Bab 69. Bukan Inginku
"Alia, ponsel Nizar tolong diambil. Aku sibuk mengedit video!" pinta Ainun dengan tatapan tak bersahabat.
Padahal dia hanya sibuk mencatat alamat, belum sampai mengedit video. Akan tetapi Alia memilih mengangguk dan mengambil ponsel Nizar ketimbang memperpanjang masalah.
Perempuan itu menduga kalau Ainun tidak ingin menyentuh benda apa pun yang menjadi milik Nizar. Sebenarnya bagus karena dia sedang berusaha melupakan masa lalu, tetapi tetap saja semua menjadi kaku.
Mereka kembali melanjutkan pekerjaan. Setelah selesai mencatat alamat, Diqi datang sendirian dan langsung duduk di dekat Ainun. Meski ketahuan punya rasa, tetap saja dia percaya diri karena mereka sudah lama bersahabat.
"Sibuk apa, Ai?"
"Ini baru mau ngedit video. By the way, kenapa pulang sendiri? Kak Nawaf mana?"
Diqi menoleh ke segala arah dan menyadari kalau Nawaf tidak pulang bersamanya. Padahal sejak tadi dia sibuk cerita. Pantas saja orang-oran
Bab 70. Orang tak Waras"Laki-laki tadi siapa? Lu mau selingkuh dari gue?" bentaknya tepat di depan wajah Ainun."Memangnya kamu siapa sampai harus aku selingkuhin? Kita gak ada hubungan apa-apa. Mengerti?" balas Ainun ketus, tidak mau kalah.Akan tetapi, Tio justru semakin murka. Rasa cemburu dalam dadanya terus membuncah. Kalau saja bisa, Tio sangat ingin mengambil nyawa lelaki tadi."Mending kamu pulang dan jangan datang ke sini lagi. Please, aku gak akan pernah cinta sama kamu!" lanjut Ainun lagi. Gadis itu tentu saja berani karena banyak orang berlalu lalang, terutama karena Bu Madinah ada di dekatnya."Tunggu, lu nganggap cinta gue gak tulus? Ainun, gue udah berusaha buat salat, kok, meski telat.""Tapi lu pemabuk. Gue gak suka sama cowok yang doyan sama khamar.""Lah, gue pemabuk, tapi hati gue baik. Percuma salat kalau punya rasa dendam dalam hati, kan? Lah, gue? Gue sering bantu orang-orang.""Bantu gimana?""Ba
Bab 71. Ini tentang Takdir"Laki-laki itu siapa?""Orang gak waras, Kak. Dia pasti sengaja ke sini buat mengulik informasi soalnya kemarin dia liat aku dibonceng sama Diqi.""Dia Tio yang aku ceritain kemarin itu loh, Kak. Inget, gak?" Alia ikut menimpali padahal tengah sibuk membuat pesanan pelanggan lain. Masih pukul sebelas siang, tetapi sudah ada lebih tujuh pembeli dan itu harus mereka syukuri."Oh iya, ingat-ingat. Jadi kemarin yang kamu ceritain naksir sama Ainun?""Bukan naksir lagi, Kak. Kemarin aja dia bilang mau ngelamar aku bulan depan," jawab Ainun mengerucutkan bibir padahal lelaki itu bertanya pada sang adik."Kok, bisa? Emang kamu respon apa gimana?" Alia menganga, lalu kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya, membungkus pesanan satu per satu untuk kemudian,dia serahkan pada pembeli.Bakso meriang love ternyata lebih menarik minat pembeli karena bentuknya yang unik. Beruntung Bu Zahra sudah fit, jadi bisa membantu Na
Bab 72. Acara LamaranHari yang dinanti-nanti telah tiba, keluarga Diqi sudah berkumpul di rumah Ainun tepat pukul sembilan pagi di hari jumat. Hanya Diqi, lalu kedua orangtuanya yakni Pak Zaid dan Bu Ruqayyah serta gurunda tercinta Ustaz Hamka karena saudaranya tidak bisa meninggalkan pekerjaan yang sudah lama menuntut diselesaikan.Ainun sendiri duduk di antara dua orang dewasa, yakni Bu Madinah dan pamannya sebagai wali nikah nanti Pak Hasyim. Hidangan sudah menghiasi meja panjang itu, cukup sederhana, tetapi suasana begitu tenang."Jujur saja, kami tidak pernah berpikir mencari calon untuk Diqi karena dia itu selain tidak mudah jatuh cinta, kami juga percaya kalau dia bisa memilih yang terbaik untuk dirinya dan kami rasa Ainun memang sangat pantas," kata Pak Zaid lagi tersenyum ramah."Betul sekali, Bu Madinah. Sebagai orang tua, saya sudah mengenal betul siapa Ainun. Berulang kali kami bertemu karena dia sahabat Diqi juga. Dia tidak pernah datang sen
Bab 73. Perebut Kekasihku"Ayu?" Kedua alis Ainun saling bertaut. Untuk apa gadis itu bertamu di siang bolong seperti ini? Bukankah seharusnya dia tidur siang?Entahlah, meskipun bingung, Ainun tetap memintanya masuk dulu. Tanpa menjawab, Ayu langsung masuk, melipat kedua kaki, mengangkat dagu begitu angkuh menatap Ainun dan Alia bergantian."Apa yang membawamu ke sini, Ay? Bukannya kamu bilang selalu tidur siang, lalu sorenya kumpul sama Santi dan Nina lagi?"Gadis yang memakai jilbab segitiga warna krem itu tersenyum sinis. Dia merasa muak ketika mengingat wajah Ainun, apalagi sampai harus melihat secara langsung. Akan tetapi, jika terus diam atau mengomel lewat Whats-App juga tidak memuaskan bagi Ayu karena gadis itu akan terus beralasan.Maka walau terpaksa, dia tetap saja datang. Menghela napas, lalu bertanya, "kamu pernah sakit hati, kan?""Maksud kamu apa nanya kayak gitu?""Waktu tahu Nizar melamar Alia, kamu sakit hati, kan?"
Bab 74. Habibi dan AinunCinta kita melukiskan sejarahMenggelarkan cerita penuh sukacitaSehingga siapa pun insan Tuhan pasti tahuCinta kita sejati....."Tuhan, mungkinkah dia memang Habibi yang selama ini aku cari?" gumam Ainun bertanya pada diri sendiri ketika melihat cincin permata love melingkar di jari manisnya.Senin pagi, Ustazah Halimah kembali meliburkan pengajian, jadi sepagi ini Ainun menunggu jemputan dari Alia di pinggir jalan karena gadis itu tidak memakai motor sendiri, melainkan diantar.Qadarullah, kedua gurunya ada urusan mendesak. Jadi, pengajian mendadak libur.Dia melipat kedua tangan di depan dada, berdiri dengan rasa gelisah. Tidak lama kemudian, seseorang menepuk pundaknya."Perebut lagi nungguin apa?"Hati Ainun kembali sakit mendengar julukan yang baru saja disematkan oleh Ayu. Gadis itu datang bersama dua sahabatnya yang sama-sama songong.Menghela napas, Ainun memalingkan waj
Bab 75. Tolong Jaga DiaSaat Diqi baru saja belok kanan setelah melewati pagar rumah Bu Zahra karena siang ini harus ke rumah Ustaz Darwis. Dia bertemu Nizar yang kebetulan baru datang."Udah mau pulang?"Diqi tersenyum. "Iya, Bro. Mau ngaji. Duluan, yah!""Tunggu!" Nizar memegang pundak Diqi, mata mereka bertemu dalam satu titik. "Aku mau bicara. Ikuti aku!"Mereka berdua meninggalkan tempat itu, sedikit menjauh agar pembicaraannya tidak terdengar oleh Ainun dan Alia. Cuaca memang sangat panas, tetapi mereka seakan tidak peduli, tepatnya Nizar.Semenjak mengetahui kalau Ainun dilamar oleh sahabat mereka sendiri, lelaki berkumis tipis itu semakin kepikiran. Dia tidak menduga kalau gadis yang dia khianati ternyata dicintai dengan tulus oleh Diqi.Mereka berdua tiba di sebuah tempat yang sedikit jauh dari masjid. Cocok untuk berteduh karena ada pohon rindang di sana. Nizar mematikan mesin motor, begitu pula Diqi.Duduk saling ber
Bab 76. Sejumput Nyeri"Ainun, demi bumi yang kita pijak, juga langit yang menaungi kita. Katakan dengan jujur, apa kelak kamu tidak bisa mencintai aku bahkan setelah kita menikah?"Gadis bermata indah itu mengangkat wajah, menatap bingung pada Diqi. Kenapa dia tiba-tiba menanyakan itu? Bukankah sebelumnya baik-baik saja?"Maksud kamu apa, Diqi? Aku sudah menerima lamaranmu itu artinya aku menerima kamu apa adanya.""Menerima lamaranku bukan berarti menerima aku, Ainun. Bisa jadi kamu merasa tidak enak lantas melakukan itu semua. Jangan mengorbankan perasaanmu sendiri. Jangan mematahkan sayapmu demi tetap bersamaku. Terbang bebaslah ke mana pun kamu mau. Jadi, tolong, sebelum terlambat, katakan dengan jujur.""Diqi, sebenarnya aku tidak mengerti. Kenapa tiba-tiba kamu–""Cinta itu penting, terutama dalam pernikahan. Aku hanya tidak mau kamu menyesal diam-diam karena menerima lamaran aku. Kalau tidak bisa mencintai, aku ikhlas melepasmu
Bab 77. Jangan Gadaikan Agamamu"Sebenarnya kamu kenapa, Ainun?" tanya Alia lagi ketika senja telah menyapa. Pelanggan pun sepi, jadi Nawaf dan Alia berinisiatif untuk mendesak gadis itu bercerita."Tidak apa-apa. Hanya masalah kecil, kok. Kalian gak usah khawatir." Ainun memaksakan senyum meskipun matanya tidak mampu menutupi kesedihan yang mendera dalam hati."Ainun, tolong jangan berusaha menutupi sesuatu. Aku tidak bisa melihatmu sehancur ini. Apa Diqi menyakitimu? Dia bilang ingin memutuskan lamaran atau ada kaitannya dengan Nizar?"Gadis bermata indah itu menggeleng. Bibirnya masih mengulum senyum walau air mata terus saja berlinang. Sungguh Ainun tak ingin hatinya jadi milik yang lain, tetapi Diqi sosok yang tak mungkin ditemukan pada diri orang lain.Ainun pernah berpikir, entah apa jadinya tanpa Nizar, mungkinkah dia harus mati daripada melihatnya bersanding dengan yang lain? Malam itu, saat yang terindah dalam hidup Ainun, tepat ketika Ni