Ya, Aluna akan menepi ke kampung halaman Mbok Tum. Dia sudah tidak bekerja, otomatis tidak ada beban pekerjaan yang harus ia selesaikan. Sedangkan sekolah Langit, nanti akan ia pikirkan untuk mencari solusinya.Tidak ada acara pamitan kepada tetangga sebelah rumah karena memang orang-orang itu yang menginginkan dirinya untuk pergi.“Mi, memangnya kita mau kemana sih?” tanya Langit.Lelaki kecil Aluna itu masih binggung dengan kalimat Aluna yang mengatakan bahwa mereka semua akan pindah ke tempat yang lebih tenang dan damai daripada di rumah yang ditinggali sekarang. Kendatipun Aluna hanya ingin memberikan Langit gambaran kebahagiaan di tempat lain.“Oke, aku suka, Mi!” Langit berseru, mungkin saat ini ia sudah membayangkan kebahagiaan di sana.Sesaat kemudian, ia mengingat Ryu. “Terus, Papi bagaimana, Mi?”Aluna melirik Mbok Tum. Tetapi percuma saja karena Mbok Tum juga tidak akan berani menjawabnya.“Nanti kalau kerjaan Papi sudah selesai, pasti akan nyusul.” Aluna berbohong demi aga
Ryu merasakan ada yang berbeda dari bibir yang tengah dikulumnya saat ini. Ada sensasi berbeda dengan yang dibayangkan. Lagi, Aluna yang ia kenal tidak seagresif ini ketika Ryu menyentuhnya. Wanita itu cenderung bersikap malu-malu tapi mau. Hingga suara leguhan yang berbeda membuat Ryu menghentikan lumatannya seraya membuat jarak.“Renata! Kam-kamu …!”Tenggorokan Ryu tercekat ketika matanya terbuka kemudian mendapati wajah Renata, bukan seseorang yang ada dalam pikirannya. Helaan napas kasar dan decakan pelan keluar dari mulut Ryu pun terdengar. Ada rasa kecewa yang tidak mungkin diluapkan di depan Renata.“Kenapa?” tanya Renata seraya mengangkat lebih tinggi dagunya seolah menantang sang suami. “Apa kamu mau berterima kasih karena aku telah bersedia menjadi objek kamu pada jalang itu.” Renata selalu akan mengingatkan Ryu dengan panggilan jalang yang ia tujukan pada Aluna.Ryu melarikan tatapan ke arah lain, yang penting ia tidak sedang bertatapan dengan Renata. Mengabaikan kalimat R
Ryu berkali-kali memukul kepalanya sendiri. Merasa pikirannya buntu untuk menemukan Aluna dan Langit.Setelah beberapa saat mengelilingi rumah, berharap ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk atas kesunyian rumah yang nyatanya Ryu tidak menemukan apapun.Sang Dokter itu pun keluar rumah, pandangannya menyusuri sekitar dan ia bernapas lega ketika menemukan Ibu-ibu yang sedang mengerumuni tukang sayur. Kakinya sudah melangkah mendekati Ibu-ibu tersebut ketika suara seseorang menghentikannya.“Maaf, dengan suaminya Ibu Aluna ya!” Itu panggilan yang Ryu dengar.“Iya, Pak. Nama saya Ryu Ragnala.” Ryu menjawab sembari mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Kalau tidak salah Ryu mengenal pria ini adalah Pak RT komplek ini. “Dengan Bapak RT kan?” tanyanya.Laki-laki dihadapannya mengangguk. “Iya, saya RT di komplek ini. Kebetulan ada yang ingin saya sampaikan. Silahkah kita bicara di rumah saya.”Pak RT tidak sengaja melihat Ryu yang keluar dari rumah Aluna. Dengan jarak rumah yang hanya 1
“Mami, minta rumputnya.”Aluna dan Langit sedang berada di kandang sapi, sedang memberi makan hewan rawatan dari suami Mbok Tum. Tidak pernah terbayangkan kehidupan yang sangat jauh dari perkotaan yang akan Aluna alami. Ia sudah berada di tahap pasrah dengan keadaan.“Langit, jangan dekat-dekat dengan sapinya. Nanti bajunya kotor,” teriak Aluna dengan sedikit kencang. Pasalnya Langit seolah tanpa beban menjalani kehidupan yang … Aluna sendiri juga tidak bisa menjabarkan. Yang jelas Langit terlihat sangat Bahagia dan menikmatinya.“Bu, sudah. Ayo kita masuk saja. Biar suami saya saja yang ngasih makan sapinya.” Mbok Tum yang paham kekhawatiran Aluna memberikan solusinya.Aluna tersenyum tipis. Sebenarnya bukan kehidupan yang seperti ini, yang ia inginkan untuk Langit. Tetapi keadaan yang mengharuskan.“Langit tampak senang, Mbok. Aku sampe heran. Padahal aku pikir Langit pasti susah berdapatasi dengan lingkungan baru yang seperti ini.”“Sudah, ayo Ibu masuk dulu. Sebentar saya gendong
Kedua tangan Mbok Tum bergerak melingkari di belakang punggung Aluna. Memberikan pelukan hangat sembari mengusap-usapnya naik turun. Sesaat kemudian, Mbok Tum merasakan kalau punggung Aluna bergetar. Bisa ia pastikan Aluna sedang terisak.“Sabar ya, yakinlah semua akan berakhir bahagia!” Mbok Tum berusaha memberikan kalimat yang bisa menenangkan sekaligus menyemangati Aluna.Aluna melepas pelukan Mbok Tum ketika sudah puas menumpahkan kesedihannya. Wanita itu mengusap pipinya dengan punggung tangannya. Khawatir nanti Langit melihatnya. Ia tidak mau terlihat lemah di hadapan sang putra.Seulas senyuman getir terbit di bibirnya seraya menatap Mbok Tum yang masih setia belum beranjak. “Ah, aku seperti anak kecil ya, Mbok. Pasti Langit akan ngetawain aku kalau melihatnya.” Kekehan kecil pun meluncur dari bibirnya.Mbok Tum membalas dengan senyuman. Sebenarnya ada yang ingin disampaikan pada Aluna. Di hatinya ada yang menganjal sedikit namun takut akan membuat Aluna terbebani, makanya wani
Aluna menatap ponsel yang sudah beberapa hari dibiarkan mati. Sengaja ia matikan agar mendapatkan ketenangan dari apapun yang menganggu pikirannya.Tangannya bergerak menyentuh benda pipih tersebut. Apakah sekarang sudah waktunya ia membukanya. Setelah pertemuannya dengan Mbok Tum beberapa saat yang lalu, membuat hatinya sedikit terusik. Lebih tepatnya kejadian yang berkaitan dengan Bu Imah.Mbok Tum bilang kalau Bu Imah dengan mantan suaminya itu sudah berpisah selama dua puluh tahun. Ceritanya dulu, suaminya Bu Imah telah membuat kesalahan fatal sehingga menyebabkan perceraian. Namun, seiring berjalannya waktu Bu Imah mengetahui kalau kesalahan yang suaminya buat adalah untuk kebaikannya. Pada akhirnya mereka ditakdirkan untuk kembali bersatu dalam ikatan pernikahan.Ingatan Aluna terlempar pada sosok lelaki yang saat ini entah bagaimana keadaannya. Apakah Ryu akan mencarinya atau tidak. Apa lelaki itu sedang mengkhawatirkannya atau tidak. Semua pertanyaan itu menguap begitu saja ka
Setelah berbicara dengan Bian, Aluna dapat merasakan ketenangan dalam hatinya. Pada akhirnya ia tidak mengirimkan sharelocknya pada Bian. Dengan banyak pertimbangan ia menolak kebaikan lelaki itu. Aluna tidak peduli kalau sikapnya akan membuat Bian menjauh, karena itu niatnya. Menjauh dari Bian ataupun Ryu.Hari ini, Aluna sedang bertamu ke rumah ke rumah Bu Imah, tetangga mbok Tum. Rumah yang ruang tamunya sudah dipadati oleh orang-orang untuk membantu menyiapkan rencana pernikahan yang akan digelar besok.“Mbak Aluna cantik banget sih!”Aluna melipat bibirnya ke dalam. Tersipu malu mendengar pujian salah satu Ibu tetangga Bu Imah dan juga Mbok Tum. Sejujurnya, ia tidak ingin mendapat pujian seperti itu. Lagi pula Aluna juga tidak bermaksud untuk membuat dirinya cantik namun, ia juga tidak bisa menolak ujian itu.“Iya, anaknya juga ganteng,” timpal Ibu yang lainnya.“Ya jelaslah kan Maminya cantik otomatis anaknya pasti ganteng juga.”Suara Mbok Tum yang barusan datang mengalihkan pe
Salah kalau Aluna mengira Ryu akan menghampirinya kemudian menyeretnya menjauh dari kerumunan pada penerima tamu. Ryu seakan tidak mengenal Aluna. Tatapannya datar dengan langkah tegap melewati barisan penerima tamu wanita. Tak sedikitpun melirik kearah Aluna. Wajahnya yang tampan dan berwibawa selain itu pakaiannya yang juga berbeda dengan yang lainnya, membuat ia tampak mencolok.Aluna tercengang apakah benar ini suami yang sedang ia hindari. Kalaupun bukan, kenapa wajah mereka sama persis. Tatapan Aluna tidak bergerak hingga sang suami dipersilahkan duduk oleh perwakilan tuan rumah.“Maafkan aku, Aluna.” Ryu bergumam dalam hati.Ia sudah mati-matian mempertahankan hasrat untuk memeluk wanita yang masih berstatus istri sirinya itu. Bersikap acuh dan tidak mengenali Aluna hingga acara selesai, setelah itu akan meminta penjelasan dari wanita yang masih terlihat cantik dalam balutan kebaya.Kepala Ryu bergerak kekanan dan kiri, mencari keberadaan sang putra. “Di mana Langit,” batinnya.
“Ayah …!”“Mami …!”“Yayah …!”“Mimi …!”Suara-suara berisik itu membuat Aluna mengeliat. “Mas, ayo bangun! Anak-anak sudah pulang itu,” tutur Aluna seraya memukul lengan Bian yang menempel erat di tubuhnya polosnya.“Biarin aja, nanti mereka juga diem sendiri,” ucap Bian tidak peduli.“Mas …!” hardik Aluna sebab Bian mengabaikannya. “Bangun …!”Bian berdecak pelan sebelum melepaskan tangannya dari tubuh Aluna. Bangkit dan mendudukan tubuhnya, lalu menyalakan lampu kamar. Laki-laki itu kemudian memunguti kaos dan celana pendeknya yang tergeletak di lantai. Memakainya dengan cepat dan hendak membuka pintu yang masih terkunci dari dalam. Sementara Aluna berlari ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.Saat pintu dibuka, ketiga anaknya sedang berdiri dengan wajah berseri.“Sudah pulang?” tanya Bian memandang bergantian ke arah Tegar, Langit dan Awan.“Tante belikan banyak makanan, Ayah,” sahut Langit sembari memperlihatkan satu kantung plastik berisi camilan dan susu.“Mama juga belik
“Apa keputusanmu tidak bisa diubah, Mbak?” tanya Alan dengan wajah yang lesu, lalu menghembuskan napas pelan.Segala upaya sudah dilakukan tetapi masih tidak bisa membuat Renata tersentuh dengan sikap dan tindakan yang dilakukan Alan.Renata mengelengkan kepalanya. “Tidak, kamu masih muda dan bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku.”“Kamulah yang terbaik buat aku, Mbak,” sahut Alan tegas, tidak ada keraguan sama sekali di hatinya.Renata hanya tertawa, kemudian beranjak berdiri. Pembicaraan ini pasti tidak akan menemukan titik temu karena keduanya saling keras kepala.“Mbak, aku belum selesai bicara.” Alan bergegas menghampiri Renata. “Tidak masalah kalau kamu tidak bisa mencintaiku, Mbak. Pelan-pelan aku akan buat kamu jatuh cinta sama aku,” ucap Alan, menarik siku lengan Renata dengan pelan. Laki-laki itu masih bersikeras untuk membujuk Renata.Sekali lagi Renata mengeleng tegas. Tidak ada cinta di hatinya untuk Alan, jadi buat apa menerima pinangan dari lelaki itu. Yan
“Mohon maaf Ibu, bisa masuk ke ruangan dokter,” ucap seorang perawat yang datang menghampiri Renata.“Hah, ada apa?” Renata tertegun. Namun, tiga detik kemudian wanita itu beranjak berdiri, sebab dihantui rasa penasaran yang tinggi. “Sebentar aku masuk dulu!” ucapnya pada Aluna sebelum pergi.Pintu berwarna putih itu, Renata buka dengan segera. Seketika mulutnya ternganga melihat pemandangan di depannya. “Kenapa bisa seperti ini?” ucapnya setelah mendekat. Lalu dengan cepat mengambil tisu untuk menolong Alan.“Tadi tiba-tiba Mauren mau muntah, rencananya mau aku ajak ke kamar mandi ternyata dia gak bisa nahan dan berakhirlah seperti ini,” jelas Alan sambil membersihkan bekas muntahan di brankar dengan tisu. Sementara Renata dengan spontan membersihkan baju Mauren.“Dokter Renata!”Renata mendongak dan menatap seseorang setelah namanya di panggil.“Dokter Wahyu!” gumamnya lirih. Dan saat itu juga kenangan Ryu memenuhi pikirannya. Tanpa sadar sudut matanya berembun dan ia melangkah mund
“Sus, tolong anak saya!” ucap Alan ketika tiba di klinik.Laki-laki itu berjalan mendekati meja resepsionis sambil mengendong Mauren. Ya, Mauren terlepas dari gendongan hanya saat berada di dalam mobil saja. Renata juga binggung dengan sikap tiba-tiba putrinya itu. Aneh, itulah yang terlintas di pikirannya.Seorang gadis yang duduk di balik meja resepsionis itu mendongak dan bertemu tatap dengan Alan yang wajahnya terlihat cemas.“Iya, bisa daftar dulu ya,” ucapnya sopan.Alan lalu melirik Renata yang hanya mengekor di belakangnya. “Mi, tolong isi ini,” ucap Alan dan menunjuk dagunya pada satu lembar kertas yang ada di meja, di depannya.Renata pun mendekat dan mengisi form di depannya dalam diam. Sebab, tadi di mobil sudah berdebat dengan Alan. Tidak perlu datang ke klinik karena ia akan mengompres Mauren dan akan memberikan obat penurun panas.“Mohon tunggu sebentar, kurang tiga panggilan lagi, setelah itu putri Bapak ya,” ucapnya sambil tersenyum ramah.Renata sudah seringkali berh
“Ah, apa dia tidak memiliki makanan apapun di sini?” gumam Renata saat membuka kulkas dan tidak menemukan apapun di sana kecuali dua botol air mineral berukuran sedang di pintu kulkas.“Mami …!” teriak Mauren.Suara Mauren itu mengagetkan Renata. Wanita itu buru-buru berlari menuju kamar dan mendapati Mauren yang sudah membuka matanya dengan tatapan sayu.“Sudah bangun?” tanyanya kemudian melangkah mendekat ke arah tempat tidur.“Mi, pusing,” ucap Mauren tiba-tiba.Refleks, Renata langsung menyentuh kening Mauren dengan telapak tangannya kemudian membaliknya dengan punggung tangannya. “Koq demam? Bentar Mami ambilkan kompres dulu.”Renata keluar dari kamar, menuju dapur lagi untuk mencari baskom dan kain. Sementara di dapur, wanita itu mengamati sekeliling, semua yang diperlukan tidak ada di sana.“Ah, apa yang aku harapkan di sini. Dia paling hanya numpang tidur di sini,” keluhnya lalu kembali masuk ke dalam kamar untuk menghubungi Alan.Tidak lama kemudian, Alan mengangkat teleponn
“Mau turun, gak?”“No!” jawab Renata, ia memilih bertahan di dalam mobil saja daripada harus bersama dengan Alan.“Oke,” jawab Alan lalu menutup pintu mobil. Lelaki itu berjalan ke arah belakang dan membuka pintunya.“Alan, mau dibawa ke mana Mauren?” seru Renata. Seketika kepanikan melandanya . “Biarin Mauren tidur di mobil saja!”Alan kemudian menatap Renata sekilas, kalau wanita ini ingin bertahan di dalam mobil ia tidak peduli. Tetapi ia akan membawa Mauren masuk ke dalam apartemennya.“Apa kamu gak kasihan sama Mauren tidurnya gak nyaman seperti itu.”“Aku tetap disini, Mauren juga harus tetap di sini,” sahut Renata cepat, membantah ucapan Alan.Namun, tanpa mendengarkan keinginan Renata, Alan langsung saja mengendong Mauren dan membawanya masuk.“Hey,” seru Renata. Alan menyematkan senyuman tipis kala melirik Renata yang turun dari mobil kemudian mengikuti langkahnya masuk ke dalam gedung apartemen.“Alan, aku bilang-”“Jangan berisik, Mbak!”Tanpa Renata sadari langkahnya terus
“Kamu mau buat aku malu, Alan Sanjaya?”Begitu keluar dari gedung, Renata menarik tangan lelaki itu untuk mengikutinya. Melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan orang-orang. Setelah sampai di ujung koridor yang sepi, wanita itu menghentikan langkahnya sembari berkaca pinggang. Kekesalannya sudah memuncak seiring sikap Alan yang santai seolah tidak pernah melakukan kesalahan.“Mbak …!”“Aku bukan Mbakmu!” jerit Renata frustasi, merasa muak dengan panggilan itu karena Alan memanggilnya dengan suara rendah dan lembut.Sedangkan lelaki itu mengulum senyum. Selama ini, Renata tidak pernah protes dengan cara panggilnya, tetapi tiba-tiba dia mengklaim bukan Mbaknya.“Oke, kalau begitu aku panggil Sayang saja,” ucapnya disertai kekehan, meski mata Renata sudah menyorotnya tajam, Alan tidak peduli.“Jawab aku, Alan!” bentak Renata sudah hilang kesabarannya. “Kamu mau buat aku dan Mauren malu, hah! Belum cukup ka-”Renata tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika kelima jari Alan singgah di bi
Hari ini, Alan sengaja datang ke sekolahan Mauren. Semalam, Bara mengirimkan pesan bahwa di sekolahan Mauren sedang ada acara, tidak membuang kesempatan Alan akan hadir di acara tersebut.Lelaki itu berangkat tanpa memberitahu pada sang putri. Ia tidak peduli, kalau ternyata nanti di sana akan mendapatkan penolakan. Ia bisa memastikan nanti akan bertemu dengan Renata di dalam. Sekali lagi, Alan katakan tidak peduli.Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya dia menepikan mobilnya di parkiran khusus untuk pengunjung.Sikap Alan yang ramah membuat tidak ada kecanggungan bila harus menyapa orang-orang yang sebelumnya tidak kenal. Dengan langkah tegas, tidak ada keraguan sedikitpun lelaki itu berjalan menjangkau menuju gedung Aula, tempat diadakannya acara tersebut.Ketika Alan sudah mencapai gedung tersebut, langkahnya terhenti sebab ada seorang resepsionis yang berjaga sembari menyodorkan buku tamu bagi yang akan masuk.“Selamat siang, maaf dengan wali murid siapa ya
Renata dan Alan duduk bersisihan di teras rumah. Hari ini memang Alan sengaja datang di malam hari untuk bisa bertemu dan berbicara dari hari ke hati dengan Renata. Semenjak kepulangan wanita itu dari rumah sakit dan Alan yang pindah ke apartemen, membuat keduanya jarang bertemu. Sekalinya Alan ingin mengantar Mauren ke sekolah, hal itu sudah lebih dulu dilakukan oleh Renata.Selama hampir sepuluh belas menit, tidak ada yang bersuara di antara keduanya. Hanya suara angin yang bertiup seolah memecahkan keheningan . Dan selama itu pula, tatapan Alan hanya tertuju pada wajah cantik Renata. Dari situ Alan dapat mengamati dengan jelas wajah Renata yang tidak banyak berubah setelah bertahun-tahun tidak bertemu.Sungguh bodoh, dirinya dulu meninggalkan wanita ini. Harusnya saat itu dia tidak meninggalkan Renata dan membangun keluarga kecilnya, mempertahankan wanita yang dia cintai meski jalan itu tidak akan mudah karena pertentangan dari kedua keluarga. Namun, sekarang hanya penyesalan yang