“Sayang, ada yang terluka lagi? Apa kita ke rumah sakit saja?”
“Maaf, Pak Ryu,” sela Ibu Marta, selaku Kepala Sekolah. “Tadi sudah kami bawa ke ruang kesehatan dan sudah ditangani oleh Dokter yang jaaga. Jadi jangan khawatir karena kami juga sudah melakukan yang terbaik untuk putri Bapak.”
Atensi Ryu beralih pada sang kepala sekolah. Ingin marah tapi mendengar penjelasan itu membuat sedikit lega, tetapi ia ingin memastikan sendiri nanti. “Ya, terima kasih, Bu,” ucap Ryu kemudian sedikit berdecak. “Gimana ceritanya sampai anak saya terluka seperti ini? Sekarang hanya terluka tidak menutup kemungkinan lain kali anak saya nyawanya yang melayang, Bu.”
Aluna terbelalak dengan bola mata yang membesar, tidak terbesit dipikirannya kalau anaknya menjadi seorang yang jahat hingga sampai membunuh.
“Saya gak mau tahu, pokoknya sekolahan harus bertindak tegas dengan anak-anak yang melakukan kekerasan seperti ini atau kalau perlu drop out biar jera dia, ini masalah nyawa saya gak mau main-main!” lanjut Ryu masih belum puas menumpahkan segala amarahnya.
Ibu Marta dan Miss Ana hanya bisa saling memandang melihat sikap arogan Ryu.
Sakit hati, tentu saja itu yang dirasakan Aluna mendengar ucapan Ryu. Bagaimana kalau yang dia bicarakan adalah anaknya sendiri, beruntung Langit tidak tahu kalau Ryu adalah Papinya. Yang saat ini dirasakan Langit hanya ketakutan bukan sakit hati seperti dirinya.
Perlahan, wanita single mother itu menyembunyikan wajah Langit dalam dekapannya. Banyak alasan hingga Aluna melakukan hal itu. Tidak ingin Ryu melihat wajah sang putra, selain itu ia yakin kalau Langit sekarang tidak ingin bertatapan dengan semuanya.
“Jangan takut, ada Mami di sini. Biar Mami bicara baik-baik dengan Papinya Mauren,” bisik Aluna sambil mengusap lengan Langit yang mencengkram kemeja Aluna dengan erat.
“Mohon tenang, Pak,” sela Ibu Marta sebelum Ryu bertindak diluar batas. Wanita paruh baya itu paham sikap orang tua Mauren, tapi ia juga harus mengambil sikap agar laki-laki itu tidak arogan apalagi di depan anak-anak. “Mungkin kita bisa bicara baik-baik dan mohon waktunya agar saya bisa menjelaskan kronologi kejadiannya.”
Ryu lagi-lagi berdecak pelan, tidak menjawab ucapan Ibu Marta. Ia sudah terlanjur kecewa dengan kejadian yang dialami Mauren. Meskipun begitu Ibu Marta tetap akan menjelaskan. Wanita yang menjabat sebagai kepala sekolah itu mulai bicara, memberikan penjelaskan dengan detail tanpa menyudutkan Langit yang memang bersalah. Beliau hanya menginginkan agar dapat di selesaikan dengan kekeluargaan, mengingat mereka masih anak-anak dan masih perlu bimbingan untuk menjadi anak baik.
“Mauren, kenapa kamu mengolok Langit? Memang kamu tahu kalau Langit tidak punya Papi?” Ryu sedikit melunak setelah mendengarkan penuturan Ibu Marta meski begitu ia tetap ingin ada sanksi untuk anak-anak yang bersalah agar mereka tidak mengulangi kesalahannya kembali.
Aluna masih tetap diam seraya mendekap Langit, ia tidak ingin memperkeruh masalah. Cukup diam dan mendengarkan saja.
“Ehm … soalnya sejak aku pindah ke sekolah ini, aku gak pernah lihat Papinya. Dan juga teman-teman yang lain bilang, kalau gak pernah lihat Papinya Langit.”
“Gak pernah lihat kan tidak juga tidak punya kan Mauren, Langit dilahirkan karena ada kedua orang tuanya, Sayang.” Ryu gemas sekali dengan jawaban sang putri.
Mauren meringis menatap Ryu. “Oh, iya. Kalau Mauren dilahirkan karena punya Papi dan Mami juga kan ya, koq aku bisa lupa,” celoteh Mauren dengan polosnya sambil menepuk keningnya sendiri menyadari kesalahannya. Ibu Marta dan Ryu ikut terkekeh melihat sikap polos Mauren.
Berbeda dengan Aluna yang menatap datar namun dalam hatinya menjerit kesal. Kalau saja Ryu tahu bahwa Langit anaknya, apakah ia masih bisa bersikap sesantai itu. Ah, lagi-lagi Aluna harus bisa menyingkirkan harapan itu.
“Oke, Bu. Saya ingin tahu mana anak yang sudah membuat anak saya terluka.” Mendadak itu yang terpikirkan oleh Bapak satu anak itu. Jadi dari pertama kali masuk pria itu seolah tidak melihat keberadaan Ibu dan anak yang saling mendekap itu.
“Anak saya yang melakukan itu, Pak.” Aluna yang sejak tadi diam, tiba-tiba berkata dengan tegas. Ia tidak mau diremehkan, meskipun wanita tidak mau ditindas atas sikap arogan Ryu. “Saya meminta maaf atas sikap Langit dan saya akan bertanggungjawab sepenuhnya.”
Ryu menoleh, baru menyadari kalau ternyata ada orang lain di ruangan itu, pasalnya terlalu menaruh perhatian penuh pada sang putri hingga mengabaikan orang lain.
“A-aluna!” ucapnya terbata, tidak akan mengira kalau ia akan berseteru dengan mantan istrinya. “Ja-jadi anak kamu?”
Aluna mengangguk. “Iya, jadi bicara saja apa sanksi buat anak saya, akan saya terima dengan lapang dada.” Sepertinya bicara terus terang agar masalah ini cepat selesai dan ia segera pergi dari ruangan ini. Apapun keinginan Ryu akan ia lakukan termasuk jika Ryu menginginkan kalau Langit dikeluarkan dari sekolah. Bahkan itu lebih baik supaya mereka tidak saling bertemu.
Mengingat Aluna, ingatan Ryu juga mengenai perceraian mereka. Wanita yang terpaksa harus ia nikahi karena sebuah perjanjian dengan mantan mertuanya. Meski terpaksa, tetapi Ryu akan bertanggungjawab penuh kalau saja Aluna tidak keras kepala minta bercerai. Kalau dihitung kasaran, mustahil Aluna memiliki anak sebesar Langit makanya Ryu mempertanyakan kebenarannya. “Apa benar Langit, anak kandung kamu? Bukannya perce-”
“Anda tidak berhak bertanya seperti itu, Pak Ryu!” sela Aluna cepat bahkan sebelum Ryu menyelesaikan kalimatnya. Tidak habis pikir dengan Ryu yang hampir saja membuka masa lalunya.
Ryu diam dengan otaknya berpikir, mungkin perceraian yang Aluna inginkan karena ia sudah berhubungan dengan pria lain sehingga wanita itu ngotot ingin bercerai. Tapi sejenak Ryu mengingat kalau dirinya yang pertama buat Aluna.
“Papi, sakit!” rengekan Mauren membuyarkan lamunannya.
“Iya, sabar ya, sebentar lagi juga pasti sembuh.”
“Jadi apa keputusan Pak Ryu?” tanya Aluna mengulangi pertanyaannya.
Meskipun Aluna adalah mantan istrinya, Ryu tidak boleh lemah hanya karena itu. Ia ingin bersikap tegas. “Saya ingin sekolah …
“Om, maafkan Langit!”
Mata Ryu terbelalak ketika melihat Langit yang melepaskan diri dari dekapan Aluna. Dadanya berdebar kencang hingga tak satu katapun mampu terucap dari bibirnya. Anak tujuh tahun itu menatap Ryu dengan mata sembabnya. Dan ada sesuatu yang berdesir di hatinya melihat Langit apalagi tatapan sendu milik Langit.
“Tolong, maafkan Langit,” ucap Langit lagi. Anak laki-laki itu mendekati Ryu dan mengambil tangan Ryu yang memeluk Mauren, Langit mencium punggung tangan kaku milik Ryu.
“Langit ...!” desis Aluna khawatir kalau Ryu mengenali wajah Langit. “Sayang!” Aluna menarik Langit untuk menjauh dari Ryu walaupun dari sikap Ryu pasti laki-laki itu bisa menyadarinya.
“Mohon maaf, apa masalah ini bisa diselesaikan, mengingat mereka masih anak-anak dan masih perlu bimbingan kita orang dewasa agar kedepannya tidak terulang lagi kejadian ini.” Bu Marta harus mengambil langkah tegas untuk menyudahi permasalahan ini.
“Bagaimana, Pak Ryu?” tanya Ibu Marta.
Seolah hilang kemampuan berbicaranya, Ryu hanya menjawab dengan anggukan kepala dan Mauren memberengut kesal merasa Langit yang jelas bersalah tapi tidak mendapatkan hukuman.
Sementara Ryu masih bergelung dengan batinnya sendiri. “Kenapa aku seakan melihat gambaran wajahku pada anak itu. Dan … perasaan apa ini, kenapa aku merasa dekat dengan anak ini padahal ini pertemuan pertama kita.”
Tbc
“Aluna, tunggu!”Ryu berteriak ketika di jarak 5 meter melihat mantan istrinya sedang berjalan sembari mengandeng putranya yang bernama Langit menuju parkiran mobil.Aluna mengabaikan teriakan Ryu. Ia tidak memiliki kewajiban menuruti keinginan pria itu, mereka tidak memiliki hubungan apa-apa dan ia bebas mau melakukan apa saja.“Berhenti aku bilang, Aluna!” pekik Ryu lebih keras lagi hingga Langit ketakutan. “Mi, aku takut sama Papinya Mauren.”Aluna memejamkan matanya meredam emosi yang sudah di ujung kepalanya sampai membuat anaknya ketakutan, laki-laki ini masih saja suka memaksa.Ia lantas berjongkok untuk bicara dengan Langit. “Langit masuk mobil dulu ya, Mami bicara dengan Papinya Mauren dulu!” ucap Aluna tangannya memegang bahu putranya dan dijawab anggukan kepala oleh sang putra.Ryu yang sedang mengendong Mauren sudah berdiri di hadapan Aluna dan di belakangnya ada baby sitternya. “Bisa bicara sebentar,” tanya Ryu lalu melirik kepergian Langit, masuk ke dalam mobil.“Pi, ayo
Sekujur tubuh Aluna membeku bahkan kakinya tidak bisa digerakkan melihat hal yang mengerikan di depan matanya. Darah segar melumuri tubuh bocah kecil yang sedang tergeletak dengan mata terpejam. Hingga segerombolan orang-orang dengan kepanikan datang mendekat, Aluna pun sadar lalu berlari kencang untuk menembus kerumunan orang-orang tersebut.“Langit!” Aluna menjerit lalu menjatuhkan kedua lututnya di aspal jalanan, menekuknya lantas mendekap tubuh kecil sang putra dengan tangisan pilu. “Bangun, Sayang ... maafkan Mami.”“Cepat panggil ambulans!”Yang Aluna dengar hanya seruan itu, selebihnya indera pendengarannya tidak mampu lagi menampung kata-kata lain. Tubuhnya bergetar hebat dengan isakan yang masih membasahi wajah cantiknya. Di kecupnya wajah Langit berkali-kali dengan selalu mengucapkan rasa bersalahnya. “Maafkan Mami, Nak!”***Entah, apa saja yang ia lakukan ketika mobil putih bersirine itu sudah tiba di pelataran rumah sakit. Pintu belakang dibuka oleh seorang petugas medis,
“Tolong menjauhlah dari kami, Dok!”Aluna pikir, dengan kehadiran Ryu membuat kondisi sang putra menjadi memburuk. Jadi lebih baik pertemuan ini di sudahi saja.Mendengar permintaan Aluna, Ryu refleks menatap wanita yang dari tadi hanya terfokus pada Langit saja dan mengabaikan dirinya yang juga sedang sangat khawatir dengan kondisi Langit.“No,” ucap Ryu tegas menolaknya, dia bukanlah orang yang akan lari dari tanggung jawab kendati mereka sudah tidak terikat dalam pernikahan. “Harusnya kamu sadar dengan penolakan Langit seperti ini, salah satunya juga karena kesalahanmu yang tidak pernah mempertemukan kami, dia tidak mengenal sosok Ayahnya.” Ryu tertawa hambar seolah mengejek dirinya sendiri yang menjadi orang bodoh, anak kandungnya tidak ia kenali padahal anak yang lain sangat ia sayangi. “Langit berhak tahu siapa Ayah kandungnya.”Ini yang ditakutkan Aluna ketika bertemu dengan mantan suaminya. Laki-laki itu akan meminta haknya sebagai Ayah Langit. “Tapi Langit sudah menolak kamu,
“Mi …!”Aluna yang membaringkan wajahnya pada kedua tangan yang terlipat di samping kepala Langit, hanya mengeliat saja ketika mendengar suara yang begitu familiar buatnya. Bukannya segera membuka mata melainkan ia hanya bergumam saja. “Hmm.”Setelah semalam ia tidak bisa tidur karena memikirkan sikap Ryu yang tiba-tiba pergi, membuat wanita yang berprofesi sebagai Dosen itu sulit memejamkan mata. Alhasil, sebelum Subuh dia baru bisa terlelap.“Mami…!” panggilan itu terdengar untuk yang kedua kalinya dengan suara sedikit keras. Detik itu barulah Aluna membuka mata. “Sayang, kamu sudah bangun!”. Aluna menegakkan punggungnya agar bisa menatap sang putra. “Ada yang sakit, Nak!” Tangan Aluna terulur untuk menyentuh tangan Langit kemudian mengusapnya pelan.“Ha-haus, Mi.”“Iya, bentar Mami ambilkan.” Aluna bangkit dan menuju nakas, mengambil air putih yang memang sudah disiapkan oleh rumah sakit. Membuka tutupnya kemudian mendekatkan pada bibir Langit. Bocah itu meneguknya pelan. “Sudah?”
Berbagi“Apa rencanamu setelah ini, Ryu?”Bara menatap penuh selidik pada sang teman lalu meraih gelas di hadapannya yang masih mengepulkan asap. Bibirnya meniup-niup agar hawa napasnya berkurang. Sesaat kemudian menyesapnya. Melihat sang lawan bicara belum memberikan jawaban, ia melanutkan ucapannya. “Kalau Renata tahu kamu masih ngasih perhatian ke mantan, dia bisa ngamuk.”Barayudha Al Ghifari, teman sejawat Ryu. Keduanya sama-sama berprofesi sebagai Dokter Spesialis Jantung. Ryu memang pernah bercerita tentang pernikahan pertamanya dengan Aluna, tetapi pernikahan tersebut kandas bahkan belum genap satu bulan.Pernikahan singkat Ryu tidak banyak yang mengetahui termasuk Bara yang belum sempat dikenalkan dengan Aluna. Yang Bara tahu, pernikahan Ryu dan Aluna adalah pernikahan dadakan yang dibuat oleh Papa Aluna karena Ryu harus bertanggung jawab terhadap kesehatan Papa Aluna. Namun, setelah Papa Aluna meninggal, Aluna menginginkan berpisah dari Ryu. “Aku belum tahu, Bar.” Ada gura
“Mami!” Langit berseru ketika sang Mami melihat kedatangan Aluna.Aluna mendekat menampilkan senyuman lebar pada sang putra. “Ish, jangan keras-keras bicaranya nanti mengganggu pasien lain.”“Oke,” jawab Langit.“Maaf ya, lama,” ujar Aluna bicara pada seseorang yang duduk di sebelah Langit.Tangan Aluna mengulurkan kopi yang tadi sudah dibeli. “Minum dulu!”“Thanks a lot,” ucapnya setelah menerima paperglass tersebut. Kemudian, segera menyesapnya separuh, mumpung masih hangat.“Ada masalah?” tanyanya lagi.“Biasa macet.” Wanita itu mengambil duduk di ujung ranjang Langit, ia tergelak sendiri merasa sedang berbohong dan pastinya pria yang sedang menatapnya lekat itu akan curiga. Gimana ceritanya bisa macet, lha tempatnya aja hanya beberapa meter dari gedung rumah sakit ini.“Oh … macet, ya? Mungkin ada si komo lewat.”Aluna menatapnya sekilas, tak lama kemudian keduanya sama-sama tertawa karena menyadari tengah sama-sama berbohong. Mendadak hati Aluna menghangat mendengar candaan rando
“Dokter itu … apa, Aluna?” desak Bian ketika Aluna belum juga menjelaskan padahal sudah 5 menit berlalu.“Aluna!”Sontak Bian dan Aluna kompak menoleh pada suara tegas seseorang.“Kalau mau pacaran jangan di rumah sakit. Gak modal banget,” ucap Ryu sinis.Laki-laki itu menyimpan kekesalan karena Aluna pergi meninggalkan kamar sedangkan ia datang untuk mengecek kondisi Langit bukannya malah berdua dengan seorang pria. Ryu juga tidak peduli apa hubungan Aluna dengan pria itu, ia hanya tidak suka Aluna mengabaikan anaknya demi laki-laki lain.Aluna terkesiap dengan ucapan Ryu. Tangannya terkepal kuat hingga ingin melayangkan tamparan di wajahnya kalau saja bukan di tempat umum.“Kita gak lagi paca- ah, sial!” Aluna mengumpat ketika Ryu berjalan melewatinya dan tidak mau mendengarkan penjelasannya.“Hey, mau kemana, Mas!” Aluna mencekal pergelangan tangan Bian, melihat pria itu akan mengejar langkah Ryu.Bian menepis tangan Aluna dengan tatapan datar. “Kalau kamu gak mau bicara, biar aku
Kalau saja tidak sedang menjemput Renata, Ryu akan banyak berbicara dengan seseorang yang ditemuinya di dalam lift tadi. Begitu melihat keberadaan sang istri Ryu langsung melambaikan tangannya. “Mas, aku kangen sama kamu!”Ryu tersenyum lebar mendengar ucapan Renata. Sudah empat hari mereka berpisah karena Renata harus pergi ke luar kota untuk menghadiri seminar dengan salah satu Yayasan peduli anak. Di sana Renata sebagai narasumber sekaligus sebagai Dokter Anak.“Ayo pulang,” ajak Ryu seraya mengandeng tangan Renata untuk meninggalkan terminal kedatangan.Mereka berjalan menyusuri koridor menuju lobi bandara. Sampai di sana, Ryu meminta Renata untuk menunggu karena Ryu hendak mengambil mobil. Hingga mobil berwarna hitam milik Ryu sudah terparkir di depan lobi, Renata mengampiri kemudian membuka pintu sebelah kemudi. Perlahan Ryu menjalankan mobilnya meniggalkan pelataran lobi.Renata menunggu sampai Ryu memasang sabuk pengamannya, baru ia menahan Ryu yang hendak mengemudi. “Mas …!
“Ayah …!”“Mami …!”“Yayah …!”“Mimi …!”Suara-suara berisik itu membuat Aluna mengeliat. “Mas, ayo bangun! Anak-anak sudah pulang itu,” tutur Aluna seraya memukul lengan Bian yang menempel erat di tubuhnya polosnya.“Biarin aja, nanti mereka juga diem sendiri,” ucap Bian tidak peduli.“Mas …!” hardik Aluna sebab Bian mengabaikannya. “Bangun …!”Bian berdecak pelan sebelum melepaskan tangannya dari tubuh Aluna. Bangkit dan mendudukan tubuhnya, lalu menyalakan lampu kamar. Laki-laki itu kemudian memunguti kaos dan celana pendeknya yang tergeletak di lantai. Memakainya dengan cepat dan hendak membuka pintu yang masih terkunci dari dalam. Sementara Aluna berlari ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.Saat pintu dibuka, ketiga anaknya sedang berdiri dengan wajah berseri.“Sudah pulang?” tanya Bian memandang bergantian ke arah Tegar, Langit dan Awan.“Tante belikan banyak makanan, Ayah,” sahut Langit sembari memperlihatkan satu kantung plastik berisi camilan dan susu.“Mama juga belik
“Apa keputusanmu tidak bisa diubah, Mbak?” tanya Alan dengan wajah yang lesu, lalu menghembuskan napas pelan.Segala upaya sudah dilakukan tetapi masih tidak bisa membuat Renata tersentuh dengan sikap dan tindakan yang dilakukan Alan.Renata mengelengkan kepalanya. “Tidak, kamu masih muda dan bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku.”“Kamulah yang terbaik buat aku, Mbak,” sahut Alan tegas, tidak ada keraguan sama sekali di hatinya.Renata hanya tertawa, kemudian beranjak berdiri. Pembicaraan ini pasti tidak akan menemukan titik temu karena keduanya saling keras kepala.“Mbak, aku belum selesai bicara.” Alan bergegas menghampiri Renata. “Tidak masalah kalau kamu tidak bisa mencintaiku, Mbak. Pelan-pelan aku akan buat kamu jatuh cinta sama aku,” ucap Alan, menarik siku lengan Renata dengan pelan. Laki-laki itu masih bersikeras untuk membujuk Renata.Sekali lagi Renata mengeleng tegas. Tidak ada cinta di hatinya untuk Alan, jadi buat apa menerima pinangan dari lelaki itu. Yan
“Mohon maaf Ibu, bisa masuk ke ruangan dokter,” ucap seorang perawat yang datang menghampiri Renata.“Hah, ada apa?” Renata tertegun. Namun, tiga detik kemudian wanita itu beranjak berdiri, sebab dihantui rasa penasaran yang tinggi. “Sebentar aku masuk dulu!” ucapnya pada Aluna sebelum pergi.Pintu berwarna putih itu, Renata buka dengan segera. Seketika mulutnya ternganga melihat pemandangan di depannya. “Kenapa bisa seperti ini?” ucapnya setelah mendekat. Lalu dengan cepat mengambil tisu untuk menolong Alan.“Tadi tiba-tiba Mauren mau muntah, rencananya mau aku ajak ke kamar mandi ternyata dia gak bisa nahan dan berakhirlah seperti ini,” jelas Alan sambil membersihkan bekas muntahan di brankar dengan tisu. Sementara Renata dengan spontan membersihkan baju Mauren.“Dokter Renata!”Renata mendongak dan menatap seseorang setelah namanya di panggil.“Dokter Wahyu!” gumamnya lirih. Dan saat itu juga kenangan Ryu memenuhi pikirannya. Tanpa sadar sudut matanya berembun dan ia melangkah mund
“Sus, tolong anak saya!” ucap Alan ketika tiba di klinik.Laki-laki itu berjalan mendekati meja resepsionis sambil mengendong Mauren. Ya, Mauren terlepas dari gendongan hanya saat berada di dalam mobil saja. Renata juga binggung dengan sikap tiba-tiba putrinya itu. Aneh, itulah yang terlintas di pikirannya.Seorang gadis yang duduk di balik meja resepsionis itu mendongak dan bertemu tatap dengan Alan yang wajahnya terlihat cemas.“Iya, bisa daftar dulu ya,” ucapnya sopan.Alan lalu melirik Renata yang hanya mengekor di belakangnya. “Mi, tolong isi ini,” ucap Alan dan menunjuk dagunya pada satu lembar kertas yang ada di meja, di depannya.Renata pun mendekat dan mengisi form di depannya dalam diam. Sebab, tadi di mobil sudah berdebat dengan Alan. Tidak perlu datang ke klinik karena ia akan mengompres Mauren dan akan memberikan obat penurun panas.“Mohon tunggu sebentar, kurang tiga panggilan lagi, setelah itu putri Bapak ya,” ucapnya sambil tersenyum ramah.Renata sudah seringkali berh
“Ah, apa dia tidak memiliki makanan apapun di sini?” gumam Renata saat membuka kulkas dan tidak menemukan apapun di sana kecuali dua botol air mineral berukuran sedang di pintu kulkas.“Mami …!” teriak Mauren.Suara Mauren itu mengagetkan Renata. Wanita itu buru-buru berlari menuju kamar dan mendapati Mauren yang sudah membuka matanya dengan tatapan sayu.“Sudah bangun?” tanyanya kemudian melangkah mendekat ke arah tempat tidur.“Mi, pusing,” ucap Mauren tiba-tiba.Refleks, Renata langsung menyentuh kening Mauren dengan telapak tangannya kemudian membaliknya dengan punggung tangannya. “Koq demam? Bentar Mami ambilkan kompres dulu.”Renata keluar dari kamar, menuju dapur lagi untuk mencari baskom dan kain. Sementara di dapur, wanita itu mengamati sekeliling, semua yang diperlukan tidak ada di sana.“Ah, apa yang aku harapkan di sini. Dia paling hanya numpang tidur di sini,” keluhnya lalu kembali masuk ke dalam kamar untuk menghubungi Alan.Tidak lama kemudian, Alan mengangkat teleponn
“Mau turun, gak?”“No!” jawab Renata, ia memilih bertahan di dalam mobil saja daripada harus bersama dengan Alan.“Oke,” jawab Alan lalu menutup pintu mobil. Lelaki itu berjalan ke arah belakang dan membuka pintunya.“Alan, mau dibawa ke mana Mauren?” seru Renata. Seketika kepanikan melandanya . “Biarin Mauren tidur di mobil saja!”Alan kemudian menatap Renata sekilas, kalau wanita ini ingin bertahan di dalam mobil ia tidak peduli. Tetapi ia akan membawa Mauren masuk ke dalam apartemennya.“Apa kamu gak kasihan sama Mauren tidurnya gak nyaman seperti itu.”“Aku tetap disini, Mauren juga harus tetap di sini,” sahut Renata cepat, membantah ucapan Alan.Namun, tanpa mendengarkan keinginan Renata, Alan langsung saja mengendong Mauren dan membawanya masuk.“Hey,” seru Renata. Alan menyematkan senyuman tipis kala melirik Renata yang turun dari mobil kemudian mengikuti langkahnya masuk ke dalam gedung apartemen.“Alan, aku bilang-”“Jangan berisik, Mbak!”Tanpa Renata sadari langkahnya terus
“Kamu mau buat aku malu, Alan Sanjaya?”Begitu keluar dari gedung, Renata menarik tangan lelaki itu untuk mengikutinya. Melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan orang-orang. Setelah sampai di ujung koridor yang sepi, wanita itu menghentikan langkahnya sembari berkaca pinggang. Kekesalannya sudah memuncak seiring sikap Alan yang santai seolah tidak pernah melakukan kesalahan.“Mbak …!”“Aku bukan Mbakmu!” jerit Renata frustasi, merasa muak dengan panggilan itu karena Alan memanggilnya dengan suara rendah dan lembut.Sedangkan lelaki itu mengulum senyum. Selama ini, Renata tidak pernah protes dengan cara panggilnya, tetapi tiba-tiba dia mengklaim bukan Mbaknya.“Oke, kalau begitu aku panggil Sayang saja,” ucapnya disertai kekehan, meski mata Renata sudah menyorotnya tajam, Alan tidak peduli.“Jawab aku, Alan!” bentak Renata sudah hilang kesabarannya. “Kamu mau buat aku dan Mauren malu, hah! Belum cukup ka-”Renata tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika kelima jari Alan singgah di bi
Hari ini, Alan sengaja datang ke sekolahan Mauren. Semalam, Bara mengirimkan pesan bahwa di sekolahan Mauren sedang ada acara, tidak membuang kesempatan Alan akan hadir di acara tersebut.Lelaki itu berangkat tanpa memberitahu pada sang putri. Ia tidak peduli, kalau ternyata nanti di sana akan mendapatkan penolakan. Ia bisa memastikan nanti akan bertemu dengan Renata di dalam. Sekali lagi, Alan katakan tidak peduli.Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya dia menepikan mobilnya di parkiran khusus untuk pengunjung.Sikap Alan yang ramah membuat tidak ada kecanggungan bila harus menyapa orang-orang yang sebelumnya tidak kenal. Dengan langkah tegas, tidak ada keraguan sedikitpun lelaki itu berjalan menjangkau menuju gedung Aula, tempat diadakannya acara tersebut.Ketika Alan sudah mencapai gedung tersebut, langkahnya terhenti sebab ada seorang resepsionis yang berjaga sembari menyodorkan buku tamu bagi yang akan masuk.“Selamat siang, maaf dengan wali murid siapa ya
Renata dan Alan duduk bersisihan di teras rumah. Hari ini memang Alan sengaja datang di malam hari untuk bisa bertemu dan berbicara dari hari ke hati dengan Renata. Semenjak kepulangan wanita itu dari rumah sakit dan Alan yang pindah ke apartemen, membuat keduanya jarang bertemu. Sekalinya Alan ingin mengantar Mauren ke sekolah, hal itu sudah lebih dulu dilakukan oleh Renata.Selama hampir sepuluh belas menit, tidak ada yang bersuara di antara keduanya. Hanya suara angin yang bertiup seolah memecahkan keheningan . Dan selama itu pula, tatapan Alan hanya tertuju pada wajah cantik Renata. Dari situ Alan dapat mengamati dengan jelas wajah Renata yang tidak banyak berubah setelah bertahun-tahun tidak bertemu.Sungguh bodoh, dirinya dulu meninggalkan wanita ini. Harusnya saat itu dia tidak meninggalkan Renata dan membangun keluarga kecilnya, mempertahankan wanita yang dia cintai meski jalan itu tidak akan mudah karena pertentangan dari kedua keluarga. Namun, sekarang hanya penyesalan yang