Bab 74. Habibi dan Ainun
Cinta kita melukiskan sejarah
Menggelarkan cerita penuh sukacitaSehingga siapa pun insan Tuhan pasti tahuCinta kita sejati.....
"Tuhan, mungkinkah dia memang Habibi yang selama ini aku cari?" gumam Ainun bertanya pada diri sendiri ketika melihat cincin permata love melingkar di jari manisnya.
Senin pagi, Ustazah Halimah kembali meliburkan pengajian, jadi sepagi ini Ainun menunggu jemputan dari Alia di pinggir jalan karena gadis itu tidak memakai motor sendiri, melainkan diantar.
Qadarullah, kedua gurunya ada urusan mendesak. Jadi, pengajian mendadak libur.
Dia melipat kedua tangan di depan dada, berdiri dengan rasa gelisah. Tidak lama kemudian, seseorang menepuk pundaknya.
"Perebut lagi nungguin apa?"
Hati Ainun kembali sakit mendengar julukan yang baru saja disematkan oleh Ayu. Gadis itu datang bersama dua sahabatnya yang sama-sama songong.
Menghela napas, Ainun memalingkan waj
Bab 75. Tolong Jaga DiaSaat Diqi baru saja belok kanan setelah melewati pagar rumah Bu Zahra karena siang ini harus ke rumah Ustaz Darwis. Dia bertemu Nizar yang kebetulan baru datang."Udah mau pulang?"Diqi tersenyum. "Iya, Bro. Mau ngaji. Duluan, yah!""Tunggu!" Nizar memegang pundak Diqi, mata mereka bertemu dalam satu titik. "Aku mau bicara. Ikuti aku!"Mereka berdua meninggalkan tempat itu, sedikit menjauh agar pembicaraannya tidak terdengar oleh Ainun dan Alia. Cuaca memang sangat panas, tetapi mereka seakan tidak peduli, tepatnya Nizar.Semenjak mengetahui kalau Ainun dilamar oleh sahabat mereka sendiri, lelaki berkumis tipis itu semakin kepikiran. Dia tidak menduga kalau gadis yang dia khianati ternyata dicintai dengan tulus oleh Diqi.Mereka berdua tiba di sebuah tempat yang sedikit jauh dari masjid. Cocok untuk berteduh karena ada pohon rindang di sana. Nizar mematikan mesin motor, begitu pula Diqi.Duduk saling ber
Bab 76. Sejumput Nyeri"Ainun, demi bumi yang kita pijak, juga langit yang menaungi kita. Katakan dengan jujur, apa kelak kamu tidak bisa mencintai aku bahkan setelah kita menikah?"Gadis bermata indah itu mengangkat wajah, menatap bingung pada Diqi. Kenapa dia tiba-tiba menanyakan itu? Bukankah sebelumnya baik-baik saja?"Maksud kamu apa, Diqi? Aku sudah menerima lamaranmu itu artinya aku menerima kamu apa adanya.""Menerima lamaranku bukan berarti menerima aku, Ainun. Bisa jadi kamu merasa tidak enak lantas melakukan itu semua. Jangan mengorbankan perasaanmu sendiri. Jangan mematahkan sayapmu demi tetap bersamaku. Terbang bebaslah ke mana pun kamu mau. Jadi, tolong, sebelum terlambat, katakan dengan jujur.""Diqi, sebenarnya aku tidak mengerti. Kenapa tiba-tiba kamu–""Cinta itu penting, terutama dalam pernikahan. Aku hanya tidak mau kamu menyesal diam-diam karena menerima lamaran aku. Kalau tidak bisa mencintai, aku ikhlas melepasmu
Bab 77. Jangan Gadaikan Agamamu"Sebenarnya kamu kenapa, Ainun?" tanya Alia lagi ketika senja telah menyapa. Pelanggan pun sepi, jadi Nawaf dan Alia berinisiatif untuk mendesak gadis itu bercerita."Tidak apa-apa. Hanya masalah kecil, kok. Kalian gak usah khawatir." Ainun memaksakan senyum meskipun matanya tidak mampu menutupi kesedihan yang mendera dalam hati."Ainun, tolong jangan berusaha menutupi sesuatu. Aku tidak bisa melihatmu sehancur ini. Apa Diqi menyakitimu? Dia bilang ingin memutuskan lamaran atau ada kaitannya dengan Nizar?"Gadis bermata indah itu menggeleng. Bibirnya masih mengulum senyum walau air mata terus saja berlinang. Sungguh Ainun tak ingin hatinya jadi milik yang lain, tetapi Diqi sosok yang tak mungkin ditemukan pada diri orang lain.Ainun pernah berpikir, entah apa jadinya tanpa Nizar, mungkinkah dia harus mati daripada melihatnya bersanding dengan yang lain? Malam itu, saat yang terindah dalam hidup Ainun, tepat ketika Ni
Bab 78. Pamer PacarHari berganti minggu, minggu pun berganti bulan, semua kembali seperti semula. Nawaf sudah kembali ceria, melayani semua pembeli dengan senyum merekah sempurna. Tidak ada lagi kericuhan karena mereka yang modus hanya datang membeli.Semua itu terjadi setelah Ustazah Halimah singgah membeli bakso dan melihat tingkah mereka yang genit. Akhirnya, beliau memberi nasihat bahwa seorang perempuan harus menjaga kehormatannya.Sejak saat itu, baik Amira dan semua perempuan di sana mendadak pura-pura salihah. Ketika datang membeli bakso, memakai jilbab walau ada yang masih mengenakan celana jeans termasuk Maria, padahal agamanya berbeda.Yah, meski sesekali mereka mengambil gambar Nawaf diam-diam. Adapun jika ketahuan, Alia pasti menegur dengan sopan. Pembeli semakin ramai, mungkin karena sering bersedekah."Kak, Bu Rina pesan lima porsi, anter ke sekolah aja katanya." Alia memberi tahu, Nawaf mengacungkan kedua jempol.Sementara N
Bab 79. Pengantar UndanganMinggu itu, mereka memilih untuk tidak berjualan setelah dua hari sibuk membuat ratusan porsi bakso meriang love. Hanya rasa lelah yang dirasakan saat ini sehingga Nizar menyarankan rehat karena mereka sampai telat salat subuh.Bagaimana tidak, mereka membuat bakso sampai pukul empat subuh. Lima belas menit sebelum waktu salat, malah ketiduran. Alhasil, mereka bangun pukul delapan pagi.Pulas karena terlalu lelah dan mengantuk.Padahal salah seorang Habib dari Hadramaut, Yaman mengatakan, Allah sudah menjamin rezekimu, tetapi tidak menjamin ibadahmu. Maka jangan sampai kamu mencari rezeki hingga tak sempat ibadah.Alia menggeliat di tempat tidur. Setelah meng-qadha salat tadi, dia kembali ke peraduan meski suami dan kakaknya sibuk bersiap mengantar pesanan."Lia, temen kamu nyariin!" Bu Zahra membuka daun pintu semakin lebar, lantas menepuk bokong putrinya."Siapa, Ma?""Ainun sama Rania."Mata
Bab 80. Qobiltu"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq," ucap Diqi begitu lantang melafazkan sighot qabul di depan penghulu dan semua orang.Air mata Ainun kembali menggenang ketika mengingat momen beberapa jam lalu saat dia telah resmi menjadi seorang istri. Seluruh keluarga serta tamu undangan nampak bahagia, Ainun mengulum senyum.Achmad Asshidiqi adalah sosok lelaki yang sudah lama menjadi sahabat gadis bermata indah itu. Mereka sering berbagi pengalaman dan saling melempar pendapat sehingga Diqi tidak menyadari bahwa benih cinta perlahan tumbuh di dalam hatinya.Dia anak bungsu, tetapi hidup mandiri. Tanpa sahabatnya ketahui bahwa sejak sekolah, Diqi memang pernah diajari berbisnis oleh orang tua. Padahal dia terlahir dari keluarga berada.Cinta yang terus tumbuh detik demi detik. Diqi berjanji akan selalu menjaga Ainun, dalam suka duka bahkan di siang dan malamnya."Alhamdulillah, s
Bab 81. Gemuruh dalam DadaLepas salat asar, kedua mempelai kembali ke pelaminan. Semua masih saja, tamu undangan silih berganti menyalami mereka. Tentu saja, baik Ainun maupun Nizar hanya mengulurkan tangan kepada mahram saja dan mengatup kedua tangan di depan dada untuk yang lainnya.Rasa lelah duduk seharian hadir memeluk raga mereka. Ainun ingin sekali masuk kamar untuk meregangkan otot walau sebentar. Namun, senyum dari setiap tamu seolah membakar semangatnya lagi dan lagi."Kamu udah buka kado dari Alia?" Kembali Diqi bertanya sesuatu yang tidak ingin Ainun bahas saat ini."Belum. Gak mau buka sekarang, nanti saja.""Kenapa?""Pokoknya nanti saja. Gak usah terlalu penasaran, nanti malah gak sesuai harapan. Alia pasti ngasih jilbab kalau gak gamis.""Menurut aku bukan gamis, melainkan ...." Diqi tersenyum, sengaja menggantung ucapannya lantas mengerling manja pada sang istri.Ainun sendiri menghela napas panjang, lalu memb
Bab 82. Takdir yang DirindukanPukul sebelas malam, kedua mempelai sudah memasuki kamar karena kelelahan karena terus melayani tamu dan memaksakan senyuman. Padahal, Ainun merasa nyeri di bagian perut dan pinggangnya.Saat sedang duduk di depan kaca rias untuk menghapus make up dengan remover, tiba-tiba Diqi berlutut dan memeluknya dari belakang membuat bulu kuduk perempuan itu meremang."Ada apa?" tanya Ainun sedikit gugup. Dia takut melakukan itu. Apalagi sekarang ada di rumah Diqi, mudah bagi lelaki itu untuk memaksanya.Bibirnya yang sedikit gemetar terlihat jelas dari pantulan cermin. Diqi menarik sudut bibir tipis, kemudian berdiri, melangkah menuju lemari pakaian.Setelah kembali, dia meletakkan hadiah dari Alia tadi di meja, tepat depan Ainun. "Buka sekarang!""Nanti saja, Diq–""Eh, bukan Diqi. Habibi, singkatnya 'bi'. Mengerti, Sayangku?"Jauh di lubuk hati, Ainun merasa senang karena melihat binar cinta terpanc