“Maaf, bukannya waktu itu Pak Ryu sudah tidak memperpanjang permasalahannya ya, Bu?” tanya Ibu Martha selaku kepala sekolah, saat Aluna tiba-tiba datang menemuinya.Aluna mengerti, pasti keputusannya ini akan disangkut pautkan dengan perdebatannya dengan Ryu waktu itu. “Memang, Bu. Tetapi ini keputusan dari saya pribadi. Kebetulan saya akan pindah rumah dan disana ada sekolahan yang dekat dari rumah.” Aluna mengatakan dengan tenang.“Oh, begitu ya, Bu. Sayang sekali harus pindah ya, padahal mau kenaikan kelas.”Aluna memang tidak memikirkan hal itu, yang penting Langit harus pindah dari sekolah ini. Dan ia berharap Ryu tidak akan mencarinya. Semalaman ia berpikir keras, obrolan dengan Ryu sudah terlalu jauh dan ia harus tegas mengambil keputusan.“Tidak papa, Bu,” jawab Aluna. Menurutnya, kepindahan sekolah Langit harus segera dilakukan agar Ryu tidak akan kembali mengusiknya.“Tapi, Ibu harus melalui proses terlebih dahulu. Jadi begini ….” Ibu Marta menjeda ucapannya mengambil kertas
Drrrrttt …Drrrrttt …Aluna melirik ponsel yang ia letakkan di dashboard mobil usai berbincang dengan Bian beberapa saat yang lalu.“Mas Bian,” gumamnya. Dengan tergesa Aluna langsung menerima panggilan tersebut. Pikirannya sontak tertuju pada Langit, mungkin telah terjadi sesuatu di rumah.“Ya, Mas,” jawab Aluna dengan perasaan yang tidak baik.“Lun, mantan suami kamu ada di sini,” sahut Bian di sana. “Aku sudah usir dia baik-baik tapi gagal, malah sekarang ia tidur di kamar sama Langit.”Cittt …Aluna seketika menghentikan mobilnya, beruntung tidak ada kendaraan di belakangnya.“Lun, Aluna … kamu kenapa?” teriak Bian karena tidak mendapat respon dari Aluna.Kemampuan berbicara Aluna mendadak menghilang. Kenapa Ryu jadi bersikap kurang ajar begitu. Harusnya pria itu menghormati batasan yang diberikan Aluna. Kemarin menerobos masuk sekarang tidur di kamarnya. Besok apa lagi, Aluna sampai memijat pelipisnya.“I-iya, Mas.” Aluna membalas panggilan Bian. “Tunggu, limabelas menit lagi aku
Ryu menepati janjinya.Ia selalu datang untuk menemui Langit setelah pulang dari rumah sakit. Pria itu selalu membawakan Langit hadiah setiap kali datang. Jangan tanyakan bagaimana bahagianya Langit. Dihadirkan sosok Papi yang selalu ditunggu-tunggu kedatangannya, ditambah bonus mainan.Dan ini hari ketiga Ryu datang dengan membawa remote car. Sebelumnya, di hari pertama sejak pengakuan Ryu adalah Papinya Langit, lelaki itu membawakan mainan robot yang lumayan mahal, dilihat dari kecanggihan dan ukurannya yang besar. Tampaknya Ryu tidak memikirkan harganya, mengingat robot itu pernah Aluna lihat kalau limited edition.Sedangkan hari keduanya, Ryu membawakan sepeda untuk Langit. Putranya bukan tidak memiliki sepeda, melainkan Ryu membelikan sepeda yang lebih canggih dari yang dimiliki Langit sebelumnya.“Pi, kata Mami besok aku masuk sekolah lagi,” ujar Langit pada Ryu. Putranya itu sedang berbaring di pangkuannya, setelah kelelahan bermain. Tangan Ryu mengusap-usap kepala Langit sambi
Renata mendecakan lidahnya ketika suara sirine mobil ambulans lebih kencang daripada suara seseorang yang menjawab pertanyaannya.“Apa!”Sesaat kemudian, ia menyadari bahwa sedang menelpon poli UGD. Buru-buru Renata memutus panggilan sepihak, bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka, seseorang berdiri di ambang pintu .“Mas, kamu darimana aja koq baru pulang?” tanya Renata menghampiri Ryu yang datang dengan wajah lelahnya. “Aku khawatir makanya barusan telepon rumah sakit.”“Kamu telepon rumah sakit?” Ryu mengernyit, tampak terkejut. Tidak biasanya sang istri melakukan hal itu. “Untuk apa?”Tangan Renata tiba-tiba mengalungkan pada leher Ryu. “Iya, hp kamu mati, Mas.”“Oh,” jawab Ryu santai, melirik kedua tangan Renata di lehernya tanpa mau melepasnya.Renata menempelkan tubuhnya dengan sang suami, berjinjit kemudian mendaratkan bibirnya pada bibir Ryu, mengecupnya sekilas. “Kenapa hanya oh saja? Memangnya kamu darimana sih, Mas?” Renata masih penasaran dengan jawaban Ryu.Melihat ke
“Baik, kalau begitu kami permisi, Bu.”Aluna pamit lalu membungkukkan badannya pada wali kelas Langit. Ryu yang berada di sampingnya hanya menampilkan senyuman saja.Tak berselang lama, kedua mantan suami istri itu berjalan bersisihan meninggalkan sekolahan. Setelah berkenalan dengan wali kelas dan mengantar Langit ke kelas barunya.“Setelah ini mau kemana, biar aku antar,” tanya Ryu yang memang belum mengetahui kegiatan Aluna apa saja setiap harinya. Jujur, ia merasa malu tidak pernah bertanya sebelumnya. Selama ini, pertemuan mereka lebih banyak membahas masa lalu dan juga tentang Langit.Aluna terus berjalan dan berujar, “Gak perlu, aku naik taxi.”“Aku antar, Aluna,” ucap Ryu sedikit memaksa. “Sekalian ada yang mau aku obrolin sama kamu.” Ryu menarik tangan Aluna dan tidak membiarkan mantannya itu menolak.Aluna mendengus, Ryu kembali ke setelan awal, pria itu sukanya melakukan pemaksaan.“Aku sudah bil-”“Nurut kenapa sih, Lun!” sela Ryu tanpa melepas tangan Aluna seraya membawa
“Aku ….”Suara Aluna terhenti seiring dering ponsel miliknya yang berada di dalam tas. Dengan cekatan ia mengambil dan melihat siapa yang menelpon. Nomor asing, Aluna sudah terbiasa untuk menjawabnya. Profesinya sebagai Dosen, tidak mungkin ia akan menyimpan semua nomor hp mahasiswanya.“Siapa?” tanya Bian penasaran.“Belum tahu,” sahut Aluna lalu segera mengeser icon hijau pada benda pipih elektronik tersebut. “Halo!”“Selamat siang, Ibu. Maaf, ini dengan wali murid dari Langit Yudhistira ya?” tanya wanita disebrang sana saat Aluna sudah menyapa.“Iya, ini dengan siapa ya?” Aluna bertanya balik setelah menjawab pertanyaan penelpon.“Perkenalkan saya Ibu Rose, wali kelas dari Langit Yudhistira.”“Iya, Ibu Rose, salam kenal juga. Saya Maminya Langit,” jawab Aluna dengan sedikit tegang. “Maaf, apa ada masalah dengan anak saya, Bu?”“Oh, tidak. Saya mohon ijin untuk memasukkan nomor Ibu ke group kelas, untuk kemudahan penyampaian segala informasi yang berkaitan dengan sekolahan.”“Oh, si
“Papi …!” teriak Langkit kala melihat mobil Ryu terparkir di depan pagar rumah.Ryu langsung merentangkan kedua tangannya saat Langit mendekat kemudian berhamburan kedalam dekapannya. Tangan besar Ryu mengusap punggung kecil sang putra. Beberapa saak kemudian, Langit mengurai pelukan teringat sesuatu.“Kenapa?” tanya Ryu yang heran dengan perubahan wajah sang anak.Langit melepaskan diri dari Ryu lalu memberi jarak agar bisa bertemu tatap dengan pria dewasa itu. Kedua tangannya di lipat di depan dada sembari mendongak, bola matanya melebar.“Kenapa kemarin gak datang? Apa operasinya Papi sampai malam? Sampai aku tidur, iya?” cecar Langit. Kemarin setelah Bian memberi kesenangan, ia teringat kembli dengan Ryu. Wajar yang ia lakukan mengingat Ryu telah berjanji akan ada untuknya dan juga untuk sang Mami.“Masuk yuk!” Ryu mengandeng tangan Langit seraya mengangkat paper bag yang lumayan besar dan sengaja di letakkan asal saat akan memeluk Langit tadi.Keduanya masuk rumah dan disambut sen
“Mas, apa di rumah sakit ada perombakan jadwal?” tanya Renata. Memandang ke arah Ryu dari pantulan cermin, meja rias. Wanita itu sedang memakai cream malam, aktifitasnya sebelum tidur. “Kamu itu sering banget lho pulang malam!”Ryu tak menjawab. Tiba-tiba lidahnya terasa kelu. Sebelumnya Renata juga pernah bertanya, tetapi ia masih mencoba mencari alasan. Dan sekarang tidak mungkin ia menggunakan alasan yang sama.“Mas!” desah Renata melihat Ryu yang hanya diam saja. “Jangan buat aku berpikir buruk sama kamu ya.”Sebagai seorang istri, wajar kalau Renata curiga. Wajah yang tampan, profesi yang menjanjikan dan tentunya siapa yang tidak mengenal Ryu, putra dari pemilik rumah sakit. Pasti banyak wanita-wanita yang ingin mendekatinya. Di tambah lagi, pembawaan Ryu yang ramah. Tidak ada yang tidak terpesona oleh paras sang Dokter.“Jangan ngaco, buang pikiran burukmu itu!” Ryu mengalihkan perhatian dari ponsel di genggamannya, meletakkan ponselnya di nakas, lalu bergegas berdiri. Mungkin m
“Mau turun, gak?”“No!” jawab Renata, ia memilih bertahan di dalam mobil saja daripada harus bersama dengan Alan.“Oke,” jawab Alan lalu menutup pintu mobil. Lelaki itu berjalan ke arah belakang dan membuka pintunya.“Alan, mau dibawa ke mana Mauren?” seru Renata. Seketika kepanikan melandanya . “Biarin Mauren tidur di mobil saja!”Alan kemudian menatap Renata sekilas, kalau wanita ini ingin bertahan di dalam mobil ia tidak peduli. Tetapi ia akan membawa Mauren masuk ke dalam apartemennya.“Apa kamu gak kasihan sama Mauren tidurnya gak nyaman seperti itu.”“Aku tetap disini, Mauren juga harus tetap di sini,” sahut Renata cepat, membantah ucapan Alan.Namun, tanpa mendengarkan keinginan Renata, Alan langsung saja mengendong Mauren dan membawanya masuk.“Hey,” seru Renata. Alan menyematkan senyuman tipis kala melirik Renata yang turun dari mobil kemudian mengikuti langkahnya masuk ke dalam gedung apartemen.“Alan, aku bilang-”“Jangan berisik, Mbak!”Tanpa Renata sadari langkahnya terus
“Kamu mau buat aku malu, Alan Sanjaya?”Begitu keluar dari gedung, Renata menarik tangan lelaki itu untuk mengikutinya. Melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan orang-orang. Setelah sampai di ujung koridor yang sepi, wanita itu menghentikan langkahnya sembari berkaca pinggang. Kekesalannya sudah memuncak seiring sikap Alan yang santai seolah tidak pernah melakukan kesalahan.“Mbak …!”“Aku bukan Mbakmu!” jerit Renata frustasi, merasa muak dengan panggilan itu karena Alan memanggilnya dengan suara rendah dan lembut.Sedangkan lelaki itu mengulum senyum. Selama ini, Renata tidak pernah protes dengan cara panggilnya, tetapi tiba-tiba dia mengklaim bukan Mbaknya.“Oke, kalau begitu aku panggil Sayang saja,” ucapnya disertai kekehan, meski mata Renata sudah menyorotnya tajam, Alan tidak peduli.“Jawab aku, Alan!” bentak Renata sudah hilang kesabarannya. “Kamu mau buat aku dan Mauren malu, hah! Belum cukup ka-”Renata tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika kelima jari Alan singgah di bi
Hari ini, Alan sengaja datang ke sekolahan Mauren. Semalam, Bara mengirimkan pesan bahwa di sekolahan Mauren sedang ada acara, tidak membuang kesempatan Alan akan hadir di acara tersebut.Lelaki itu berangkat tanpa memberitahu pada sang putri. Ia tidak peduli, kalau ternyata nanti di sana akan mendapatkan penolakan. Ia bisa memastikan nanti akan bertemu dengan Renata di dalam. Sekali lagi, Alan katakan tidak peduli.Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya dia menepikan mobilnya di parkiran khusus untuk pengunjung.Sikap Alan yang ramah membuat tidak ada kecanggungan bila harus menyapa orang-orang yang sebelumnya tidak kenal. Dengan langkah tegas, tidak ada keraguan sedikitpun lelaki itu berjalan menjangkau menuju gedung Aula, tempat diadakannya acara tersebut.Ketika Alan sudah mencapai gedung tersebut, langkahnya terhenti sebab ada seorang resepsionis yang berjaga sembari menyodorkan buku tamu bagi yang akan masuk.“Selamat siang, maaf dengan wali murid siapa ya
Renata dan Alan duduk bersisihan di teras rumah. Hari ini memang Alan sengaja datang di malam hari untuk bisa bertemu dan berbicara dari hari ke hati dengan Renata. Semenjak kepulangan wanita itu dari rumah sakit dan Alan yang pindah ke apartemen, membuat keduanya jarang bertemu. Sekalinya Alan ingin mengantar Mauren ke sekolah, hal itu sudah lebih dulu dilakukan oleh Renata.Selama hampir sepuluh belas menit, tidak ada yang bersuara di antara keduanya. Hanya suara angin yang bertiup seolah memecahkan keheningan . Dan selama itu pula, tatapan Alan hanya tertuju pada wajah cantik Renata. Dari situ Alan dapat mengamati dengan jelas wajah Renata yang tidak banyak berubah setelah bertahun-tahun tidak bertemu.Sungguh bodoh, dirinya dulu meninggalkan wanita ini. Harusnya saat itu dia tidak meninggalkan Renata dan membangun keluarga kecilnya, mempertahankan wanita yang dia cintai meski jalan itu tidak akan mudah karena pertentangan dari kedua keluarga. Namun, sekarang hanya penyesalan yang
“Sayang, ayo kita foto dulu.” Bian mengandeng tangan Aluna mengajaknya ke arah dekor yang sengaja disiapkan untuk acara ijab kabulnya tadi. “Langit dan Tegar mana ya?” Netra Bian menatap kesana kemari, mencari keberadaan kedua putranya itu.“Mereka kayaknya di depan, Mas,” sahut Aluna.“Zi, tolong panggilkan Langit sama Tegar di luar,” pinta Bian yang tiba-tiba melihat keberadaan wanita itu. “Bilangin mau diajak foto keluarga.”Ziya tidak menjawab, namun langkahnya menuju luar rumah untuk memanggil kedua anak Bian itu.“Sayang, Langit, Tegar,” panggilnya sambil melambaikan tangan. “Ayah ngajakin foto dulu.”Langit dan Tegar bergegas masuk ke dalam rumah dan meninggalkan permainannya dengan anak tetangga sebelah rumah.Cekrek, cekrek, cekrek, cekrek, cekrek.Entah sudah berapa banyak dan berapa pose yang dilakukan kelima orang itu di depan kamera, Aluna sudah merasakan capek sekali.“Tenang, nanti aku pijitin kamu,” ucap Bian dengan kerlingan jahil untuk menggoda sang istri. “Ish …!” d
“Langit biar duduk di belakang, sepertinya dia ngantuk itu,” ucap Bian pada Aluna, ketika membuka pintu belakang mobil dan melirik pada pemuda kecil yang tengah menguap.Tanpa banyak protes, Langit masuk dan duduk, lebih tepatnya membaringkan tubuhnya miring menghadap ke punggung bangku kemudian menutup mata.Aluna menatap Bian tanpa berkata-kata, lelaki itu selalu tahu apapun yang terjadi pada anak-anaknya. “Padahal tadi kayaknya tidak ada tanda-tanda ngantuk deh!”Bian membukakan pintu di samping kemudi, menyuruh Aluna untuk masuk. Lantas berputar mengitari mobil dan langsung duduk di bangku kemudi. Memasang sabuk pengaman dan mulai menjalankan kereta besinya. “Sejak dipemakaman tadi matanya sudah merah, Sayang.”Entah, Aluna tiba-tiba tersipu mendengar Bian memanggilnya Sayang, mungkin juga saat ini wajahnya tengah memerah karena malu. Hingga memalingkan wajahnya ke jendela, yang ada di sampingnya.“Kamu kalau malu-malu seperti itu kayak ABG saja!”Celetukkan Bian sanggup membuat A
“Hati-hati!” seru Bian, mengeratkan tangannya yang mengenggam pergelangan tangan Langit.Kemudian, lelaki itu kembali menuntun Langit. Berjalan menyusuri jalan setapak di sela-sela antara satu makam dengan makam yang lain.Kenapa tidak dengan melangkahi makam saja kan lebih cepat. Konon katanya, menurut ceramah agama yang ia dengar, jika berziarah tidak boleh berjalan di atas makam. Sebab, menghormati jenazah di dalam kubur sama pentingnya dengan menghormati manusia yang masih hidup karena kuburan memiliki kedudukan dan sangat dimuliakan.Beberapa kuburan, gundukan tanahnya masih basah dengan taburan bunga-bunga yang masih segar. Setelah menempuh berjalan kaki yang lumayan jauh dari pintu masuk, netra Aluna berhenti pada salah satu makam tujuannya. Namun, jantungnya berdegup kencang tatkala melihat karangan bunga segar yang seseorang tinggalkan.Apakah ini bunga dari Renata? Tapi siapa lagi keluarga Ryu, selain wanita itu. Jadi Renata sudah sembuh, bukankah ia sedang di rawat di rumah
Aluna merasakan kaku di kakinya yang menekuk, maka ia hendak menselonjorkan kedua kakinya itu. Namun, kenapa malah menabrak sesuatu yang keras. “Argh, apa ini?” rintihnya.Mata wanita itu menyipit menyesuaikan dengan cahaya lampu yang masuk dari celah korden. Menyadari ini bukan tempat tidurnya, Aluna seketika menegakkan tubuhnya. Bersandar pada punggung sofa lalu matanya menyusuri sekitar. “Ah, kenapa aku tidur di sofa,” gumamnya tampak kebingungan. Lalu matanya melirik paper bag yang semalam di bawa Bian belum berpindah tempat. “Jam 2,” ujarnya lirih setelah melirik jam dinding.“Awan!” ujarnya teringat akan apa yang terjadi semalam. Wanita itu berlari menuju kamar. Terperangah melihat pemandangan di depannya hingga membuat kedua kakinya membeku. Bian tertidur dengan memeluk Awan dari samping. Bayinya itu tampak sangat tenang dan nyaman, tidak seperti saat semalam bersamanya. Interaksi keduanya selayaknya Bapak dan Anak.Setelah beberapa saat, dengan gerakan kaki pelan, Aluna mendek
“Mami, Adik bangun lagi?” teriak Langit berjalan menghampiri Aluna yang sedang duduk di meja makan untuk mengisi perutnya. Sejak pagi, wanita itu belum mengisi perutnya.Mendengar ucapan Langit, Aluna segera berlari menuju kamar. Lalu merebahkan diri, berbaring miring menghadap Awan. Aluna membuka kancing dasternya lalu bersiap untuk menyusui Awan. Tetapi bayi itu menolaknya dan masih merengek.“Adik gak mau minum, Mi,” celetuk Langit yang hanya bisa memandang interaksi antara sang Mami dengan Adik.Benar, Awan menolak ASInya. Pada akhirnya Aluna mengendong bayi berusia dua bulan itu. Sejak pagi tadi Awan rewel karena badannya demam dan Aluna hanya mengompreskan air hangat di kening sang putra. Awan masih terlalu kecil jika harus diminumi obat sebab itu Aluna tidak membawanya ke dokter.Di saat seperti ini, Aluna mengingat Ryu. Mantan suaminya itu akan menjadi orang yang paling cerewet jika berhubungan dengan kesehatan. “Anak kita demam, Mas!” gumamnya dalam hati.“Sayang, tolong ambi