"Iya, Nak. Papamu juga sangat sayang sama kamu. Gio doain papa ya biar papamu cepat sembuh. Biar kita bisa kumpul lagi, bisa main bareng lagi. Ya, Nak, ya." Adelia memeluk tubuh sang anak sambil menangis.
"Iya, Ma. Gio doain biar papa cepat sembuh. Biar bisa main lagi sama kita," jawab Gio, "kapan Gio bisa ketemu papanya, Ma?" tanya Giovanni. "Nanti mama kasih tahu lagi, ya. Pokoknya kamu sama Mbaknya dulu tunggu di rumah ya, Sayang." Adelia melepaskan pelukan lalu menoleh ke arah Wati. "Iya, Ma." Giovanni menganggukkan kepalanya. *** Adelia sudah berada di rumah sakit bersama sang bunda. "Bu, kapan Vino sadar ya, Bu. Adel kangen Vino, Bu. Sampai sekarang Adel belum bisa lihat suamiku sendiri," ucap Adelia sambil mengusap-usap perutnya. "Sabar, Adel. Kamu berdoa saja biar Vino cepat sadar dari masa kEntah apa yang dibisikkan Vino kepada Arsenio. Hati Arsenio tiba-tiba tidak tenang dan berdetak tidak karuan. Arsenio kembali ke posisi semula sambil membenarkan dasinya dan memperhatikan wajah Vino lalu menelan salivanya sendiri. Vino yang sedang diperhatikan malah tersenyum kepada Arsenio. *** Arsenio sedang melamun di ruang kerjanya sambil menatap lurus ke depan. Dia tiba-tiba memikirkan Adelia lalu teringat ucapan Vino. "Kenapa kamu harus berkata seperti itu manajer Vino?" batin Arsenio lalu menggelengkan kepalanya. Dia kemudian melihat jam tangannya, "Aku harus jemput Gio ke sekolah. Dia pasti senang aku jemput," monolog Arsenio lalu berjalan ke arah pintu. *** "Hai, Gio," sapa Arsenio kepada Giovanni yang sedang berjalan bersama Wati. "Om Arsen." Giovanni melambaikan tangan sambil berjalan menghampiri Arsenio yang sedang berdiri di samping mobil. "Tidak apa-apa, 'kan Om
"Apa!?" Adelia menggelengkan kepalanya dan langsung hilang keseimbangan, beruntungnya sang bunda sedang memegangnya. "Tidak ... tidak! Vino! Vino! Dokter jangan bohong! kembalikan suamiku! Suamiku tidak mungkin meninggal. Tidak mungkin dokter! Aku mohon kembalikan suamiku! Aku mohon!" Adelia menjerit histeris dengan keadaan tubuhnya bergetar hebat dan menangis tersedu-sedu. Giovanni melihat Adelia menangis. "Mama!" Giovanni turun dari pangkuan Arsenio lalu menghampiri Adelia kemudian ikut menangis. "Mama jangan nangis, Ma," rengek Giovanni. Arsenio ikut menghampiri mereka dan dia pun merasa tidak percaya sang manajer telah meninggal dunia. Dia memperhatikan Adelia terus menerus sambil menggelengkan kepalanya. Cairan bening sudah menggenang di sudut matanya. Tubuh Adelia benar-benar terasa lemas. "Vino! Kenapa kamu tinggalkan aku? Aku butuh kamu sayang. Aku mohon kembali padaku pa. Anak kita sebentar lagi akan lahir pa! Papa jangan tingg
Adelia sudah berada di rumah sakit. Semua sedang menanti Adelia dengan harap-harap cemas. "Adelia semoga persalinanmu lancar. Kamu dan anakmu selamat. Aku yakin Vino akan senang di sana jika melihatmu sudah melahirkan anaknya." Arsenio berbicara dalam hati sambil terduduk. Hatinya berdebar tidak karuan menunggu Adelia. *** Adelia sudah berada di ruang perawatan. "Ibu senang sekali Adel kelahiran normalmu lancar dan anakmu sempurna, sehat dan juga cantik," ucap Bu Wulan lalu tersenyum. "Iya, Bu, Adel senang sekali. Vino juga pasti senang. Keinginan suamiku terkabul. Vino memang menginginkan anak perempuan." Mata Adelia berkaca-kaca. "Seandainya Vino ada ...." Adelia tidak bisa melanjutkan kata-katanya tenggorokannya seakan tercekat dan kedua matanya seakan ingin menumpahkan air mata yang siap membanjiri pipinya. "Sabar, Sayang. Ibu yakin Vino pasti sedang tersenyum melihatmu melahirkan anak
"Pesan! Pesan ... apa?" Adelia merasa bingung sambil memperhatikan wajah Arsenio. "Nanti saja aku bicaranya. Tidak mungkin kita bicara di butik ini. Kapan kamu ada waktu luang?" Adelia malah terdiam entah apa yang sedang dipikirkannya. Arsenio memperhatikan wajah Adelia sambil mengerutkan keningnya. "Adelia. Adelia!" Suara Arsenio meninggi. "Iya, ada apa?" Adelia terhentak kaget. Arsenio tersenyum kepada Adelia. "Kenapa kamu malah diam? Sudah tidak usah dipikirkan.""Iya.""Ya sudah aku permisi dulu. Aku siap kapan pun kalau kamu ada waktu," ucap Arsenio lalu meninggalkan Adelia.Adelia langsung memperhatikan punggung Arsenio yang sedang berjalan. "Apa yang sudah Vino bicarakan dengan Arsenio? Pesan ... pesan apa yang akan disampaikan?" batin Adelia lalu menggelengkan kepalanya. Hatinya tiba-tiba berdebar tidak karuan. ***Adelia sedang berada di ruang kerja bersama sang bunda.
"Adelia!" kaget Bu Martha, "Kamu jangan megada-ada, Arsen!" marah Bu Martha. "Ma. Siapa yang mengada-ada. Arsen serius, Ma. Arsen mencintai Adelia," ungkap Arsenio. "Cinta? Kamu mencintai Adelia?" Bu Martha tertawa mencibir. "Kalau kamu mencintai Adelia si tukang tipu itu. Kenapa waktu itu kamu biasa saja setelah Mama mengusir Adelia. Sedikit pun kamu tidak marah, kamu malah terlihat senang waktu Mama mengusir Adelia. Aneh kamu ini." Bu Martha menggelengkan kepalanya. "Iya, Ma waktu itu ...," ucap Arsen dan tidak bisa melanjutkan kata-katanya lalu menghela napas. "Ada apa, Arsen? Kamu menyembunyikan sesuatu dari Mama?" tanya Bu Martha. Arsenio menganggukkan kepalanya. "Maaf, Ma. Arsen tidak cerita sama Mama. Sebenarnya Arsen mau bicara sama Mama soal Arsen dan Adelia, tetapi kalau Arsen sama Adelia sudah bersatu," kata Arsenio. Bu Martha mengerutkan keningnya setelah mendengar ucapan sang
"Ya sudah, Ma. Arsen mau berangkat." Arsen bangun dari duduknya."Kenapa makannya tidak dihabiskan?" Bu Martha memperhatikan piring bekas makan Arsenio. "Lagi tidak napsu makan," jawab Arsen. "Kamu ini ya. Tumben-tumbenan tidak napsu makan," kesal Bu Martha. Arsenio pun bergegas meninggalkan meja makan. "Arsen! Tunggu aku. Aku ikut ya di mobil kamu. Aku mau pergi ke rumah teman. Boleh, 'kan?" Vlora bangun dari duduknya.Arsenio menoleh ke arah Vlora sambil kedua tangan di masukkan ke saku celana. "Tidak bisa aku buru-buru!""Buru-buru apanya sih, Arsen," marah Bu Martha lalu menoleh kepada Vlora. "sudah, Vlora kamu ikut saja sama Arsen," pinta Bu Martha. "Tidak apa-apa, Tante?" "Sudah tidak apa-apa. Kalau Arsen tidak baik sama kamu, kamu laporan sama Tante. Sudah sana ikut." Bu Martha menggerakkan kepalanya ke arah Arsenio. "Baik, Tante. Terima kasih," ucap Vlora lalu tersenyum.
"Apa?!" kaget Adelia, "kamu jangan mengada-ada, Arsen! Kamu ....""Kamu pasti tidak akan percaya dengan apa yang akan kusampaikan. Ini yang aku takutkan. Kamu pasti seperti ini. Ucapan Vino hanya aku yang mengetahuinya. Silakan kamu mau percaya atau tidak. Yang jelas buat apa aku membohongimu. Sebenarnya tanpa Vino minta pun aku akan tetap menikahimu." Arsenio menatap lekat wajah Adelia. "Siapa yang mau menikah denganmu? Aku tidak mau! Kamu mau memanfaatkan keadaan?" ketus Adelia.Arsenio hanya bisa menghela napas kasar mendengar penolakan Adelia. "Aku akan menunggumu sampai kamu mau menikah denganku dan aku tidak pernah memanfaatkan keadaan! Aku pun tidak menginginkan Vino pergi dari dunia ini. Aku sudah mengikhlaskanmu dengan Vino walaupun hatiku tidak bisa dibohongi kalau aku mencintaimu. Aku tahu Vino adalah lelaki baik. Dia bisa menjagamu dan menjaga Gio, makanya aku mengikhlaskanmu," berondong Arsenio dan menatap Adelia dengan tatapan penuh harap d
"Sudahlah! Tidak usah membicarakan pernikahan. Yang aku inginkan hanyalah Vino. Aku masih mencintai Vino walaupun dia sudah tidak ada di dunia ini. Aku masih memikirkannya, Arsen. Bagaimana bisa aku menikah denganmu sementara di hatiku masih ada Vino." Adelia bangun dari duduknya dan hatinya kembali teringat Vino. "Pa aku merindukanmu. Aku sangat merindukanmu Pa." Adelia kembali menangis. "Adelia!" Arsenio bangun dari duduknya lalu mendekati Adelia. Adelia mundur satu langkah ketika Arsenio mendekatinya. "Tidak ada lagi yang harus kamu bicarakan bukan? Maaf, Arsen bukan aku mengusirmu. Aku ingin sendiri." "Baiklah. Aku akan pergi. Maafkan aku jika membuatmu jadi seperti ini," ucap Arsenio, "Oh, iya. Aku akan mendatangi makam Vino setelah dari sini," lanjut Arsenio. "Iya, Arsen.""Ya sudah aku pergi. Permisi," ucap Arsenio lalu pergi meninggalkan Adelia. Adelia kemudian memperhatikan punggung Arsenio yang sedang berjalan men