Setelah mengatur napasnya, Renata melayangkan tatapan yang tidak pernah Ryu lihat sebelumnya.“Terima kasih untuk semua rasa sakit ini.” Renata memaksakan tersenyum, senyuman penuh luka. Lalu kembali berkata, “Aku ucapkan selamat buat kamu, telah membuat hatiku hancur bahkan sudah tidak bisa disatukan lagi … suamiku!” Ryu merasakan wajahnya ditampar oleh ucapan Renata.Ryu tidak bisa menebak apa yang selanjutkan akan dilakukan sang istri. Beberapa saat yang lalu, Renata seperti orang kesetanan yang mengamuk. Sekarang, wanita itu tampak berbeda. Seolah bisa menerima semua perbuatannya. Tetapi Ryu bisa lihat ada kekecewaan yang dalam dan entah apalagi yang akan Renata lakukan setelah ini.Tiba-tiba Ryu mengingat Aluna dan Langit, bisa saja dalam diamnya Renata sedang merencanakan kejahatan untuk istri dan anaknya yang lain. Di saat seperti ini, Ryu juga harus siaga menghadapi Renata dan wajar kalau berpikiran buruk pada wanita itu.“Jangan sakiti mereka.” Ryu menggelengkan kepalanya deng
Sepanjang malam, tidur Ryu tidak tenang. Laki-laki itu gusar, hanya membolak-balik tubuhnya saja tanpa bisa memejamkan mata. Selama ini di sampingnya selalu ada Renata, yang memeluknya atau teman ngobrol. Namun, sekarang Ryu hanya ditemani guling karena Renata tidak mau masuk kamar seusai pertengkaran di taman.Ryu menertawakan dirinya sendiri. Di saat seperti ini, ia merindukan istri yang telah disakiti. Berharap semua akan seperti biasanya, nyatanya itu tidak mungkin. Kehilangan, ya, itulah yang sekarang Ryu rasakan. Kehilangan pelukan Renata yang entah sampai kapan. Entahlah, di jam berapa Ryu baru bisa tidur.Maniknya mengerjap ketika mendengar teriak Mauren dari balik pintu.“Papi, bangun! Papi …! Papi …!”Laki-laki itu bergegas bangun meski dengan mata yang masih belum terbuka sempurna. Kemudian berjalan menuju pintu lalu membukanya. Mauren sudah berdiri dengan memakai seragam lengkap.“Papi mau anterin aku?” tanya Mauren. “Mami masih tidur, katanya hari ini gak kerja.”“Mami ke
“Mas!” Aluna terbelalak, ketika membuka pintu sudah berdiri sosok yang semalaman sedang ia khawatirkan. Ryu mendekat, menatap wajah Aluna dengan tatapan yang berbeda dari biasanya. Tangannya terulur untuk menyentuh garis rahang Aluna. Detik berikutnya ia berbisik, “Maaf.”“Untuk ap-”Ucapan Aluna tercekat ketika Ryu mencium bibirnya. Laki-laki itu mendorong tubuh Aluna lebih masuk ke dalam rumah melewati pintu hingga tubuh Aluna terbentur tembok. Semakin lama, pagutan Ryu semakin dalam dan terburu. Sementara Aluna merasakan emosi dalam ciuman Ryu.“Mas!” Aluna meronta kemudian mendorong tubuh kekar Ryu dengan napas tersengal. “Kamu kenapa?”Tidak ada jawaban, Ryu menatapnya datar lantas mengikis jarak. Hampir saja akan mencium Aluna kembali ketika suara Langit menginterupsinya.“Papi!”Sontak Aluna dan Ryu menoleh ke sumber suara, menatap Langit yang berjalan menuruni anak tangga. Ryu tersenyum hangat lalu menghampiri Langit, merentangkan kedua tangannya dan membawa sang putra dalam
“Kalau aku hamil bagaimana?”Tangan Ryu bergerak untuk merapikan rambut Aluna yang kemudian menyelipkan di belakang telinga. Setelahnya mencium kening sang istri dengan lembut. “Ya, gak gimana-gimana. Langit pasti seneng banget kalau punya adik. Akhh!”Aluna yang gemas, langsung saja menyelipkan tangannya di bawah selimut, lalu mencubit sedikit keras pada perut Ryu. “Santai banget ngomongnya. Kamu gak pikirin perasaan aku, hah!”Ryu mendesis, sambil mengusapi perutnya yang tanpa penghalang di cubit Aluna.“Daripada di cubit mending di elus saja,” ucap Ryu dan membawa tangan wanita itu ke perutnya, tepatnya ke bekas cubitan Aluna tadi.Namun, Aluna terpekik setelahnya kala Ryu dengan isengnya malah mengarahkan tangan Aluna untuk lebih turun ke bawah dan hampir menyentuh milik Ryu yang sekarang sudah mengeras kembali.Beberapa saat yang lalu, tepatnya setelah Aluna melabuhkan ciuman ke bibir Ryu. Ryu dengan beraninya meminta hak sebagai suami, yang harusnya ia dapatkan setelah ikrar ija
“Jangan jadi laki-laki brengsek, loe!”Bara memberikan kalimat sarkas, setelah mendengar penjelasan dari Ryu tentang pernikahannya dengan Aluna. Bara mengepalkan kedua tangannya, dadanya bergerumuh hebat. Kalau saja Ryu ada di hadapannya bisa dipastikan pria itu akan mendapatkan bogeman dari Bara.“Tangan gue sudah gatel pengen nonjok muka loe yang sok oke pakai punya dua istri!” lanjutnya masih belum puas memaki.Ryu terkekeh, mesti ucapan Bara menyakitkan tapi ia yakin temannya itu tidak bermaksud seperti itu. “Loe gak paham posisi gue,” kata Ryu dengan santai padahal emosi Bara tengah di ujung kepalanya. Kekesalan Bara bertambah dengan ucapan Ryu.“Hey, kalau sudah brengsek ya tetep brengsek, loe. Gak usah cari-cari alasan buat cari simpati!” teriak Bara, tidak bisa bersabar lagi menghadapi Ryu. Bahkan Aluna yang ada di samping Ryu terkesiap mendengar teriakan Bara. “Loe bisa tanggung jawab dengan anak loe tapi enggak juga harus nikahin mantan loe juga kali. Bukan gue membela Ren
Ryu hanya bergeming di teras rumah Aluna. Maniknya menatap ke arah jalanan, dengan pandangan kosong. Mengingat ucapan Mauren, gadis itu mengatakan kalau kangen dengan sang Papi. Apa yang dilakukan Ryu kali ini sangat menyakitkan untuk Mauren. Biasanya Ryu akan memberi kabar pada sang putri jika ia sedang tidak berada dekat dengan Mauren. Namun, kali ini Ryu tanpa memberi kabar dan tidak pulang ke rumah.“Pulanglah!” ucap Aluna yang tiba-tiba datang dengan minuman hangat, meletakkan cangkir di meja lalu duduk di samping Ryu. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman menyedihkan. “Aku … ingat Langit, saat dia minta ketemu dengan Papinya.” Helaan napas berat meluncur dari bibirnya. “Dan aku bisa merasakan sakitnya bagaimana.” Perlahan netra Aluna menatap Ryu yang masih tidak merubah pandangannya.Keduanya diam untuk beberapa saat hingga suara Ryu yang mengawali pembicaraan.“Kalau aku pulang, gimana dengan kalian?” Ryu menoleh menatap lekat ke arah Aluna. “Kita baru saja bahagia, Lun.
Mauren begitu bahagia dengan kedatangan Ryu. Gadis kecil itu bahkan tidak mau jauh dari Ryu, sedetik pun. Dan sikapnya yang beberapa hari murung, berganti dengan senyum penuh kebahagiaan. Mauren tidak tahu masalah yang dihadapi kedua orang tuanya. Satu yang pasti, Ryu masih tetap bersamanya, di rumah ini.Sementara Renata sikapnya masih dingin dengan Ryu. Hatinya masih sakit dengan perbuatan sang suami.“Mi, kita jalan-jalan ya hari Minggu besok, boleh? Aku, Mami sama Papi. Seperti biasanya, ke mall, makan dan apa saja.”Tawa riang Mauren memenuhi ruang keluarga, tempat dimana mereka sekarang sedang duduk.Melihat senyum merekah Mauren, membuat Ryu tidak tega untuk menolak permintaan sang putri.Ryu menatap manik Mauren kemudian memberikan seulas senyuman. “Boleh.” Bagaimanapun, Mauren tidak bersalah dan ia ingin memberikan kebahagiaan untuk putrinya itu.Tampaknya Mauren belum merasa lega pasalnya Renata tidak merespon ucapannya. Ditatapnya wajah sang Mami lekat-lekat, kemarin wanita
“Mi, kenapa Papi gak bilang aku sih kalau mau ke luar kota?”Langit merajuk karena tidak dipamiti Ryu. Beberapa hari ini Ryu selalu menemaninya sarapan sebelum berangkat ke sekolah tetapi saat ini tidak melihat keberadaannya dan tahu-tahu Aluna mengatakan kalau Ryu sedang berada di luar kota.“Kemarin keburu-buru, Sayang. Jadi gak sempet. Mami udah pernah bilang kan kalau seorang Dokter itu, kapan saja dibutuhkan harus selalu siap. Nah, Papi kan sekarang sedang dibutuhkan jadi mau gak mau harus pergi.” Aluna mencoba memberi penjelasan pada Langit, mengingat kemarin Ryu pergi tanpa berpamitan pada sang anak.“Iya, aku tahu, Mi,” tandas Langit. Tapi sebenarnya bukan seperti itu jawaban yang diinginkannya. Kenapa Ryu tidak memberitahu via telepon saja kalau tidak bisa bertemu langsung. “Kan telepon bisa, Mi. Aku telepon sekarang saja ya?”Aluna menghentikan pergerakannya dari menyiapkan sarapan untuk Langit. Ia akan memberikan Ryu waktu untuk menyelesaikan urusannya dengan istrinya dan t
“Mami …!”Panggilan yang diucapkan Mauren tidak membuat wanita yang sedang menatap kosong ke luar jendela bergerak.“Mami … Mauren kang-”Renata menoleh, menatap ke arah Mauren. Detik berikutnya, wanita itu berteriak histeris dengan telunjuk mengarah pada Mauren di ambang pintu.“Mauren, kamu anak sialan. Pergi, pergi … pergi anak sialan kamu!”Awalnya Mauren sudah percaya diri kalau kali ini kunjungannya bakal diterima oleh sang Mami. Akan tetapi, diluar expektasinya ternyata Renata menolak kedatangannya lagi dan ini sudah yang kesekian kalinya.Sementara Alan yang berada di belakang Mauren, seketika memberikan pelukan dari samping pada anak gadisnya itu untuk menguatkan. “Biar Ayah yang coba ya,” ucapnya.“Tap-tapi ….” Suara Mauren bergetar menahan isakan. Ia bisa menerima ketika Renata membentaknya tetapi tidak mengumpatinya. Gadis berusia delapan tahun itu semakin sesak dadanya ketika melihat tatapan tajam sang Mami. Buliran bening yang sempat ditahannya tidak mampu lagi disembun
Setelah tiga hari dua malam berada di rumah sakit, akhirnya Aluna diperbolehkan pulang. Meskipun Bian memberikan kamar VVIP saat di rumah sakit, tetapi Aluna lebih menyukai tinggal di rumah sederhananya.“Sudah semua kan?” tanya Bian sambil menelisik satu persatu barang yang akan dibawanya pulang ke rumah.“Kayaknya ….” Aluna ikut berdiri di samping Bian sambil memperhatikan sekeliling, mana tahu ada yang tertinggal. “Sudah semua deh, Mas.”“Selamat siang!” Suara dokter Lia terdengar dari arah pintu.“Selamat siang, dok,” sapa Aluna menjawab salam dokter Lia. Bian hanya tersenyum menjawab sapaan dokter yang telah membantu proses kelahiran Awan.“Jadi mau pulang hari ini ya?” ucap dokter Lia setelah menatap bayi tampan Aluna yang masih tidur. “Hem … bayinya tampan seperti Ayahnya.” Dokter Lia mengatakan lagi sambil menatap Bian dengan tersenyum.“Dia bukan-”“Ah, terima kasih, dok,” sela Bian dengan terkekeh. Lalu melirik Aluna. Wanita itu sedang menatapnya geregetan dan Bian tidak pe
“Tante, nanti pulang sekolah aku boleh jenguk Mami dulu ya?” tanya Mauren pada Nia. Sudah delapan bulan, semenjak Renata berada di rumah sakit jiwa, Mauren tinggal bersama keluarga Bara. Mauren melanjutkan kunyahannya yang ada di mulutnya baru kemudian melanjutkan ucapannya. “Tapi kalau gak ada ekskul, sih.”“Jangan dulu deh, tunggu Om Bara off dulu aja ya. Nanti biar ditemani,” jawab Nia sambil mengaduk minuman hangatnya untuk sang suami. Biasanya memang Mauren di temani oleh Bara jika ingin datang ke rumah sakit. “Coba tanya sama Om Bara, kapan off.”“Tan, aku ke sana sama Ayah koq.” Mauren segera menghabiskan nasi goreng yang ada di piringnya. Menyisahkan nugget yang biasanya ia makan belakangan. “Jadi gak sama Om.”Mauren memang sudah bisa menerima kehadiran Alan sebagai Ayahnya. Tetapi hubungan mereka tidak lah terlalu dekat karena di saat butuh saja Mauren mendatangi lelaki itu. Alan pun tidak masalah jika Mauren hanya memanfaatkannya saja. Toh, ada darahnya yang mengalir di tu
Delapan bulan kemudian …Aluna meringis, merasakan nyeri itu kembali datang. Sesuai hari perkiraan lahir, harusnya masih seminggu lagi. Akan tetapi, sejak bangun tadi pagi ia merasakan beberapa kali nyeri. Merasa sudah berpengalaman saat melahirkan Langit dulu, Aluna bergegas menuju klinik.“Kita langsung ke rumah sakit saja ya,” ucap Bian. Laki-laki itu langsung berangkat menuju rumah Aluna saat di telepon Aluna. Acara meeting yang masih setengah jalan, terpaksa ia tinggalkan. Tidak masalah meninggalkan kantor, karena Aluna adalah prioritasnya saat ini.“Klinik saja, Mas!” pinta Aluna. Setiap bulan Aluna memang kontrol di klinik tersebut. Selain itu lokasi yang dekat dengan rumah, membuat tidak menghabiskan waktu di perjalanan.Desahan pelan keluar dari bibir Bian. Ia hanya ingin Aluna mendapatkan pelayanan yang terbaik dan lengkap jika datang ke rumah sakit. Tetapi wanita hamil itu ternyata masih saja keras kepala. Aluna masih trauma datang ke rumah sakit setelah kepergian Ryu. Lant
“Stop, Renata!” teriak Bara. Ketika mendengar kegaduhan di dalam kamar, ia tidak bisa menunggu lagi sampai Alan keluar. Tanpa permisi Bara membuka pintu. Untuk pertama kalinya pria itu tercengang dengan apa yang dilihatnya. Akal sehatnya masih menyangkal apa benar ini yang dilakukan oleh istri Ryu. Bara lantas mendekati Renata menarik kedua tangan wanita itu dari kepala Alan kemudian mencengkramnya dengan kuat. “Kamu mau jadi pembunuh, hah? Mau kamu membusuk di buih, hah! Kalau kamu gak bisa mengendalikan diri, terpaksa aku bawa kamu ke rumah sakit jiwa. Mau kamu seperti itu, ya?”“Pergi, Alan!” ucap Bara setelah tangan Renata terlepas dari kepala Alan. “Kamu juga, bodoh atau gimana sih, diam saja diha-”“Saya ikhlas, Mas,” sahut Alan tidak menyimpan dendam sama sekali pada Renata. “Kalau dengan seperti ini bisa membuat Mbak Renata memaafkan saya.”“Konyol itu namanya,” geram Bara. “Mati sia-sia, belum tentu dimaafkan juga.” Kembali decakan kesal keluar dari bibir Bara. “Ck, sebenarny
“Kamu …” Renata mengacungkan telunjuknya dan mengarahkan pada lelaki yang telah memanggilnya beberapa saat yang lalu. “Pergi! Brengsek, kamu!” Tanpa ragu Renata melempar bantal yang ada di sampingnya ke arah laki-laki tersebut.Bara yang masih berada di dalam kamar. Menyadari Renata yang akan mengamuk lagi, ia refleks menutup pintunya rapat. Mengangkat kedua tangannya di depan dada. “Ren, bisa tenang! Aku mau bantu kamu, tapi tolong kamu tenang. Di luar akan banyak orang, kalau kamu seperti ini mereka akan mengira kalau kamu gila. Pasti kamu tahu dimana orang gila berada, kan.”“Kamu ngatain aku gila, Mas?” Di sela amukannya Renata masih bisa berpikir normal. “Aku gak gila, Mas.” Wanita itu jatuh di lantai sambil menekuk lututnya. Suaranya bergetar dengan buliran bening yang tiba-tiba menetes di pipi. “Maaf … Mas Ryu, harusnya … aku, harusnya … aku.” Ada rasa sakit yang tak terlihat menghujam, saat menyadari tindakannya yang telah membuat Ryu menghembuskan napas terakhirnya. Kembali r
“Gimana keadaannya, Mas?”Bara baru saja menutup pintu kamar berwarna putih itu, menoleh ke samping, ada sebelah tangan memeluk lengannya. Berdiri sang istri dengan wajah khawatir. Ia memang merutuki apa yang diperbuat Renata, tetapi melihat kondisinya yang sekarang membuatnya sangat iba. Bara tidak langsung menjawab, laki-laki itu menghela sebentar lalu menatap pintu yang ia tutup barusan. Tidak akan mengira apa yang telah terjadi pada Renata. Jiwanya terguncang setelah melihat sang suami dikubur di bawah tanah. Sementara istri Ryu yang satunya terlihat tegar dan bisa menerima takdir ini. Berjalan menuju sofa yang ada di depannya lantas mendudukan bokongnya di sana. Nia yang tidak melepaskan lengan Bara, mengikuti dengan duduk di sofa yang sama.“Aku pikir, kalau dia masih belum ada perubahan, kita bawa ke rumah sakit saja,” jawabnya lirih. Setelah mengamuk dan berteriak histeris di pemakaman, Bara telah berhasil menenangkan. Namun, ketika sudah sampai di rumah, Renata mengamuk lagi
“Ayah, sekarang aku sudah tidak punya Papi lagi.”Suara Langit memecahkan keheningan diantara ketiga orang yang sedang berada di dalam mobil. Setelah Bian mengatakan untuk mengajak pulang Aluna, wanita itu menurut. Meski hatinya masih tidak rela untuk meninggalkan pemakaman Ryu. Bian benar, ini adalah takdir yang harus Aluna jalani.Kepala Bian menoleh, tujuannya bukan Langit, melainkan Aluna yang berada di sampingnya. Tatapan penuh kesedihan tidak pernah lepas dari jalanan di depannya. Walaupun Bian tahu, Aluna pasti terusik dengan kalimat Langit tersebut.Lalu sentuhan tangan Bian pada punggung tangan wanita itu, meremasnya dengan lembut. “Are you oke?”“Hmm.” Aluna menjawab hanya bergumam. Wanita itu seolah tidak memiliki gairah hidup setelah kehilangan Ryu. Bian paham, dibalik sifat keras ingin meninggalkan Ryu, Aluna sangat mencintai mantan suaminya itu. Aluna lantas mengusap perutnya yang masih rata, seketika terhenyak, kalau di sana ada kehidupan lain, ada calon anaknya. Makany
“Gak mungkin!”Sesaat setelah mengatakan itu, tubuh Aluna ambruk. Dengan sigap, Bian melepaskan genggaman tangan Langit dan meraih pinggang Aluna, lalu mendekapnya dengan erat.“Mami!” Langit mendekati Aluna menampilkan wajah ketakutan. Matanya berembun dengan suara bergetar. “Ayah, Mamiku kenapa?”“Langit cari duduk dulu ya, Ayah urus Mami dulu.” Di saat seperti ini, Bian tidak bisa mengurusi dua orang sekaligus. “Iya,” jawab Langit kemudian meranjak menuju bangku yang tidak jauh dari Bian. Bocah laki-laki itu masih belum paham situasi yang ada. Namun, Bian bisa melihat kalau tangannya beberapa kali mengusap pipi.“Aluna bangun!” panggil Bian sambil menepuk-nepuk pipinya. Saat maniknya bertatapan dengan bangku di sebelah Langit, Bian segera mengangkat tubuh Aluna. Merutuki kebodohannya, harusnya ia bisa pelan-pelan memberitahu Aluna. Melupakan kalau Aluna sedang hamil dan ibu hamil tidak boleh banyak pikiran apalagi stress. “Maaf, harusnya aku-”“Ini ada apa?”Bian sontak mengangka