Setelah mendengarkan penjelasan sang dokter Renata bersama Bara kembali ke ruangan ICU. Kedua dokter itu hanya berdiam diri sambil tak lepas menatap ke arah brankar Ryu yang terlihat dari ruangan kaca itu. Sementara Nia mengantar Langit yang ingin membeli minuman di cafe rumah sakit. Sedikitnya, Langit sudah mulai luluh dengan istri Bara tersebut."Lalu sekarang kamu sekap dimana Ibunya Langit." tanya Bara setelah jeda panjang. Apapun alasan Renata, Bara tidak menyukai tindakan wanita itu. Apalagi melihat Langit yang masih membutuhkan Ibunya. "Dengar ak-""Dia sudah kabur!" sela Renata, tidak merasa bersalah telah berbuat kejahatan seperti itu. "Dan jangan tanya lagi kemana kabarnya karena aku tidak tahu dan tidak mau peduli."Hampir saja Bara ingin mengumpat mendengarkan kalimat Renata yang menyebalkan jika tidak melihat kedatangan Langit bersama Nia. Sang istri di tangan kirinya sedang membawa kantong kresek. Sudah bisa dipastikan semua itu makanan Langit."Oke." Rasanya sudah cukup
"Sejauh ini kondisi dokter Ryu sangat tidak baik. 80 persen kondisinya kemungkinan tidak bisa seperti sebelumnya."Aluna terus saja terngiang-ngiang ucapan dokter Wahyu. Dokter yang sedang menangani Ryu. Karena permintaan Renata, pada akhirnya Bara tidak jadi mengatakan apa yang ingin pria itu sampaikan. Merasa perlu tahu apa yang terjadi pada sang suami, Aluna pun mencari tahu sendiri dan bertanya pada perawat untuk bisa bertemu dengan dokter yang menangani sang suami.Dokter Wahyu yang Aluna temui, tidak dengan mudah memberikan informasi rekam media Ryu. Selain dokter Wahyu tidak mengenal siapa Aluna, laki-laki itu juga harus menjaga kerahasiaan semua data pasiennya. Aluna tidak bisa berbuat banyak ketika dokter Wahyu meminta maaf tidak bisa membantu memberikan penjelasan apapun tentang Ryu.“Iya, saya paham dokter,” ucap Aluna seraya menganggukan kepalanya paham.Sebenarnya ia bisa saja mengatakan pada dokter itu kalau dirinya adalah istri kedua Ryu, tetapi Aluna tidak mau melakuka
Suasana rumah sakit pagi ini sangat ramai. Semua poli, hampir ada pasien yang sedang menunggu antrian. Tetapi dari luar ruangan ICU itu seorang wanita tengah termenung seorang diri. Tatapan sendunya selalu menatap ke dalam ruangan kaca dengan berbagai macam alat kesehatan.“Pulanglah, Ren. Nanti kalau ada apa-apa sama Ryu, aku kabari segera,” ucap Bara yang datang beberapa menit yang lalu tetapi langkahnya terhenti ketika melihat wanita itu. Dari pakaian yang dikenakan, Bara tahu kalau Renata belum pulang pastinya wanita itu hanya berdiam diri sambil memandangi brankar Ryu dari balik ruangan ICU. “Kamu juga harus jaga kesehatan agar kalau Ryu bangun kamu bisa melihatnya.”Bara mengambil duduk di sebelah Renata sebelum ikut memandang ke arah Ryu yang masih betah berbaring di atas brankar. “Aku cuman gak mau jalang itu ada di sini apalagi dia menjadi orang pertama yang melihat suamiku bangun.”Bara sampai menggerakkan kepalanya dengan gerakan slow motion hanya untuk melihat wajah Ren
“Maaf, bisa bicara dengan keluarganya dokter Ryu?” dokter Wahyu menghampiri Renata dengan perasaan gundah.Bersamaan dengan itu, Bara juga datang dengan langkah tergesa. Laki-laki itu bahkan langsung berdiri di samping dokter Wahyu yang merupakan seniornya.“Apa yang sudah terjadi dengan Ryu, dok?” tanya Bara tanpa memanggil dengan sebutan dokter pada Ryu. “Apa ada yang serius?”Pandangan dokter Wahyu yang spontan tertuju pada Aluna yang berdiri di belakang Bara. Dokter berkacamata itu masih sangat jelas mengenali wanita yang menemuinya dan bertanya tentang kondisi Ryu saat itu.Sebenarnya ia juga bertanya-tanya apa hubungannya Ryu dengan wanita ini. Tetapi karena saat ini ia sedang bertugas, sementara rasa penasarannya disimpan dulu. Hanya beberapa detik kemudian, manik tegasnya menatap Renata. “Ada yang ingin saya sampaikan pada istri dokter Ryu.”Harusnya dari sini Aluna sadar, bahwa posisinya menjadi yang kedua memang tidak pernah dianggap. Namun, rasa ingin tahunya terhadap kondi
“Mas, aku … aku … hamil!”Mulut Bian terbuka tetapi tanpa sepatah kata pun terucap. Entahlah, ia sendiri juga binggung. Semestinya hal itu adalah kabar menggembirakan buat sebagian orang apalagi untuk pasangan yang sedang menantikan memiliki momongan. Namun, buat Aluna apakah juga termasuk seperti itu, Bian yakin jawabannya pasti tidak.“Mas,” lirih Aluna seolah menyadarkan Bian yang sedang melamun.Bian menatap Aluna yang seketika itu wajahnya berubah sendu dengan mata yang berkaca-kaca. Sebelah tangan pria dengan lancangnya menyentuh permukaan kulit perut Aluna lalu berucap dengan lancarnya. “Sehat-sehat di perut Mami ya, Nak! Jangan khawatir, ada Ayah di sini yang menantikan kelahiranmu ke dunia ini.”Sepersekian detik, Aluna tercengang dengan perlakuan laki-laki itu. Sebelumnya Bian tidak pernah terang-terangan menunjukkan sikapnya seperti saat ini.Melihat pelototan tajam manik Aluna, Bian segera menjauhkan tangannya dari perut wanita itu. “Maaf, kelepasan, Lun!” kekeh Bian tanpa
Renata menatap pilu pada seseorang yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit. Sudah hampir satu bulan ia datang tetapi masih belum bisa melihat wajah seseorang itu menatapnya. Ya, Ryu masih belum sadar. Kendatipun ia tidak akan bosan untuk datang.Perlahan langkah Renata berjalan menuju kursi kosong yang terletak di samping ranjang, tepat di sebelah sisi kanan lengan Ryu. Wanita itu hanya berdiam diri dan memandang wajah sang suami yang masih terlihat tampan meski ada perban yang membalut sebagian tubuh laki-laki itu.Setelah puas memandang, tangan Renata perlahan bergerak untuk menggapai tangan Ryu. Dengan sedikit gemetaran, pada akhirnya wanita itu mengenggamnya lembut. Ada rasa sesak di dadanya melihat kondisi Ryu yang belum ada kemajuan pasca kecelakaan. Tanpa terasa airmatanya mulai luruh membasahi pipinya, melihat selang infus dan semua alat bantu yang menempel di tubuh Ryu.Jauh dari dalam lubuk hatinya, ia ingin meminta maaf pada laki-laki itu. Mungkin saja kalau ia tidak n
Renata melarikan kakinya dengan tergesa menuju pintu parkir sebelah timur. Suasana tempat parkir di rumah sakit tersebut memang sudah agak ramai hingga tidak banyak tempat kosong yang ada, beruntung Renata memiliki tempat parkir khusus. Hari ini memang Renata sedikit terlambat datang karena harus mengambil rapot Mauren ke sekolahan.Setengah jam yang lalu, dokter Wahyu menghubunginya dan meminta Renata untuk segera datang. Tidak ada penjelasan apapun karena akan dijelaskan saat dirinya tiba di rumah sakit. Dalam situasi seperti ini pastilah pikiran Renata dipenuhi dengan kekhawatiran, kecemasan dan semua hal yang buruk-buruk.Sampai di ruangan dokter Wahyu, Renata mengetuknya pelan. Tidak ada jawaban Renata memberanikan diri untuk membukanya perlahan. Kosong, tidak ada dokter Wahyu di sana. Harusnya Renata langsung menuju ruang ICU, dokter Wahyu pasti ada di sana karena beliau dokter yang bertanggungjawab.Renata melanjutkan langkahnya hingga sampai di depan ruang ICU. Membuka pelan d
“Aku yang minta Aluna datang, Ren.” Suara tersebut berasal dari belakang tubuh Renata. Renata yang hapal suara itupun sontak menoleh. Laki-laki yang sudah siap akan menuju ruang operasi itu berjalan mendekat. Berdiri tepat di depan Renata. “Ryu yang minta aku untuk bawa Aluna, jadi untuk kesembuhan suami kalian berdua, aku kabulkan keinginannya! Untuk selanjutnya … tolong kerjasamanya. ”“Gak!” seru Renata tegas sembari mengelengkan kepalanya. Matanya tajam menatap Bara dengan kesal. Tidak mungkin ia bekerjasama dengan Aluna, jalang dari sang suami. Mendengar namanya saja sudah membuat sakit hati Renata bertambah apalagi harus bekerjasama.Belum lagiMelihat dan mendengar kondisi Ryu saat ini, bisa jadi tidak akan menguntungkan untuknya. Hanya Aluna yang ada dalam ingatan Ryu, sementara dirinya hanya dianggap orang lain. Maka sisi egois Renata tiba-tiba muncul. Ryu akan tetap menjadi suaminya dan tidak akan membiarkan Aluna menang darinya. Ia seolah mengingkari janjinya yang diucapkan
Setelah kejadian malam itu, Aluna seperti tidak memiliki muka lagi ketika harus bertemu dengan Bian. Selama ini hubungan keduanya tidak pernah seintim itu. Bian adalah sosok yang selalu menghormatinya dan juga menjaganya. Namun, setan apa yang membuat pria normal itu berbuat sejauh itu, Aluna bahkan tidak pernah terbayangkan sebelumnya.Namun, kejadian semalam tidak berpengaruh apa-apa dengan Bian. Lelaki itu bersikap biasa seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, datang ke rumah dan masuk begitu saja.“Lun, Langit biar bareng aku saja ya?” ucapnya yang tiba-tiba, bersandar di pintu dapur saat mengatakannya. “Biar Roni langsung ke kantor.” Ya, beberapa hari ini Langit selalu diantar jemput oleh Roni-sekretaris Bian.“Mas, jangan dibangunkan, Awan baru sejam tidur,” teriak Aluna saat melihat Bian melangkah menuju kamarnya. Lelaki itu tanpa permisi dan sungkan masuk saja.Sepertinya ucapan Aluna hanya dianggap angin oleh Bian. Nyatanya, sekarang Awan sudah berada di gendongannya.
“Mi, aku mau nasi goreng buatan Mami.” Langit duduk di sebelah Aluna yang sedang berbaring meng-ASIhi Awan. “Bisa tolong buatin kan, Mi.”“Hmm,” jawab Aluna bergumam. Nanti setelah Awan tidur, ia akan membuatkan untuk anak pertamanya itu menu kesukaannya. “Tunggu Adiknya tidur dulu ya.”Langit bisa mengerti. Setelah lahirnya Awan, ia harus berbagi Mami dengan sang Adik. Makanya Langit pun memiliki stok kesabaran yang tinggi untuk itu. Bahkan tanpa diminta oleh Aluna.Hingga setengah jam berlalu, Aluna pikir Awan sudah terlelap. Perlahan, wanita itu melepaskan diri dari mulut mungil bayi tersebut. Namun, ternyata salah. Awan merengek, pada akhirnya Aluna tidak jadi mencabut sumber ASInya. Satu jam sudah berlalu, Langit yang ditangannya sedang memegang ponsel, merasakan perutnya bergejolak.“Mami, aku lapar kapan mau buatin nasi gorengnya,” protes sang anak sudah tidak sanggup menahan laparnya.“Adiknya belum ti-”“Lama! Ya udah aku minta Ayah saja.” Langit beranjak dari kasur, sudah be
“Oke, kamu harus sembuh,” jawab Bara. Kalau memang dengan berbohong bisa membuat Renata sembuh, ia akan lakukan. “Dan nurut sama dokter kalau di suruh minum obat ataupun makan. Oke?” Sering kali Bara mendapatkan informasi kalau Renata sering tidak mau minum obat dan makan, membuat laki-laki itu memberi peringatan. Terlihat sekali tubuh Renata yang kurus karena kurang makan.“O-ke,” jawab Renata dengan pandangan kosong.Melihat seorang perawat yang baru saja datang dengan membawa makanan, Bara tidak tinggal diam untuk menyuruh menghabiskan makanan itu. “Tolong sini, Sus,” pinta Bara pada sang perawat sembari mengulurkan tangannya. Lalu tatapannya tertuju pada Renata yang masih diam sambil menatap ke arah jendela. “Makan ya, Ren!” perintahnya pada Renata, mengulurkan sepiring nasi beserta lauk pauknya.Renata hanya bergeming, tidak pun bergerak untuk mengambil piring dari tangan Bara.“Ah, lupa dia kan gak normal,” gerutu Bara dalam hati.“Ren,” panggil Bara lirih. Namun, Renata masih t
“Mami …!”Panggilan yang diucapkan Mauren tidak membuat wanita yang sedang menatap kosong ke luar jendela bergerak.“Mami … Mauren kang-”Renata menoleh, menatap ke arah Mauren. Detik berikutnya, wanita itu berteriak histeris dengan telunjuk mengarah pada Mauren di ambang pintu.“Mauren, kamu anak sialan. Pergi, pergi … pergi anak sialan kamu!”Awalnya Mauren sudah percaya diri kalau kali ini kunjungannya bakal diterima oleh sang Mami. Akan tetapi, diluar expektasinya ternyata Renata menolak kedatangannya lagi dan ini sudah yang kesekian kalinya.Sementara Alan yang berada di belakang Mauren, seketika memberikan pelukan dari samping pada anak gadisnya itu untuk menguatkan. “Biar Ayah yang coba ya,” ucapnya.“Tap-tapi ….” Suara Mauren bergetar menahan isakan. Ia bisa menerima ketika Renata membentaknya tetapi tidak mengumpatinya. Gadis berusia delapan tahun itu semakin sesak dadanya ketika melihat tatapan tajam sang Mami. Buliran bening yang sempat ditahannya tidak mampu lagi disembun
Setelah tiga hari dua malam berada di rumah sakit, akhirnya Aluna diperbolehkan pulang. Meskipun Bian memberikan kamar VVIP saat di rumah sakit, tetapi Aluna lebih menyukai tinggal di rumah sederhananya.“Sudah semua kan?” tanya Bian sambil menelisik satu persatu barang yang akan dibawanya pulang ke rumah.“Kayaknya ….” Aluna ikut berdiri di samping Bian sambil memperhatikan sekeliling, mana tahu ada yang tertinggal. “Sudah semua deh, Mas.”“Selamat siang!” Suara dokter Lia terdengar dari arah pintu.“Selamat siang, dok,” sapa Aluna menjawab salam dokter Lia. Bian hanya tersenyum menjawab sapaan dokter yang telah membantu proses kelahiran Awan.“Jadi mau pulang hari ini ya?” ucap dokter Lia setelah menatap bayi tampan Aluna yang masih tidur. “Hem … bayinya tampan seperti Ayahnya.” Dokter Lia mengatakan lagi sambil menatap Bian dengan tersenyum.“Dia bukan-”“Ah, terima kasih, dok,” sela Bian dengan terkekeh. Lalu melirik Aluna. Wanita itu sedang menatapnya geregetan dan Bian tidak pe
“Tante, nanti pulang sekolah aku boleh jenguk Mami dulu ya?” tanya Mauren pada Nia. Sudah delapan bulan, semenjak Renata berada di rumah sakit jiwa, Mauren tinggal bersama keluarga Bara. Mauren melanjutkan kunyahannya yang ada di mulutnya baru kemudian melanjutkan ucapannya. “Tapi kalau gak ada ekskul, sih.”“Jangan dulu deh, tunggu Om Bara off dulu aja ya. Nanti biar ditemani,” jawab Nia sambil mengaduk minuman hangatnya untuk sang suami. Biasanya memang Mauren di temani oleh Bara jika ingin datang ke rumah sakit. “Coba tanya sama Om Bara, kapan off.”“Tan, aku ke sana sama Ayah koq.” Mauren segera menghabiskan nasi goreng yang ada di piringnya. Menyisahkan nugget yang biasanya ia makan belakangan. “Jadi gak sama Om.”Mauren memang sudah bisa menerima kehadiran Alan sebagai Ayahnya. Tetapi hubungan mereka tidak lah terlalu dekat karena di saat butuh saja Mauren mendatangi lelaki itu. Alan pun tidak masalah jika Mauren hanya memanfaatkannya saja. Toh, ada darahnya yang mengalir di tu
Delapan bulan kemudian …Aluna meringis, merasakan nyeri itu kembali datang. Sesuai hari perkiraan lahir, harusnya masih seminggu lagi. Akan tetapi, sejak bangun tadi pagi ia merasakan beberapa kali nyeri. Merasa sudah berpengalaman saat melahirkan Langit dulu, Aluna bergegas menuju klinik.“Kita langsung ke rumah sakit saja ya,” ucap Bian. Laki-laki itu langsung berangkat menuju rumah Aluna saat di telepon Aluna. Acara meeting yang masih setengah jalan, terpaksa ia tinggalkan. Tidak masalah meninggalkan kantor, karena Aluna adalah prioritasnya saat ini.“Klinik saja, Mas!” pinta Aluna. Setiap bulan Aluna memang kontrol di klinik tersebut. Selain itu lokasi yang dekat dengan rumah, membuat tidak menghabiskan waktu di perjalanan.Desahan pelan keluar dari bibir Bian. Ia hanya ingin Aluna mendapatkan pelayanan yang terbaik dan lengkap jika datang ke rumah sakit. Tetapi wanita hamil itu ternyata masih saja keras kepala. Aluna masih trauma datang ke rumah sakit setelah kepergian Ryu. Lant
“Stop, Renata!” teriak Bara. Ketika mendengar kegaduhan di dalam kamar, ia tidak bisa menunggu lagi sampai Alan keluar. Tanpa permisi Bara membuka pintu. Untuk pertama kalinya pria itu tercengang dengan apa yang dilihatnya. Akal sehatnya masih menyangkal apa benar ini yang dilakukan oleh istri Ryu. Bara lantas mendekati Renata menarik kedua tangan wanita itu dari kepala Alan kemudian mencengkramnya dengan kuat. “Kamu mau jadi pembunuh, hah? Mau kamu membusuk di buih, hah! Kalau kamu gak bisa mengendalikan diri, terpaksa aku bawa kamu ke rumah sakit jiwa. Mau kamu seperti itu, ya?”“Pergi, Alan!” ucap Bara setelah tangan Renata terlepas dari kepala Alan. “Kamu juga, bodoh atau gimana sih, diam saja diha-”“Saya ikhlas, Mas,” sahut Alan tidak menyimpan dendam sama sekali pada Renata. “Kalau dengan seperti ini bisa membuat Mbak Renata memaafkan saya.”“Konyol itu namanya,” geram Bara. “Mati sia-sia, belum tentu dimaafkan juga.” Kembali decakan kesal keluar dari bibir Bara. “Ck, sebenarny
“Kamu …” Renata mengacungkan telunjuknya dan mengarahkan pada lelaki yang telah memanggilnya beberapa saat yang lalu. “Pergi! Brengsek, kamu!” Tanpa ragu Renata melempar bantal yang ada di sampingnya ke arah laki-laki tersebut.Bara yang masih berada di dalam kamar. Menyadari Renata yang akan mengamuk lagi, ia refleks menutup pintunya rapat. Mengangkat kedua tangannya di depan dada. “Ren, bisa tenang! Aku mau bantu kamu, tapi tolong kamu tenang. Di luar akan banyak orang, kalau kamu seperti ini mereka akan mengira kalau kamu gila. Pasti kamu tahu dimana orang gila berada, kan.”“Kamu ngatain aku gila, Mas?” Di sela amukannya Renata masih bisa berpikir normal. “Aku gak gila, Mas.” Wanita itu jatuh di lantai sambil menekuk lututnya. Suaranya bergetar dengan buliran bening yang tiba-tiba menetes di pipi. “Maaf … Mas Ryu, harusnya … aku, harusnya … aku.” Ada rasa sakit yang tak terlihat menghujam, saat menyadari tindakannya yang telah membuat Ryu menghembuskan napas terakhirnya. Kembali r