"Menangislah. Kuharap setelah ini, tidak ada lagi air mata yang tumpah. Air matamu sangat berarti. Tak layak kau tumpahkan untuk seorang Bagus. Songsonglah masa depan, kamu berhak bahagia. Entah sendiri atau dengan siapapun."
Wahda mengangkat wajahnya. Menatap wajah sepupu yang selama ini suka membuatnya kesel. Pada saat tertentu, sepupunya yang satu ini memang dapat diandalkan.
Arsa mengusap lembut wajahnya. "Kamu tidak sendiri. Ada ibumu dan aku yang siap ada untukmu. Perlu kamu ingat, kamu memiliki banyak sepupu laki-laki. Meski sepupu, percayalah kami akan selalu membelamu."
Wahda mengangguk. Kembali ia membenamkan wajahnya di pinggang Arsa.
***
Terlihat mobil Arsa memarkir, saat Bagus memasuki halaman rumahnya. Ia bergegas keluar dari mobil, Wahda dan Arsa muncul dari balik pintu rumahnya. Hatinya terasa diremas melihat wajah bengkak Wahda dan langkah yang terlihat lemah.
“Wahda, ini rumah kita, rumahmu,” ucap Bagus setelah melihat koper besar yang ditarik Arsa. Arsa terus menarik koper itu hingga ke mobilnya.
Wahda menggeleng. “Rumah ini tidak lagi menawarkan senyuman dan mimpi. Berapa menit saja aku di sini, rasanya tubuh ini tak kuat lagi menahan sakit yang ditorehkan kenangan. Jadi aku tidak mungkin lagi tinggal di sini.”
Bagus meraih tangannya, tetapi Wahda segera mundur.
“Wahda, aku memang salah, tapi aku tau kau masih mencintaiku, berilah aku kesempatan sekali lagi, ya,” bujuk Bagus.
Wahda menengadahkan wajahnya. Menatap wajah tampan yang kelihatan kusut itu. Wajah yang selalu ingin ia lihat saat sebelum menutup dan membuka mata. Satu-satunya Wajah dalam mimpinya selama lima tahun ini.
"Benar aku mencintaimu. Sangat mencintaimu."
"Benar aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Karena cintaku yang masih ada inilah yang membuat hatiku sangat sakit. Andai ciptaan manusia, tubuh ini pun akan tercabik-cabik. Aku sangat … sangat … sangat mencintaimu, dapat kau bayangkan bagaimana hancurnya hatiku. Jangan lagi kau mengemis dengan alat yang setiap detik membuat hatiku berdenyut nyeri. Kumohon, jangan lagi mendekatiku," melas Wahda.
“Wahda!” Arsa telah berdiri di dekat mereka.
Wahda mengangguk, lalu turun dari teras rumahnya. Tiba-tiba Arsa melayangkan sebuah pukulan ke wajah Bagus.
Wahda memekik. “Arsa, apa yang kau lakukan?!” Ia diserang panik ketika melihat darah mengalir di sudut bibir Bagus. Ia hendak menyentuh wajah itu, tetapi Arsa langsung menarik tangannya.
“Dengar, ini hanya sepersekian persen dari amarah yang terpendam. Jangan coba lagi mendekatinya, kalau tidak ingin mendapatkan yang lebih parah dari ini.”
Bagus mengusap sudut bibirnya. Terlihat cairan merah di jarinya. Ia menatap Arsa menarik lengan mantan istrinya hingga memasuki sebuah mobil. Ia terus menatap mobil itu, hingga hilang dari pandangannya.
“Aku tidak akan berhenti di sini, Wahda.”
***
Seperti biasa, selama menunggu Evan, Teratai menghabiskan waktunya di kafe. Paling sering duduk di sebuah meja dekat rak buku. Di sana ia akan betah berlama-lama membaca buku, mencatat sesuatu yang penting atau menulis, minat yang baru ditekuninya.
Sanad pernah sangsi dengan keinginan Teratai memanfaatkan salah satu propertinya yang lama teronggok menjadikan sebuah kafe, karena ia membeli Teratai Kedua untuk dikelola Teratai. Namun, mengapa tiba-tiba Teratai mempunyai dunia baru?
“Pertama karena seperti kamu bilang, sudah lama tidak ada yang menyewa tempat itu. Kedua, karena jarak Bangkau dengan sekolah Evan lumayan jauh, untuk pulang pergi rasanya melelahkan.” Alasan yang ia berikan waktu itu.
“Bukankah kamu sudah terbiasa menjajakan kerupuk, bahkan berkeliling sampai antar kecamatan?” bantah Sanad.
“Itu dulu, sekarang aku menjadi istri orang kaya. Tubuhku tahu betul seberapa banyak harus mengeluarkan tenaga.”
Sanad mencebik dengan jawaban ngasal istrinya. Teratai memeluknya dari belakang.
“Selain itu, aku ingin memiliki waktu yang tenang untuk belajar lebih banyak lagi.”
Sanad mengerutkan kening. Ia melepaskan pelukan Teratai lalu menuntunnya ke ranjang. “Aku hargai semangatmu. Tapi, ada yang harus kamu prioritaskan. Bukankah dulu kamu pernah cerita, mendirikan Teratai Produksi untuk menciptakan lahan kerja untuk orang Bangkau?”
Teratai mengangguk. Ia merebahkan badannya. Sanad mengikuti dengan menghadapnya.
“Itu dulu, sebelum aku memiliki Evan.”
“Kamu tidak percaya diri dengan Evan?”
Teratai menggeleng. Ia meluruskan pandangannya, menatap langit-langit kamar mereka. “Dulu orang Bangkau pernah mengalami masa-masa jaya. Dimana hasil ikan mereka lebih dari cukup. Anak remajanya terbilang kaya dibanding anak-anak petani dari desa sekitarnya.”
Sanad bergeser, meraih kepala Teratai, lalu meletakkan di bahunya.
“Setiap ada acara hiburan di mana saja, mereka tidak pernah ketinggalan selama jaraknya masih bisa dijangkau. Baik orkes dangdut, film di bioskop atau hiburan apapun. Mereka sangat menikmati hidup, bahkan menurutku termasuk berpoya-poya. Sangat sedikit, bahkan nyaris tidak ada yang berpikir bagaimana Bangkau beberapa tahun ke depan?"
Teratai mendongakkan kepalanya. "Sekarang kita bisa lihat bagaimana kondisi perekonomian Bangkau. Andai remaja Bangkau dulu menyibukkan diri dengan belajar dan berbenah diri, mungkin sekarang tidak semenyedihkan ini. Alam mungkin saja tidak separah ini, andai tidak semua orang hanya menyandarkan diri pada sumber dayanya."
Teratai merapatkan badannya. Ia merasakan sesuatu mencegat di tenggorokannya. "Namun, bukan itu satu-satunya alasan kemerosotan Bangkau, melainkan bagaimana kondisi dari generasi sekarang, hanya segelintir yang mau bangkit, menempuh pendidikan dan berani bermimpi. Sisanya sungguh mengkhawatirkan. Pengetahuan mereka belum siap menerima arus informasi dan janji-janji semu, akhirnya pergaulan terlalu bebas, hamil di luar nikah, pecandu obat terlarang, bahkan ada yang berani melakukan tindakan kriminal terhadap orang lain."
Sanad memeluk erat tubuh Teratai. Ia mengerti jelas apa yang dirasakan istrinya. Dimana hampir seluruh mimpi Teratai hanya untuk Bangkau, ternyata ia tak mampu mengimbangi arus zaman.
"Dulu aku berharap adik-adikku dapat membangun Bangkau. Elang sebagai insinyur, Kembang bisnis dan Lilac untuk ilmu agama. Ternyata mereka mempunyai jalan sendiri."
"Jangan salahkan mereka. Bagaimanapun kehidupan mereka denganmu tidak sama. Tentu mereka tidak mempunyai kepekaan, mental dan ketahanan tubuh sepertimu."
Teratai melepaskan pelukan Sanad. Ia mengusap wajahnya yang tiba-tiba sembab. "Aku tidak menyalahkan mereka. Aku pun tidak begitu berambisi lagi untuk Bangkau. Yang kupikirkan sekarang hanya Evan. Masa depan Evan, bahkan mungkin keturunannya di tanganku saat ini. Karena itulah aku juga harus pintar. Aku harus bisa dijadikan Evan tempat bertanya, share dan menyandarkan diri ketika ia mempunyai masalah."
Tiba-tiba Sanad merasakan matanya mengaca. "Aku tidak menyangka, Evan akan bertemu ibu sambung sebaik kamu."
"DUAR!!"
Tiba-tiba Sanad merasakan matanya mengaca. "Aku tidak menyangka, Evan akan bertemu ibu sambung sebaik kamu.""DUAR!!" Teriakan Wahda membuyarkan lamunan Teratai. Ia mengerjap. Di depannya sudah ada Arsa dan Wahda yang cengengesan menatapnya. "Melamunkan apa? Sampai tidak sadar dengan kedatangan kami?" tanya Wahda dengan terkekeh sambil duduk."Wahda?! Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?" cecar Teratai. “Dibilang baikan nggak juga. Karena itu, Arsa bawa aku ke sini, katanya di sini nyaman untuk santai.”“Alhamdulillah, di sini lumayan nyaman.” Wahda mengedarkan pandangannya. Ia tahu betul, kalau itu bangunan empat pintu milik Sanad yang sekarang disulap menjadi kafe dengan gabungan tiga elemen. Di ruang pojok, tempat yang mereka duduki, berdiri sebuah rak kayu di dinding, di depan kaca beberapa rak bentuk hexagonal yang juga di isi beberapa buku. Dua tanaman anggrek bulan yang sedang berbunga warna putih menggantung di tepi kaca. Di ruangan itu hanya dua buah meja tanpa kursi, seda
Sanad mengangguk. Teratai menuangkan infused water untuknya. Ia langsung meneguk minuman itu. “Kamu mau ini, Arsa?” tawar Teratai. Arsa hanya menjawab dengan mengangkat americano miliknya. “Wahda?” tanya Teratai ke Wahda. “Boleh. Sebenarnya aku jarang minum ini, mumpung ada. Sejak kapan kalian mengonsumsi ini?” tanya Wahda. “Tidak lama. Mungkin semenjak ada kafe ini berdekatan dengan penanam mint, jadi dicoba saja. Alhamdulillah, Sanad juga menyukainya. Kadang dibikin teh.”“Oh iya, tanaman yang di situ banyak jenis mint. Orangnya mana?” “Mungkin di belakang. Dia kalau sudah di kebun suka lupa kalau lagi jualan di luar,” jawab Teratai sambil terkekeh. “Oh iya, Sanad bilang kamu jago bikin es krim. Gimana kalau selama cuti kamu bergabung dengan kami, buat tambahan menu es krim. Tidak menjanjikan banyak sih, kamu lihat sendiri masih sepi. Tapi lumayanlah untuk mengisi waktu dan mengalihkan kegalauanmu itu Gimana?" urai Teratai tanpa basa basi.“Oke, aku suka tempat ini. Besok aku
Seorang perempuan muda menyusuri selasar rumah sakit dengan senyum semringah dan hati yang berbunga-bunga. Kabar gembira yang ingin disampaikan pada sang suami telah membuatnya lupa kalau ia sedang menyusuri lorong remang.Aktifitas pelayanan masyarakat sudah ditutup setengah jam yang lalu. Beberapa orang karyawan dan nakes yang ia lewati bersiap-siap pulang ke rumah. Bahkan beberapa lampu telah dimatikan. Sambil bertegur sapa, ia terus melangkah hingga sampai di muka pintu kantor suaminya yang menjabat sebagai direktur di satu rumah sakit itu. Sebelum memegang gagang pintu, terlebih dahulu ia menghirup oksigen kuat-kuat, berharap bisa membuat suaminya terkejut dengan kedatangannya. “Surprise!!” teriaknya. Namun siapa sangka, sebuah pemandangan yang telah membuatnya seperti mendadak kehilangan roh. Matanya membelalak selebar mungkin, seakan bola di dalamnya ingin keluar. Sepasang manusia tersentak, lalu saling salah tingkah sambil merapikan pakaian mereka. Sang laki-laki berdiri men
“Jadi aku harus bagaimana? Membiarkan kalian terus berhubungan di sini?’“Kalau begitu, aku yang pergi sejauh mungkin. Aku janji tidak akan mengganggu kalian lagi,” sela Angel.“Kamu pikir aku sebodoh itu? Lagi pula, untuk apa aku mempertahankan laki-laki yang lebih mementingkan jabatan dan mantan daripada perkawinannya.” Wahda beralih ke Bagus. “Gus, sekarang juga ceraikan!” “Oke!” teriak Bagus. "Untuk apa aku mempertaruhkan jabatan dan Angel untuk perempuan manja dan mandul seperti kamu. Kamu tidak apa-apanya dibandingkan Angel. Hanya seorang dokter, sombongnya minta ampun. Dibanding Angel kamu tidak apa-apanya. Puas?!”Wahda tersentak. Ekor matanya melihat senyum miring Angel.“Puas! Puas sekali. Terima kasih telah menyadarkanku. Hari ini, aku seorang Wahda, lima tahun mengabdi suami, telah dihina di depan mantan. Sekarang ceraikan saja aku. Jangan ditunda lagi. Besok atau lusa sama saja.”“Baik. Dokter Wahdatul Aisya, detik ini aku juga menceraikanmu,” ucap Bagus terdengar lugas
Secepat kilat ia ditalak, dan hanya beberapa menit kemudian masa iddahnya habis. Seketika mereka menjadi orang asing. Seorang perawat laki-laki urung masuk melihat dirinya yang menangis tersedu dalam selimut. ***Bagus melangkah gontai memasuki rumah minimalis mereka yang sangat terawat. Tiba-tiba perasaannya dicekam hampa. Biasanya, saat datang ke rumah, selalu ada senyum untuknya. Mengambil alih barang bawaannya, juga menyediakan air hangat dalam bathtub, tak lupa mencampur dengan sabun aroma terapi. Kamarnya kini benar-benar sepi. Ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang ukuran king size. Mata menatap langit-langit, pikirannya entah ke mana.Hatinya hancur, semenjak Angel memilih karir daripada dia. Angel memilih beasiswa kuliah di Amsterdam daripada lamarannya. Ia sadar, dirinya memang egois saat itu. Namun, ia melakukan itu karena sangat mencintai Angel. Sayangnya Angel tidak memahami dan menuduhnya laki-laki egois. Hubungan mereka berakhir sampai di situ. Sejak itu, hatinya
Tangis Wahda pecah. Sanad kebingungan. Ia mengangkat sebelah, tetapi terhenti ketika melihat istrinya yang mematung. "Menangislah jika itu membuat lebih nyaman," saran Sanad setelah menurunkan tangannya.Wahda melepaskan pelukannya. Wajahnya sembab memerah. "Aku nggak tau harus gimana ngomong pada ibu!" Teratai bergegas mengambilkan tisu dan meletakkan di dekat Wahda. "Terima kasih," ucap Wahda sambil mengambil beberapa lembar tisu, lalu membersihkan wajah dan hidungnya. Namun, yang terjadi air matanya tak kunjung berhenti. "Bukannya ibumu sudah tahu kamu keguguran? Lagi pula, besok kamu masih bisa mencoba lagi? Ibumu pasti ngerti kok."Wahda menggeleng. Sesaat ia menarik napasnya dalam-dalam. "Aku dan Bagus … kami … sudah bercerai."Sanad dan Teratai tersentak, lalu saling bersitatap. "Bagaimana bisa?" tanya Teratai spontan. Beberapa detik kemudian ia merapatkan bibirnya. ***Dalam perjalanan Teratai hanya terdiam. Pikirannya masih tertinggal di ruang rawat inap Wahda. "Kena
"Biasanya berapa lama bertahan?""Mungkin tahunan. Hanya saja, karena biasanya untuk konsumsi pribadi jadi tidak pernah menghitung berapa lama dan tidak memerhatikan perubahannya warna dan struktur. Biasanya ada endapan putih yang muncul. Kalau dikonsumsi pribadi, endapan itu tidak masalah, karena putih itu seperti garam yang mengkristal. Tapi kalau untuk dijual … Semoga saja kali ini berhasil." "Santai saja. Tuh akhirnya juga sambil dijual 'kan?""Iya, tapi masih dalam bentuk basah. Itupun hanya bisa dititip pada Acil Imai yang pulang pergi ke Kal Teng. Dijual secara curah. Belum bisa dijual dengan kemasan produk dan melalang buana ke mana saja.""Santai saja. Anggap itu rencana jarak panjang dan kafe itu sebagai pelepas lelahmu."Teratai mengangguk. "Oh iya, Wahda jago bikin es krim. Coba kau ajak dia. Siapa tau bisa kalian cocok. Kalian bisa saling menguntungkan. Kamu bisa menambah menu, dia bisa reliks"Teratai meluruskan badannya. Matanya menyipit "Boleh dicoba.""Nanti aku cob
Angel menepuk bahunya. “Nanti kita bisa coba lagi.” Bagus mengangguk lesu. Ia menyerahkan buket itu kepada Angel, lalu melangkah ke dalam. Beberapa orang di selasar menatapnya dengan berbagi rupa. Ada yang menatap dengan iba, ejek, juga mengolok. Hilang semua wibawa yang ia bangun selama ini. Di belakang Angel menciumi mawar merah yang kini beralih ke tangannya. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang. Sebagai wanita mandiri hingga sampai ke titik ini, telah banyak mengecap asam garam kehidupan tentu sangat kenal dengan karakter manusia umumnya.Tatapan seperti itu hanyalah lalat yang akan pergi cukup dengan dikibas. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, lalu membagikannya satu persatu kepada beberapa perempuan di sana. Seketika mereka menatapnya dengan penuh terima kasih. ***"Sekarang kita mau ke mana?" tanya Arsa saat mereka menunggu plang parkir belum terbuka. "Ke rumah ibuku.""Apa kamu sudah siap?" tanya Arsa melajukan mobilnya. "Ada kamu," jawab Arsa berdecak. "Dasar
Sanad mengangguk. Teratai menuangkan infused water untuknya. Ia langsung meneguk minuman itu. “Kamu mau ini, Arsa?” tawar Teratai. Arsa hanya menjawab dengan mengangkat americano miliknya. “Wahda?” tanya Teratai ke Wahda. “Boleh. Sebenarnya aku jarang minum ini, mumpung ada. Sejak kapan kalian mengonsumsi ini?” tanya Wahda. “Tidak lama. Mungkin semenjak ada kafe ini berdekatan dengan penanam mint, jadi dicoba saja. Alhamdulillah, Sanad juga menyukainya. Kadang dibikin teh.”“Oh iya, tanaman yang di situ banyak jenis mint. Orangnya mana?” “Mungkin di belakang. Dia kalau sudah di kebun suka lupa kalau lagi jualan di luar,” jawab Teratai sambil terkekeh. “Oh iya, Sanad bilang kamu jago bikin es krim. Gimana kalau selama cuti kamu bergabung dengan kami, buat tambahan menu es krim. Tidak menjanjikan banyak sih, kamu lihat sendiri masih sepi. Tapi lumayanlah untuk mengisi waktu dan mengalihkan kegalauanmu itu Gimana?" urai Teratai tanpa basa basi.“Oke, aku suka tempat ini. Besok aku
Tiba-tiba Sanad merasakan matanya mengaca. "Aku tidak menyangka, Evan akan bertemu ibu sambung sebaik kamu.""DUAR!!" Teriakan Wahda membuyarkan lamunan Teratai. Ia mengerjap. Di depannya sudah ada Arsa dan Wahda yang cengengesan menatapnya. "Melamunkan apa? Sampai tidak sadar dengan kedatangan kami?" tanya Wahda dengan terkekeh sambil duduk."Wahda?! Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?" cecar Teratai. “Dibilang baikan nggak juga. Karena itu, Arsa bawa aku ke sini, katanya di sini nyaman untuk santai.”“Alhamdulillah, di sini lumayan nyaman.” Wahda mengedarkan pandangannya. Ia tahu betul, kalau itu bangunan empat pintu milik Sanad yang sekarang disulap menjadi kafe dengan gabungan tiga elemen. Di ruang pojok, tempat yang mereka duduki, berdiri sebuah rak kayu di dinding, di depan kaca beberapa rak bentuk hexagonal yang juga di isi beberapa buku. Dua tanaman anggrek bulan yang sedang berbunga warna putih menggantung di tepi kaca. Di ruangan itu hanya dua buah meja tanpa kursi, seda
"Menangislah. Kuharap setelah ini, tidak ada lagi air mata yang tumpah. Air matamu sangat berarti. Tak layak kau tumpahkan untuk seorang Bagus. Songsonglah masa depan, kamu berhak bahagia. Entah sendiri atau dengan siapapun."Wahda mengangkat wajahnya. Menatap wajah sepupu yang selama ini suka membuatnya kesel. Pada saat tertentu, sepupunya yang satu ini memang dapat diandalkan. Arsa mengusap lembut wajahnya. "Kamu tidak sendiri. Ada ibumu dan aku yang siap ada untukmu. Perlu kamu ingat, kamu memiliki banyak sepupu laki-laki. Meski sepupu, percayalah kami akan selalu membelamu."Wahda mengangguk. Kembali ia membenamkan wajahnya di pinggang Arsa. *** Terlihat mobil Arsa memarkir, saat Bagus memasuki halaman rumahnya. Ia bergegas keluar dari mobil, Wahda dan Arsa muncul dari balik pintu rumahnya. Hatinya terasa diremas melihat wajah bengkak Wahda dan langkah yang terlihat lemah. “Wahda, ini rumah kita, rumahmu,” ucap Bagus setelah melihat koper besar yang ditarik Arsa. Arsa terus
Angel menepuk bahunya. “Nanti kita bisa coba lagi.” Bagus mengangguk lesu. Ia menyerahkan buket itu kepada Angel, lalu melangkah ke dalam. Beberapa orang di selasar menatapnya dengan berbagi rupa. Ada yang menatap dengan iba, ejek, juga mengolok. Hilang semua wibawa yang ia bangun selama ini. Di belakang Angel menciumi mawar merah yang kini beralih ke tangannya. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang. Sebagai wanita mandiri hingga sampai ke titik ini, telah banyak mengecap asam garam kehidupan tentu sangat kenal dengan karakter manusia umumnya.Tatapan seperti itu hanyalah lalat yang akan pergi cukup dengan dikibas. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, lalu membagikannya satu persatu kepada beberapa perempuan di sana. Seketika mereka menatapnya dengan penuh terima kasih. ***"Sekarang kita mau ke mana?" tanya Arsa saat mereka menunggu plang parkir belum terbuka. "Ke rumah ibuku.""Apa kamu sudah siap?" tanya Arsa melajukan mobilnya. "Ada kamu," jawab Arsa berdecak. "Dasar
"Biasanya berapa lama bertahan?""Mungkin tahunan. Hanya saja, karena biasanya untuk konsumsi pribadi jadi tidak pernah menghitung berapa lama dan tidak memerhatikan perubahannya warna dan struktur. Biasanya ada endapan putih yang muncul. Kalau dikonsumsi pribadi, endapan itu tidak masalah, karena putih itu seperti garam yang mengkristal. Tapi kalau untuk dijual … Semoga saja kali ini berhasil." "Santai saja. Tuh akhirnya juga sambil dijual 'kan?""Iya, tapi masih dalam bentuk basah. Itupun hanya bisa dititip pada Acil Imai yang pulang pergi ke Kal Teng. Dijual secara curah. Belum bisa dijual dengan kemasan produk dan melalang buana ke mana saja.""Santai saja. Anggap itu rencana jarak panjang dan kafe itu sebagai pelepas lelahmu."Teratai mengangguk. "Oh iya, Wahda jago bikin es krim. Coba kau ajak dia. Siapa tau bisa kalian cocok. Kalian bisa saling menguntungkan. Kamu bisa menambah menu, dia bisa reliks"Teratai meluruskan badannya. Matanya menyipit "Boleh dicoba.""Nanti aku cob
Tangis Wahda pecah. Sanad kebingungan. Ia mengangkat sebelah, tetapi terhenti ketika melihat istrinya yang mematung. "Menangislah jika itu membuat lebih nyaman," saran Sanad setelah menurunkan tangannya.Wahda melepaskan pelukannya. Wajahnya sembab memerah. "Aku nggak tau harus gimana ngomong pada ibu!" Teratai bergegas mengambilkan tisu dan meletakkan di dekat Wahda. "Terima kasih," ucap Wahda sambil mengambil beberapa lembar tisu, lalu membersihkan wajah dan hidungnya. Namun, yang terjadi air matanya tak kunjung berhenti. "Bukannya ibumu sudah tahu kamu keguguran? Lagi pula, besok kamu masih bisa mencoba lagi? Ibumu pasti ngerti kok."Wahda menggeleng. Sesaat ia menarik napasnya dalam-dalam. "Aku dan Bagus … kami … sudah bercerai."Sanad dan Teratai tersentak, lalu saling bersitatap. "Bagaimana bisa?" tanya Teratai spontan. Beberapa detik kemudian ia merapatkan bibirnya. ***Dalam perjalanan Teratai hanya terdiam. Pikirannya masih tertinggal di ruang rawat inap Wahda. "Kena
Secepat kilat ia ditalak, dan hanya beberapa menit kemudian masa iddahnya habis. Seketika mereka menjadi orang asing. Seorang perawat laki-laki urung masuk melihat dirinya yang menangis tersedu dalam selimut. ***Bagus melangkah gontai memasuki rumah minimalis mereka yang sangat terawat. Tiba-tiba perasaannya dicekam hampa. Biasanya, saat datang ke rumah, selalu ada senyum untuknya. Mengambil alih barang bawaannya, juga menyediakan air hangat dalam bathtub, tak lupa mencampur dengan sabun aroma terapi. Kamarnya kini benar-benar sepi. Ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang ukuran king size. Mata menatap langit-langit, pikirannya entah ke mana.Hatinya hancur, semenjak Angel memilih karir daripada dia. Angel memilih beasiswa kuliah di Amsterdam daripada lamarannya. Ia sadar, dirinya memang egois saat itu. Namun, ia melakukan itu karena sangat mencintai Angel. Sayangnya Angel tidak memahami dan menuduhnya laki-laki egois. Hubungan mereka berakhir sampai di situ. Sejak itu, hatinya
“Jadi aku harus bagaimana? Membiarkan kalian terus berhubungan di sini?’“Kalau begitu, aku yang pergi sejauh mungkin. Aku janji tidak akan mengganggu kalian lagi,” sela Angel.“Kamu pikir aku sebodoh itu? Lagi pula, untuk apa aku mempertahankan laki-laki yang lebih mementingkan jabatan dan mantan daripada perkawinannya.” Wahda beralih ke Bagus. “Gus, sekarang juga ceraikan!” “Oke!” teriak Bagus. "Untuk apa aku mempertaruhkan jabatan dan Angel untuk perempuan manja dan mandul seperti kamu. Kamu tidak apa-apanya dibandingkan Angel. Hanya seorang dokter, sombongnya minta ampun. Dibanding Angel kamu tidak apa-apanya. Puas?!”Wahda tersentak. Ekor matanya melihat senyum miring Angel.“Puas! Puas sekali. Terima kasih telah menyadarkanku. Hari ini, aku seorang Wahda, lima tahun mengabdi suami, telah dihina di depan mantan. Sekarang ceraikan saja aku. Jangan ditunda lagi. Besok atau lusa sama saja.”“Baik. Dokter Wahdatul Aisya, detik ini aku juga menceraikanmu,” ucap Bagus terdengar lugas
Seorang perempuan muda menyusuri selasar rumah sakit dengan senyum semringah dan hati yang berbunga-bunga. Kabar gembira yang ingin disampaikan pada sang suami telah membuatnya lupa kalau ia sedang menyusuri lorong remang.Aktifitas pelayanan masyarakat sudah ditutup setengah jam yang lalu. Beberapa orang karyawan dan nakes yang ia lewati bersiap-siap pulang ke rumah. Bahkan beberapa lampu telah dimatikan. Sambil bertegur sapa, ia terus melangkah hingga sampai di muka pintu kantor suaminya yang menjabat sebagai direktur di satu rumah sakit itu. Sebelum memegang gagang pintu, terlebih dahulu ia menghirup oksigen kuat-kuat, berharap bisa membuat suaminya terkejut dengan kedatangannya. “Surprise!!” teriaknya. Namun siapa sangka, sebuah pemandangan yang telah membuatnya seperti mendadak kehilangan roh. Matanya membelalak selebar mungkin, seakan bola di dalamnya ingin keluar. Sepasang manusia tersentak, lalu saling salah tingkah sambil merapikan pakaian mereka. Sang laki-laki berdiri men