“Baru ingat rumah, Mas!”Seruan seseorang di belakang sana, membuat Ryu menoleh. Ia berbalik, memandang ke arah sumber suara. Wajahnya datar saat melihat Renata turun dari mobil sedan miliknya. Wanita itu mendekat, berdiri tepat di depan Ryu.“Aku pikir kamu sudah lupa sama anak dan is-”“Darimana kamu?” Bukannya menjawab ucapan Renata, kini wajah Ryu terlihat kesal melihat tampilan istri yang beberapa hari ini ia abaikan. “Baju macam apa yang kamu pakai, hah!” tanyanya kemudian telunjuk Ryu mengarah ke dress yang sedang dikenakan dengan belahan dada yang rendah.Wanita itu spontan menyilangkan kedua tangannya di depan dada setelah menyingkirkan telunjuk Ryu. Meskipun awalnya wanita itu nyaman berpenampilan seperti itu pada akhirnya nyalinya pupus sudah saat Ryu menegurnya, belum lagi tatapan membunuh sang suami yang terlihat jelas.“Gak penting kamu tahu aku darimana. Kamu bisa mencari kesenangan di luar, aku pun bisa melakukannya,” jawab Renata. Harusnya Renata takut menghadapi kema
Mauren terbangun, merasakan tenggorokannya kering. Seperti biasanya ia tidur sendirian di kamar. Kedua orang tuanya kemana, ia tidak tahu. Biasanya sang Mami yang menyiapkan minuman di meja nakas di samping tempat tidurnya. Sekarang, ia hanya melirik botol plastik itu kosong.“Ya sudah, mungkin Mami belum datang. Aku ambil sendiri saja di dapur,” ucapnya pada dirinya sendiri sambil membawa botol plastiknya. Melangkahkan kakinya untuk menuju pintu. Namun sebelum itu terjadi.“Apa maksud kamu, Mas …Samar-samar Mauren mendengar suara sang Mami berbicara. Mauren yang jiwa penasarannya sangat tinggi, lantas membuka pintu kamarnya dengan perlahan hingga tampak jelaslah suaranya. Gadis itu masih berdiri di belakng pintu untuk menguping.“Aku cuman ingin kamu sadar, kalau Langit butuh aku.” Ryu menepuk dadanya pelan sebelum melanjutkan kalimatnya. “Ayah kandungnya, sedangkan Mauren masih bisa menerima Ayah kandungnya selain ak ... Aww, Renata kamu mau membunuhku, hah!” seru Ryu ketika meneri
“Oke, lakukan sesuai rencana!”Renata menutup sambungan teleponnya pada seseorang disebarang sana. Wajahnya datar dengan tangan yang memegang erat pada ponsel mahal pemberian Ryu.Setelah kepergian laki-laki itu beberapa saat yang lalu, Renata yang diliputi rasa sakit hati menghubungi seseorang. Terpaksa ia melakukannya karena Ryu sudah sangat-sangat menyakiti hatinya. Terlebih sang suami tanpa mau membujuk Renata malah meninggalkannya tanpa permintaan maaf.“Jangan salahkan aku memilih jalan ini, Ryu Zavier Ragnala,” gumam Renata dengan dipenuhi dendam.***Aluna menolehkan kepalanya ke belakang sekali lagi. Entah perasaannya saja atau bagaimana, tapi ia merasakan ada seseorang yang sejak tadi terus mengikutinya dan mengamati dirinya.“Siapa yang mengikutiku ya,” gumamnya pelan pada dirinya sendiri.“Ada apa, Mi?” tanya Langit, merasa sikap sang Mami yang tidak biasa.“Ehm, gak apa-apa,” jawab Aluna sambil melirik Langit yang terus berjalan mengikuti langkahnya.Tangan Aluna semakin
Ryu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi ketika menuju apartemennya, lebih tepatnya apartemen yang ia beli untuk Aluna. Setelah berbicara sebentar via telepon dengan security, kekhawatiran laki-laki itu kian bertambah. Hingga tiga puluh menit kemudian, kendaraan roda empat itu langsung masuk ke dalam basement apartemen. Dengan sedikit berlari, ia menuju meja resepsionis. “Selamat malam!” ucapnya setelah menemukan Langit yang duduk di temani oleh pihak manajemen apartemen. "Malam, Pak Ryu.” Langit yang berulang kali menguap, merasakan kantuk yang tidak dapat ditahan. Namun, begitu mendengar suara yang tidak asing baginya mata itu langsung terbuka lebar. “Papi …!” Bocah laki-laki itu menghampiri Ryu lalu memeluk kaki sang Papi. “Mami dibawa sama orang yang pakai baju hitam, Pi.” Ryu berlutut, membingkai wajah Langit yang basah. Bisa dipastikan bocah kecil itu habis menangis. “Iya, tapi kamu tidak apa-apa kan?” Ryu juga perlu memastikan keadaan Langit. Ia hanya tidak mau terla
"Gimana kondisinya, Mas?" Tepukan pelan di bahunya, membuat Bara menolehkan kepalanya dari ruangan serba kaca yang ada di depannya. Ruangan yang tidak boleh dimasuki tanpa ada jam besuknya. Mendapati wajah wanita yang dicintainya dan berjanji dalam hati tidak akan pernah menyakiti istri yang pernah dia sia-siakan seperti dulu kala. "Dokter bilang apa?"Hembusan napas pelan dan gelengan kepala Bara menjawab pertanyaan Nia.Tidak bertanya lagi, wanita itu mendekat berdiri tepat di depan sang suami. Secara otomatis, Bara memeluk pinggang sang istri, menempatkan wajah tampannya di perut Nia. Tidak lama kemudian, isakan pelan terdengar. Dan yang dilakukan Nia adalah memberikan tepukan pelan dengan gerakan statis di punggung lebar sang suami untuk menenangkannya.Lima menit kemudian, Bara mengurai pelukan."Sayang ... aku lihat sendiri dengan mata kepalaku ..." Laki-laki itu menjeda ucapannya, tiba-tiba tenggorokannya tercekat mengingat bagaimana kecelakaan yang begitu cepat terjadi.Nia s
"Ya Allah, lindungi hamba dari orang-orang jahat itu," gunam Aluna.Wanita itu berlari menjauh dari rumah tempatnya disekap tadi dengan napas terengah-engah. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk melihat apakah ada yang mengejarnya hingga ia melihat ada taxi, Aluna cepat-cepat merentangkan satu tangannya untuk menghentikannya. "Stop, Pak!" serunya.Taxi berhenti, Aluna langsung masuk dan mendudukan bokongnya. Wanita itu memberikan alamat apartemennya lebih dulu sebelum sang driver bertanya.Baru setelah taxi melaju dengan kecepatan sedang, Aluna bisa bernapas lega. Tapi hatinya masih belum bisa tenang, maka sekali lagi ia menoleh ke belakang. Tidak ada kendaraan yang mencurigakan, Mami Langit itu benar-benar yakin bahwa tidak ada yang mengikutinya."Macet kenapa, Pak?" tanya Aluna ketika tiba-tiba saja taxi jalannya melambat."Kurang tahu, Bu," jawab sang driver kemudian.Aluna terkesiap saat ingatannya tertuju kepada Langit. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan putranya itu setelah
Setelah mendengarkan penjelasan sang dokter Renata bersama Bara kembali ke ruangan ICU. Kedua dokter itu hanya berdiam diri sambil tak lepas menatap ke arah brankar Ryu yang terlihat dari ruangan kaca itu. Sementara Nia mengantar Langit yang ingin membeli minuman di cafe rumah sakit. Sedikitnya, Langit sudah mulai luluh dengan istri Bara tersebut."Lalu sekarang kamu sekap dimana Ibunya Langit." tanya Bara setelah jeda panjang. Apapun alasan Renata, Bara tidak menyukai tindakan wanita itu. Apalagi melihat Langit yang masih membutuhkan Ibunya. "Dengar ak-""Dia sudah kabur!" sela Renata, tidak merasa bersalah telah berbuat kejahatan seperti itu. "Dan jangan tanya lagi kemana kabarnya karena aku tidak tahu dan tidak mau peduli."Hampir saja Bara ingin mengumpat mendengarkan kalimat Renata yang menyebalkan jika tidak melihat kedatangan Langit bersama Nia. Sang istri di tangan kirinya sedang membawa kantong kresek. Sudah bisa dipastikan semua itu makanan Langit."Oke." Rasanya sudah cukup
"Sejauh ini kondisi dokter Ryu sangat tidak baik. 80 persen kondisinya kemungkinan tidak bisa seperti sebelumnya."Aluna terus saja terngiang-ngiang ucapan dokter Wahyu. Dokter yang sedang menangani Ryu. Karena permintaan Renata, pada akhirnya Bara tidak jadi mengatakan apa yang ingin pria itu sampaikan. Merasa perlu tahu apa yang terjadi pada sang suami, Aluna pun mencari tahu sendiri dan bertanya pada perawat untuk bisa bertemu dengan dokter yang menangani sang suami.Dokter Wahyu yang Aluna temui, tidak dengan mudah memberikan informasi rekam media Ryu. Selain dokter Wahyu tidak mengenal siapa Aluna, laki-laki itu juga harus menjaga kerahasiaan semua data pasiennya. Aluna tidak bisa berbuat banyak ketika dokter Wahyu meminta maaf tidak bisa membantu memberikan penjelasan apapun tentang Ryu.“Iya, saya paham dokter,” ucap Aluna seraya menganggukan kepalanya paham.Sebenarnya ia bisa saja mengatakan pada dokter itu kalau dirinya adalah istri kedua Ryu, tetapi Aluna tidak mau melakuka
“Sus, tolong anak saya!” ucap Alan ketika tiba di klinik.Laki-laki itu berjalan mendekati meja resepsionis sambil mengendong Mauren. Ya, Mauren terlepas dari gendongan hanya saat berada di dalam mobil saja. Renata juga binggung dengan sikap tiba-tiba putrinya itu. Aneh, itulah yang terlintas di pikirannya.Seorang gadis yang duduk di balik meja resepsionis itu mendongak dan bertemu tatap dengan Alan yang wajahnya terlihat cemas.“Iya, bisa daftar dulu ya,” ucapnya sopan.Alan lalu melirik Renata yang hanya mengekor di belakangnya. “Mi, tolong isi ini,” ucap Alan dan menunjuk dagunya pada satu lembar kertas yang ada di meja, di depannya.Renata pun mendekat dan mengisi form di depannya dalam diam. Sebab, tadi di mobil sudah berdebat dengan Alan. Tidak perlu datang ke klinik karena ia akan mengompres Mauren dan akan memberikan obat penurun panas.“Mohon tunggu sebentar, kurang tiga panggilan lagi, setelah itu putri Bapak ya,” ucapnya sambil tersenyum ramah.Renata sudah seringkali berh
“Ah, apa dia tidak memiliki makanan apapun di sini?” gumam Renata saat membuka kulkas dan tidak menemukan apapun di sana kecuali dua botol air mineral berukuran sedang di pintu kulkas.“Mami …!” teriak Mauren.Suara Mauren itu mengagetkan Renata. Wanita itu buru-buru berlari menuju kamar dan mendapati Mauren yang sudah membuka matanya dengan tatapan sayu.“Sudah bangun?” tanyanya kemudian melangkah mendekat ke arah tempat tidur.“Mi, pusing,” ucap Mauren tiba-tiba.Refleks, Renata langsung menyentuh kening Mauren dengan telapak tangannya kemudian membaliknya dengan punggung tangannya. “Koq demam? Bentar Mami ambilkan kompres dulu.”Renata keluar dari kamar, menuju dapur lagi untuk mencari baskom dan kain. Sementara di dapur, wanita itu mengamati sekeliling, semua yang diperlukan tidak ada di sana.“Ah, apa yang aku harapkan di sini. Dia paling hanya numpang tidur di sini,” keluhnya lalu kembali masuk ke dalam kamar untuk menghubungi Alan.Tidak lama kemudian, Alan mengangkat teleponn
“Mau turun, gak?”“No!” jawab Renata, ia memilih bertahan di dalam mobil saja daripada harus bersama dengan Alan.“Oke,” jawab Alan lalu menutup pintu mobil. Lelaki itu berjalan ke arah belakang dan membuka pintunya.“Alan, mau dibawa ke mana Mauren?” seru Renata. Seketika kepanikan melandanya . “Biarin Mauren tidur di mobil saja!”Alan kemudian menatap Renata sekilas, kalau wanita ini ingin bertahan di dalam mobil ia tidak peduli. Tetapi ia akan membawa Mauren masuk ke dalam apartemennya.“Apa kamu gak kasihan sama Mauren tidurnya gak nyaman seperti itu.”“Aku tetap disini, Mauren juga harus tetap di sini,” sahut Renata cepat, membantah ucapan Alan.Namun, tanpa mendengarkan keinginan Renata, Alan langsung saja mengendong Mauren dan membawanya masuk.“Hey,” seru Renata. Alan menyematkan senyuman tipis kala melirik Renata yang turun dari mobil kemudian mengikuti langkahnya masuk ke dalam gedung apartemen.“Alan, aku bilang-”“Jangan berisik, Mbak!”Tanpa Renata sadari langkahnya terus
“Kamu mau buat aku malu, Alan Sanjaya?”Begitu keluar dari gedung, Renata menarik tangan lelaki itu untuk mengikutinya. Melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan orang-orang. Setelah sampai di ujung koridor yang sepi, wanita itu menghentikan langkahnya sembari berkaca pinggang. Kekesalannya sudah memuncak seiring sikap Alan yang santai seolah tidak pernah melakukan kesalahan.“Mbak …!”“Aku bukan Mbakmu!” jerit Renata frustasi, merasa muak dengan panggilan itu karena Alan memanggilnya dengan suara rendah dan lembut.Sedangkan lelaki itu mengulum senyum. Selama ini, Renata tidak pernah protes dengan cara panggilnya, tetapi tiba-tiba dia mengklaim bukan Mbaknya.“Oke, kalau begitu aku panggil Sayang saja,” ucapnya disertai kekehan, meski mata Renata sudah menyorotnya tajam, Alan tidak peduli.“Jawab aku, Alan!” bentak Renata sudah hilang kesabarannya. “Kamu mau buat aku dan Mauren malu, hah! Belum cukup ka-”Renata tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika kelima jari Alan singgah di bi
Hari ini, Alan sengaja datang ke sekolahan Mauren. Semalam, Bara mengirimkan pesan bahwa di sekolahan Mauren sedang ada acara, tidak membuang kesempatan Alan akan hadir di acara tersebut.Lelaki itu berangkat tanpa memberitahu pada sang putri. Ia tidak peduli, kalau ternyata nanti di sana akan mendapatkan penolakan. Ia bisa memastikan nanti akan bertemu dengan Renata di dalam. Sekali lagi, Alan katakan tidak peduli.Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya dia menepikan mobilnya di parkiran khusus untuk pengunjung.Sikap Alan yang ramah membuat tidak ada kecanggungan bila harus menyapa orang-orang yang sebelumnya tidak kenal. Dengan langkah tegas, tidak ada keraguan sedikitpun lelaki itu berjalan menjangkau menuju gedung Aula, tempat diadakannya acara tersebut.Ketika Alan sudah mencapai gedung tersebut, langkahnya terhenti sebab ada seorang resepsionis yang berjaga sembari menyodorkan buku tamu bagi yang akan masuk.“Selamat siang, maaf dengan wali murid siapa ya
Renata dan Alan duduk bersisihan di teras rumah. Hari ini memang Alan sengaja datang di malam hari untuk bisa bertemu dan berbicara dari hari ke hati dengan Renata. Semenjak kepulangan wanita itu dari rumah sakit dan Alan yang pindah ke apartemen, membuat keduanya jarang bertemu. Sekalinya Alan ingin mengantar Mauren ke sekolah, hal itu sudah lebih dulu dilakukan oleh Renata.Selama hampir sepuluh belas menit, tidak ada yang bersuara di antara keduanya. Hanya suara angin yang bertiup seolah memecahkan keheningan . Dan selama itu pula, tatapan Alan hanya tertuju pada wajah cantik Renata. Dari situ Alan dapat mengamati dengan jelas wajah Renata yang tidak banyak berubah setelah bertahun-tahun tidak bertemu.Sungguh bodoh, dirinya dulu meninggalkan wanita ini. Harusnya saat itu dia tidak meninggalkan Renata dan membangun keluarga kecilnya, mempertahankan wanita yang dia cintai meski jalan itu tidak akan mudah karena pertentangan dari kedua keluarga. Namun, sekarang hanya penyesalan yang
“Sayang, ayo kita foto dulu.” Bian mengandeng tangan Aluna mengajaknya ke arah dekor yang sengaja disiapkan untuk acara ijab kabulnya tadi. “Langit dan Tegar mana ya?” Netra Bian menatap kesana kemari, mencari keberadaan kedua putranya itu.“Mereka kayaknya di depan, Mas,” sahut Aluna.“Zi, tolong panggilkan Langit sama Tegar di luar,” pinta Bian yang tiba-tiba melihat keberadaan wanita itu. “Bilangin mau diajak foto keluarga.”Ziya tidak menjawab, namun langkahnya menuju luar rumah untuk memanggil kedua anak Bian itu.“Sayang, Langit, Tegar,” panggilnya sambil melambaikan tangan. “Ayah ngajakin foto dulu.”Langit dan Tegar bergegas masuk ke dalam rumah dan meninggalkan permainannya dengan anak tetangga sebelah rumah.Cekrek, cekrek, cekrek, cekrek, cekrek.Entah sudah berapa banyak dan berapa pose yang dilakukan kelima orang itu di depan kamera, Aluna sudah merasakan capek sekali.“Tenang, nanti aku pijitin kamu,” ucap Bian dengan kerlingan jahil untuk menggoda sang istri. “Ish …!” d
“Langit biar duduk di belakang, sepertinya dia ngantuk itu,” ucap Bian pada Aluna, ketika membuka pintu belakang mobil dan melirik pada pemuda kecil yang tengah menguap.Tanpa banyak protes, Langit masuk dan duduk, lebih tepatnya membaringkan tubuhnya miring menghadap ke punggung bangku kemudian menutup mata.Aluna menatap Bian tanpa berkata-kata, lelaki itu selalu tahu apapun yang terjadi pada anak-anaknya. “Padahal tadi kayaknya tidak ada tanda-tanda ngantuk deh!”Bian membukakan pintu di samping kemudi, menyuruh Aluna untuk masuk. Lantas berputar mengitari mobil dan langsung duduk di bangku kemudi. Memasang sabuk pengaman dan mulai menjalankan kereta besinya. “Sejak dipemakaman tadi matanya sudah merah, Sayang.”Entah, Aluna tiba-tiba tersipu mendengar Bian memanggilnya Sayang, mungkin juga saat ini wajahnya tengah memerah karena malu. Hingga memalingkan wajahnya ke jendela, yang ada di sampingnya.“Kamu kalau malu-malu seperti itu kayak ABG saja!”Celetukkan Bian sanggup membuat A
“Hati-hati!” seru Bian, mengeratkan tangannya yang mengenggam pergelangan tangan Langit.Kemudian, lelaki itu kembali menuntun Langit. Berjalan menyusuri jalan setapak di sela-sela antara satu makam dengan makam yang lain.Kenapa tidak dengan melangkahi makam saja kan lebih cepat. Konon katanya, menurut ceramah agama yang ia dengar, jika berziarah tidak boleh berjalan di atas makam. Sebab, menghormati jenazah di dalam kubur sama pentingnya dengan menghormati manusia yang masih hidup karena kuburan memiliki kedudukan dan sangat dimuliakan.Beberapa kuburan, gundukan tanahnya masih basah dengan taburan bunga-bunga yang masih segar. Setelah menempuh berjalan kaki yang lumayan jauh dari pintu masuk, netra Aluna berhenti pada salah satu makam tujuannya. Namun, jantungnya berdegup kencang tatkala melihat karangan bunga segar yang seseorang tinggalkan.Apakah ini bunga dari Renata? Tapi siapa lagi keluarga Ryu, selain wanita itu. Jadi Renata sudah sembuh, bukankah ia sedang di rawat di rumah