Kedua tangan Mbok Tum bergerak melingkari di belakang punggung Aluna. Memberikan pelukan hangat sembari mengusap-usapnya naik turun. Sesaat kemudian, Mbok Tum merasakan kalau punggung Aluna bergetar. Bisa ia pastikan Aluna sedang terisak.“Sabar ya, yakinlah semua akan berakhir bahagia!” Mbok Tum berusaha memberikan kalimat yang bisa menenangkan sekaligus menyemangati Aluna.Aluna melepas pelukan Mbok Tum ketika sudah puas menumpahkan kesedihannya. Wanita itu mengusap pipinya dengan punggung tangannya. Khawatir nanti Langit melihatnya. Ia tidak mau terlihat lemah di hadapan sang putra.Seulas senyuman getir terbit di bibirnya seraya menatap Mbok Tum yang masih setia belum beranjak. “Ah, aku seperti anak kecil ya, Mbok. Pasti Langit akan ngetawain aku kalau melihatnya.” Kekehan kecil pun meluncur dari bibirnya.Mbok Tum membalas dengan senyuman. Sebenarnya ada yang ingin disampaikan pada Aluna. Di hatinya ada yang menganjal sedikit namun takut akan membuat Aluna terbebani, makanya wani
Aluna menatap ponsel yang sudah beberapa hari dibiarkan mati. Sengaja ia matikan agar mendapatkan ketenangan dari apapun yang menganggu pikirannya.Tangannya bergerak menyentuh benda pipih tersebut. Apakah sekarang sudah waktunya ia membukanya. Setelah pertemuannya dengan Mbok Tum beberapa saat yang lalu, membuat hatinya sedikit terusik. Lebih tepatnya kejadian yang berkaitan dengan Bu Imah.Mbok Tum bilang kalau Bu Imah dengan mantan suaminya itu sudah berpisah selama dua puluh tahun. Ceritanya dulu, suaminya Bu Imah telah membuat kesalahan fatal sehingga menyebabkan perceraian. Namun, seiring berjalannya waktu Bu Imah mengetahui kalau kesalahan yang suaminya buat adalah untuk kebaikannya. Pada akhirnya mereka ditakdirkan untuk kembali bersatu dalam ikatan pernikahan.Ingatan Aluna terlempar pada sosok lelaki yang saat ini entah bagaimana keadaannya. Apakah Ryu akan mencarinya atau tidak. Apa lelaki itu sedang mengkhawatirkannya atau tidak. Semua pertanyaan itu menguap begitu saja ka
Setelah berbicara dengan Bian, Aluna dapat merasakan ketenangan dalam hatinya. Pada akhirnya ia tidak mengirimkan sharelocknya pada Bian. Dengan banyak pertimbangan ia menolak kebaikan lelaki itu. Aluna tidak peduli kalau sikapnya akan membuat Bian menjauh, karena itu niatnya. Menjauh dari Bian ataupun Ryu.Hari ini, Aluna sedang bertamu ke rumah ke rumah Bu Imah, tetangga mbok Tum. Rumah yang ruang tamunya sudah dipadati oleh orang-orang untuk membantu menyiapkan rencana pernikahan yang akan digelar besok.“Mbak Aluna cantik banget sih!”Aluna melipat bibirnya ke dalam. Tersipu malu mendengar pujian salah satu Ibu tetangga Bu Imah dan juga Mbok Tum. Sejujurnya, ia tidak ingin mendapat pujian seperti itu. Lagi pula Aluna juga tidak bermaksud untuk membuat dirinya cantik namun, ia juga tidak bisa menolak ujian itu.“Iya, anaknya juga ganteng,” timpal Ibu yang lainnya.“Ya jelaslah kan Maminya cantik otomatis anaknya pasti ganteng juga.”Suara Mbok Tum yang barusan datang mengalihkan pe
Salah kalau Aluna mengira Ryu akan menghampirinya kemudian menyeretnya menjauh dari kerumunan pada penerima tamu. Ryu seakan tidak mengenal Aluna. Tatapannya datar dengan langkah tegap melewati barisan penerima tamu wanita. Tak sedikitpun melirik kearah Aluna. Wajahnya yang tampan dan berwibawa selain itu pakaiannya yang juga berbeda dengan yang lainnya, membuat ia tampak mencolok.Aluna tercengang apakah benar ini suami yang sedang ia hindari. Kalaupun bukan, kenapa wajah mereka sama persis. Tatapan Aluna tidak bergerak hingga sang suami dipersilahkan duduk oleh perwakilan tuan rumah.“Maafkan aku, Aluna.” Ryu bergumam dalam hati.Ia sudah mati-matian mempertahankan hasrat untuk memeluk wanita yang masih berstatus istri sirinya itu. Bersikap acuh dan tidak mengenali Aluna hingga acara selesai, setelah itu akan meminta penjelasan dari wanita yang masih terlihat cantik dalam balutan kebaya.Kepala Ryu bergerak kekanan dan kiri, mencari keberadaan sang putra. “Di mana Langit,” batinnya.
“Untuk apa kamu datang, Mas?” tanya Aluna ketika mereka sedang berdua di rumah yang saat ini di tempati oleh Aluna.Mengingat rumah. Sesuai rencana, maka Aluna akan membantu di acara pernikahan Bu Imah sampai selesai. Namun karena kedatangan Ryu yang tanpa perkiraan, kini Aluna terpaksa membawa sang suami pulang ke rumah.Aluna tidak kaget karena Ryu pasti bisa melacak keberadaan dirinya, dari ponsel yang Aluna aktifkan. Dan jangan tanyakan tatapan tanda tanya dari warga kampung padanya. Dan entah kalimat apa yang diucapkan Pak Bas untuk meyakinkan, pada akhirnya Aluna dapat bernapas lega.Helaan napas kasar pun terdengar, Ryu tidak menyangka sikap dingin sang istri kepadanya. Padahal beberapa hari ini ia seperti orang yang tidak waras karena kepergian wanita itu. Namun, demi untuk agar Aluna tidak pergi lagi Ryu harus bisa mengontrol emosinya.Mengabaikan pertanyaan Aluna. Ryu berucap. “Pulang, yuk! Aku sudah siapkan apartemen untuk kamu sama Langit.” Untuk sementara Ryu akan membawa
“Mi, ini rumah siapa?” tanya Langit ketika memasuki unit apartemen yang sudah disediakan oleh Ryu.Tangan kecilnya langsung melepas dari genggaman Aluna. Berlarian kecil mengitari ruangan dengan tatapan takjub. Mungkin baru kali ini melihat kemewahan di depan mata.Sementara Aluna, saat masuk sudah dibuat takjub dengan tatanan ruang tamu yang luas dengan perabotan lengkap yang mewah. Pandangan Aluna kemudian melihat lebih masuk lagi, ruangan yang didominasi oleh warna putih itu membuat terlihat bersih, di ruangan itu ditempatkan televisi berukuran besar, entah berapa inci Aluna tidak tahu.Ya, pada akhirnya, Aluna memilih menuruti ucapan Ryu untuk pulang ke kota dan tinggal di apartemen. Tanpa Aluna tahu, apartemen dengan segala kemewahannya itu Ryu beli khusus untuk Aluna. Tetapi memang ia tidak mengatasnamakan istrinya itu. Terlalu berbahaya kalau Renata mengetahuinya, jadi untuk amannya Ryu menggunakan nama Barayudha.“Sini, duduk!” Ryu menepuk pelan sofa yang ada di ruang keluarga
“Mami …! Mami …!”Terpaksa Ryu menghentikan sesaat pagutan di bibir Aluna saat mendengar suara Langit dari balik pintu yang terkunci. Namun, seolah menulikan pendengarannya Ryu hendak mendekatkan kembali bibirnya ketika Aluna langsung mendorong wajah laki-laki itu dengan telapak tangannya.“Mas, Langit manggil itu.” Aluna beranjak bangun untuk membuka pintu. Sementara Ryu melempar tubuhnya ke kanan, terlentang dengan pandangan ke langit-langit kamar. Setelah mendengkus kesal karena kesempatan berdua dengan Aluna diganggu Langit.“Iya, gak papa nanti Mami yang bicara dengan Papi kalau Langit tidur di sini.”Ryu mengalihkan pandangan, netranya memicing tidak suka namun lirikan tajam Aluna membuatnya tidak bisa berkutik.“Oke, Langit tidur sini,” balas Ryu sambil menepuk bagian tengah ranjang king sizenya itu.Tanpa menunggu lama, Langit beranjak naik dan memposisikan di tengah-tengah Aluna dan Ryu. Langit berbaring miring menghadap Aluna, tangan dan kakinya memeluk wanita yang sudah mel
“Baru ingat rumah, Mas!”Seruan seseorang di belakang sana, membuat Ryu menoleh. Ia berbalik, memandang ke arah sumber suara. Wajahnya datar saat melihat Renata turun dari mobil sedan miliknya. Wanita itu mendekat, berdiri tepat di depan Ryu.“Aku pikir kamu sudah lupa sama anak dan is-”“Darimana kamu?” Bukannya menjawab ucapan Renata, kini wajah Ryu terlihat kesal melihat tampilan istri yang beberapa hari ini ia abaikan. “Baju macam apa yang kamu pakai, hah!” tanyanya kemudian telunjuk Ryu mengarah ke dress yang sedang dikenakan dengan belahan dada yang rendah.Wanita itu spontan menyilangkan kedua tangannya di depan dada setelah menyingkirkan telunjuk Ryu. Meskipun awalnya wanita itu nyaman berpenampilan seperti itu pada akhirnya nyalinya pupus sudah saat Ryu menegurnya, belum lagi tatapan membunuh sang suami yang terlihat jelas.“Gak penting kamu tahu aku darimana. Kamu bisa mencari kesenangan di luar, aku pun bisa melakukannya,” jawab Renata. Harusnya Renata takut menghadapi kema
“Sus, tolong anak saya!” ucap Alan ketika tiba di klinik.Laki-laki itu berjalan mendekati meja resepsionis sambil mengendong Mauren. Ya, Mauren terlepas dari gendongan hanya saat berada di dalam mobil saja. Renata juga binggung dengan sikap tiba-tiba putrinya itu. Aneh, itulah yang terlintas di pikirannya.Seorang gadis yang duduk di balik meja resepsionis itu mendongak dan bertemu tatap dengan Alan yang wajahnya terlihat cemas.“Iya, bisa daftar dulu ya,” ucapnya sopan.Alan lalu melirik Renata yang hanya mengekor di belakangnya. “Mi, tolong isi ini,” ucap Alan dan menunjuk dagunya pada satu lembar kertas yang ada di meja, di depannya.Renata pun mendekat dan mengisi form di depannya dalam diam. Sebab, tadi di mobil sudah berdebat dengan Alan. Tidak perlu datang ke klinik karena ia akan mengompres Mauren dan akan memberikan obat penurun panas.“Mohon tunggu sebentar, kurang tiga panggilan lagi, setelah itu putri Bapak ya,” ucapnya sambil tersenyum ramah.Renata sudah seringkali berh
“Ah, apa dia tidak memiliki makanan apapun di sini?” gumam Renata saat membuka kulkas dan tidak menemukan apapun di sana kecuali dua botol air mineral berukuran sedang di pintu kulkas.“Mami …!” teriak Mauren.Suara Mauren itu mengagetkan Renata. Wanita itu buru-buru berlari menuju kamar dan mendapati Mauren yang sudah membuka matanya dengan tatapan sayu.“Sudah bangun?” tanyanya kemudian melangkah mendekat ke arah tempat tidur.“Mi, pusing,” ucap Mauren tiba-tiba.Refleks, Renata langsung menyentuh kening Mauren dengan telapak tangannya kemudian membaliknya dengan punggung tangannya. “Koq demam? Bentar Mami ambilkan kompres dulu.”Renata keluar dari kamar, menuju dapur lagi untuk mencari baskom dan kain. Sementara di dapur, wanita itu mengamati sekeliling, semua yang diperlukan tidak ada di sana.“Ah, apa yang aku harapkan di sini. Dia paling hanya numpang tidur di sini,” keluhnya lalu kembali masuk ke dalam kamar untuk menghubungi Alan.Tidak lama kemudian, Alan mengangkat teleponn
“Mau turun, gak?”“No!” jawab Renata, ia memilih bertahan di dalam mobil saja daripada harus bersama dengan Alan.“Oke,” jawab Alan lalu menutup pintu mobil. Lelaki itu berjalan ke arah belakang dan membuka pintunya.“Alan, mau dibawa ke mana Mauren?” seru Renata. Seketika kepanikan melandanya . “Biarin Mauren tidur di mobil saja!”Alan kemudian menatap Renata sekilas, kalau wanita ini ingin bertahan di dalam mobil ia tidak peduli. Tetapi ia akan membawa Mauren masuk ke dalam apartemennya.“Apa kamu gak kasihan sama Mauren tidurnya gak nyaman seperti itu.”“Aku tetap disini, Mauren juga harus tetap di sini,” sahut Renata cepat, membantah ucapan Alan.Namun, tanpa mendengarkan keinginan Renata, Alan langsung saja mengendong Mauren dan membawanya masuk.“Hey,” seru Renata. Alan menyematkan senyuman tipis kala melirik Renata yang turun dari mobil kemudian mengikuti langkahnya masuk ke dalam gedung apartemen.“Alan, aku bilang-”“Jangan berisik, Mbak!”Tanpa Renata sadari langkahnya terus
“Kamu mau buat aku malu, Alan Sanjaya?”Begitu keluar dari gedung, Renata menarik tangan lelaki itu untuk mengikutinya. Melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan orang-orang. Setelah sampai di ujung koridor yang sepi, wanita itu menghentikan langkahnya sembari berkaca pinggang. Kekesalannya sudah memuncak seiring sikap Alan yang santai seolah tidak pernah melakukan kesalahan.“Mbak …!”“Aku bukan Mbakmu!” jerit Renata frustasi, merasa muak dengan panggilan itu karena Alan memanggilnya dengan suara rendah dan lembut.Sedangkan lelaki itu mengulum senyum. Selama ini, Renata tidak pernah protes dengan cara panggilnya, tetapi tiba-tiba dia mengklaim bukan Mbaknya.“Oke, kalau begitu aku panggil Sayang saja,” ucapnya disertai kekehan, meski mata Renata sudah menyorotnya tajam, Alan tidak peduli.“Jawab aku, Alan!” bentak Renata sudah hilang kesabarannya. “Kamu mau buat aku dan Mauren malu, hah! Belum cukup ka-”Renata tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika kelima jari Alan singgah di bi
Hari ini, Alan sengaja datang ke sekolahan Mauren. Semalam, Bara mengirimkan pesan bahwa di sekolahan Mauren sedang ada acara, tidak membuang kesempatan Alan akan hadir di acara tersebut.Lelaki itu berangkat tanpa memberitahu pada sang putri. Ia tidak peduli, kalau ternyata nanti di sana akan mendapatkan penolakan. Ia bisa memastikan nanti akan bertemu dengan Renata di dalam. Sekali lagi, Alan katakan tidak peduli.Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya dia menepikan mobilnya di parkiran khusus untuk pengunjung.Sikap Alan yang ramah membuat tidak ada kecanggungan bila harus menyapa orang-orang yang sebelumnya tidak kenal. Dengan langkah tegas, tidak ada keraguan sedikitpun lelaki itu berjalan menjangkau menuju gedung Aula, tempat diadakannya acara tersebut.Ketika Alan sudah mencapai gedung tersebut, langkahnya terhenti sebab ada seorang resepsionis yang berjaga sembari menyodorkan buku tamu bagi yang akan masuk.“Selamat siang, maaf dengan wali murid siapa ya
Renata dan Alan duduk bersisihan di teras rumah. Hari ini memang Alan sengaja datang di malam hari untuk bisa bertemu dan berbicara dari hari ke hati dengan Renata. Semenjak kepulangan wanita itu dari rumah sakit dan Alan yang pindah ke apartemen, membuat keduanya jarang bertemu. Sekalinya Alan ingin mengantar Mauren ke sekolah, hal itu sudah lebih dulu dilakukan oleh Renata.Selama hampir sepuluh belas menit, tidak ada yang bersuara di antara keduanya. Hanya suara angin yang bertiup seolah memecahkan keheningan . Dan selama itu pula, tatapan Alan hanya tertuju pada wajah cantik Renata. Dari situ Alan dapat mengamati dengan jelas wajah Renata yang tidak banyak berubah setelah bertahun-tahun tidak bertemu.Sungguh bodoh, dirinya dulu meninggalkan wanita ini. Harusnya saat itu dia tidak meninggalkan Renata dan membangun keluarga kecilnya, mempertahankan wanita yang dia cintai meski jalan itu tidak akan mudah karena pertentangan dari kedua keluarga. Namun, sekarang hanya penyesalan yang
“Sayang, ayo kita foto dulu.” Bian mengandeng tangan Aluna mengajaknya ke arah dekor yang sengaja disiapkan untuk acara ijab kabulnya tadi. “Langit dan Tegar mana ya?” Netra Bian menatap kesana kemari, mencari keberadaan kedua putranya itu.“Mereka kayaknya di depan, Mas,” sahut Aluna.“Zi, tolong panggilkan Langit sama Tegar di luar,” pinta Bian yang tiba-tiba melihat keberadaan wanita itu. “Bilangin mau diajak foto keluarga.”Ziya tidak menjawab, namun langkahnya menuju luar rumah untuk memanggil kedua anak Bian itu.“Sayang, Langit, Tegar,” panggilnya sambil melambaikan tangan. “Ayah ngajakin foto dulu.”Langit dan Tegar bergegas masuk ke dalam rumah dan meninggalkan permainannya dengan anak tetangga sebelah rumah.Cekrek, cekrek, cekrek, cekrek, cekrek.Entah sudah berapa banyak dan berapa pose yang dilakukan kelima orang itu di depan kamera, Aluna sudah merasakan capek sekali.“Tenang, nanti aku pijitin kamu,” ucap Bian dengan kerlingan jahil untuk menggoda sang istri. “Ish …!” d
“Langit biar duduk di belakang, sepertinya dia ngantuk itu,” ucap Bian pada Aluna, ketika membuka pintu belakang mobil dan melirik pada pemuda kecil yang tengah menguap.Tanpa banyak protes, Langit masuk dan duduk, lebih tepatnya membaringkan tubuhnya miring menghadap ke punggung bangku kemudian menutup mata.Aluna menatap Bian tanpa berkata-kata, lelaki itu selalu tahu apapun yang terjadi pada anak-anaknya. “Padahal tadi kayaknya tidak ada tanda-tanda ngantuk deh!”Bian membukakan pintu di samping kemudi, menyuruh Aluna untuk masuk. Lantas berputar mengitari mobil dan langsung duduk di bangku kemudi. Memasang sabuk pengaman dan mulai menjalankan kereta besinya. “Sejak dipemakaman tadi matanya sudah merah, Sayang.”Entah, Aluna tiba-tiba tersipu mendengar Bian memanggilnya Sayang, mungkin juga saat ini wajahnya tengah memerah karena malu. Hingga memalingkan wajahnya ke jendela, yang ada di sampingnya.“Kamu kalau malu-malu seperti itu kayak ABG saja!”Celetukkan Bian sanggup membuat A
“Hati-hati!” seru Bian, mengeratkan tangannya yang mengenggam pergelangan tangan Langit.Kemudian, lelaki itu kembali menuntun Langit. Berjalan menyusuri jalan setapak di sela-sela antara satu makam dengan makam yang lain.Kenapa tidak dengan melangkahi makam saja kan lebih cepat. Konon katanya, menurut ceramah agama yang ia dengar, jika berziarah tidak boleh berjalan di atas makam. Sebab, menghormati jenazah di dalam kubur sama pentingnya dengan menghormati manusia yang masih hidup karena kuburan memiliki kedudukan dan sangat dimuliakan.Beberapa kuburan, gundukan tanahnya masih basah dengan taburan bunga-bunga yang masih segar. Setelah menempuh berjalan kaki yang lumayan jauh dari pintu masuk, netra Aluna berhenti pada salah satu makam tujuannya. Namun, jantungnya berdegup kencang tatkala melihat karangan bunga segar yang seseorang tinggalkan.Apakah ini bunga dari Renata? Tapi siapa lagi keluarga Ryu, selain wanita itu. Jadi Renata sudah sembuh, bukankah ia sedang di rawat di rumah