Tangis Wahda pecah.
Sanad kebingungan. Ia mengangkat sebelah, tetapi terhenti ketika melihat istrinya yang mematung.
"Menangislah jika itu membuat lebih nyaman," saran Sanad setelah menurunkan tangannya.
Wahda melepaskan pelukannya. Wajahnya sembab memerah. "Aku nggak tau harus gimana ngomong pada ibu!"
Teratai bergegas mengambilkan tisu dan meletakkan di dekat Wahda.
"Terima kasih," ucap Wahda sambil mengambil beberapa lembar tisu, lalu membersihkan wajah dan hidungnya. Namun, yang terjadi air matanya tak kunjung berhenti.
"Bukannya ibumu sudah tahu kamu keguguran? Lagi pula, besok kamu masih bisa mencoba lagi? Ibumu pasti ngerti kok."
Wahda menggeleng. Sesaat ia menarik napasnya dalam-dalam. "Aku dan Bagus … kami … sudah bercerai."
Sanad dan Teratai tersentak, lalu saling bersitatap.
"Bagaimana bisa?" tanya Teratai spontan. Beberapa detik kemudian ia merapatkan bibirnya.
***
Dalam perjalanan Teratai hanya terdiam. Pikirannya masih tertinggal di ruang rawat inap Wahda.
"Kenapa?" tanya Sanad.
"Kita hanya sebagai orang luar, rasa aneh saja, tiba-tiba mereka bercerai. Di perkumpulan keluarga besarmu, aku pernah dengar mereka sangat iri dengan pasutri itu. Suami memiliki karir cemerlang, Wahda juga seorang dokter dan terlihat harmonis."
"Begitulah manusia. Hanya melihat luaran saja. Kita tidak tahu mungkin di dalamnya mereka sedang menyimpan banyak masalah."
Teratai merapatkan badannya. "Kamu tahu sejarah percintaan Wahda dengan Bagus?"
Sanad memajukan wajahnya, sehingga Teratai termundur. "Kamu mulai belajar ngerumpi?"
Teratai memasang wajah manyun. Ia menyandarkan punggungnya. "Kamu tau, pekerjaanku dari kecil harus sering menganalisis arah mata angin, mencoba mereka cuaca esok hari dengan melihat bintang dan setiap perubahan. Kalau hanya mengandalkan sumberdayanya, mungkin sampai sekarang aku masih diam di danau. Repotnya, kebiasaan itu terbawa ke suatu yang bukan urusanku. Namun, apa salahnya aku belajar dari pengalaman mereka."
Sanad tersenyum. "Aku tidak begitu tahu. Kamu sendiri tau, aku bukan tipe peduli pada orang lain. Kalaupun aku sedikit akrab dengan Wahda, itu karena dia memang agresif. Dari sifat dia, aku mengira dia yang mengejar-ngejar Bagus. Jadi mungkin Bagus menerima dia karena putus asa dengan mantan. Lalu ketika kembali bertemu mantan …. Terlebih lagi jika melihat mantan yang …. Entahlah." Sanad menyudahi spekulasinya. "Menurutmu?"
Beberapa saat Teratai terdiam. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu Sanad. "Dibanding agresif, menurut aku Wahda itu memiliki hati yang hangat, periang dan penuh perhatian. Dapat dibayangkan bagaimana perhatiannya kepada orang yang dia sayanginya. Aku menduga, dia tidak melanjutkan studi spesialis juga karena cintanya yang luar biasa kepada Bagus. Hanya saja, aku tak menyangka, kalau dari sudut laki-laki itu disebut agresif."
Sanad menatap tangannya yang diremas Teratai. "Kenapa? Ada yang kau takutkan?"
"Enggak. Aku hanya teringat masa laluku. Cinta memang mendorong kita untuk berbuat sesuatu yang kadang sangat luar biasa. Namun, tidak semua yang kita lakukan itu mendapatkan apresiasi yang bagus."
Teratai menghela napasnya. "Untung cinta segalanya bagiku itu Evan."
Sanad mengernyit protes. "Evan?!"
Teratai mengangguk, lalu berpaling, menyembunyikan bibirnya yang hampir melengkung. Melihat laki-laki itu cemburu menyenangkan juga.
Sanad menghempaskan napasnya. Ia menyandarkan punggungnya, dan menoleh keluar. "Rupanya aku masih belum bisa mendapatkanmu seutuhnya."
Cup.
Sebuah kecupan mampir di pipinya. Keane yang sejak tadi fokus pada jalan, kini mengintip lewat kaca spion.
Sanad menatap wajah Teratai.
"Jangan khawatir. Selama Evan bersama kita, kamu akan mendapatkan diriku sepenuhnya," goda Teratai.
Sanad berdecak mengejek. "Bilang saja, kamu juga tidak bisa menolak dari pesonaku!"
Teratai mencebik. "Narsis."
Sanad Tertawa. Ia merengkuh bahu Teratai. "Bagaimana dengan kafenya?"
Teratai menghela napasnya. Ia menyandarkan punggungnya ke bahu Sanad. "Masih sepi.”
Awalnya Tera membangun kafe itu hanya untuk minat. Di mana ia bisa santai bekerja dan belajar sambil menghabiskan hari, menunggu Evan. “Kamu tahu alasan mendirikan kafe itu, tetapi kenapa ketika sepi, jadi masuk kepikiran?”
Sanad kembali terkekeh. "Itu manusiawi, memikirkan untung rugi. Jangan terlalu dipikirkan. Selama tempat itu membuatmu nyaman, jalani saja. Anggap saja itu sebagai kantor kerjamu, kamu tetap memerlukannya, meski mengeluarkan biaya. Bagaimana dengan proses uyah wadinya?"*
"Masih proses uji coba. Alhamdulillah, Acil Nurul sudah menemukan formula rasa yang pas dan bisa kering. Hanya saja untuk sementara, menunggu berapa lama uyah itu bertahan."
Uyah wadi adalah garam untuk rujak. Khusus olahan dari Bangkau, uyah wadi diolah dari air garam rendaman ikan yang diasinkan. Setelah direndam semalaman, ikan diangkat, dibersihkan dan siap dijemur. Airnya diolah menjadi uyah wadi yang dicampuri air asam sebagai penghilang amis, kunyit untuk mempercantik warna dan serai untuk memberikan khas rasa.
"Biasanya berapa lama bertahan?"
****
catatan penulis: mungkin dua tokoh membuat cerita sedikit membingungkan. Mendadak Talak memang seri dari Bahagia Setelah Terusir (Sanad dan Teratai). Jadi sebaiknya berkunjung juga ke sana, romance Sanad dan Teratai tak kalah manis dari Wahda.
Novel:
Bahagia setelah terusir
Kamu berhak bahagia
dan Setelah kau pergi, ketiga novel ini tokohnya saling berhubungan.
Terima kasih atas perhatiannya
Bahagia Setelah terusi
"Biasanya berapa lama bertahan?""Mungkin tahunan. Hanya saja, karena biasanya untuk konsumsi pribadi jadi tidak pernah menghitung berapa lama dan tidak memerhatikan perubahannya warna dan struktur. Biasanya ada endapan putih yang muncul. Kalau dikonsumsi pribadi, endapan itu tidak masalah, karena putih itu seperti garam yang mengkristal. Tapi kalau untuk dijual … Semoga saja kali ini berhasil." "Santai saja. Tuh akhirnya juga sambil dijual 'kan?""Iya, tapi masih dalam bentuk basah. Itupun hanya bisa dititip pada Acil Imai yang pulang pergi ke Kal Teng. Dijual secara curah. Belum bisa dijual dengan kemasan produk dan melalang buana ke mana saja.""Santai saja. Anggap itu rencana jarak panjang dan kafe itu sebagai pelepas lelahmu."Teratai mengangguk. "Oh iya, Wahda jago bikin es krim. Coba kau ajak dia. Siapa tau bisa kalian cocok. Kalian bisa saling menguntungkan. Kamu bisa menambah menu, dia bisa reliks"Teratai meluruskan badannya. Matanya menyipit "Boleh dicoba.""Nanti aku cob
Angel menepuk bahunya. “Nanti kita bisa coba lagi.” Bagus mengangguk lesu. Ia menyerahkan buket itu kepada Angel, lalu melangkah ke dalam. Beberapa orang di selasar menatapnya dengan berbagi rupa. Ada yang menatap dengan iba, ejek, juga mengolok. Hilang semua wibawa yang ia bangun selama ini. Di belakang Angel menciumi mawar merah yang kini beralih ke tangannya. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang. Sebagai wanita mandiri hingga sampai ke titik ini, telah banyak mengecap asam garam kehidupan tentu sangat kenal dengan karakter manusia umumnya.Tatapan seperti itu hanyalah lalat yang akan pergi cukup dengan dikibas. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, lalu membagikannya satu persatu kepada beberapa perempuan di sana. Seketika mereka menatapnya dengan penuh terima kasih. ***"Sekarang kita mau ke mana?" tanya Arsa saat mereka menunggu plang parkir belum terbuka. "Ke rumah ibuku.""Apa kamu sudah siap?" tanya Arsa melajukan mobilnya. "Ada kamu," jawab Arsa berdecak. "Dasar
"Menangislah. Kuharap setelah ini, tidak ada lagi air mata yang tumpah. Air matamu sangat berarti. Tak layak kau tumpahkan untuk seorang Bagus. Songsonglah masa depan, kamu berhak bahagia. Entah sendiri atau dengan siapapun."Wahda mengangkat wajahnya. Menatap wajah sepupu yang selama ini suka membuatnya kesel. Pada saat tertentu, sepupunya yang satu ini memang dapat diandalkan. Arsa mengusap lembut wajahnya. "Kamu tidak sendiri. Ada ibumu dan aku yang siap ada untukmu. Perlu kamu ingat, kamu memiliki banyak sepupu laki-laki. Meski sepupu, percayalah kami akan selalu membelamu."Wahda mengangguk. Kembali ia membenamkan wajahnya di pinggang Arsa. *** Terlihat mobil Arsa memarkir, saat Bagus memasuki halaman rumahnya. Ia bergegas keluar dari mobil, Wahda dan Arsa muncul dari balik pintu rumahnya. Hatinya terasa diremas melihat wajah bengkak Wahda dan langkah yang terlihat lemah. “Wahda, ini rumah kita, rumahmu,” ucap Bagus setelah melihat koper besar yang ditarik Arsa. Arsa terus
Tiba-tiba Sanad merasakan matanya mengaca. "Aku tidak menyangka, Evan akan bertemu ibu sambung sebaik kamu.""DUAR!!" Teriakan Wahda membuyarkan lamunan Teratai. Ia mengerjap. Di depannya sudah ada Arsa dan Wahda yang cengengesan menatapnya. "Melamunkan apa? Sampai tidak sadar dengan kedatangan kami?" tanya Wahda dengan terkekeh sambil duduk."Wahda?! Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?" cecar Teratai. “Dibilang baikan nggak juga. Karena itu, Arsa bawa aku ke sini, katanya di sini nyaman untuk santai.”“Alhamdulillah, di sini lumayan nyaman.” Wahda mengedarkan pandangannya. Ia tahu betul, kalau itu bangunan empat pintu milik Sanad yang sekarang disulap menjadi kafe dengan gabungan tiga elemen. Di ruang pojok, tempat yang mereka duduki, berdiri sebuah rak kayu di dinding, di depan kaca beberapa rak bentuk hexagonal yang juga di isi beberapa buku. Dua tanaman anggrek bulan yang sedang berbunga warna putih menggantung di tepi kaca. Di ruangan itu hanya dua buah meja tanpa kursi, seda
Sanad mengangguk. Teratai menuangkan infused water untuknya. Ia langsung meneguk minuman itu. “Kamu mau ini, Arsa?” tawar Teratai. Arsa hanya menjawab dengan mengangkat americano miliknya. “Wahda?” tanya Teratai ke Wahda. “Boleh. Sebenarnya aku jarang minum ini, mumpung ada. Sejak kapan kalian mengonsumsi ini?” tanya Wahda. “Tidak lama. Mungkin semenjak ada kafe ini berdekatan dengan penanam mint, jadi dicoba saja. Alhamdulillah, Sanad juga menyukainya. Kadang dibikin teh.”“Oh iya, tanaman yang di situ banyak jenis mint. Orangnya mana?” “Mungkin di belakang. Dia kalau sudah di kebun suka lupa kalau lagi jualan di luar,” jawab Teratai sambil terkekeh. “Oh iya, Sanad bilang kamu jago bikin es krim. Gimana kalau selama cuti kamu bergabung dengan kami, buat tambahan menu es krim. Tidak menjanjikan banyak sih, kamu lihat sendiri masih sepi. Tapi lumayanlah untuk mengisi waktu dan mengalihkan kegalauanmu itu Gimana?" urai Teratai tanpa basa basi.“Oke, aku suka tempat ini. Besok aku
Sanad tersentak. Teratai menatapnya heran. "Memangnya kenapa? Kok kaget gitu?!" "Tidak apa. Aneh saja, memang dia tidak punya pekerjaan? Apa saja yang dilakukannya?" "Dia kan datang habis kerja atau hari libur. Dia bawa pacarnya, kadang baca buku. Aneh sih, buku yang dibacanya nggak selesai-selesai." Ia menoleh ke arah Sanad. "Aku pikir dia menyukai Adena. Dia sering ngajak ngobrol dan membantu Adena merawat tanaman. Menurutmu?"Sanad terdiam, menatap wajah polos istrinya. Ia berpikir, pantesan dulu dibohongi Arbain. Ternyata Teratai pandai membaca alam, tetapi tidak dengan sikap pria. "Kok diam?" Pertanyaan Tera menembus lamunannya. "Entahlah. Aku tidak melihatnya langsung," sahut Sanad akhirnya. "Kalau begitu nanti seringlah mampir. Siapa tahu bisa kita comblangin."Sanad menghempaskan napasnya. "Kalau dia menyukai Adena, ngapain membawa banyak perempuan ke kafe? Seharusnya menunjukkan pribadi yang baik dan keseriusan. Arsa dari dulu memang tipe pria hangat dan suka humor. Lih
“Bagus bagaimana keadaannya? Apa dia sibuk sekali, mulai rumah sakit sampai sekarang ibu tidak melihat batang hidungnya? Kamu baru saja sakit, seharusnya dia menjenguk, setidaknya ada menelpon gitu. Kalian tidak mempunyai masalah kan?” cecar Mauriyah. “Ibu jangan berprasangka buruk. Bagus memang sibuk banget karena sekarang dia lagi melakukan penelitian. Ibu tau sendiri bagaimana workholicnya dia. Dan aku juga butuh istirahat. Daripada aku sendirian di rumah, lebih baik ke sini kan?!" Mauriyah menghela napasnya. Ia memilih diam, menunggu Wahda siap bercerita padanya. “Malam ini, tidur sama ibu saja, ya.” “Benar?!” Wahda mengangguk bak anak kecil. Seketika mata Mauriyah mengaca. *** Wahda terkesiap. Mengapa tiba-tiba ia berada di seberang jalan rumahnya? Habis shalat Subuh ia membuka jendela kamarnya. Udara sejuk segera memenuhi rongga dadanya begitu pintu jendela terbuka. Namun, s
Tak lama Arsa keluar dengan menarik lengan Wahda dan mendudukkannya di inflatable sofa. Tera dan Adeena mengikuti. Mereka menduduki dua sofa lainnya “Wahda, kamu sudah bergabung ke kafe kami, jadi kamu juga bisa berbagi dengan kami. Kamu tahu, mengapa konsep kafe seperti ini? Di pojok ada beberapa inflatable sofa, lantainya dikasih alas tikar rotan karena aku ingin kafe ingin friendly dengan tetap mengusung natural. Semua orang bisa santai, duduk, dan saling berbagi di sini. Jadi jangan sungkan bercerita ke kami.” “Aku bukannya sungkan, tapi tidak tahu harus bercerita apa. Kepalaku dipenuhi dengan kontradiksi. Senang, benci. marah dan rindu.” “Apalagi lagi yang dilakukan Bagus padamu?” tanya Arsa dengan emosi. "Tak peduli apa yang dilakukan Bagus, akunya saja yang terlalu lemah, rapuh. Aku terlalu mencintainya." "Kalau boleh tahu, detik ini apa yang kamu inginkan? Kembali atau cerai saja," tanya Teratai te
Seketika ia pun bertanya-tanya, bagaimanakah kehidupannya tanpa Arsa? ***Setengah syok Arsa menatapi dari ujung kaki sampai kepala sosok yang tiba-tiba sudah di depannya. Ini pertama kalinya Wahda mendatangi kantornya.“Apa yang terjadi?” tanya Arsa tanpa kuasa melepaskan wajah syoknya. Wahda duduk di sofa. Arsa berdiri mendekatinya. “Tidak ada. Tadi habis dari rumah sakit, kepikiran saja ke sini.”Arsa mencebik bibirnya. “Jangan katakan kau masih mencurigaiku. Ini fatal bagiku.”“Tidak. Aku hanya ingin semua karyawan di sini tahu kalau Pak Arsa Fariq itu sudah mempunyai tunangan.” Tawa Arsa hampir saja meledak, andai saja tidak ingat kalau Wahda marah bisa ribet urusannya. “Kenapa? Sekarang sudah mulai training menjadi kekasih Arsa?” ledek Arsa. “Kau!” Wahda mengangkat tangannya, dengan cepat Arsa menangkapnya. “Sejak kapan mulai main tangan?”“Kau sih, membuatku kese
"Katanya tadi kamu terjatuh?" tanya Arsa nyaring sambil membuka kulkas dan mengambil sebotol kopi. "Kata siapa?" Wahda balik bertanya sambil terus memixer adonan es krim. "Tera." Wahda berdecak. "Tumben tu bini orang ember." Setelah menandaskan minumannya, Arsa memasukkan botolnya ke wadah sampah kering yang tak jauh dari kaki Wahda. "Coba aku lihat." Arsa mendekat. "Kau lihat aku sedang apa?!""Masih lama? Kalau lama matikan dulu." Yanti muncul dengan membawa peralatan kebersihan. "Yanti, tolong kau ganti Wahda sebentar." Wahda mematikan mixer. "Arsa, aku dokter. Tentu aku bisa merawat luka sekecil itu." Arsa tak bersuara. Ia menarik Wahda, membawa ke ruang ujung, lalu mendudukkannya di sofa inflatable. "Coba lihat tanganmu!" ucap Arsa sambil menyentuh tangan, dan memerhatikan telapak tangannya. Terlihat tangan Wahda yang bersih, meski masih ada goresan acak.
“Sanad ceritakanlah! Mama masih tidak bisa banyak suara, capek.” Sanad menceritakan pertemuan mereka di malam itu sewaktu di rumah Ardiansyah. “Saman memang menyukai Wahda, dan aku pun berharap mereka berjodoh supaya tali kekeluargaan terjaga, apalagi jika mengingat Saman cuma sepupu jauh. Hanya saja, aku tidak bisa memaksa Wahda. Dia bukan anak kandungku dan juga dia masih memiliki ibu dan saudara laki-laki. Kalaupun aku berucap kasar dan menyombongkan diri karena aku ingin, siapa pun suaminya nanti, aku ingin dia menghargai diri. Bagaimanapun Wahda seorang dokter dan memiliki garis keturunan ningrat. Setidaknya suaminya mampu memberinya kecukupan.”Arsa mengangguk-nganguk mendengar cerita Sanad. Sanad terdiam. Masih banyak ucapan Ardiansyah yang tidak ia ceritakan. Ardiansyah juga bercerita alasan mengapa dulu memperlihatkan ketidaksukaannya pada bapaknya Arsa. Karena bapaknya Arsa laki-laki sederhana dengan pemikiran sangat sederhana. Berka
Mata merah itu kini berair. “Aku tidak pernah bertemu teman seegois kamu. Sudah berapa banyak yang kulakukan untukmu beberapa bulan ini, kamu masih bicara seperti ini?" ****Arsa berdiri, lalu duduk di sampingnya. “Kau mau coba?”“Maksudmu?” tanya Wahda dengan menyipitkan mata.Arsa mengangkat tangan hendak memegang dagunya, tetapi ia segera menepis. “Jangan ngadi-ngadi.” Arsa berdecak mengejek “Lalu kamu maunya apa?”“Maksudmu?”“Mau dilanjutkan atau sampai di sini saja. Aku tinggal nelpon Tante Fatima,” ujar Arsa sambil meraih ponselnya yang sejak tergeletak di meja. lalu menggulir daftar panggilan.Wahda langsung menyambar ponsel itu. “Jangan! Aku nggak mau nikah sama Saman.” Wahda memasang wajah memelas.“Nah, makanya jangan bawel, Galuh¹! Jangan khawatir, aku laki-laki sejati kok.”“Apaan sih!”Arsa meluruskan badan Wahda menghadapnya. “Begini saja. Kita kan juga nggak
Wahda terdiam. Tiba-tiba ia menyadari satu hal. Bisakah ia tidak peduli jika Arsa sering ke rumah Sanad? Ia menarik mangkuk es krimnya lalu menyuapnya secara kasar. Arsa yang memerhatikan menjadi keheranan. “Ada apa?” Wahda hanya menggeleng, lalu kembali menyuap es krim. Arsa bergerak cepat ke sisi meja lainnya, lalu merebut mangkuk kecil itu. “Katakan, kenapa tiba-tiba berubah begini? Jangan katakan ada yang salah dengan jawabanku tadi!” Di dekat mereka, Rania juga keheranan akibat Angga yang tiba-tiba menariknya keluar sambil membawa laptop. Lalu mendudukkannya di sebuah kursi di ruang sebelah. Wahda ingin kembali mengambil, tetapi Arsa segera menjauhkan mangkuk itu. “Katakan dulu!” Wahda menghela napasnya. “Entahlah. Hubungan kita tiba-tiba berubah, sedang masih banyak masalah lain yang belum kelar. Lalu bagaimana aku menghadapinya nanti?” “Misalnya?” “Baga
“Oya?!” tanya Ardiansyah. “Aku tidak tau Bangkau punya seperti itu. Secara kehidupan mereka bisa dibilang sangat terbelakang.”Sanad masih berusaha memasang senyum, meski mendadak hatinya berubah kesal. “Iya, secara data statistik pendidikan, presentasi mereka sangat kecil dibanding desa lain. Tapi alhamdulillah, beberapa orang karyawan Tera mulai sudah ada yang sarjana, sekarang masih ada sekolah, dua orang kuliah.”“Oya? Memangnya istrimu bisnis apa saja? Cuma membudidayakan teratai?”Atul datang membawakan beberapa buah sendok kecil dan piring yang ia taruh di sebuah nampan.Sanad menggeleng. Sanad menggeser ke tengah plastik yang tadi terabaikan. Ia mengambil sebungkus kerupuk lalu menyerahkan kepada Ardiansyah. “Ini juga produk home industri milik istri saya, Pamam.”“Teratai Kedua,” eja Ardiansyah sambil memerhatikan kemasan kerupuk kering yang dipegangnya.“Sebelum menikah dengan saya, dia sudah mempunyai Teratai Produksi, yang sekarang berganti menjadi Teratai Kedua.” Mata
Mauriyah membuka pintu kamar Wahda pelan. Terlihat anak perempuannya itu sedang duduk di kursi dengan meletakkan kepala di meja rias, sedang tangan mengetuk-ngetukkan pensil alis ke meja. "Bu." Wahda meluruskan badannya, menatap wajah ibunya di cermin."Apa yang kamu pikirkan?""Entahlah. Merasa ragu saja dengan apa yang akan diambil?""Meragukan Arsa?""Bukan. Cuma … dengan Arsa, kaya … syok aja. Sulit dipercaya. Dia yang sudah kuanggap seperti abangku tiba-tiba akan jadi suamiku. Berasa aneh banget." Mauriyah mundur. Duduk di ujung ranjang. "Bukannya sesama sepupu itu biasa di keluarga ayahmu?!""Iya, tapi tidak terpikirkan kalau suatu saat akan mengalaminya." Wahda berdiri, lalu meletakkan kepala di paha ibunya."Bagaimana dengan surat cerainya?" "Lagi nunggu kabar kak Gilang."Mauriyah berdecak mengejek. "Urusan begitu sampai menyewa pengacara? Pemalas.""Bukan pemalas, Bu. Aku cuma memanfaatkan anugerah. Sayang punya sepupu pengacara kalau enggak dimanfaatkan."Mauriyah mengge
"Tapi aku tidak setuju kalau diberikan seluruh saham kepada Arsa," sela Teratai yang membuat pandangan Sanad dan Fatima tertuju padanya. "Kamu masih ada Evan. Aku takut ke depannya akan berpengaruh kepada Evan. Kurasa itu akan menjadi sesuatu yang berharga baginya, bukan berapa jumlahnya, melainkan itulah peninggalan ayah dan kakeknya. Selain itu, seperti yang Papa bilang tadi akan menimbulkan kecemburuan di antara keponakan lain jika memberikan milik Mama, bagaimana juga dengan Evan jika tidak meninggalkan sepersen pun buat dia? Saat ini ia memang tidak mengerti apa-apa, tapi nanti? Aku sering lihat di keluarga Papa satu sama lain saling pamer dan berbangga-bangga, bahkan kadang anak yang masih kuliah saja pun obrolannya sudah reksadana, cripto. Khawatirnya ada yang sengaja mengompori Evan nanti. " "Lalu kamu punya usul? Saat ini kita menghadapi keluarga Saman, salah satu pemilik saham terbesar di perusahaan batu bara Tanjung. Dan soal Evan juga adik-adiknya, saat mereka dewasa na
"Tapi ….""Kamu sudah punya calon?""Nggak ada.""Siap dengan Saman?""Enggak lah.""Nah apalagi? Anggaplah ini simbiosis mutualisme. Kamu membutuhkanku supaya bebas dari Saman, aku membutuhkanmu supaya bisa move on dari Tera.""Tapi, yakin paman akan menerimamu?" tanya Wahda cemas. Ia tidak bisa membayangkan jika tidak berhasil meraih hati paman, mungkin ia akan kehilangan Arsa untuk selamanya. "Kita coba saja dulu. Hasilnya gimana, kita serahkan sama yang Kuasa. Pastinya kita sudah sama-sama berusaha."***"Tumben masih siang ke sini. Biasanya pulang dari kerja," cecar Fatima begitu melihat Arsa memasuki rumah. "Ada yang ingin aku bicarakan dengan Tante."Fatima mengangkat kedua alisnya. Ia menyuruh Arsa duduk dengan isyarat tangannya. "Katakanlah.""Aku ingin melamar Wahda," ucap Arsa pelan. Fatima terkejut. "Kalian pacaran?"Arsa menggeleng. "Paman Ardiansyah melamar Wahda untuk Saman."Fatima kembali terkejut. Kali ini bercampur cemas. "Lalu kamu mau menikahi Wahda karena