"Mas, kita perlu bicara." Rania berucap dengan hati-hati pada Rangga yang hendak bersiap tidur. Nada bicaranya ia buat sehalus mungkin agar enak didengar oleh sang suami.
Belakangan Rangga memang sangat gampang tersulut emosi setiap kali Rania mengatakan sesuatu, terutama saat Rania protes tentang sikap Windi. Bukannya mendengarkan keluhan sang istri, Rangga malah menuduh Riana sengaja menjelek-jelekkan Windi karena sudah merasa tak suka dengan kehadiran Windi sejak awal. "Besok saja, sekarang aku lelah sekali," sahut Rangga. Lelaki itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, lalu memunggungi Rania. Rania tampak menghela napasnya dengan agak tertahan. Sejak kedatangan Windi, sikap Rangga padanya menjadi semakin dingin saja. Lelaki itu seakan stak memiliki waktu lagi untuk Rania, bahkan hanya untuk sekedar saling mengobrol. "Besok kamu pasti akan bilang sibuk, lalu malamnya kamu kembali bilang lelah." Rania akhirnya protes, meski dengan nada yang masih terdengar rendah. "Itu karena memang aku sibuk dan lelah, Rania. Lagipula, hal penting apa yang mau kamu bicarakan? Bukankah semua kebutuhanmu di rumah ini sudah terpenuhi semua? Apa lagi maumu?" Rangga urung memejamkan matanya dan membalik badannya ke arah Rania. Lagi-lagi dia terlihat marah. "Kenapa kamu harus marah-marah hanya karena aku mau bicara sih, Mas?" tanya Rania. Sejujurnya, dia mulai kesal dengan sikap yang ditunjukkan oleh suaminya itu akhir-akhir ini. Dirinya seperti tak ada artinya sama sekali dan tak dianggap sebagai istri. Rangga terlihat membuang napas kasar. "Katakan, apa yang mau kamu bicarakan?" tanyanya dengan nada yang lebih rendah, tetapi terdengar agak ketus. "Windi ...," ujar Rania dengan agak tertahan. "Kenapa dengan Windi?" "Mau sampai kapan dia tinggal di rumah kita? Lebih baik kita carikan saja dia kost-kostan khusus untuk perempuan, pasti lebih aman." Rangga tampak menatap tajam ke arah Riana setelah mendengar apa yang istrinya katakan barusan. "Memangnya kesalahan apa yang sudah Windi lakukan padamu, sampai-sampai kamu ingin sekali mengusirnya? Setiap hari kamu terus saja mencari celah untuk menjelek-jelekkannya," ujar Rangga dengan nada tak suka. "Aku tidak berusaha menjelek-jelekkannya, Mas. Apa yang aku sampaikan padamu tentang Windi memang seperti itu adanya. Sikapnya saat di hadapanmu dan saat di belakangmu sangat bertolak belakang," sahut Rania tak terima. "Aku sudah mengenal Windi sejak kami masih kecil, Rania, jadi aku sangat tahu orang seperti apa dia," bantah Rangga. "Justru kamu yang sepertinya belum aku kenal dengan baik. Kupikir kamu orang yang baik hati dan memiliki sikap tenggang rasa, tidak tahunya pikiranmu sangat picik!" Rania terhenyak mendengar ucapan suaminya barusan. Serasa ada sebilah belati yang menikan tepat di dadanya saat ini, benar-benar sakit dan menyesakkan. Hanya karena ingin membela sahabatnya, bisa-bisanya Rangga mengatakan hal sekejam itu terhadap dirinya. "Tega sekali kamu bilang begitu, Mas ...." Napas Rania mulai tersengal karena menahan tangis. "Sudahlah! Mulai besok Windi akan mulai bekerja, jadi dia tidak akan sering berada di rumah," ujar Rangga lagi. "Bekerja?" "Ya, dia akan menjadi sekretaris pribadiku, jadi dia tidak akan terlalu sering mengganggu pandangan matamu lagi." Sekretaris pribadi? Lagi-lagi Rania dibuat terperangah dengan ucapan sang suami. Jika Windi menjadi sekretaris pribadi Rangga, bukankah itu artinya mereka berdua akan lebih banyak menghabiskan waktu berdua dibandingkan dengan sebelumnya? "A-pa maksudnya dia menjadi sekretaris pribadi kamu, Mas? Apa tidak ada posisi lain selain itu?" tanya Rania. "Tentu saja posisi sebagai sekretaris pribadiku adalah pekerjaan yang paling cocok untuknya. Dia sudah punya pengalaman sebelumnya. Dan juga, dia sangat memahami karakterku lebih dari siapapun." Lagi-lagi ucapan Rangga yang terlalu membanggakan Windi membuat hati Riana terluka, tetapi sekarang Rania tak terlalu mempedulikan hal itu. Ada hal yang jauh lebih penting sekarang, yaitu menggagalkan niat Rangga yang hendak menjadikan Windi sebegai sekretarisnya. "Aku tidak setuju, Mas. Windi bisa bekerja sebegai apa saja di perusahaanmu, tapi jangan buat dia menjadi sekretaris peribadimu!" Rania menolak dengan tegas. Ucapan Rania barusan membuat raut wajah Rangga berubah menjadi sangat tak enak dilihat. "Apa aku butuh izinmu untuk melakukan hal itu?" tanya Rangga tajam. "Kamu memang istriku, Rania, tetapi kamu tidak punya hak untuk ikut campur dalam urusan pekerjaan, terutama menyangkut dengan keputusanku di perusahaan." "Mas ... Apa kamu sadar dengan yang kamu lakukan sekarang? Kamu sudah membuat jarak di antara kita sejak kehadiran Windi di rumah ini. Kamu sudah bersikap seolah aku ini hanya pelayanmu, bukan istrimu. Kamu --" "Cukup!" Rangga menyentak dengan nada yang cukup tinggi, membuat mulut Rania mengatup rapat dengan pandangan yang terlihat nanar. "Aku tidak mau lagi mendengar apapun ocehanmu menyangkut Windi. Semuanya sebenarnya baik-baik saja, hanya pikiranmu saja yang sudah penuh dengan prasangka-prasangka buruk. Sebaiknya, kamu mulai benahi lagi isi kepalamu itu agar tak terus berpikiran negatif tentang Windi!" Rangga kembali merebahkan dirinya dan berbaring memunggungi Riana. Sedangkan Rania sendiri tampak mematung dengan air mata yang jatuh tak tertahankan. Bahu wanita itu naik turun tak beraturan, menahan gemuruh yang saat ini memenuhi dadanya. Sejujurnya, Rangga memang bukan tipe suami yang romantis dan peka sejak awal meraka menikah, tetapi lelaki itu bertanggung jawab dan bersikap cukup baik pada Rania. Komunikasi mereka sebagai suami istri juga cukup mulus sehuingga mereka jarang terlibat cek-cok. Kini, semua itu berubah sejak kehadiran Windi. Sialnya, Rania seakan tak memiliki daya untuk membuat wanita itu menyingkir dari kehidupan rumah tangganya bersama Rangga. Keesokan harinya, Rania bangun pagi seperti biasa. Berusaha melupakann kepahitan yang dirasakannya karena perdebatannya dengan Rangga semalam, Rania tetap menyiapkan sarapan untuk suaminya itu, bahkan juga untuk Windi. Tak lama kemudian, Rangga datang ke meja makan, hampir bersamaan dengan Windi. "Bagaimana penampilanku hari ini, Ngga. Aku gugup sekali karena ini hari pertama aku bekerja di kantormu," ujar Windi pada Rangga. "Pakaian yang kamu pakai sangat cocok denganmu. Kamu terlihat cantik dan berkelas," sahut Rangga. Pujian untuk Windi begitu ringan terucap dari bibirnya, padahal pada istri sendiri dia sangat jarang memuji. "Kamu bisa saja." Windi menyambut kata-kata Rangga dengan tertawa riang. Keduanya lalu sarapan sembari bersenda gurau, seolah Rania yang sedang berdiri di hadapan mereka hanyalah udara yang tak terlihat. Tangan Riana tampak mengepal tanpa dia sadari. Semakin renyah tawa yang Windi perdengarkan, semakin terasa sesak dadanya. "Kamu berangkat kerja dulu ya, Rania. Terima kasih untuk sarapannya." Ucapan Windi membuyarkan lamunan Rania. Rangga telah lebih dulu melangkah tanpa berpamitan, sedangkan Windi kini mendekat ke arah Rania sembari mengulas senyuman yang cukup membuat Rania merasa tak nyaman. "Baik-baiklah di rumah. Jangan khawatir, aku akan mengurus dan melayani Rangga dengan baik di kantor," bisik Windi di telinga Rania sembari memperlihatkan seringai yang memuakkan.Setelah Windi menjadi sekretaris Rangga, tingkahnya semakin menjadi. Wanita itu bahkan tak segan melakukan kontak fisik dengan Rangga di hadapan Rania, tetapi justru Rangga tak keberatan dengan hal itu. Bahkan, jika Rania meminta pada Rangga untuk sedikit menjaga jarak dengan Windi, yang ada Rania malah akan mendapatkan kemarahan dari Rangga. Katanya Rania terlalu mengedepankan perasaan dan berpikiran sempit.Tak hanya sampai di sana, selanjutnya Windi bahkan dengan sengaja mengirimkan foto-fotonya bersama Rangga di kantor kepada Rania. Meski tanpa keterangan apapun, tetapi Rania tahu jika Windi ingin memamerkan kedekatannya bersama Rangga. Lalu saat Rania merasa kesal dan meminta penjalasan akan hal itu pada Rangga, Windi pun mulai mengeluarkan jurus andalannya, yaitu berakting polos dengan memasang raut wajah bersalah."Maafin aku, Rania. Aku mengirim foto-foto bersama Rangga di kantor sama sekali bukan bermaksud mau membuat kamu cemburu. Aku hanya mau memperlihatkan kegiatanku bers
Riana merasakan kepalanya berat dan pusing saat ia bangkit dari tempat tidur. Jam sudah menunjukan pukul sembilan pagi, yang artinya saat ini Rangga dan Windi telah berangkat bekerja.Untuk sesaat, Rania termenung. Bahkan suaminya tak berusaha untuk mambangunkan atau memeriksa keadaan dirinya, mengingat bukan kebiasaannya bangun terlambat seperti ini."Apa Mas Rangga benar-benar sudah tidak peduli padaku?" Rania bergumam dengan nada miris.Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, Rania pun beranjak dan membersihkan diri di kamar mandi. Setelah berganti pakaian, dia memutuskan untuk berbelanja kebutuhan dapur di toko swalayan yang berada tak jauh dari komplek perumahan tempat tinggalnya. Hari ini memang jadwal Rania berbelanja mingguan, sekaligus belanja bulanan. Akan tetapi, saat memeriksa saldo rekeningnya, rupanya Rangga belum mengirin uang bulanan untuk kebutuhan mereka. Rania tersenyum kecut. Alih-alih merasa bersalah karena telah menampar Rania tempo hari, Rangga justru masih
Rania meringis tertahan sebelum akhirmya membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit sebuah ruangan yang sangat asing. Seketika dia teringat jika sebelumnya tak sadarkan diri saat berada di sebuah halte bus."Sudah sadar?" Sebuah suara berat dan dingin terdengar di telinga Rania, membuatnya sontak menoleh. Seorang lelaki mengenakan hoddie hitam tampak duduk sambil bersedekap. Riana langsung ingat jika lelaki itu adalah lelaki yang troli belanjaannya tak sengaja ia bawa di swalayan tadi. Sepertinya, lelaki itu yang telah menolongnyaLelaki itu bangkit dari duduknya. "Saya akan memanggil dokter dulu," ujarnya sembari keluar dari ruangan tersebut, tanpa memberikan kesempatan pada Rania untuk mengatakan apapun.Tak lama kemudian, seorang dokter bersama dengan seorang perawat datang untuk memeriksa kondisi Rania."Asam lambung Anda naik dan sepertinya Anda kurang istirahat," ujar dokter itu setelah menyelesaikan pemeriksaannya.Rania hanya mengangguk. Belakangan dirinya m
"Rania, kenalkan ini Windi. Dia sahabatku sejak kecil dan sudah kuanggap seperti saudara." Rangga memperkenalkan seorang wanita asing kepada Riana, istrinya. "Oh, hai ...." Rania terlihat menanggapi sembari tersenyum canggung. Dia menatap ke arah wanita itu tanpa tahu harus bereaksi seperti apa. Sore itu, Rania agak terkejut saat sang suami pulang dengan membawa serta seorang wanita yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Rangga dan wanita itu terlihat begitu akrab. Agak janggal rasanya karena yang Rania tahu, Rangga bukanlah tipe orang yang mudah akrab dengan orang lain. Bahkan, terhadap istrinya sendiri pun Rangga tak pernah bersikap secair itu. "Halo, Rania. Senang akhirnya bisa bertemu dengan kamu." Wanita bernama Windi itu mengulurkan tangannya. "Saya dan Rangga sudah berteman bahkan sejak kami belum sekolah." "Ah, iya." Mau tak mau Rania pun menyambutnya. "Senang juga bertemu denganmu," sahutnya. "Silakan masuk." Rania akhirnya mempersilakan tamu tak terduga tersebut untu
Rania meringis tertahan sebelum akhirmya membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit sebuah ruangan yang sangat asing. Seketika dia teringat jika sebelumnya tak sadarkan diri saat berada di sebuah halte bus."Sudah sadar?" Sebuah suara berat dan dingin terdengar di telinga Rania, membuatnya sontak menoleh. Seorang lelaki mengenakan hoddie hitam tampak duduk sambil bersedekap. Riana langsung ingat jika lelaki itu adalah lelaki yang troli belanjaannya tak sengaja ia bawa di swalayan tadi. Sepertinya, lelaki itu yang telah menolongnyaLelaki itu bangkit dari duduknya. "Saya akan memanggil dokter dulu," ujarnya sembari keluar dari ruangan tersebut, tanpa memberikan kesempatan pada Rania untuk mengatakan apapun.Tak lama kemudian, seorang dokter bersama dengan seorang perawat datang untuk memeriksa kondisi Rania."Asam lambung Anda naik dan sepertinya Anda kurang istirahat," ujar dokter itu setelah menyelesaikan pemeriksaannya.Rania hanya mengangguk. Belakangan dirinya m
Riana merasakan kepalanya berat dan pusing saat ia bangkit dari tempat tidur. Jam sudah menunjukan pukul sembilan pagi, yang artinya saat ini Rangga dan Windi telah berangkat bekerja.Untuk sesaat, Rania termenung. Bahkan suaminya tak berusaha untuk mambangunkan atau memeriksa keadaan dirinya, mengingat bukan kebiasaannya bangun terlambat seperti ini."Apa Mas Rangga benar-benar sudah tidak peduli padaku?" Rania bergumam dengan nada miris.Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, Rania pun beranjak dan membersihkan diri di kamar mandi. Setelah berganti pakaian, dia memutuskan untuk berbelanja kebutuhan dapur di toko swalayan yang berada tak jauh dari komplek perumahan tempat tinggalnya. Hari ini memang jadwal Rania berbelanja mingguan, sekaligus belanja bulanan. Akan tetapi, saat memeriksa saldo rekeningnya, rupanya Rangga belum mengirin uang bulanan untuk kebutuhan mereka. Rania tersenyum kecut. Alih-alih merasa bersalah karena telah menampar Rania tempo hari, Rangga justru masih
Setelah Windi menjadi sekretaris Rangga, tingkahnya semakin menjadi. Wanita itu bahkan tak segan melakukan kontak fisik dengan Rangga di hadapan Rania, tetapi justru Rangga tak keberatan dengan hal itu. Bahkan, jika Rania meminta pada Rangga untuk sedikit menjaga jarak dengan Windi, yang ada Rania malah akan mendapatkan kemarahan dari Rangga. Katanya Rania terlalu mengedepankan perasaan dan berpikiran sempit.Tak hanya sampai di sana, selanjutnya Windi bahkan dengan sengaja mengirimkan foto-fotonya bersama Rangga di kantor kepada Rania. Meski tanpa keterangan apapun, tetapi Rania tahu jika Windi ingin memamerkan kedekatannya bersama Rangga. Lalu saat Rania merasa kesal dan meminta penjalasan akan hal itu pada Rangga, Windi pun mulai mengeluarkan jurus andalannya, yaitu berakting polos dengan memasang raut wajah bersalah."Maafin aku, Rania. Aku mengirim foto-foto bersama Rangga di kantor sama sekali bukan bermaksud mau membuat kamu cemburu. Aku hanya mau memperlihatkan kegiatanku bers
"Mas, kita perlu bicara." Rania berucap dengan hati-hati pada Rangga yang hendak bersiap tidur. Nada bicaranya ia buat sehalus mungkin agar enak didengar oleh sang suami. Belakangan Rangga memang sangat gampang tersulut emosi setiap kali Rania mengatakan sesuatu, terutama saat Rania protes tentang sikap Windi. Bukannya mendengarkan keluhan sang istri, Rangga malah menuduh Riana sengaja menjelek-jelekkan Windi karena sudah merasa tak suka dengan kehadiran Windi sejak awal."Besok saja, sekarang aku lelah sekali," sahut Rangga. Lelaki itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, lalu memunggungi Rania.Rania tampak menghela napasnya dengan agak tertahan. Sejak kedatangan Windi, sikap Rangga padanya menjadi semakin dingin saja. Lelaki itu seakan stak memiliki waktu lagi untuk Rania, bahkan hanya untuk sekedar saling mengobrol."Besok kamu pasti akan bilang sibuk, lalu malamnya kamu kembali bilang lelah." Rania akhirnya protes, meski dengan nada yang masih terdengar rendah."Itu karena
"Rania, kenalkan ini Windi. Dia sahabatku sejak kecil dan sudah kuanggap seperti saudara." Rangga memperkenalkan seorang wanita asing kepada Riana, istrinya. "Oh, hai ...." Rania terlihat menanggapi sembari tersenyum canggung. Dia menatap ke arah wanita itu tanpa tahu harus bereaksi seperti apa. Sore itu, Rania agak terkejut saat sang suami pulang dengan membawa serta seorang wanita yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Rangga dan wanita itu terlihat begitu akrab. Agak janggal rasanya karena yang Rania tahu, Rangga bukanlah tipe orang yang mudah akrab dengan orang lain. Bahkan, terhadap istrinya sendiri pun Rangga tak pernah bersikap secair itu. "Halo, Rania. Senang akhirnya bisa bertemu dengan kamu." Wanita bernama Windi itu mengulurkan tangannya. "Saya dan Rangga sudah berteman bahkan sejak kami belum sekolah." "Ah, iya." Mau tak mau Rania pun menyambutnya. "Senang juga bertemu denganmu," sahutnya. "Silakan masuk." Rania akhirnya mempersilakan tamu tak terduga tersebut untu