Arsenio menghela napas berat setelah mendengar ucapan Adelia. "Kesalahanku mungkin tidak bisa dimaafkan olehmu. Aku merasakan apa yang kamu rasakan." Arsenio memperhatikan perut Adelia.
Adelia mengerutkan keningnya sambil menatap wajah Arsenio. "Jangan sok berlaga simpatik terhadapku!" ketus Adelia."Kenapa aku berkata seperti itu? Karena sekarang aku melihatmu hamil, Adelia. Vino bisa menemanimu di saat kamu hamil, tetapi aku ... aku justru berlaku jahat sama kamu. Padahal yang kamu butuhkan adalah aku. Aku yang seharusnya menemanimu waktu itu." Arsenio terus menerus memperhatikan perut Adelia."Tidak usah lihatin aku seperti itu! Sudahlah Arsen penyesalanmu tidak ada gunanya. Kamu jangan pernah merusak kebahagiaanku!" marah Adelia lalu melihat ke arah depan."Siapa yang mau merusak kebahagiaanmu, Adelia? Aku memang tidak mungkin untuk mendekatimu lagi walaupun memang ada rasa cemburu di hatiku melihatmu dengan manajer Vino," kesal Arsenio,Adelia membaca pesan dari pengasuh Giovanni. Dadanya kembang kempis setelah membaca pesan tersebut. Dia kemudian menghubungi sang suami. "Hallo, Sayang. Kamu apa-apain, sih! Ngapain kamu ngizinin Arsenio menjemput anakku malah dibawa beli mainan lagi. Aku, 'kan sudah bilang jangan terlalu meladeni kemauan si ... Pak Arsenio itu. Lama-lama dia malah ngelunjak!" marah Adelia. "Kamu tuh kenapa, sih? Kamu selalu tidak suka kalau Pak Arsenio mendekati anak kita. Pak Arsenio bosku, Sayang. Memangnya salah bosku menjemput Giovanni? Itu tandanya Pak Arsenio sangat menyukai anak kita. Sudah biarkan saja lagian Giovanninya juga tidak menolak.""Ya, tetapi, 'kan ... aku tidak suka!" ketus Adelia. "Tidak sukanya kenapa? Aku, 'kan pernah bilang sama kamu, kalau kamu punya alasan yang tepat aku akan melarang Pak Arsenio untuk tidak mendekati Giovanni," ucap Vino, "sudah kamu jangan marah-marah ya, Sayang. Kamu lagi hamil jangan banyak marah. Oke, Sayang."
Giovanni langsung berlari ke arah neneknya. "Nek, ini, 'kan mainan ... Gio. Kenapa harus dibalikin sama Om Arsen." Giovanni menangis sambil memegangi mainannya. "Iya, Sayang. Ini mainan punyamu, kok. Sudah jangan menangis, ya." Bu Wulan mengangkat Gio dan di dudukkan di pangkuannya. Adelia tidak percaya sang anak bisa mengatakan dirinya jahat dan juga benci. Dia lalu mendekati Giovanni. "Maafkan Mama ya, Sayang. Bukan maksud Mama membentakmu. Mama cuma khawatir saja sama kamu. Siapa bilang Mama tidak sayang sama kamu?" Adelia memegang tangan Giovanni. "Gio benci Mama! Kalau Mama sayang sama Gio Mama tidak mungkin marah sama Gio." Giovanni berucap sambil menangis dan melepaskan tangan Adelia. Adelia langsung menetaskan air matanya di saat sang anak menolaknya. Dia lalu menoleh kepada Arsenio dan mendekati Arsenio. "Ini semua gara-gara kamu, Arsenio. Lihat anakku! Aku pernah bilang sama kamu jangan
Vino menatap lekat kedua mata sang istri sambil tangannya membenarkan rambut Adelia. Dia berharap sang istri mengatakan yang sejujurnya. Sementara Adelia hatinya sedang berdebar kencang. Dalam hati ingin sekali mengatakan semuanya kepada sang suami. Adelia menatap lekat mata sang suami sambil berbicara dalam hati. "Maafkan aku Vino. Bibir ini terasa berat untuk mengatakannya. Aku benar-benar tidak bisa. Setiap kali aku ingin berbicara entah kenapa ... aku mungkin belum siap." Lidah Adelia seakan kelu untuk mengatakannya dan juga serasa tercekat. Vino menghela napas panjang. Lagi-lagi tidak ada jawaban dari sang istri. "Dengan kamu diam berarti kamu jangan pernah melarangku untuk tidak mengizinkan Pak Arsenio bertemu Giovanni. Kamu pun jangan lampiaskan kemarahanmu kepada anak kita Giovanni." Vino mengusap-usap pipi sang istri. Adelia sudah tidak bisa berkat
Adelia langsung lemas seketika ketika mendengar kabar tentang sang suami. "Vino! Vino!" teriak Adelia lalu menjatuhkan ponselnya dan dia langsung terduduk lemas sambil menangis tersedu-sedu. Jantungnya pun berdetak tidak karuan. "Adel ada apa, Nak?" Bu Wulan merasa kaget lalu mendekati Adelia yang sedang menangis sesenggukan. Giovanni yang sedang menulis langsung berhenti menulis dan mendekati sang mama sambil menangis. "Mama kenapa?" tanya Giovanni. "Bu, suamiku, Bu! Suamiku!" Adelia berucap dengan suara bergetar dan sambil menangis. "Suamimu kenapa, Adel?" tanya Bu Wulan dengan perasaan was-was. Hatinya pun menjadi tidak tenang. "Vino kecelakaan, Bu. Vino masuk rumah sakit," jawab Adelia lalu kembali memeluk sang bunda sambil menangis tersedu-sedu. "Ya ampun Vino! Ya udah kita ke rumah sakit ya. Kita berdoa mudah-mudahan Vino tidak apa-apa."
"Iya, Nak. Papamu juga sangat sayang sama kamu. Gio doain papa ya biar papamu cepat sembuh. Biar kita bisa kumpul lagi, bisa main bareng lagi. Ya, Nak, ya." Adelia memeluk tubuh sang anak sambil menangis. "Iya, Ma. Gio doain biar papa cepat sembuh. Biar bisa main lagi sama kita," jawab Gio, "kapan Gio bisa ketemu papanya, Ma?" tanya Giovanni. "Nanti mama kasih tahu lagi, ya. Pokoknya kamu sama Mbaknya dulu tunggu di rumah ya, Sayang." Adelia melepaskan pelukan lalu menoleh ke arah Wati. "Iya, Ma." Giovanni menganggukkan kepalanya. *** Adelia sudah berada di rumah sakit bersama sang bunda. "Bu, kapan Vino sadar ya, Bu. Adel kangen Vino, Bu. Sampai sekarang Adel belum bisa lihat suamiku sendiri," ucap Adelia sambil mengusap-usap perutnya. "Sabar, Adel. Kamu berdoa saja biar Vino cepat sadar dari masa k
Entah apa yang dibisikkan Vino kepada Arsenio. Hati Arsenio tiba-tiba tidak tenang dan berdetak tidak karuan. Arsenio kembali ke posisi semula sambil membenarkan dasinya dan memperhatikan wajah Vino lalu menelan salivanya sendiri. Vino yang sedang diperhatikan malah tersenyum kepada Arsenio. *** Arsenio sedang melamun di ruang kerjanya sambil menatap lurus ke depan. Dia tiba-tiba memikirkan Adelia lalu teringat ucapan Vino. "Kenapa kamu harus berkata seperti itu manajer Vino?" batin Arsenio lalu menggelengkan kepalanya. Dia kemudian melihat jam tangannya, "Aku harus jemput Gio ke sekolah. Dia pasti senang aku jemput," monolog Arsenio lalu berjalan ke arah pintu. *** "Hai, Gio," sapa Arsenio kepada Giovanni yang sedang berjalan bersama Wati. "Om Arsen." Giovanni melambaikan tangan sambil berjalan menghampiri Arsenio yang sedang berdiri di samping mobil. "Tidak apa-apa, 'kan Om
"Apa!?" Adelia menggelengkan kepalanya dan langsung hilang keseimbangan, beruntungnya sang bunda sedang memegangnya. "Tidak ... tidak! Vino! Vino! Dokter jangan bohong! kembalikan suamiku! Suamiku tidak mungkin meninggal. Tidak mungkin dokter! Aku mohon kembalikan suamiku! Aku mohon!" Adelia menjerit histeris dengan keadaan tubuhnya bergetar hebat dan menangis tersedu-sedu. Giovanni melihat Adelia menangis. "Mama!" Giovanni turun dari pangkuan Arsenio lalu menghampiri Adelia kemudian ikut menangis. "Mama jangan nangis, Ma," rengek Giovanni. Arsenio ikut menghampiri mereka dan dia pun merasa tidak percaya sang manajer telah meninggal dunia. Dia memperhatikan Adelia terus menerus sambil menggelengkan kepalanya. Cairan bening sudah menggenang di sudut matanya. Tubuh Adelia benar-benar terasa lemas. "Vino! Kenapa kamu tinggalkan aku? Aku butuh kamu sayang. Aku mohon kembali padaku pa. Anak kita sebentar lagi akan lahir pa! Papa jangan tingg
Adelia sudah berada di rumah sakit. Semua sedang menanti Adelia dengan harap-harap cemas. "Adelia semoga persalinanmu lancar. Kamu dan anakmu selamat. Aku yakin Vino akan senang di sana jika melihatmu sudah melahirkan anaknya." Arsenio berbicara dalam hati sambil terduduk. Hatinya berdebar tidak karuan menunggu Adelia. *** Adelia sudah berada di ruang perawatan. "Ibu senang sekali Adel kelahiran normalmu lancar dan anakmu sempurna, sehat dan juga cantik," ucap Bu Wulan lalu tersenyum. "Iya, Bu, Adel senang sekali. Vino juga pasti senang. Keinginan suamiku terkabul. Vino memang menginginkan anak perempuan." Mata Adelia berkaca-kaca. "Seandainya Vino ada ...." Adelia tidak bisa melanjutkan kata-katanya tenggorokannya seakan tercekat dan kedua matanya seakan ingin menumpahkan air mata yang siap membanjiri pipinya. "Sabar, Sayang. Ibu yakin Vino pasti sedang tersenyum melihatmu melahirkan anak