Arsenio dan Adelia saling lirik. Berharap Bu Martha tidak berbicara hal yang aneh-aneh.
"Kalian benar-benar serasi. Foto kalian juga terlihat sangat mesra sekali." Bu Martha memperhatikan figura besar yang tertempel di dinding ruang keluarga lalu duduk di sofa."Iya, terima kasih, Ma," ucap Arsenio.Arsenio dan Adelia kemudian duduk. Mereka duduk berhadapan dengan Bu Martha. Tangan Arsenio menggenggam erat jari jemari Adelia."Ingat ya, Arsen, Mama sudah pengen punya cucu.""Mama sabar saja. Kita tiap malam selalu berusaha. Iya, 'kan, Sayang?" Arsenio menoleh ke arah Adelia."Iya ... iya, Ma. Kita lagi usaha." Adelia tersenyum kaku."Bagus, ingat kalian masih muda jangan kalah sama yang tua-tua kalau kalian bercinta."Arsenio dan Adelia saling melirik lalu tersenyum kaku sambil melihat wajah Bu Martha.***Arsenio baru keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk yang dililit saja. Dia berjalan sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk kecil. Tubuhnya yang masih basah sangat terlihat seksi.Adelia tanpa sadar memperhatikan tubuh sixpack Arsenio. Rambut dan tubuh yang masih basah, seakan terlihat seksi dilihat olehnya. Mulut Adelia menganga melihat keseksian tubuh Arsenio.Arsenio menyunggingkan senyumnya. "Terpesona melihat tubuhku? Kamu ingin mencicipinya? Jangan harap! Kita sudah sepakat tidak akan saling menyentuh." Arsenio melempar handuk ke wajah Adelia."Kepedean, siapa yang mau. Lagian biasa saja, saya juga tidak mau. Kesucian saya hanya akan saya berikan kepada suami tercinta." Adelia mengambil handuk kecil yang ada di kepalanya."Memangnya kamu masih perawan?""Ya, masihlah enak saja saya dibilang tidak perawan.""Jaman sekarang, 'kan banyak wanita yang sudah tidak perawan. Mereka pacaran tapi di luar batas. Ternyata masih ada wanita yang sok menjaga kesuciannya," kata Arsenio lalu berjalan ke arah lemari."Terserah! Itu sudah prinsip saya."Arsenio menyunggingkan senyumnya sambil mencari pakaian. "Kamu tidur di sofa, aku di kasur. Ingat jangan sampai mamaku tahu." Arsenio memakai baju sambil berbicara kepada Adelia."Iya."***"Sayang aku berangkat kerja dulu, ya," ucap Arsenio lalu mengecup kening Adelia.Adelia terhentak kaget dan membelalakkan matanya. "Iya, Sayang. Hati-hati, ya." Adelia tersenyum sambil memegang lengan Arsenio.Bu Martha tersenyum melihat keromantisan mereka. "Mama senang lihat kalian kaya begini. Jadi ingat Mama waktu masih muda.""Iya, Ma harus gini dong kalau suami istri itu." Arsenio menarik pinggang Adelia lalu tersenyum.Adelia tersenyum kaku ke arah Arsenio sambil tangannya pun memegang pinggang Arsenio."Ya, sudah, Ma, Arsen berangkat." Arsenio melepaskan tangan dari pinggang Adelia."Iya, Arsen. Kamu hati-hati, ya.""Oke, Ma."***"Pokoknya Mama mau kalian cepat-cepat punya anak. Mama sudah tidak sabar pengen punya cucu," ucap Bu Martha.Iya, Ma." Adelia bingung sendiri."Emm gimana anak Mama kalau di atas ranjang?""Hah! Maksud, Mama?" Adelia kaget dengan pertanyaan Bu Martha."Itu ... kamu itu, ya. Kalau kalian bercinta." Bu Martha mencolek tangan Adelia sambil tersenyum malu-malu."Oh, itu, Ma. Em, ...." Adelia garuk-garuk kepala yang tidak gatal."Sudah jangan malu-malu ceritakan saja. Kita sama-sama perempuan."Adella tersenyum dipaksakan. "Ini ... anu, Ma," ucap Adelia lalu terdiam bingung harus berbicara apa."Kamu ya, masih malu-malu. Sudah ayo, cerita. Arsen kuat, 'kan di atas ranjang?" Bu Martha menggeser duduknya ke arah Adelia.Adelia masih senyum-senyum. "Aduh, ngomong apa, Mama ini. Aku bingung harus jawab apa." Adelia berbicara dalam hati sambil memperhatikan Bu Martha."Kamu, ya, malah melamun. Kenapa? Kamu tidak puas sama Arsen?""Tidak puas? Maksudnya, Ma?" tanya Adelia bingung."Maksudnya kalau bercinta.""Oh, itu, Ma." Adelia sudah mulai mengerti. "Tapi, Mama jangan bilang ke anak, Mama, ya.""Iya, tenang saja. Apa?""Sebenarnya Arsenio itu payah kalau di atas ranjang. Padahal aku masih pengen. Eh, suamiku sudah tidak mau." Adelia memajukan bibirnya. "Maafkan aku Arsen," batin Adelia lalu menahan tawa."Anak Mama begitu?" Bu Martha menatap tajam Adelia. "Kenapa beda sekali sama papanya?" batin Bu Martha."Sudah, Ma tidak apa-apa. Yang terpenting Adelia mencintai Arsenio." Adelia meraih tangan Bu Martha.Bu Martha tersenyum. "Cuma Mama sebal sama Arsen kenapa nikahnya diam-diam? Tidak dirayakan lagi." Bu Martha geleng-geleng kepala."Itu keinginan kita, Ma. Sayang buang-buang uang.""Kamu sudah cantik, baik lagi. Biasanya, 'kan semua wanita ingin dirayakan acara pernikahannya. Tapi kamu tidak."***"Anak, Mama yang ganteng sudah pulang." Bu Martha menggandeng Arsenio. "Mama mau bicara sama kamu. Ayo, ke kamar Mama dulu." Bu Martha mengajak Arsenio ke kamarnya."Ada apa, Ma? Arsen, 'kan baru pulang. Belum ganti baju lagi." Arsenio berjalan mengikuti Bu Martha."Sudah nanti saja. Ayo, ke kamar Mama." Bu Martha mendorong Arsenio lalu menutup pintu kamar."Ada apa sih, Ma?" bingung Arsenio."Sudah duduk sini." Bu Martha menepuk-nepuk kasur.Arsenio berjalan ke arah Bu Martha lalu duduk di samping Bu Martha. "Kenapa, Ma?""Kamu kalau bercinta sama istrimu bagaimana?" tanya Bu Martha.Arsenio terhentak kaget. "Maksud, Mama?" Arsenio melonggarkan dasinya sambil melihat ke arah depan."Kamu lihat wajah Mama kalau lagi berbicara." Bu Martha menarik wajah arsenio."Iya. Habisnya pertanyaan, Mama ini ngaco.""Siapa yang ngaco. Oh, iya. Istrimu kalau di atas ranjang bagaimana?""Bagaimana apanya sih, Ma?" Arsenio bangun dari duduknya."Kamu mau menghindar dari pertanyaan Mama? Tinggal jawab saja, Arsen. Ayo, duduk lagi sini." Bu Martha meraih tangan Arsenio."Ya, gitu, Ma." Arsenio kembali duduk di samping Bu Martha."Gitu gimana?" Bu Martha merasa penasaran."Kenapa Mama nanya-nanya begini, sih," batin Arsenio, "Tapi Mama jangan bilang sama istriku lagi, ya," ucap Arsenio."Iya, buat apa Mama bilang-bilang. Ayo, cepat katakan.""Anu, Ma. Em, istriku itu payah kalau di atas ranjang. Masa aku minta lagi istriku malah tidak mau," kata Arsenio lalu menahan tawa, "maafkan aku Adelia, aku mengatakan hal ini," batin Arsenio lalu tersenyum tanpa sepengetahuan Bu Martha.Bu Martha geleng-geleng kepala. Akhirnya, Bu Martha bingung sendiri. Kenapa jawabannya saling menyalahkan."Ada yang tidak beres ini. Aku harus melakukan sesuatu. Untung aku bawa obat itu." Bu Martha berpikir sambil berbicara dalam hati."Sudah ya, Ma, Arsen mau ke kamar." Arsenio bangun dari duduknya."Ya, sudah sana. Ingat jangan bilang-bilang istrimu.""Iya, Ma."Arsenio pun keluar dari kamar Bu Martha. Bu Martha lalu berpikir sambil mengerutkan keningnya. Dia bangun dari duduknya lalu berjalan ke arah nakas."Ini dia," ucap Bu Martha setelah membuka laci, "Mama harus memasukkan obat perangsang ini ke minuman kalian. Malam ini kalian harus bercinta dengan sangat liar!"Bu Martha bergegas ke dapur. Dia mengambil dua gelas kosong lalu mengambil satu buah apel untuk dibuat jus. Bu Martha kemudian membuat jus tersebut. Setelah selesai Bu Martha membawa dua gelas berisi jus buah yang sudah diberi obat perangsang. Dia berjalan sambil senyum-senyum sendiri. "Dasar kalian suami istri malah saling menyalahkan." Bu Martha berbicara dalam hati sambil melihat pintu kamar Arsenio. "Arsen, Adel buka pintunya kalian belum tidur, 'kan?" Bu Martha mengetuk pintu. Arsenio dan Adelia yang berada di kamar langsung saling melihat. Arsenio bangun dari kasurnya lalu menghampiri Adelia yang sedang tiduran di sofa."Ayo, pindah ke kasurku. Bereskan ini, jangan sampai ketahuan sudah ditiduri sama kamu.""Iya, iya." Adelia langsung merapikan sofa lalu beranjak ke kasur Arsenio dan mengatur bantal. "Arsen! Kalian sudah tidur kenapa lama sekali?" teriak Bu Martha, "apa jangan-jangan mereka lagi bercinta? Masih jam segi
Adelia tidak percaya dengan apa yang telah dilakukannya bersama Arsenio semalam. Dia kemudian teringat sang bunda."Maafkan Adel bu. Ini semua karena Adel telah berbohong sama ibu." Air mata Adelia tiba-tiba keluar begitu saja.Dadanya terasa sesak, masih tidak percaya dengan apa yang telah diperbuatnya. Dia kemudian menoleh ke arah Arsenio yang masih tertidur pulas. Dia kembali membayangkan ketika dirinya bercinta begitu liarnya dengan Arsenio. Adelia menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Arsen memang sudah menjadi suamiku. Tapi kita tidak saling mencintai dan pernikahan ini hanyalah pernikahan kontrak." Adelia menatap wajah Arsenio. Adelia kembali menangis sambil memegangi selimut untuk menutupi tubuhnya yang masih polos. Suara tangisanya pun begitu menyayat hati. Arsenio terbangun karena mendengar suara tangisan tersebut. Dia memperhatikan Adelia dengan tatapan bingung. Arsenio langsung mengingat kejadian semalam. "Sial!
"Mama tahu ... dari mana?" gugup Adelia. "Tidak perlu tahu dari mana. Ayo, keluar dari sini. Aku tidak sudi punya menantu miskin, pembohong, tukang tipu!" Bu Martha menarik tangan Adelia dan membawanya ke luar rumah. "Maafkan Adel, Ma. Adel terpaksa ....""Jangan panggil aku Mama! Enak saja panggil aku Mama. Aku bukan Mamamu. Cih, aku tidak sudi punya menantu hanya anak dari seorang tukang jahit kampungan! Kamu menipu anakku, kamu mau ambil keuntungan menjadi istri dari anakku? Sampai sok, berpenampilan wanita karier. Padahal kamu hanya karyawan biasa di toko online. Anakku benar-benar tertipu dengan kecantikanmu!" 'Tapi ini Arsen yang ....""Sudah cukup! Aku tidak mau mendengar penjelasanmu! Pergi dari sini! Aku tidak mau kamu menjadi benalu di rumah ini. Kamu mau menguras harta anakku? Wanita jalang!" desis Bu Martha. "Ma, dengarkan penjelasanku dulu. Adel bisa menjelaskan semuanya." "Tidak perlu sana pergi! Sudah
Adelia langsung menangis tersedu-sedu. Sesak yang dirasakannya saat ini. Kenapa dia harus terjebak dalam pernikahan kontrak. Dirinya harus menelan pil pahit karena telah mengandung benih dari CEO. "Arsen kita memang sudah menikah, kamu bilang di antara kita tidak akan saling ... tapi kamu malah merenggut keperawananku. Kamu juga yang telah membuatku hamil. Ini semua gara-gara mamamu, kenapa mamamu harus ...," batin Adelia lalu langsung jongkok dan menutup wajah dengan kedua tanganya. Air matanya terus saja mengalir tanpa bisa dicegah. "Ibu maafkan Adel. Adel sudah mengecewakan ibu." Adelia menangis hanya seorang diri di kamar mandi. Hatinya benar-benar hancur berkeping-keping. ***Malam hari, Adelia sudah dalam perjalanan menggunakan motor matic. Dia berencana untuk mendatangi rumah Arsenio. Berharap Arsenio sedang berada di rumahnya. "Bi, Arsenionya ada?" tanya Adelia setelah berada di depan rumah Arsenio."Maaf, Non. Pak Arsenionya
Tubuh Bu Wulan langsung lemas seketika. Dia langsung bersandar pada sandaran kursi. Dia menggelengkan kepalanya. Tidak terasa air matanya keluar begitu saja. Dada Bu Wulan begitu sesak, hatinya hancur berkeping-keping. Ibu mana yang tidak akan hancur jika mendengar sang anak tiba-tiba hamil. "Siapa yang telah menghamilimu?" tanya Bu Wulan dengan perasaannya yang tidak karuan. Adelia hanya terdiam. Mulutnya seakan terkunci untuk mengatakan siapa lelaki yang telah menghamilinya. "Adelia! Kenapa diam saja? Ayo, jawab!" bentak Bu Wulan.Adelia langsung mengangkat kepalanya dan menatap wajah sang bunda. Dia benar-benar tidak percaya mendengar ucapan sang bunda yang marah. Selama ini Bu Wulan tidak pernah membentaknya. Kekecewaan yang dirasakan Sang bunda, Adelia menyadarinya. "Pak Arsenio, Bu," Jawab Adelia lalu menundukkan kepalanya, dia tidak berani menatap wajah sang bunda. "Siapa, Pak Arsenio? Ibu baru mendengar nam
Adelia berucap sambil menatap wajah Arsenio. Berharap sang CEO mau menerima kehamilan Adelia. Hatinya harap-harap cemas dan begitu takut.Arsenio mengerutkan keningnya. "Apa kamu bilang? Kupingku tidak salah dengar?" Arsenio menatap tajam mata Adelia. "Aku hamil, Arsenio! Aku hamil! Aku telah mengandung anak darimu. Kamu harus menjadi ayah dari anak yang masih ada di dalam kandunganku. Kamu harus mau, kamu harus bertanggung jawab!" Adelia sudah tidak bisa menahan emosinya, dia berucap dengan seluruh tubuhnya bergetar. Arsenio menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan apa yang telah didengarnya. "Kamu jangan main-main, Adelia. Jangan ngaco kamu!" kesal Arsenio. "Siapa yang main-main? Membicarakan masalah ini aku harus main-main!" marah Adelia, "aku serius, Arsenio, aku hamil anakmu. Aku mohon kamu harus mau menjadi ayah dari anakku karena anakku adalah darah dagingmu juga!" Adelia mengiba kepada Arsenio. Arsenio menyunggingkan seny
"Ya, ampun, Adel. Sabar ya, Nak. Sudah tidak apa-apa ada Ibu di sini. Kamu harus kuat ya, Sayang." Bu Wulan memeluk tubuh sang anak dengan perasaan hati begitu sesak.Siapa yang tidak akan sakit hati. Anak semata wayangnya harus merasakan sakit hati dan penolakan dari seorang lelaki yang sudah menghamili sang anak. Namun, Bu Wulan berusaha tegar di hadapan sang anak. Sementara sang anak sedang menangis tersedu-sedu di pelukan sang bunda. Dia tidak bisa menahan tangisannya. Ingin sekali dia tidak mau menangis di pelukan sang bunda.Namun, apalah daya, dia hanyalah seorang wanita biasa yang tidak bisa menahan rasa sakit hatinya. Dia benar-benar merasakan sakit hati yang luar biasa atas penolakan Arsenio terhadapnya. "Keluarkan tangisanmu kalau dengan menangis bisa membuatmu lega. Jangan kamu tahan-tahan. Ibu akan selalu ada di sampingmu. Kita berjuang bersama. Kamu harus bertahan karena masih ada Ibu di sini." Bu Wulan mengusap-usap punggung sang
Vino langung menyebutkan nama kepada Adelia sambil mengulurkan tangannya. Dia tersenyum sambil menatap wajah cantik Adelia. "Saya Adelia. Maaf jangan panggil saya nona, Panggil saja Adelia." Adelia menerima uluran tangan dari Vino. "Baik, Adelia. Saya pamit, nanti saya ke sini lagi sama mama saya.""Oh, iya, iya. Terima kasih sudah menjahit di butik ini." Adelia menundukkan kepalanya ke arah Vino. "Iya, Sama-sama," ucap Vino lalu meninggalkan Adelia sambil tersenyum manis. Adelia membalas senyuman Vino lalu memperhatikan punggung Vino yang sedang berjalan ke arah luar. "Ehemm ...." Suara Bu Tari mengagetkan Adelia. "Sudah jangan dipandang begitu, nanti juga dia ke sini lagi. Sepertinya dia suka sama kamu." Bu Tari menghampiri Adelia lalu memperhatikan mobil Vino yang sedang melaju. "Bu Tari apaan, sih?" Adelia tersipu malu. "Lebih tampan siapa? Dia atau Arsenio?" bisik Bu Tari. "Lebih tampan V