Tangis Wahda pecah.
Sanad kebingungan. Ia mengangkat sebelah, tetapi terhenti ketika melihat istrinya yang mematung.
"Menangislah jika itu membuat lebih nyaman," saran Sanad setelah menurunkan tangannya.
Wahda melepaskan pelukannya. Wajahnya sembab memerah. "Aku nggak tau harus gimana ngomong pada ibu!"
Teratai bergegas mengambilkan tisu dan meletakkan di dekat Wahda.
"Terima kasih," ucap Wahda sambil mengambil beberapa lembar tisu, lalu membersihkan wajah dan hidungnya. Namun, yang terjadi air matanya tak kunjung berhenti.
"Bukannya ibumu sudah tahu kamu keguguran? Lagi pula, besok kamu masih bisa mencoba lagi? Ibumu pasti ngerti kok."
Wahda menggeleng. Sesaat ia menarik napasnya dalam-dalam. "Aku dan Bagus … kami … sudah bercerai."
Sanad dan Teratai tersentak, lalu saling bersitatap.
"Bagaimana bisa?" tanya Teratai spontan. Beberapa detik kemudian ia merapatkan bibirnya.
***
Dalam perjalanan Teratai hanya terdiam. Pikirannya masih tertinggal di ruang rawat inap Wahda.
"Kenapa?" tanya Sanad.
"Kita hanya sebagai orang luar, rasa aneh saja, tiba-tiba mereka bercerai. Di perkumpulan keluarga besarmu, aku pernah dengar mereka sangat iri dengan pasutri itu. Suami memiliki karir cemerlang, Wahda juga seorang dokter dan terlihat harmonis."
"Begitulah manusia. Hanya melihat luaran saja. Kita tidak tahu mungkin di dalamnya mereka sedang menyimpan banyak masalah."
Teratai merapatkan badannya. "Kamu tahu sejarah percintaan Wahda dengan Bagus?"
Sanad memajukan wajahnya, sehingga Teratai termundur. "Kamu mulai belajar ngerumpi?"
Teratai memasang wajah manyun. Ia menyandarkan punggungnya. "Kamu tau, pekerjaanku dari kecil harus sering menganalisis arah mata angin, mencoba mereka cuaca esok hari dengan melihat bintang dan setiap perubahan. Kalau hanya mengandalkan sumberdayanya, mungkin sampai sekarang aku masih diam di danau. Repotnya, kebiasaan itu terbawa ke suatu yang bukan urusanku. Namun, apa salahnya aku belajar dari pengalaman mereka."
Sanad tersenyum. "Aku tidak begitu tahu. Kamu sendiri tau, aku bukan tipe peduli pada orang lain. Kalaupun aku sedikit akrab dengan Wahda, itu karena dia memang agresif. Dari sifat dia, aku mengira dia yang mengejar-ngejar Bagus. Jadi mungkin Bagus menerima dia karena putus asa dengan mantan. Lalu ketika kembali bertemu mantan …. Terlebih lagi jika melihat mantan yang …. Entahlah." Sanad menyudahi spekulasinya. "Menurutmu?"
Beberapa saat Teratai terdiam. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu Sanad. "Dibanding agresif, menurut aku Wahda itu memiliki hati yang hangat, periang dan penuh perhatian. Dapat dibayangkan bagaimana perhatiannya kepada orang yang dia sayanginya. Aku menduga, dia tidak melanjutkan studi spesialis juga karena cintanya yang luar biasa kepada Bagus. Hanya saja, aku tak menyangka, kalau dari sudut laki-laki itu disebut agresif."
Sanad menatap tangannya yang diremas Teratai. "Kenapa? Ada yang kau takutkan?"
"Enggak. Aku hanya teringat masa laluku. Cinta memang mendorong kita untuk berbuat sesuatu yang kadang sangat luar biasa. Namun, tidak semua yang kita lakukan itu mendapatkan apresiasi yang bagus."
Teratai menghela napasnya. "Untung cinta segalanya bagiku itu Evan."
Sanad mengernyit protes. "Evan?!"
Teratai mengangguk, lalu berpaling, menyembunyikan bibirnya yang hampir melengkung. Melihat laki-laki itu cemburu menyenangkan juga.
Sanad menghempaskan napasnya. Ia menyandarkan punggungnya, dan menoleh keluar. "Rupanya aku masih belum bisa mendapatkanmu seutuhnya."
Cup.
Sebuah kecupan mampir di pipinya. Keane yang sejak tadi fokus pada jalan, kini mengintip lewat kaca spion.
Sanad menatap wajah Teratai.
"Jangan khawatir. Selama Evan bersama kita, kamu akan mendapatkan diriku sepenuhnya," goda Teratai.
Sanad berdecak mengejek. "Bilang saja, kamu juga tidak bisa menolak dari pesonaku!"
Teratai mencebik. "Narsis."
Sanad Tertawa. Ia merengkuh bahu Teratai. "Bagaimana dengan kafenya?"
Teratai menghela napasnya. Ia menyandarkan punggungnya ke bahu Sanad. "Masih sepi.”
Awalnya Tera membangun kafe itu hanya untuk minat. Di mana ia bisa santai bekerja dan belajar sambil menghabiskan hari, menunggu Evan. “Kamu tahu alasan mendirikan kafe itu, tetapi kenapa ketika sepi, jadi masuk kepikiran?”
Sanad kembali terkekeh. "Itu manusiawi, memikirkan untung rugi. Jangan terlalu dipikirkan. Selama tempat itu membuatmu nyaman, jalani saja. Anggap saja itu sebagai kantor kerjamu, kamu tetap memerlukannya, meski mengeluarkan biaya. Bagaimana dengan proses uyah wadinya?"*
"Masih proses uji coba. Alhamdulillah, Acil Nurul sudah menemukan formula rasa yang pas dan bisa kering. Hanya saja untuk sementara, menunggu berapa lama uyah itu bertahan."
Uyah wadi adalah garam untuk rujak. Khusus olahan dari Bangkau, uyah wadi diolah dari air garam rendaman ikan yang diasinkan. Setelah direndam semalaman, ikan diangkat, dibersihkan dan siap dijemur. Airnya diolah menjadi uyah wadi yang dicampuri air asam sebagai penghilang amis, kunyit untuk mempercantik warna dan serai untuk memberikan khas rasa.
"Biasanya berapa lama bertahan?"
****
catatan penulis: mungkin dua tokoh membuat cerita sedikit membingungkan. Mendadak Talak memang seri dari Bahagia Setelah Terusir (Sanad dan Teratai). Jadi sebaiknya berkunjung juga ke sana, romance Sanad dan Teratai tak kalah manis dari Wahda.
Novel:
Bahagia setelah terusir
Kamu berhak bahagia
dan Setelah kau pergi, ketiga novel ini tokohnya saling berhubungan.
Terima kasih atas perhatiannya
Bahagia Setelah terusi
"Biasanya berapa lama bertahan?""Mungkin tahunan. Hanya saja, karena biasanya untuk konsumsi pribadi jadi tidak pernah menghitung berapa lama dan tidak memerhatikan perubahannya warna dan struktur. Biasanya ada endapan putih yang muncul. Kalau dikonsumsi pribadi, endapan itu tidak masalah, karena putih itu seperti garam yang mengkristal. Tapi kalau untuk dijual … Semoga saja kali ini berhasil." "Santai saja. Tuh akhirnya juga sambil dijual 'kan?""Iya, tapi masih dalam bentuk basah. Itupun hanya bisa dititip pada Acil Imai yang pulang pergi ke Kal Teng. Dijual secara curah. Belum bisa dijual dengan kemasan produk dan melalang buana ke mana saja.""Santai saja. Anggap itu rencana jarak panjang dan kafe itu sebagai pelepas lelahmu."Teratai mengangguk. "Oh iya, Wahda jago bikin es krim. Coba kau ajak dia. Siapa tau bisa kalian cocok. Kalian bisa saling menguntungkan. Kamu bisa menambah menu, dia bisa reliks"Teratai meluruskan badannya. Matanya menyipit "Boleh dicoba.""Nanti aku cob
Angel menepuk bahunya. “Nanti kita bisa coba lagi.” Bagus mengangguk lesu. Ia menyerahkan buket itu kepada Angel, lalu melangkah ke dalam. Beberapa orang di selasar menatapnya dengan berbagi rupa. Ada yang menatap dengan iba, ejek, juga mengolok. Hilang semua wibawa yang ia bangun selama ini. Di belakang Angel menciumi mawar merah yang kini beralih ke tangannya. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang. Sebagai wanita mandiri hingga sampai ke titik ini, telah banyak mengecap asam garam kehidupan tentu sangat kenal dengan karakter manusia umumnya.Tatapan seperti itu hanyalah lalat yang akan pergi cukup dengan dikibas. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, lalu membagikannya satu persatu kepada beberapa perempuan di sana. Seketika mereka menatapnya dengan penuh terima kasih. ***"Sekarang kita mau ke mana?" tanya Arsa saat mereka menunggu plang parkir belum terbuka. "Ke rumah ibuku.""Apa kamu sudah siap?" tanya Arsa melajukan mobilnya. "Ada kamu," jawab Arsa berdecak. "Dasar
"Menangislah. Kuharap setelah ini, tidak ada lagi air mata yang tumpah. Air matamu sangat berarti. Tak layak kau tumpahkan untuk seorang Bagus. Songsonglah masa depan, kamu berhak bahagia. Entah sendiri atau dengan siapapun."Wahda mengangkat wajahnya. Menatap wajah sepupu yang selama ini suka membuatnya kesel. Pada saat tertentu, sepupunya yang satu ini memang dapat diandalkan. Arsa mengusap lembut wajahnya. "Kamu tidak sendiri. Ada ibumu dan aku yang siap ada untukmu. Perlu kamu ingat, kamu memiliki banyak sepupu laki-laki. Meski sepupu, percayalah kami akan selalu membelamu."Wahda mengangguk. Kembali ia membenamkan wajahnya di pinggang Arsa. *** Terlihat mobil Arsa memarkir, saat Bagus memasuki halaman rumahnya. Ia bergegas keluar dari mobil, Wahda dan Arsa muncul dari balik pintu rumahnya. Hatinya terasa diremas melihat wajah bengkak Wahda dan langkah yang terlihat lemah. “Wahda, ini rumah kita, rumahmu,” ucap Bagus setelah melihat koper besar yang ditarik Arsa. Arsa terus
Tiba-tiba Sanad merasakan matanya mengaca. "Aku tidak menyangka, Evan akan bertemu ibu sambung sebaik kamu.""DUAR!!" Teriakan Wahda membuyarkan lamunan Teratai. Ia mengerjap. Di depannya sudah ada Arsa dan Wahda yang cengengesan menatapnya. "Melamunkan apa? Sampai tidak sadar dengan kedatangan kami?" tanya Wahda dengan terkekeh sambil duduk."Wahda?! Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?" cecar Teratai. “Dibilang baikan nggak juga. Karena itu, Arsa bawa aku ke sini, katanya di sini nyaman untuk santai.”“Alhamdulillah, di sini lumayan nyaman.” Wahda mengedarkan pandangannya. Ia tahu betul, kalau itu bangunan empat pintu milik Sanad yang sekarang disulap menjadi kafe dengan gabungan tiga elemen. Di ruang pojok, tempat yang mereka duduki, berdiri sebuah rak kayu di dinding, di depan kaca beberapa rak bentuk hexagonal yang juga di isi beberapa buku. Dua tanaman anggrek bulan yang sedang berbunga warna putih menggantung di tepi kaca. Di ruangan itu hanya dua buah meja tanpa kursi, seda
Sanad mengangguk. Teratai menuangkan infused water untuknya. Ia langsung meneguk minuman itu. “Kamu mau ini, Arsa?” tawar Teratai. Arsa hanya menjawab dengan mengangkat americano miliknya. “Wahda?” tanya Teratai ke Wahda. “Boleh. Sebenarnya aku jarang minum ini, mumpung ada. Sejak kapan kalian mengonsumsi ini?” tanya Wahda. “Tidak lama. Mungkin semenjak ada kafe ini berdekatan dengan penanam mint, jadi dicoba saja. Alhamdulillah, Sanad juga menyukainya. Kadang dibikin teh.”“Oh iya, tanaman yang di situ banyak jenis mint. Orangnya mana?” “Mungkin di belakang. Dia kalau sudah di kebun suka lupa kalau lagi jualan di luar,” jawab Teratai sambil terkekeh. “Oh iya, Sanad bilang kamu jago bikin es krim. Gimana kalau selama cuti kamu bergabung dengan kami, buat tambahan menu es krim. Tidak menjanjikan banyak sih, kamu lihat sendiri masih sepi. Tapi lumayanlah untuk mengisi waktu dan mengalihkan kegalauanmu itu Gimana?" urai Teratai tanpa basa basi.“Oke, aku suka tempat ini. Besok aku
Seorang perempuan muda menyusuri selasar rumah sakit dengan senyum semringah dan hati yang berbunga-bunga. Kabar gembira yang ingin disampaikan pada sang suami telah membuatnya lupa kalau ia sedang menyusuri lorong remang.Aktifitas pelayanan masyarakat sudah ditutup setengah jam yang lalu. Beberapa orang karyawan dan nakes yang ia lewati bersiap-siap pulang ke rumah. Bahkan beberapa lampu telah dimatikan. Sambil bertegur sapa, ia terus melangkah hingga sampai di muka pintu kantor suaminya yang menjabat sebagai direktur di satu rumah sakit itu. Sebelum memegang gagang pintu, terlebih dahulu ia menghirup oksigen kuat-kuat, berharap bisa membuat suaminya terkejut dengan kedatangannya. “Surprise!!” teriaknya. Namun siapa sangka, sebuah pemandangan yang telah membuatnya seperti mendadak kehilangan roh. Matanya membelalak selebar mungkin, seakan bola di dalamnya ingin keluar. Sepasang manusia tersentak, lalu saling salah tingkah sambil merapikan pakaian mereka. Sang laki-laki berdiri men
“Jadi aku harus bagaimana? Membiarkan kalian terus berhubungan di sini?’“Kalau begitu, aku yang pergi sejauh mungkin. Aku janji tidak akan mengganggu kalian lagi,” sela Angel.“Kamu pikir aku sebodoh itu? Lagi pula, untuk apa aku mempertahankan laki-laki yang lebih mementingkan jabatan dan mantan daripada perkawinannya.” Wahda beralih ke Bagus. “Gus, sekarang juga ceraikan!” “Oke!” teriak Bagus. "Untuk apa aku mempertaruhkan jabatan dan Angel untuk perempuan manja dan mandul seperti kamu. Kamu tidak apa-apanya dibandingkan Angel. Hanya seorang dokter, sombongnya minta ampun. Dibanding Angel kamu tidak apa-apanya. Puas?!”Wahda tersentak. Ekor matanya melihat senyum miring Angel.“Puas! Puas sekali. Terima kasih telah menyadarkanku. Hari ini, aku seorang Wahda, lima tahun mengabdi suami, telah dihina di depan mantan. Sekarang ceraikan saja aku. Jangan ditunda lagi. Besok atau lusa sama saja.”“Baik. Dokter Wahdatul Aisya, detik ini aku juga menceraikanmu,” ucap Bagus terdengar lugas
Secepat kilat ia ditalak, dan hanya beberapa menit kemudian masa iddahnya habis. Seketika mereka menjadi orang asing. Seorang perawat laki-laki urung masuk melihat dirinya yang menangis tersedu dalam selimut. ***Bagus melangkah gontai memasuki rumah minimalis mereka yang sangat terawat. Tiba-tiba perasaannya dicekam hampa. Biasanya, saat datang ke rumah, selalu ada senyum untuknya. Mengambil alih barang bawaannya, juga menyediakan air hangat dalam bathtub, tak lupa mencampur dengan sabun aroma terapi. Kamarnya kini benar-benar sepi. Ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang ukuran king size. Mata menatap langit-langit, pikirannya entah ke mana.Hatinya hancur, semenjak Angel memilih karir daripada dia. Angel memilih beasiswa kuliah di Amsterdam daripada lamarannya. Ia sadar, dirinya memang egois saat itu. Namun, ia melakukan itu karena sangat mencintai Angel. Sayangnya Angel tidak memahami dan menuduhnya laki-laki egois. Hubungan mereka berakhir sampai di situ. Sejak itu, hatinya
Sanad mengangguk. Teratai menuangkan infused water untuknya. Ia langsung meneguk minuman itu. “Kamu mau ini, Arsa?” tawar Teratai. Arsa hanya menjawab dengan mengangkat americano miliknya. “Wahda?” tanya Teratai ke Wahda. “Boleh. Sebenarnya aku jarang minum ini, mumpung ada. Sejak kapan kalian mengonsumsi ini?” tanya Wahda. “Tidak lama. Mungkin semenjak ada kafe ini berdekatan dengan penanam mint, jadi dicoba saja. Alhamdulillah, Sanad juga menyukainya. Kadang dibikin teh.”“Oh iya, tanaman yang di situ banyak jenis mint. Orangnya mana?” “Mungkin di belakang. Dia kalau sudah di kebun suka lupa kalau lagi jualan di luar,” jawab Teratai sambil terkekeh. “Oh iya, Sanad bilang kamu jago bikin es krim. Gimana kalau selama cuti kamu bergabung dengan kami, buat tambahan menu es krim. Tidak menjanjikan banyak sih, kamu lihat sendiri masih sepi. Tapi lumayanlah untuk mengisi waktu dan mengalihkan kegalauanmu itu Gimana?" urai Teratai tanpa basa basi.“Oke, aku suka tempat ini. Besok aku
Tiba-tiba Sanad merasakan matanya mengaca. "Aku tidak menyangka, Evan akan bertemu ibu sambung sebaik kamu.""DUAR!!" Teriakan Wahda membuyarkan lamunan Teratai. Ia mengerjap. Di depannya sudah ada Arsa dan Wahda yang cengengesan menatapnya. "Melamunkan apa? Sampai tidak sadar dengan kedatangan kami?" tanya Wahda dengan terkekeh sambil duduk."Wahda?! Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?" cecar Teratai. “Dibilang baikan nggak juga. Karena itu, Arsa bawa aku ke sini, katanya di sini nyaman untuk santai.”“Alhamdulillah, di sini lumayan nyaman.” Wahda mengedarkan pandangannya. Ia tahu betul, kalau itu bangunan empat pintu milik Sanad yang sekarang disulap menjadi kafe dengan gabungan tiga elemen. Di ruang pojok, tempat yang mereka duduki, berdiri sebuah rak kayu di dinding, di depan kaca beberapa rak bentuk hexagonal yang juga di isi beberapa buku. Dua tanaman anggrek bulan yang sedang berbunga warna putih menggantung di tepi kaca. Di ruangan itu hanya dua buah meja tanpa kursi, seda
"Menangislah. Kuharap setelah ini, tidak ada lagi air mata yang tumpah. Air matamu sangat berarti. Tak layak kau tumpahkan untuk seorang Bagus. Songsonglah masa depan, kamu berhak bahagia. Entah sendiri atau dengan siapapun."Wahda mengangkat wajahnya. Menatap wajah sepupu yang selama ini suka membuatnya kesel. Pada saat tertentu, sepupunya yang satu ini memang dapat diandalkan. Arsa mengusap lembut wajahnya. "Kamu tidak sendiri. Ada ibumu dan aku yang siap ada untukmu. Perlu kamu ingat, kamu memiliki banyak sepupu laki-laki. Meski sepupu, percayalah kami akan selalu membelamu."Wahda mengangguk. Kembali ia membenamkan wajahnya di pinggang Arsa. *** Terlihat mobil Arsa memarkir, saat Bagus memasuki halaman rumahnya. Ia bergegas keluar dari mobil, Wahda dan Arsa muncul dari balik pintu rumahnya. Hatinya terasa diremas melihat wajah bengkak Wahda dan langkah yang terlihat lemah. “Wahda, ini rumah kita, rumahmu,” ucap Bagus setelah melihat koper besar yang ditarik Arsa. Arsa terus
Angel menepuk bahunya. “Nanti kita bisa coba lagi.” Bagus mengangguk lesu. Ia menyerahkan buket itu kepada Angel, lalu melangkah ke dalam. Beberapa orang di selasar menatapnya dengan berbagi rupa. Ada yang menatap dengan iba, ejek, juga mengolok. Hilang semua wibawa yang ia bangun selama ini. Di belakang Angel menciumi mawar merah yang kini beralih ke tangannya. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang. Sebagai wanita mandiri hingga sampai ke titik ini, telah banyak mengecap asam garam kehidupan tentu sangat kenal dengan karakter manusia umumnya.Tatapan seperti itu hanyalah lalat yang akan pergi cukup dengan dikibas. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, lalu membagikannya satu persatu kepada beberapa perempuan di sana. Seketika mereka menatapnya dengan penuh terima kasih. ***"Sekarang kita mau ke mana?" tanya Arsa saat mereka menunggu plang parkir belum terbuka. "Ke rumah ibuku.""Apa kamu sudah siap?" tanya Arsa melajukan mobilnya. "Ada kamu," jawab Arsa berdecak. "Dasar
"Biasanya berapa lama bertahan?""Mungkin tahunan. Hanya saja, karena biasanya untuk konsumsi pribadi jadi tidak pernah menghitung berapa lama dan tidak memerhatikan perubahannya warna dan struktur. Biasanya ada endapan putih yang muncul. Kalau dikonsumsi pribadi, endapan itu tidak masalah, karena putih itu seperti garam yang mengkristal. Tapi kalau untuk dijual … Semoga saja kali ini berhasil." "Santai saja. Tuh akhirnya juga sambil dijual 'kan?""Iya, tapi masih dalam bentuk basah. Itupun hanya bisa dititip pada Acil Imai yang pulang pergi ke Kal Teng. Dijual secara curah. Belum bisa dijual dengan kemasan produk dan melalang buana ke mana saja.""Santai saja. Anggap itu rencana jarak panjang dan kafe itu sebagai pelepas lelahmu."Teratai mengangguk. "Oh iya, Wahda jago bikin es krim. Coba kau ajak dia. Siapa tau bisa kalian cocok. Kalian bisa saling menguntungkan. Kamu bisa menambah menu, dia bisa reliks"Teratai meluruskan badannya. Matanya menyipit "Boleh dicoba.""Nanti aku cob
Tangis Wahda pecah. Sanad kebingungan. Ia mengangkat sebelah, tetapi terhenti ketika melihat istrinya yang mematung. "Menangislah jika itu membuat lebih nyaman," saran Sanad setelah menurunkan tangannya.Wahda melepaskan pelukannya. Wajahnya sembab memerah. "Aku nggak tau harus gimana ngomong pada ibu!" Teratai bergegas mengambilkan tisu dan meletakkan di dekat Wahda. "Terima kasih," ucap Wahda sambil mengambil beberapa lembar tisu, lalu membersihkan wajah dan hidungnya. Namun, yang terjadi air matanya tak kunjung berhenti. "Bukannya ibumu sudah tahu kamu keguguran? Lagi pula, besok kamu masih bisa mencoba lagi? Ibumu pasti ngerti kok."Wahda menggeleng. Sesaat ia menarik napasnya dalam-dalam. "Aku dan Bagus … kami … sudah bercerai."Sanad dan Teratai tersentak, lalu saling bersitatap. "Bagaimana bisa?" tanya Teratai spontan. Beberapa detik kemudian ia merapatkan bibirnya. ***Dalam perjalanan Teratai hanya terdiam. Pikirannya masih tertinggal di ruang rawat inap Wahda. "Kena
Secepat kilat ia ditalak, dan hanya beberapa menit kemudian masa iddahnya habis. Seketika mereka menjadi orang asing. Seorang perawat laki-laki urung masuk melihat dirinya yang menangis tersedu dalam selimut. ***Bagus melangkah gontai memasuki rumah minimalis mereka yang sangat terawat. Tiba-tiba perasaannya dicekam hampa. Biasanya, saat datang ke rumah, selalu ada senyum untuknya. Mengambil alih barang bawaannya, juga menyediakan air hangat dalam bathtub, tak lupa mencampur dengan sabun aroma terapi. Kamarnya kini benar-benar sepi. Ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang ukuran king size. Mata menatap langit-langit, pikirannya entah ke mana.Hatinya hancur, semenjak Angel memilih karir daripada dia. Angel memilih beasiswa kuliah di Amsterdam daripada lamarannya. Ia sadar, dirinya memang egois saat itu. Namun, ia melakukan itu karena sangat mencintai Angel. Sayangnya Angel tidak memahami dan menuduhnya laki-laki egois. Hubungan mereka berakhir sampai di situ. Sejak itu, hatinya
“Jadi aku harus bagaimana? Membiarkan kalian terus berhubungan di sini?’“Kalau begitu, aku yang pergi sejauh mungkin. Aku janji tidak akan mengganggu kalian lagi,” sela Angel.“Kamu pikir aku sebodoh itu? Lagi pula, untuk apa aku mempertahankan laki-laki yang lebih mementingkan jabatan dan mantan daripada perkawinannya.” Wahda beralih ke Bagus. “Gus, sekarang juga ceraikan!” “Oke!” teriak Bagus. "Untuk apa aku mempertaruhkan jabatan dan Angel untuk perempuan manja dan mandul seperti kamu. Kamu tidak apa-apanya dibandingkan Angel. Hanya seorang dokter, sombongnya minta ampun. Dibanding Angel kamu tidak apa-apanya. Puas?!”Wahda tersentak. Ekor matanya melihat senyum miring Angel.“Puas! Puas sekali. Terima kasih telah menyadarkanku. Hari ini, aku seorang Wahda, lima tahun mengabdi suami, telah dihina di depan mantan. Sekarang ceraikan saja aku. Jangan ditunda lagi. Besok atau lusa sama saja.”“Baik. Dokter Wahdatul Aisya, detik ini aku juga menceraikanmu,” ucap Bagus terdengar lugas
Seorang perempuan muda menyusuri selasar rumah sakit dengan senyum semringah dan hati yang berbunga-bunga. Kabar gembira yang ingin disampaikan pada sang suami telah membuatnya lupa kalau ia sedang menyusuri lorong remang.Aktifitas pelayanan masyarakat sudah ditutup setengah jam yang lalu. Beberapa orang karyawan dan nakes yang ia lewati bersiap-siap pulang ke rumah. Bahkan beberapa lampu telah dimatikan. Sambil bertegur sapa, ia terus melangkah hingga sampai di muka pintu kantor suaminya yang menjabat sebagai direktur di satu rumah sakit itu. Sebelum memegang gagang pintu, terlebih dahulu ia menghirup oksigen kuat-kuat, berharap bisa membuat suaminya terkejut dengan kedatangannya. “Surprise!!” teriaknya. Namun siapa sangka, sebuah pemandangan yang telah membuatnya seperti mendadak kehilangan roh. Matanya membelalak selebar mungkin, seakan bola di dalamnya ingin keluar. Sepasang manusia tersentak, lalu saling salah tingkah sambil merapikan pakaian mereka. Sang laki-laki berdiri men