menatap sang suami. “Aku bilang, P
Setelah mengatur napasnya, Renata melayangkan tatapan yang tidak pernah Ryu lihat sebelumnya.“Terima kasih untuk semua rasa sakit ini.” Renata memaksakan tersenyum, senyuman penuh luka. Lalu kembali berkata, “Aku ucapkan selamat buat kamu, telah membuat hatiku hancur bahkan sudah tidak bisa disatukan lagi … suamiku!” Ryu merasakan wajahnya ditampar oleh ucapan Renata.Ryu tidak bisa menebak apa yang selanjutkan akan dilakukan sang istri. Beberapa saat yang lalu, Renata seperti orang kesetanan yang mengamuk. Sekarang, wanita itu tampak berbeda. Seolah bisa menerima semua perbuatannya. Tetapi Ryu bisa lihat ada kekecewaan yang dalam dan entah apalagi yang akan Renata lakukan setelah ini.Tiba-tiba Ryu mengingat Aluna dan Langit, bisa saja dalam diamnya Renata sedang merencanakan kejahatan untuk istri dan anaknya yang lain. Di saat seperti ini, Ryu juga harus siaga menghadapi Renata dan wajar kalau berpikiran buruk pada wanita itu.“Jangan sakiti mereka.” Ryu menggelengkan kepalanya deng
Sepanjang malam, tidur Ryu tidak tenang. Laki-laki itu gusar, hanya membolak-balik tubuhnya saja tanpa bisa memejamkan mata. Selama ini di sampingnya selalu ada Renata, yang memeluknya atau teman ngobrol. Namun, sekarang Ryu hanya ditemani guling karena Renata tidak mau masuk kamar seusai pertengkaran di taman.Ryu menertawakan dirinya sendiri. Di saat seperti ini, ia merindukan istri yang telah disakiti. Berharap semua akan seperti biasanya, nyatanya itu tidak mungkin. Kehilangan, ya, itulah yang sekarang Ryu rasakan. Kehilangan pelukan Renata yang entah sampai kapan. Entahlah, di jam berapa Ryu baru bisa tidur.Maniknya mengerjap ketika mendengar teriak Mauren dari balik pintu.“Papi, bangun! Papi …! Papi …!”Laki-laki itu bergegas bangun meski dengan mata yang masih belum terbuka sempurna. Kemudian berjalan menuju pintu lalu membukanya. Mauren sudah berdiri dengan memakai seragam lengkap.“Papi mau anterin aku?” tanya Mauren. “Mami masih tidur, katanya hari ini gak kerja.”“Mami ke
“Mas!” Aluna terbelalak, ketika membuka pintu sudah berdiri sosok yang semalaman sedang ia khawatirkan. Ryu mendekat, menatap wajah Aluna dengan tatapan yang berbeda dari biasanya. Tangannya terulur untuk menyentuh garis rahang Aluna. Detik berikutnya ia berbisik, “Maaf.”“Untuk ap-”Ucapan Aluna tercekat ketika Ryu mencium bibirnya. Laki-laki itu mendorong tubuh Aluna lebih masuk ke dalam rumah melewati pintu hingga tubuh Aluna terbentur tembok. Semakin lama, pagutan Ryu semakin dalam dan terburu. Sementara Aluna merasakan emosi dalam ciuman Ryu.“Mas!” Aluna meronta kemudian mendorong tubuh kekar Ryu dengan napas tersengal. “Kamu kenapa?”Tidak ada jawaban, Ryu menatapnya datar lantas mengikis jarak. Hampir saja akan mencium Aluna kembali ketika suara Langit menginterupsinya.“Papi!”Sontak Aluna dan Ryu menoleh ke sumber suara, menatap Langit yang berjalan menuruni anak tangga. Ryu tersenyum hangat lalu menghampiri Langit, merentangkan kedua tangannya dan membawa sang putra dalam
“Kalau aku hamil bagaimana?”Tangan Ryu bergerak untuk merapikan rambut Aluna yang kemudian menyelipkan di belakang telinga. Setelahnya mencium kening sang istri dengan lembut. “Ya, gak gimana-gimana. Langit pasti seneng banget kalau punya adik. Akhh!”Aluna yang gemas, langsung saja menyelipkan tangannya di bawah selimut, lalu mencubit sedikit keras pada perut Ryu. “Santai banget ngomongnya. Kamu gak pikirin perasaan aku, hah!”Ryu mendesis, sambil mengusapi perutnya yang tanpa penghalang di cubit Aluna.“Daripada di cubit mending di elus saja,” ucap Ryu dan membawa tangan wanita itu ke perutnya, tepatnya ke bekas cubitan Aluna tadi.Namun, Aluna terpekik setelahnya kala Ryu dengan isengnya malah mengarahkan tangan Aluna untuk lebih turun ke bawah dan hampir menyentuh milik Ryu yang sekarang sudah mengeras kembali.Beberapa saat yang lalu, tepatnya setelah Aluna melabuhkan ciuman ke bibir Ryu. Ryu dengan beraninya meminta hak sebagai suami, yang harusnya ia dapatkan setelah ikrar ija
“Jangan jadi laki-laki brengsek, loe!”Bara memberikan kalimat sarkas, setelah mendengar penjelasan dari Ryu tentang pernikahannya dengan Aluna. Bara mengepalkan kedua tangannya, dadanya bergerumuh hebat. Kalau saja Ryu ada di hadapannya bisa dipastikan pria itu akan mendapatkan bogeman dari Bara.“Tangan gue sudah gatel pengen nonjok muka loe yang sok oke pakai punya dua istri!” lanjutnya masih belum puas memaki.Ryu terkekeh, mesti ucapan Bara menyakitkan tapi ia yakin temannya itu tidak bermaksud seperti itu. “Loe gak paham posisi gue,” kata Ryu dengan santai padahal emosi Bara tengah di ujung kepalanya. Kekesalan Bara bertambah dengan ucapan Ryu.“Hey, kalau sudah brengsek ya tetep brengsek, loe. Gak usah cari-cari alasan buat cari simpati!” teriak Bara, tidak bisa bersabar lagi menghadapi Ryu. Bahkan Aluna yang ada di samping Ryu terkesiap mendengar teriakan Bara. “Loe bisa tanggung jawab dengan anak loe tapi enggak juga harus nikahin mantan loe juga kali. Bukan gue membela Ren
Ryu hanya bergeming di teras rumah Aluna. Maniknya menatap ke arah jalanan, dengan pandangan kosong. Mengingat ucapan Mauren, gadis itu mengatakan kalau kangen dengan sang Papi. Apa yang dilakukan Ryu kali ini sangat menyakitkan untuk Mauren. Biasanya Ryu akan memberi kabar pada sang putri jika ia sedang tidak berada dekat dengan Mauren. Namun, kali ini Ryu tanpa memberi kabar dan tidak pulang ke rumah.“Pulanglah!” ucap Aluna yang tiba-tiba datang dengan minuman hangat, meletakkan cangkir di meja lalu duduk di samping Ryu. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman menyedihkan. “Aku … ingat Langit, saat dia minta ketemu dengan Papinya.” Helaan napas berat meluncur dari bibirnya. “Dan aku bisa merasakan sakitnya bagaimana.” Perlahan netra Aluna menatap Ryu yang masih tidak merubah pandangannya.Keduanya diam untuk beberapa saat hingga suara Ryu yang mengawali pembicaraan.“Kalau aku pulang, gimana dengan kalian?” Ryu menoleh menatap lekat ke arah Aluna. “Kita baru saja bahagia, Lun.
Mauren begitu bahagia dengan kedatangan Ryu. Gadis kecil itu bahkan tidak mau jauh dari Ryu, sedetik pun. Dan sikapnya yang beberapa hari murung, berganti dengan senyum penuh kebahagiaan. Mauren tidak tahu masalah yang dihadapi kedua orang tuanya. Satu yang pasti, Ryu masih tetap bersamanya, di rumah ini.Sementara Renata sikapnya masih dingin dengan Ryu. Hatinya masih sakit dengan perbuatan sang suami.“Mi, kita jalan-jalan ya hari Minggu besok, boleh? Aku, Mami sama Papi. Seperti biasanya, ke mall, makan dan apa saja.”Tawa riang Mauren memenuhi ruang keluarga, tempat dimana mereka sekarang sedang duduk.Melihat senyum merekah Mauren, membuat Ryu tidak tega untuk menolak permintaan sang putri.Ryu menatap manik Mauren kemudian memberikan seulas senyuman. “Boleh.” Bagaimanapun, Mauren tidak bersalah dan ia ingin memberikan kebahagiaan untuk putrinya itu.Tampaknya Mauren belum merasa lega pasalnya Renata tidak merespon ucapannya. Ditatapnya wajah sang Mami lekat-lekat, kemarin wanita
“Ah, apa dia tidak memiliki makanan apapun di sini?” gumam Renata saat membuka kulkas dan tidak menemukan apapun di sana kecuali dua botol air mineral berukuran sedang di pintu kulkas.“Mami …!” teriak Mauren.Suara Mauren itu mengagetkan Renata. Wanita itu buru-buru berlari menuju kamar dan mendapati Mauren yang sudah membuka matanya dengan tatapan sayu.“Sudah bangun?” tanyanya kemudian melangkah mendekat ke arah tempat tidur.“Mi, pusing,” ucap Mauren tiba-tiba.Refleks, Renata langsung menyentuh kening Mauren dengan telapak tangannya kemudian membaliknya dengan punggung tangannya. “Koq demam? Bentar Mami ambilkan kompres dulu.”Renata keluar dari kamar, menuju dapur lagi untuk mencari baskom dan kain. Sementara di dapur, wanita itu mengamati sekeliling, semua yang diperlukan tidak ada di sana.“Ah, apa yang aku harapkan di sini. Dia paling hanya numpang tidur di sini,” keluhnya lalu kembali masuk ke dalam kamar untuk menghubungi Alan.Tidak lama kemudian, Alan mengangkat teleponn
“Mau turun, gak?”“No!” jawab Renata, ia memilih bertahan di dalam mobil saja daripada harus bersama dengan Alan.“Oke,” jawab Alan lalu menutup pintu mobil. Lelaki itu berjalan ke arah belakang dan membuka pintunya.“Alan, mau dibawa ke mana Mauren?” seru Renata. Seketika kepanikan melandanya . “Biarin Mauren tidur di mobil saja!”Alan kemudian menatap Renata sekilas, kalau wanita ini ingin bertahan di dalam mobil ia tidak peduli. Tetapi ia akan membawa Mauren masuk ke dalam apartemennya.“Apa kamu gak kasihan sama Mauren tidurnya gak nyaman seperti itu.”“Aku tetap disini, Mauren juga harus tetap di sini,” sahut Renata cepat, membantah ucapan Alan.Namun, tanpa mendengarkan keinginan Renata, Alan langsung saja mengendong Mauren dan membawanya masuk.“Hey,” seru Renata. Alan menyematkan senyuman tipis kala melirik Renata yang turun dari mobil kemudian mengikuti langkahnya masuk ke dalam gedung apartemen.“Alan, aku bilang-”“Jangan berisik, Mbak!”Tanpa Renata sadari langkahnya terus
“Kamu mau buat aku malu, Alan Sanjaya?”Begitu keluar dari gedung, Renata menarik tangan lelaki itu untuk mengikutinya. Melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan orang-orang. Setelah sampai di ujung koridor yang sepi, wanita itu menghentikan langkahnya sembari berkaca pinggang. Kekesalannya sudah memuncak seiring sikap Alan yang santai seolah tidak pernah melakukan kesalahan.“Mbak …!”“Aku bukan Mbakmu!” jerit Renata frustasi, merasa muak dengan panggilan itu karena Alan memanggilnya dengan suara rendah dan lembut.Sedangkan lelaki itu mengulum senyum. Selama ini, Renata tidak pernah protes dengan cara panggilnya, tetapi tiba-tiba dia mengklaim bukan Mbaknya.“Oke, kalau begitu aku panggil Sayang saja,” ucapnya disertai kekehan, meski mata Renata sudah menyorotnya tajam, Alan tidak peduli.“Jawab aku, Alan!” bentak Renata sudah hilang kesabarannya. “Kamu mau buat aku dan Mauren malu, hah! Belum cukup ka-”Renata tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika kelima jari Alan singgah di bi
Hari ini, Alan sengaja datang ke sekolahan Mauren. Semalam, Bara mengirimkan pesan bahwa di sekolahan Mauren sedang ada acara, tidak membuang kesempatan Alan akan hadir di acara tersebut.Lelaki itu berangkat tanpa memberitahu pada sang putri. Ia tidak peduli, kalau ternyata nanti di sana akan mendapatkan penolakan. Ia bisa memastikan nanti akan bertemu dengan Renata di dalam. Sekali lagi, Alan katakan tidak peduli.Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya dia menepikan mobilnya di parkiran khusus untuk pengunjung.Sikap Alan yang ramah membuat tidak ada kecanggungan bila harus menyapa orang-orang yang sebelumnya tidak kenal. Dengan langkah tegas, tidak ada keraguan sedikitpun lelaki itu berjalan menjangkau menuju gedung Aula, tempat diadakannya acara tersebut.Ketika Alan sudah mencapai gedung tersebut, langkahnya terhenti sebab ada seorang resepsionis yang berjaga sembari menyodorkan buku tamu bagi yang akan masuk.“Selamat siang, maaf dengan wali murid siapa ya
Renata dan Alan duduk bersisihan di teras rumah. Hari ini memang Alan sengaja datang di malam hari untuk bisa bertemu dan berbicara dari hari ke hati dengan Renata. Semenjak kepulangan wanita itu dari rumah sakit dan Alan yang pindah ke apartemen, membuat keduanya jarang bertemu. Sekalinya Alan ingin mengantar Mauren ke sekolah, hal itu sudah lebih dulu dilakukan oleh Renata.Selama hampir sepuluh belas menit, tidak ada yang bersuara di antara keduanya. Hanya suara angin yang bertiup seolah memecahkan keheningan . Dan selama itu pula, tatapan Alan hanya tertuju pada wajah cantik Renata. Dari situ Alan dapat mengamati dengan jelas wajah Renata yang tidak banyak berubah setelah bertahun-tahun tidak bertemu.Sungguh bodoh, dirinya dulu meninggalkan wanita ini. Harusnya saat itu dia tidak meninggalkan Renata dan membangun keluarga kecilnya, mempertahankan wanita yang dia cintai meski jalan itu tidak akan mudah karena pertentangan dari kedua keluarga. Namun, sekarang hanya penyesalan yang
“Sayang, ayo kita foto dulu.” Bian mengandeng tangan Aluna mengajaknya ke arah dekor yang sengaja disiapkan untuk acara ijab kabulnya tadi. “Langit dan Tegar mana ya?” Netra Bian menatap kesana kemari, mencari keberadaan kedua putranya itu.“Mereka kayaknya di depan, Mas,” sahut Aluna.“Zi, tolong panggilkan Langit sama Tegar di luar,” pinta Bian yang tiba-tiba melihat keberadaan wanita itu. “Bilangin mau diajak foto keluarga.”Ziya tidak menjawab, namun langkahnya menuju luar rumah untuk memanggil kedua anak Bian itu.“Sayang, Langit, Tegar,” panggilnya sambil melambaikan tangan. “Ayah ngajakin foto dulu.”Langit dan Tegar bergegas masuk ke dalam rumah dan meninggalkan permainannya dengan anak tetangga sebelah rumah.Cekrek, cekrek, cekrek, cekrek, cekrek.Entah sudah berapa banyak dan berapa pose yang dilakukan kelima orang itu di depan kamera, Aluna sudah merasakan capek sekali.“Tenang, nanti aku pijitin kamu,” ucap Bian dengan kerlingan jahil untuk menggoda sang istri. “Ish …!” d
“Langit biar duduk di belakang, sepertinya dia ngantuk itu,” ucap Bian pada Aluna, ketika membuka pintu belakang mobil dan melirik pada pemuda kecil yang tengah menguap.Tanpa banyak protes, Langit masuk dan duduk, lebih tepatnya membaringkan tubuhnya miring menghadap ke punggung bangku kemudian menutup mata.Aluna menatap Bian tanpa berkata-kata, lelaki itu selalu tahu apapun yang terjadi pada anak-anaknya. “Padahal tadi kayaknya tidak ada tanda-tanda ngantuk deh!”Bian membukakan pintu di samping kemudi, menyuruh Aluna untuk masuk. Lantas berputar mengitari mobil dan langsung duduk di bangku kemudi. Memasang sabuk pengaman dan mulai menjalankan kereta besinya. “Sejak dipemakaman tadi matanya sudah merah, Sayang.”Entah, Aluna tiba-tiba tersipu mendengar Bian memanggilnya Sayang, mungkin juga saat ini wajahnya tengah memerah karena malu. Hingga memalingkan wajahnya ke jendela, yang ada di sampingnya.“Kamu kalau malu-malu seperti itu kayak ABG saja!”Celetukkan Bian sanggup membuat A
“Hati-hati!” seru Bian, mengeratkan tangannya yang mengenggam pergelangan tangan Langit.Kemudian, lelaki itu kembali menuntun Langit. Berjalan menyusuri jalan setapak di sela-sela antara satu makam dengan makam yang lain.Kenapa tidak dengan melangkahi makam saja kan lebih cepat. Konon katanya, menurut ceramah agama yang ia dengar, jika berziarah tidak boleh berjalan di atas makam. Sebab, menghormati jenazah di dalam kubur sama pentingnya dengan menghormati manusia yang masih hidup karena kuburan memiliki kedudukan dan sangat dimuliakan.Beberapa kuburan, gundukan tanahnya masih basah dengan taburan bunga-bunga yang masih segar. Setelah menempuh berjalan kaki yang lumayan jauh dari pintu masuk, netra Aluna berhenti pada salah satu makam tujuannya. Namun, jantungnya berdegup kencang tatkala melihat karangan bunga segar yang seseorang tinggalkan.Apakah ini bunga dari Renata? Tapi siapa lagi keluarga Ryu, selain wanita itu. Jadi Renata sudah sembuh, bukankah ia sedang di rawat di rumah
Aluna merasakan kaku di kakinya yang menekuk, maka ia hendak menselonjorkan kedua kakinya itu. Namun, kenapa malah menabrak sesuatu yang keras. “Argh, apa ini?” rintihnya.Mata wanita itu menyipit menyesuaikan dengan cahaya lampu yang masuk dari celah korden. Menyadari ini bukan tempat tidurnya, Aluna seketika menegakkan tubuhnya. Bersandar pada punggung sofa lalu matanya menyusuri sekitar. “Ah, kenapa aku tidur di sofa,” gumamnya tampak kebingungan. Lalu matanya melirik paper bag yang semalam di bawa Bian belum berpindah tempat. “Jam 2,” ujarnya lirih setelah melirik jam dinding.“Awan!” ujarnya teringat akan apa yang terjadi semalam. Wanita itu berlari menuju kamar. Terperangah melihat pemandangan di depannya hingga membuat kedua kakinya membeku. Bian tertidur dengan memeluk Awan dari samping. Bayinya itu tampak sangat tenang dan nyaman, tidak seperti saat semalam bersamanya. Interaksi keduanya selayaknya Bapak dan Anak.Setelah beberapa saat, dengan gerakan kaki pelan, Aluna mendek