Mauren begitu bahagia dengan kedatangan Ryu. Gadis kecil itu bahkan tidak mau jauh dari Ryu, sedetik pun. Dan sikapnya yang beberapa hari murung, berganti dengan senyum penuh kebahagiaan. Mauren tidak tahu masalah yang dihadapi kedua orang tuanya. Satu yang pasti, Ryu masih tetap bersamanya, di rumah ini.Sementara Renata sikapnya masih dingin dengan Ryu. Hatinya masih sakit dengan perbuatan sang suami.“Mi, kita jalan-jalan ya hari Minggu besok, boleh? Aku, Mami sama Papi. Seperti biasanya, ke mall, makan dan apa saja.”Tawa riang Mauren memenuhi ruang keluarga, tempat dimana mereka sekarang sedang duduk.Melihat senyum merekah Mauren, membuat Ryu tidak tega untuk menolak permintaan sang putri.Ryu menatap manik Mauren kemudian memberikan seulas senyuman. “Boleh.” Bagaimanapun, Mauren tidak bersalah dan ia ingin memberikan kebahagiaan untuk putrinya itu.Tampaknya Mauren belum merasa lega pasalnya Renata tidak merespon ucapannya. Ditatapnya wajah sang Mami lekat-lekat, kemarin wanita
“Mi, kenapa Papi gak bilang aku sih kalau mau ke luar kota?”Langit merajuk karena tidak dipamiti Ryu. Beberapa hari ini Ryu selalu menemaninya sarapan sebelum berangkat ke sekolah tetapi saat ini tidak melihat keberadaannya dan tahu-tahu Aluna mengatakan kalau Ryu sedang berada di luar kota.“Kemarin keburu-buru, Sayang. Jadi gak sempet. Mami udah pernah bilang kan kalau seorang Dokter itu, kapan saja dibutuhkan harus selalu siap. Nah, Papi kan sekarang sedang dibutuhkan jadi mau gak mau harus pergi.” Aluna mencoba memberi penjelasan pada Langit, mengingat kemarin Ryu pergi tanpa berpamitan pada sang anak.“Iya, aku tahu, Mi,” tandas Langit. Tapi sebenarnya bukan seperti itu jawaban yang diinginkannya. Kenapa Ryu tidak memberitahu via telepon saja kalau tidak bisa bertemu langsung. “Kan telepon bisa, Mi. Aku telepon sekarang saja ya?”Aluna menghentikan pergerakannya dari menyiapkan sarapan untuk Langit. Ia akan memberikan Ryu waktu untuk menyelesaikan urusannya dengan istrinya dan t
Wajah lelah dan kusut milik Ryu tampak jelas ketika laki-laki itu keluar dari ruangan poli Jantung. Di hari pertama masuk setelah mengambil cuti, ia sudah dibanjiri oleh beberapa pasien. Selain wajahnya yang tampan, Ryu juga di kenal sebagai Dokter yang ramah. Maka tak jarang ketika jadwal prakteknya telah dibuka banyak pasien yang sudah menunggu.Setelah melewati beberapa koridor-koridor di ruangan poli Jantung, Ryu membelokkan langkahnya menuju ruangan pribadinya. Ketika membuka pintu, seketika matanya terbelalak mendapati Bara yang sedang duduk dengan santai di sofa, disandarkan pungungnya di sandaran sofa lalu matanya terpejam.“Ngapain, Bar!” tanya Ryu berjalan menuju kursinya dan mendudukan bokongnya. “Gak sopan, main masuk ruangan orang!” gerutunya kemudian, tanpa menatap Bara. Tangannya terulur untuk mengambil ponsel yang ia tinggalkan tadi saat jam prakteknya. Namun, suara Bara mengalihkan atensinya.“Gimana rasanya punya dua istri, hah? Mana yang lebih hot kalau di ranjang,
Ryu dan Aluna tercekat mendengarkan suara seseorang yang tiba-tiba datang dan duduk di meja mereka. Wanita itu duduk dengan menyilangkan kedua kakinya. Sikapnya yang tenang namun terkesan arogan membuat perasaan Aluna khawatir kalau Renata akan membuat keributan lagi.“Ren, kamu ngikutin aku?” Pertanyaan yang langsung terbesit di kepala Ryu ketika melihat keberadaan Renata di tempat ini.Renata tidak menampik kalau sedang membuntuti, tetapi bukan Ryu melainkan Aluna. Ia hanya ingin tahu apa yang akan dilakukan wanita yang menjadi madunya itu setelah dirinya mempermalukannya. Renata pikir Aluna akan mengaduh pada Ryu.Ternyata, Renata benar mereka sedang melakukan pertemuan. Mulai hari ini ia akan membuat Aluna tidak nyaman dimanapun ia berada.“Bukan.” Suara Renata terdengar santai namun, maniknya selalu menatap lekat Aluna yang sekarang menundukkan kepalanya. Sementara Ryu sudah berdiri lalu meraih tangan Aluna, menariknya agar mengikutinya.“Berhenti aku bilang, Mas!” ujar Renata c
Dengan langkah kaki yang berat Aluna menuju ruangan Dosen. Manik sendu Aluna bertatapan dengan netra Dosen yang sudah datang. Meski mereka masih menyapa tetapi ada sedikit perubahan dari sikap Dosen tersebut. Seringai tipis yang memang tidak ditunjukkan padanya. Tapi Aluna bukan wanita yang tidak peka hingga mereka berbisik-bisik di belakangnya.“Pagi, Ibu Aluna,” sapa Ibu Reni datar. Biasanya wanita yang tiga tahun di atas Aluna itu selalu menyapanya dengan riang karena memang orangnya yang ramah.Aluna membalas dengan anggukan saja.“Pagi, Bu!” sapa dosen lain yang baru saja datang juga.“Maaf, Ibu Aluna.” Aluna menoleh ke sumber suara k etika namanya dipanggil. “Mohon bisa ke ruangan Rektor sekarang.”Jantung Aluna sudah tidak bisa berdetak dengan beraturan. Apakah ini ada kaitannya dengan keributan yang disebabkan oleh Renata kemarin. Dengan menampilkan sikap tenang, Aluna mengangguk pada staff tata usaha yang bernama Erlin. Lalu berdiri dari duduk nyamannya melangkah menuju gedun
Sudah dua kali Renata bertemu dengan Aluna, semenjak tujuh tahun berlalu. Lebih tepatnya satu kali tanpa disengaja saat ia mengantarkan Mauren ke sekolahan dan satu kali lagi saat Renata menghampiri Aluna di kampus. Setelahnya ia akan berada di belakang layar karena orang lain yang akan bekerja untuknya.Seperti saat ini, sudut bibirnya tertarik ke samping membentuk seulas senyuman kemenangan. Bukan hal yang sulit untuk membuat Aluna menderita. Ia akan melakukan segala cara untuk membuat Ryu hanya kembali melihatnya.“Aku sudah perigatkan kamu tapi kamu malah mendekat hingga Ryu terjebak oleh anakmu,” gumannya. Setelah ia melihat sendiri kekacauan yang ia buat Renata segera melajukan mobilnya agar tidak ada yang melihatnya.Flash on“Gimana senang ya, mau ke sekolah baru,” tanya Ryu ketika di mobil. Perjalanan kali ini adalah menuju ke sekolahan Mauren yang baru. Putrinya itu sangat antusias sekali ingin segera tiba di sekolahan yang akan menemaninya mulai saat ini.“Iya, dong, Pi,” s
Suara teriakan itu datangnya dari dalam rumah. Aluna terbelalak mendapati itu suara adalah suara Mbok Tum. Entah, keberanian dari mana wanita ART itu kini memasang badannya yang kecil itu di depan Aluna. Seolah untuk melindungi sang majikan dari orang-orang jahat yang sudah mencelakai Aluna. Tatapan nyalang Mbok Tum menghujami Ibu-ibu yang sama melongonya dengan Pak RT.“Kalian itu ngakunya orang kaya dan perpendidikan tinggi,” pekik Mbok Tum sambil mengangkat jari telunjuknya mengarahkan kepada satu persatu Ibu-ibu di depannya dengan geram. “Tapi kelakuan anda-anda ini seperti preman pasar.”“Diam kamu pembantu!” teriak wanita yang dikenal bar-bar dari semua Ibu-ibu yang sudah berkumpul. Tidak terima dengan ucapan Mbok Tum, wanita itu langsung bereaksi.“Sudah, Mbok,” lirih Aluna menyentuh bahu Mbok Tum agar menghindar saja. “Jangan ikut campur nanti Mbok yang kena sasaran.”Melihat sang majikan yang terluka tanpa banyak tanya, Mbok Tum hendak mengiring Aluna untuk masuk. Terserah k
“Darimana saja kamu baru pulang?” tanya Ryu dingin ketika melihat kedatangan Renata. Belum juga menjawab, Ryu memekik setelah menyadari ada yang tidak biasa dari sang istri. “Kamu mabuk, Ren!”Sementara itu, Renata masih berdiri membeku. Kedua tangannya masih memegang bagian atas pintu rumah yang terbuka. Ia memang dalam pengaruh minuman keras tetapi tidak sepenuhnya mabuk. Masih bisa menatap tatapan tajam dari mata sang suami.Belum sempat Renata menjawab pertanyaan bernada dingin itu, sang suami yang sedang bertolak pinggang tanpa mengalihkan pandangan itu mengajukan pertanyaan untuk yang kedua kalinya.“Pulang dalam keadaan mabuk, apa itu sekarang kerjaan kamu, hah!” bentak Ryu saat Renata hanya diam saja.“Mami …!” teriak Mauren sembari berjalan cepat untuk menghampiri Renata. Putrinya itu memang menunggu di kamar namun, bentakan Ryu terdengar olehnya. Ingin melihat apa yang terjadi, Mauren menggerakkan kakinya keluar kamar.Tetapi sebelum Mauren sampai di depan Renata, Ryu menghe
“Mami …!”Panggilan yang diucapkan Mauren tidak membuat wanita yang sedang menatap kosong ke luar jendela bergerak.“Mami … Mauren kang-”Renata menoleh, menatap ke arah Mauren. Detik berikutnya, wanita itu berteriak histeris dengan telunjuk mengarah pada Mauren di ambang pintu.“Mauren, kamu anak sialan. Pergi, pergi … pergi anak sialan kamu!”Awalnya Mauren sudah percaya diri kalau kali ini kunjungannya bakal diterima oleh sang Mami. Akan tetapi, diluar expektasinya ternyata Renata menolak kedatangannya lagi dan ini sudah yang kesekian kalinya.Sementara Alan yang berada di belakang Mauren, seketika memberikan pelukan dari samping pada anak gadisnya itu untuk menguatkan. “Biar Ayah yang coba ya,” ucapnya.“Tap-tapi ….” Suara Mauren bergetar menahan isakan. Ia bisa menerima ketika Renata membentaknya tetapi tidak mengumpatinya. Gadis berusia delapan tahun itu semakin sesak dadanya ketika melihat tatapan tajam sang Mami. Buliran bening yang sempat ditahannya tidak mampu lagi disembun
Setelah tiga hari dua malam berada di rumah sakit, akhirnya Aluna diperbolehkan pulang. Meskipun Bian memberikan kamar VVIP saat di rumah sakit, tetapi Aluna lebih menyukai tinggal di rumah sederhananya.“Sudah semua kan?” tanya Bian sambil menelisik satu persatu barang yang akan dibawanya pulang ke rumah.“Kayaknya ….” Aluna ikut berdiri di samping Bian sambil memperhatikan sekeliling, mana tahu ada yang tertinggal. “Sudah semua deh, Mas.”“Selamat siang!” Suara dokter Lia terdengar dari arah pintu.“Selamat siang, dok,” sapa Aluna menjawab salam dokter Lia. Bian hanya tersenyum menjawab sapaan dokter yang telah membantu proses kelahiran Awan.“Jadi mau pulang hari ini ya?” ucap dokter Lia setelah menatap bayi tampan Aluna yang masih tidur. “Hem … bayinya tampan seperti Ayahnya.” Dokter Lia mengatakan lagi sambil menatap Bian dengan tersenyum.“Dia bukan-”“Ah, terima kasih, dok,” sela Bian dengan terkekeh. Lalu melirik Aluna. Wanita itu sedang menatapnya geregetan dan Bian tidak pe
“Tante, nanti pulang sekolah aku boleh jenguk Mami dulu ya?” tanya Mauren pada Nia. Sudah delapan bulan, semenjak Renata berada di rumah sakit jiwa, Mauren tinggal bersama keluarga Bara. Mauren melanjutkan kunyahannya yang ada di mulutnya baru kemudian melanjutkan ucapannya. “Tapi kalau gak ada ekskul, sih.”“Jangan dulu deh, tunggu Om Bara off dulu aja ya. Nanti biar ditemani,” jawab Nia sambil mengaduk minuman hangatnya untuk sang suami. Biasanya memang Mauren di temani oleh Bara jika ingin datang ke rumah sakit. “Coba tanya sama Om Bara, kapan off.”“Tan, aku ke sana sama Ayah koq.” Mauren segera menghabiskan nasi goreng yang ada di piringnya. Menyisahkan nugget yang biasanya ia makan belakangan. “Jadi gak sama Om.”Mauren memang sudah bisa menerima kehadiran Alan sebagai Ayahnya. Tetapi hubungan mereka tidak lah terlalu dekat karena di saat butuh saja Mauren mendatangi lelaki itu. Alan pun tidak masalah jika Mauren hanya memanfaatkannya saja. Toh, ada darahnya yang mengalir di tu
Delapan bulan kemudian …Aluna meringis, merasakan nyeri itu kembali datang. Sesuai hari perkiraan lahir, harusnya masih seminggu lagi. Akan tetapi, sejak bangun tadi pagi ia merasakan beberapa kali nyeri. Merasa sudah berpengalaman saat melahirkan Langit dulu, Aluna bergegas menuju klinik.“Kita langsung ke rumah sakit saja ya,” ucap Bian. Laki-laki itu langsung berangkat menuju rumah Aluna saat di telepon Aluna. Acara meeting yang masih setengah jalan, terpaksa ia tinggalkan. Tidak masalah meninggalkan kantor, karena Aluna adalah prioritasnya saat ini.“Klinik saja, Mas!” pinta Aluna. Setiap bulan Aluna memang kontrol di klinik tersebut. Selain itu lokasi yang dekat dengan rumah, membuat tidak menghabiskan waktu di perjalanan.Desahan pelan keluar dari bibir Bian. Ia hanya ingin Aluna mendapatkan pelayanan yang terbaik dan lengkap jika datang ke rumah sakit. Tetapi wanita hamil itu ternyata masih saja keras kepala. Aluna masih trauma datang ke rumah sakit setelah kepergian Ryu. Lant
“Stop, Renata!” teriak Bara. Ketika mendengar kegaduhan di dalam kamar, ia tidak bisa menunggu lagi sampai Alan keluar. Tanpa permisi Bara membuka pintu. Untuk pertama kalinya pria itu tercengang dengan apa yang dilihatnya. Akal sehatnya masih menyangkal apa benar ini yang dilakukan oleh istri Ryu. Bara lantas mendekati Renata menarik kedua tangan wanita itu dari kepala Alan kemudian mencengkramnya dengan kuat. “Kamu mau jadi pembunuh, hah? Mau kamu membusuk di buih, hah! Kalau kamu gak bisa mengendalikan diri, terpaksa aku bawa kamu ke rumah sakit jiwa. Mau kamu seperti itu, ya?”“Pergi, Alan!” ucap Bara setelah tangan Renata terlepas dari kepala Alan. “Kamu juga, bodoh atau gimana sih, diam saja diha-”“Saya ikhlas, Mas,” sahut Alan tidak menyimpan dendam sama sekali pada Renata. “Kalau dengan seperti ini bisa membuat Mbak Renata memaafkan saya.”“Konyol itu namanya,” geram Bara. “Mati sia-sia, belum tentu dimaafkan juga.” Kembali decakan kesal keluar dari bibir Bara. “Ck, sebenarny
“Kamu …” Renata mengacungkan telunjuknya dan mengarahkan pada lelaki yang telah memanggilnya beberapa saat yang lalu. “Pergi! Brengsek, kamu!” Tanpa ragu Renata melempar bantal yang ada di sampingnya ke arah laki-laki tersebut.Bara yang masih berada di dalam kamar. Menyadari Renata yang akan mengamuk lagi, ia refleks menutup pintunya rapat. Mengangkat kedua tangannya di depan dada. “Ren, bisa tenang! Aku mau bantu kamu, tapi tolong kamu tenang. Di luar akan banyak orang, kalau kamu seperti ini mereka akan mengira kalau kamu gila. Pasti kamu tahu dimana orang gila berada, kan.”“Kamu ngatain aku gila, Mas?” Di sela amukannya Renata masih bisa berpikir normal. “Aku gak gila, Mas.” Wanita itu jatuh di lantai sambil menekuk lututnya. Suaranya bergetar dengan buliran bening yang tiba-tiba menetes di pipi. “Maaf … Mas Ryu, harusnya … aku, harusnya … aku.” Ada rasa sakit yang tak terlihat menghujam, saat menyadari tindakannya yang telah membuat Ryu menghembuskan napas terakhirnya. Kembali r
“Gimana keadaannya, Mas?”Bara baru saja menutup pintu kamar berwarna putih itu, menoleh ke samping, ada sebelah tangan memeluk lengannya. Berdiri sang istri dengan wajah khawatir. Ia memang merutuki apa yang diperbuat Renata, tetapi melihat kondisinya yang sekarang membuatnya sangat iba. Bara tidak langsung menjawab, laki-laki itu menghela sebentar lalu menatap pintu yang ia tutup barusan. Tidak akan mengira apa yang telah terjadi pada Renata. Jiwanya terguncang setelah melihat sang suami dikubur di bawah tanah. Sementara istri Ryu yang satunya terlihat tegar dan bisa menerima takdir ini. Berjalan menuju sofa yang ada di depannya lantas mendudukan bokongnya di sana. Nia yang tidak melepaskan lengan Bara, mengikuti dengan duduk di sofa yang sama.“Aku pikir, kalau dia masih belum ada perubahan, kita bawa ke rumah sakit saja,” jawabnya lirih. Setelah mengamuk dan berteriak histeris di pemakaman, Bara telah berhasil menenangkan. Namun, ketika sudah sampai di rumah, Renata mengamuk lagi
“Ayah, sekarang aku sudah tidak punya Papi lagi.”Suara Langit memecahkan keheningan diantara ketiga orang yang sedang berada di dalam mobil. Setelah Bian mengatakan untuk mengajak pulang Aluna, wanita itu menurut. Meski hatinya masih tidak rela untuk meninggalkan pemakaman Ryu. Bian benar, ini adalah takdir yang harus Aluna jalani.Kepala Bian menoleh, tujuannya bukan Langit, melainkan Aluna yang berada di sampingnya. Tatapan penuh kesedihan tidak pernah lepas dari jalanan di depannya. Walaupun Bian tahu, Aluna pasti terusik dengan kalimat Langit tersebut.Lalu sentuhan tangan Bian pada punggung tangan wanita itu, meremasnya dengan lembut. “Are you oke?”“Hmm.” Aluna menjawab hanya bergumam. Wanita itu seolah tidak memiliki gairah hidup setelah kehilangan Ryu. Bian paham, dibalik sifat keras ingin meninggalkan Ryu, Aluna sangat mencintai mantan suaminya itu. Aluna lantas mengusap perutnya yang masih rata, seketika terhenyak, kalau di sana ada kehidupan lain, ada calon anaknya. Makany
“Gak mungkin!”Sesaat setelah mengatakan itu, tubuh Aluna ambruk. Dengan sigap, Bian melepaskan genggaman tangan Langit dan meraih pinggang Aluna, lalu mendekapnya dengan erat.“Mami!” Langit mendekati Aluna menampilkan wajah ketakutan. Matanya berembun dengan suara bergetar. “Ayah, Mamiku kenapa?”“Langit cari duduk dulu ya, Ayah urus Mami dulu.” Di saat seperti ini, Bian tidak bisa mengurusi dua orang sekaligus. “Iya,” jawab Langit kemudian meranjak menuju bangku yang tidak jauh dari Bian. Bocah laki-laki itu masih belum paham situasi yang ada. Namun, Bian bisa melihat kalau tangannya beberapa kali mengusap pipi.“Aluna bangun!” panggil Bian sambil menepuk-nepuk pipinya. Saat maniknya bertatapan dengan bangku di sebelah Langit, Bian segera mengangkat tubuh Aluna. Merutuki kebodohannya, harusnya ia bisa pelan-pelan memberitahu Aluna. Melupakan kalau Aluna sedang hamil dan ibu hamil tidak boleh banyak pikiran apalagi stress. “Maaf, harusnya aku-”“Ini ada apa?”Bian sontak mengangka