Setelah Windi menjadi sekretaris Rangga, tingkahnya semakin menjadi. Wanita itu bahkan tak segan melakukan kontak fisik dengan Rangga di hadapan Rania, tetapi justru Rangga tak keberatan dengan hal itu. Bahkan, jika Rania meminta pada Rangga untuk sedikit menjaga jarak dengan Windi, yang ada Rania malah akan mendapatkan kemarahan dari Rangga. Katanya Rania terlalu mengedepankan perasaan dan berpikiran sempit.
Tak hanya sampai di sana, selanjutnya Windi bahkan dengan sengaja mengirimkan foto-fotonya bersama Rangga di kantor kepada Rania. Meski tanpa keterangan apapun, tetapi Rania tahu jika Windi ingin memamerkan kedekatannya bersama Rangga. Lalu saat Rania merasa kesal dan meminta penjalasan akan hal itu pada Rangga, Windi pun mulai mengeluarkan jurus andalannya, yaitu berakting polos dengan memasang raut wajah bersalah. "Maafin aku, Rania. Aku mengirim foto-foto bersama Rangga di kantor sama sekali bukan bermaksud mau membuat kamu cemburu. Aku hanya mau memperlihatkan kegiatanku bersama Rangga ke kamu, supaya kamu tidak berpikiran yang macam-macam," ujar Windi dengan nada memelas. Ingin sekali Rania tertawa dibuatnya. Sekali lagi dia masuk ke dalam jebakan permainan Windi. Jika sudah begini, jelas Rangga akan kembali marah kepadanya, seolah Windi adalah korban. Padahal di sini dirinyalah korban yang sesungguhnya. "Padahal aku sudah berulang kali memintamu untuk tidak berprasangka buruk pada Windi, Rania. Tetapi kenapa kamu tetap saja–" "Picik? Berpikiraqn sempit?" Rania memotong ucapan Rangga sebelum lelaki itu menyelesaikannya. "Terus saja bilang aku picik, Mas! Kalau aku picik, lalu kalian apa?" tanya Rania emosional. Dia sudah mulai kehabisan stok kesabaran. "Rania!" Rangga penyergah tak suka. Selama ini, tak pernah Rania membentaknya seperti ini. "Coba kamu lihat semua foto-foto ini! Apa menurutmu pantas seorang bos dan sekretarisnya berpose saling menempel seperti ini?" Rania kembali memperlihatkan satu persatu foto-foto yang dikirimkan oleh Windi, persis di depan mata Rangga. "Bahkan meski katanya kalian sahabat yang sudah seperti saudara, tindakan kalian itu sangat tidak pantas. Kalian lebih terlihat seperti pasangan selingkuh ketimbang sahabat!" Plak! Sebuah tamparan yang begitu keras mendarat di pipi Rania, membuat wanita itu sedikit terhuyung ke samping. Sesaat kemudian, dia mendongak ke arah Rangga sembari memegangi pipinya yang terasa pedih dan panas. Tatapannya nanar dengan mata yang berkaca-kaca. Rania sungguh tak percaya Rangga akan menamparnya seperti ini hanya demi Windi. "Mas?" Air mata Rania mengalir tanpa bisa dia cegah. Ketimbang pipinya, justru hatinya yang saat ini lebih terasa sakit. "Ini kali terakhir aku memaklumi sikap kekanakanmu ini, Rania. Sekali lagi kamu mengatakan hal yang tidak masuk akal tentang Windi, aku tidak akan pernah memaafkanmu." Rangga menatap Rania tajam. Tak ada sedikitpun raut bersalah terlihat di wajah lelaki itu setelah dia menampar sang istri. "Jangan seperti ini, Rangga." Windi menyela. "Aku yang salah karena sudah bertindak tanpa berpikir lagi. Rania tidak salah, tapi aku yang salah. Tolong jangan marah pada Rania karena aku. Rania pasti sudah sangat kesulitan karena tindakanku. Aku sungguh minta maaf. Karena aku, kalian jadi bertengkar seperti ini." Windi berpura-pura menyeka sudut matanya, seolah saat ini dirinya sedang menangis. Rania yang melihat hal itu hanya bisa menahan geram. "Aku minta maaf, ya, Rania. Aku sungguh tidak berpikir jika tindakanku akan menyakiti kamu." Windi pura-pura terisak. Ia menyentuh punggung tangan Rania, tetapi dengan cepat Rania tepis. "Luar biasa sekali, Windi. Kamu mestinya jadi aktor saja," ujar Rania sebelum pergi meninggalkan Windi dan Rangga. Rangga hanya menatap punggung Rania sekilas, tanpa ada niatan untuk menyusulnya. Di dalam kamar, Rania menangis tersedu-sedu sembari mencengkram kuat dadanya. Hatinya benar-benar terasa sakit mengingat perlakuan Rangga tadi. Lelaki itu tega menamparnya di hadapan Windi hanya karena dirinya menyuarakan isi hati dengan lantang. Sekarang Rania merasa asing pada suaminya sendiri. Rangga seperti bukan Rangga yang Rania kenal selama ini. Ataukah mungkin selama ini Rania tak pernah benar-benar mengenal sosok Rangga yang sebenarnya? Entahlah, yang jelas apa yang dirasakan oleh Rania saat ini terlalu menyakitkan. Sementara itu, di ruang keluarga, Windi juga sedang menangis tersedu-sedu. Bedanya, wanita itu bukan menangis sungguhan, melainkan hanya sedang berakting saja. Dia berpura-pura sedih dengan apa yang terjadi hari ini. "Sejak awal seharusnya aku tidak tinggal di rumah ini, Ngga. Rania sudah keberatan, seharusnya kita menghargai perasaan dia. Sekarang dia bahkan salah paham dan kamu sampai menampar dia. Hubungan kalian jadi buruk karena aku," ujar Windi sembari terisak. "Kamu tidak salah, Windi. Rania saja yang terlalu kekanakan. Semoga setelah ini dia sadar dan berpikir sedikit lebih dewasa," sahut Rangga. Lelaki itu mengusap punggung Windi lembut, lalu memberikan pelukan untuk menenangkan. Tak terpikirkan olehnya jika istrinya di kamar saat ini juga sedang menangis dan butuh ditenangkan. "Sepertinya aku pindah saja dari rumahmu, Ngga. Aku tidak mau terus-terusan menjadi alasan kalian bertengkar," ujar Windi kemudian. Dia memasang ekspresi seolah dirinya benar-benar menyesal atas situasi yang terjadi saat ini. "Tidak, aku tidak mengizinkanmu pergi dari sini. Aku sudah berjanji akan menjagamu. Pokoknya, jangan pernah berpikir untuk pergi dari sini." Rangga langsung menolak keinginan Windi sambil kembali mengusap punggung wanita itu. Tanpa dia sadari, saat ini Windi sedang tersenyum miring sembari menyeka sudut matanya. Sudah bisa dipastikan jika Rangga telah sepenuhnya berada dalam genggaman tangannya. Setelah hari itu, Rangga semakin dingin pada Riana. Rangga berkeinginan istrinya itu untuk meminta maaf pada Windi, karena menilai jika Riana telah bersikap tak baik pada sahabatnya itu. Tentu saja Riana menolak untuk meminta maaf. Dia tak melakukan kesalahan apapun. Justru Rangga dan Windilah yang telah melewati batas. Riana ingin memberontak, tetapi sayang dirinya tak memiliki kekuatan sedikitpun, sehingga yang terjadi adalah ia harus menderita menahan ketidakadilan karena ketidakberdayaan itu. Selama ini, Riana memang bersandar sepenuhnya pada Rangga. Padahal dulu ia adalah sosok yang berprestasi. Meski hanya anak yatim piatu yang besar di panti asuhan, tetapi pencapaiannya cukup gemilang. Riana mendapatkan beasiswa penuh dan langsung mendapatkan tawaran kerja dari perusahaan terkemuka setelah menyelesaikan kuliahnya. Selain itu, ia juga mendapatkan tawaran beasiswa pasca sarjana di luar negeri. Tetapi semuanya dia lepaskan karena menerima lamaran Rangga. Membangun rumah tangga dan memiliki keluarga yang utuh adalah satu-satunya impian bagi sosok anak yang tak memiliki orang tua seperti Riana. Dan Rangga adalah lelaki yang datang menawarkan semua itu padanya. Karena itulah, Riana mempertaruhkan semua yang dimilikinya demi untuk menikah dengan Rangga. Dia tak keberatan saat Rangga meminta dirinya untuk menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya setelah menikah, karena dia percaya jika Rangga adalah sosok yang akan mewujudkan impiannya memiliki keluarga yang bahagia. Riana sungguh tak menyangka jika Rangga akan mengkhianati kepercayaannya seperti ini. Lelaki itu seakan lupa pada janjinya dulu saat melamar dirinya. Sekarang semuanya terasa sia-sia. Pengorbanan besar yang telah Riana lakukan demi untuk menjadi istri Rangga, kini terasa seperti tak ada harganya.Riana merasakan kepalanya berat dan pusing saat ia bangkit dari tempat tidur. Jam sudah menunjukan pukul sembilan pagi, yang artinya saat ini Rangga dan Windi telah berangkat bekerja.Untuk sesaat, Rania termenung. Bahkan suaminya tak berusaha untuk mambangunkan atau memeriksa keadaan dirinya, mengingat bukan kebiasaannya bangun terlambat seperti ini."Apa Mas Rangga benar-benar sudah tidak peduli padaku?" Rania bergumam dengan nada miris.Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, Rania pun beranjak dan membersihkan diri di kamar mandi. Setelah berganti pakaian, dia memutuskan untuk berbelanja kebutuhan dapur di toko swalayan yang berada tak jauh dari komplek perumahan tempat tinggalnya. Hari ini memang jadwal Rania berbelanja mingguan, sekaligus belanja bulanan. Akan tetapi, saat memeriksa saldo rekeningnya, rupanya Rangga belum mengirin uang bulanan untuk kebutuhan mereka. Rania tersenyum kecut. Alih-alih merasa bersalah karena telah menampar Rania tempo hari, Rangga justru masih
Rania meringis tertahan sebelum akhirmya membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit sebuah ruangan yang sangat asing. Seketika dia teringat jika sebelumnya tak sadarkan diri saat berada di sebuah halte bus."Sudah sadar?" Sebuah suara berat dan dingin terdengar di telinga Rania, membuatnya sontak menoleh. Seorang lelaki mengenakan hoddie hitam tampak duduk sambil bersedekap. Riana langsung ingat jika lelaki itu adalah lelaki yang troli belanjaannya tak sengaja ia bawa di swalayan tadi. Sepertinya, lelaki itu yang telah menolongnyaLelaki itu bangkit dari duduknya. "Saya akan memanggil dokter dulu," ujarnya sembari keluar dari ruangan tersebut, tanpa memberikan kesempatan pada Rania untuk mengatakan apapun.Tak lama kemudian, seorang dokter bersama dengan seorang perawat datang untuk memeriksa kondisi Rania."Asam lambung Anda naik dan sepertinya Anda kurang istirahat," ujar dokter itu setelah menyelesaikan pemeriksaannya.Rania hanya mengangguk. Belakangan dirinya m
"Rania, kenalkan ini Windi. Dia sahabatku sejak kecil dan sudah kuanggap seperti saudara." Rangga memperkenalkan seorang wanita asing kepada Riana, istrinya. "Oh, hai ...." Rania terlihat menanggapi sembari tersenyum canggung. Dia menatap ke arah wanita itu tanpa tahu harus bereaksi seperti apa. Sore itu, Rania agak terkejut saat sang suami pulang dengan membawa serta seorang wanita yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Rangga dan wanita itu terlihat begitu akrab. Agak janggal rasanya karena yang Rania tahu, Rangga bukanlah tipe orang yang mudah akrab dengan orang lain. Bahkan, terhadap istrinya sendiri pun Rangga tak pernah bersikap secair itu. "Halo, Rania. Senang akhirnya bisa bertemu dengan kamu." Wanita bernama Windi itu mengulurkan tangannya. "Saya dan Rangga sudah berteman bahkan sejak kami belum sekolah." "Ah, iya." Mau tak mau Rania pun menyambutnya. "Senang juga bertemu denganmu," sahutnya. "Silakan masuk." Rania akhirnya mempersilakan tamu tak terduga tersebut untu
"Mas, kita perlu bicara." Rania berucap dengan hati-hati pada Rangga yang hendak bersiap tidur. Nada bicaranya ia buat sehalus mungkin agar enak didengar oleh sang suami. Belakangan Rangga memang sangat gampang tersulut emosi setiap kali Rania mengatakan sesuatu, terutama saat Rania protes tentang sikap Windi. Bukannya mendengarkan keluhan sang istri, Rangga malah menuduh Riana sengaja menjelek-jelekkan Windi karena sudah merasa tak suka dengan kehadiran Windi sejak awal."Besok saja, sekarang aku lelah sekali," sahut Rangga. Lelaki itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, lalu memunggungi Rania.Rania tampak menghela napasnya dengan agak tertahan. Sejak kedatangan Windi, sikap Rangga padanya menjadi semakin dingin saja. Lelaki itu seakan stak memiliki waktu lagi untuk Rania, bahkan hanya untuk sekedar saling mengobrol."Besok kamu pasti akan bilang sibuk, lalu malamnya kamu kembali bilang lelah." Rania akhirnya protes, meski dengan nada yang masih terdengar rendah."Itu karena
Rania meringis tertahan sebelum akhirmya membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit sebuah ruangan yang sangat asing. Seketika dia teringat jika sebelumnya tak sadarkan diri saat berada di sebuah halte bus."Sudah sadar?" Sebuah suara berat dan dingin terdengar di telinga Rania, membuatnya sontak menoleh. Seorang lelaki mengenakan hoddie hitam tampak duduk sambil bersedekap. Riana langsung ingat jika lelaki itu adalah lelaki yang troli belanjaannya tak sengaja ia bawa di swalayan tadi. Sepertinya, lelaki itu yang telah menolongnyaLelaki itu bangkit dari duduknya. "Saya akan memanggil dokter dulu," ujarnya sembari keluar dari ruangan tersebut, tanpa memberikan kesempatan pada Rania untuk mengatakan apapun.Tak lama kemudian, seorang dokter bersama dengan seorang perawat datang untuk memeriksa kondisi Rania."Asam lambung Anda naik dan sepertinya Anda kurang istirahat," ujar dokter itu setelah menyelesaikan pemeriksaannya.Rania hanya mengangguk. Belakangan dirinya m
Riana merasakan kepalanya berat dan pusing saat ia bangkit dari tempat tidur. Jam sudah menunjukan pukul sembilan pagi, yang artinya saat ini Rangga dan Windi telah berangkat bekerja.Untuk sesaat, Rania termenung. Bahkan suaminya tak berusaha untuk mambangunkan atau memeriksa keadaan dirinya, mengingat bukan kebiasaannya bangun terlambat seperti ini."Apa Mas Rangga benar-benar sudah tidak peduli padaku?" Rania bergumam dengan nada miris.Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, Rania pun beranjak dan membersihkan diri di kamar mandi. Setelah berganti pakaian, dia memutuskan untuk berbelanja kebutuhan dapur di toko swalayan yang berada tak jauh dari komplek perumahan tempat tinggalnya. Hari ini memang jadwal Rania berbelanja mingguan, sekaligus belanja bulanan. Akan tetapi, saat memeriksa saldo rekeningnya, rupanya Rangga belum mengirin uang bulanan untuk kebutuhan mereka. Rania tersenyum kecut. Alih-alih merasa bersalah karena telah menampar Rania tempo hari, Rangga justru masih
Setelah Windi menjadi sekretaris Rangga, tingkahnya semakin menjadi. Wanita itu bahkan tak segan melakukan kontak fisik dengan Rangga di hadapan Rania, tetapi justru Rangga tak keberatan dengan hal itu. Bahkan, jika Rania meminta pada Rangga untuk sedikit menjaga jarak dengan Windi, yang ada Rania malah akan mendapatkan kemarahan dari Rangga. Katanya Rania terlalu mengedepankan perasaan dan berpikiran sempit.Tak hanya sampai di sana, selanjutnya Windi bahkan dengan sengaja mengirimkan foto-fotonya bersama Rangga di kantor kepada Rania. Meski tanpa keterangan apapun, tetapi Rania tahu jika Windi ingin memamerkan kedekatannya bersama Rangga. Lalu saat Rania merasa kesal dan meminta penjalasan akan hal itu pada Rangga, Windi pun mulai mengeluarkan jurus andalannya, yaitu berakting polos dengan memasang raut wajah bersalah."Maafin aku, Rania. Aku mengirim foto-foto bersama Rangga di kantor sama sekali bukan bermaksud mau membuat kamu cemburu. Aku hanya mau memperlihatkan kegiatanku bers
"Mas, kita perlu bicara." Rania berucap dengan hati-hati pada Rangga yang hendak bersiap tidur. Nada bicaranya ia buat sehalus mungkin agar enak didengar oleh sang suami. Belakangan Rangga memang sangat gampang tersulut emosi setiap kali Rania mengatakan sesuatu, terutama saat Rania protes tentang sikap Windi. Bukannya mendengarkan keluhan sang istri, Rangga malah menuduh Riana sengaja menjelek-jelekkan Windi karena sudah merasa tak suka dengan kehadiran Windi sejak awal."Besok saja, sekarang aku lelah sekali," sahut Rangga. Lelaki itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, lalu memunggungi Rania.Rania tampak menghela napasnya dengan agak tertahan. Sejak kedatangan Windi, sikap Rangga padanya menjadi semakin dingin saja. Lelaki itu seakan stak memiliki waktu lagi untuk Rania, bahkan hanya untuk sekedar saling mengobrol."Besok kamu pasti akan bilang sibuk, lalu malamnya kamu kembali bilang lelah." Rania akhirnya protes, meski dengan nada yang masih terdengar rendah."Itu karena
"Rania, kenalkan ini Windi. Dia sahabatku sejak kecil dan sudah kuanggap seperti saudara." Rangga memperkenalkan seorang wanita asing kepada Riana, istrinya. "Oh, hai ...." Rania terlihat menanggapi sembari tersenyum canggung. Dia menatap ke arah wanita itu tanpa tahu harus bereaksi seperti apa. Sore itu, Rania agak terkejut saat sang suami pulang dengan membawa serta seorang wanita yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Rangga dan wanita itu terlihat begitu akrab. Agak janggal rasanya karena yang Rania tahu, Rangga bukanlah tipe orang yang mudah akrab dengan orang lain. Bahkan, terhadap istrinya sendiri pun Rangga tak pernah bersikap secair itu. "Halo, Rania. Senang akhirnya bisa bertemu dengan kamu." Wanita bernama Windi itu mengulurkan tangannya. "Saya dan Rangga sudah berteman bahkan sejak kami belum sekolah." "Ah, iya." Mau tak mau Rania pun menyambutnya. "Senang juga bertemu denganmu," sahutnya. "Silakan masuk." Rania akhirnya mempersilakan tamu tak terduga tersebut untu