“Bagus bagaimana keadaannya? Apa dia sibuk sekali, mulai rumah sakit sampai sekarang ibu tidak melihat batang hidungnya? Kamu baru saja sakit, seharusnya dia menjenguk, setidaknya ada menelpon gitu. Kalian tidak mempunyai masalah kan?” cecar Mauriyah. “Ibu jangan berprasangka buruk. Bagus memang sibuk banget karena sekarang dia lagi melakukan penelitian. Ibu tau sendiri bagaimana workholicnya dia. Dan aku juga butuh istirahat. Daripada aku sendirian di rumah, lebih baik ke sini kan?!" Mauriyah menghela napasnya. Ia memilih diam, menunggu Wahda siap bercerita padanya. “Malam ini, tidur sama ibu saja, ya.” “Benar?!” Wahda mengangguk bak anak kecil. Seketika mata Mauriyah mengaca. *** Wahda terkesiap. Mengapa tiba-tiba ia berada di seberang jalan rumahnya? Habis shalat Subuh ia membuka jendela kamarnya. Udara sejuk segera memenuhi rongga dadanya begitu pintu jendela terbuka. Namun, s
Tak lama Arsa keluar dengan menarik lengan Wahda dan mendudukkannya di inflatable sofa. Tera dan Adeena mengikuti. Mereka menduduki dua sofa lainnya “Wahda, kamu sudah bergabung ke kafe kami, jadi kamu juga bisa berbagi dengan kami. Kamu tahu, mengapa konsep kafe seperti ini? Di pojok ada beberapa inflatable sofa, lantainya dikasih alas tikar rotan karena aku ingin kafe ingin friendly dengan tetap mengusung natural. Semua orang bisa santai, duduk, dan saling berbagi di sini. Jadi jangan sungkan bercerita ke kami.” “Aku bukannya sungkan, tapi tidak tahu harus bercerita apa. Kepalaku dipenuhi dengan kontradiksi. Senang, benci. marah dan rindu.” “Apalagi lagi yang dilakukan Bagus padamu?” tanya Arsa dengan emosi. "Tak peduli apa yang dilakukan Bagus, akunya saja yang terlalu lemah, rapuh. Aku terlalu mencintainya." "Kalau boleh tahu, detik ini apa yang kamu inginkan? Kembali atau cerai saja," tanya Teratai te
"Lalu bagaimana kamu bisa jadi cinta setengah mati padanya?" "Suatu saat Tante ingin menjodohkanku dengan Teratai, saat itulah aku mulai serius memikirkan Teratai." Sudut bibir Arsa menyungging senyum. "Tapi sainganku anak kecil saat itu, Evan. Rasanya konyol sekali kalau memikirkan itu. Saat aku berusaha memikirkan celah untuk mendekatinya, sayangnya dia kembali ke desanya. Aku mencari informasinya pada pegawai di kantor yang ternyata iparnya. Dia mengatakan kalau Teratai sudah bertunangan. Pupuslah harapanku. Aku tidak berminat mengejarnya, apalagi kalau sampai merebut tunangan orang." "Lalu cintamu bersemi kembali ketika telah menjadi istri Sanad?" "Mengapa kau terdengar selalu mengejekku," protes Arsa. "Ini penyakit kejiwaan aneh sekali. Kamu selalu menyukai apa yang disukai Sanad. Jangan-jangan dulu kau juga menyukai Kayat?" Arsa menggeleng. "Sudah aku katakan aku mulai memerhatikan Ter
“Jangan mendadak lupa. Kamu membuatku perutku menjadi mual. Kamu bermain dengan siapa saja, aku tak peduli. Tapi jangan bawa dia ke rumahku!”“Ke rumah? Ooh, jangan salah paham dulu. Pagi tadi aku bangun kesiangan, padahal kami ada janji meeting di laboratorium. Jadi dia ….”“Dia mau apa bukan urusanku lagi,” tukas Wahda dengan mengangkat kedua tangannya. “Aku tidak ingin peduli.”Bagus meraih tangan Wahda, tetapi perempuan itu keburu menarik tangannya. “Wahda, percayalah. Aku sangat membutuhkanmu. Tanpamu hidupku sangat berantakan, termasuk pagi tadi. Percayalah, Angel ke rumah cuma menjemputku, itu pun kami telat sampai dimarahi profesor. Kembalilah padaku. Hidupku sangat berantakan. Setiap saat aku selalu memikirkanmu.” Wahda menghela napas. “Baiklah.”Mata Bagus berbinar cerah. “Aku memberimu kesempatan untuk berjuang.”Bagus terhenyak. “Terima kasih," ucapnya pasrah. “Tapi rumah itu dari pernikahan kita yang sekarang sudah kandas, jadi aku mau rumah itu dijual. Kalau memang
“Lalu apa kamu masih mencintainya dan mau memaafkannya?”“Sejujurnya aku masih mencintainya.” Ia meraih kedua tangan ibunya. “Tapi, aku janji tidak akan semurah dulu lagi. Aku juga berhak diperjuangkan, bukan?”“Kamu sudah dewasa, tentu sudah bisa menentukan pilihan. Pesan ibu, pilihlah laki-laki masa depanmu berdasarkan pertimbangan, bukan berdasarkan cinta mati.”Wahda kembali menunduk. Ia sendiri merasa malu, membayangkan betapa bucin dirinya dulu kepada Bagus. “Ada saatnya cinta tidak lagi berarti untuk bahtera yang terus menghadapi lautan luas beserta segala ujiannya. Pernikahan yang awalnya dibentuk karena sama-sama saling mencintai pun, sering kandas karena berbagai ujian dan cobaan.”Wahda mengangkat wajahnya. “Pilihlah karena dia mampu melindungimu, dan membimbing menjadi lebih baik. Kematangan itu tidak berdasarkan usia, melainkan cara berpikir. Jika dari awal, kalian sama-sama terus berbenah bersama, salin
Tiba-tiba pandangannya tertuju pada Bagus yang tengah memainkan ponsel. Mendadak muncul ide di benaknya.“Gus, tolong ambilkan obatku di kamar,” ucap Wahda dengan memasang wajah memelas.“Apa?” tanya Bagus. Bukan ia tidak mendengar dengan permintaan Wahda, tetapi mana mungkin ada obat Wahda di dalam kamar. Ia ingin bertanya lagi, tetapi ibunya menatapnya dengan wajah penuh tanya padanya. “Mmm, baiklah,” ucap Bagus pasrah. Ia berdiri sambil membawa ponselnya. "Gus, minjam ponselmu dong. Aku kehilangan no kontak teman. Semoga masih ada di ponselmu."Bagus mengerutkan kening, menatap curiga. Wahda mengerling ke arah ibu mertuanya. Bagus mengiringi kerlingan mata Wahda, terlihat ibunya menatap penuh selidik. "Gus, jangan katakan kamu mempunyai rahasia dengan istrimu sendiri?!” tuduh Rusma. “Bukan begitu, tapi ….” Bagus kebingungan hendak berucap apa. Ia tau, Wahda pasti mau melakukan sesuatu dengan ponselnya, meski ia t
"Wahda, kenapa kamu di sini?" tanya Angel sambil masuk ke rumah. "Ini rumahku, suka-sukaku dong!" tukas Wahda. "Bukannya kalian sudah cerai?!" "Apa? Wahda dan Bagus bercerai?" Sontak Bagus dan Angel terkejut dengan kemunculan Rusma, sedang Wahda berjuang keras menahan senyum. Bagus bergegas mendekati ibunya. "Tidak, Bu. Ibu salah dengar." "Ibu tidak tuli, Gus. Dan lagi kenapa perempuan ini ada di sini? Jangan katakan, kalian cerai gara-gara perempuan ini!" tunjuk Rusma pada Angel. "Bukan beg …." "Iya, Bu," potong Wahda cepat. "Dan dugaan Ibu juga benar." Wahda menghela napasnya. "Karena Ibu sudah tahu bagaimana pernikahan kami, saya tidak perlu lagi pura-pura menjadi istri yang baik." "Wahda!" Bagus menggelengkan kepala dengan wajah memelas. Wahda mendekati Rusma. "Saya sudah tidak tinggal di sini lagi, Bu. Terima kasih atas gudeg dan perhatian Ibu Gudeg buatan Ibu memang selalu enak. Maafkan saya kalau ada salah sama Ibu selama menjadi istri Bagus selama ini." A
Wahda menghela napasnya. Ia ikut menyandarkan punggung di samping Arsa. Sesekali ia menoleh Arsa yang memejamkan mata. Baru kali ini, ia melihat sosok Arsa yang berbeda setelah ibunya meninggal.*** Sepanjang perjalanan Sanad sangat gusar. Tiba-tiba kenangan perjuangan ibunya dan kebersamaan mereka mengulang di memorinya. Ia bertanya pada diri sendiri, kapan memberikan kontribusi pada ibunya? Setelah kuliah ia ingin mandiri dengan membuka usaha sendiri. Tidak ingin masuk ke perusahaan ayahnya juga ibunya. Ia selalu puas dengan setiap pencapaian yang didapat, meski penghasilan tidak seberapa jika dibandingkan seandainya bekerja di perusahaan kedua orang tuanya. Namun, setelah mendengar ibunya terkena serangan jantung dan harus dilakukan operasi segera, tiba-tiba sesal memenuhi rongga dadanya. Saat mengambil keputusan ibunya dalam keadaan sehat-sehat saja. Tidak terpikirkan olehnya kalau suatu saat, kesempatan berbakti pada orang tua mungkin
Seketika ia pun bertanya-tanya, bagaimanakah kehidupannya tanpa Arsa? ***Setengah syok Arsa menatapi dari ujung kaki sampai kepala sosok yang tiba-tiba sudah di depannya. Ini pertama kalinya Wahda mendatangi kantornya.“Apa yang terjadi?” tanya Arsa tanpa kuasa melepaskan wajah syoknya. Wahda duduk di sofa. Arsa berdiri mendekatinya. “Tidak ada. Tadi habis dari rumah sakit, kepikiran saja ke sini.”Arsa mencebik bibirnya. “Jangan katakan kau masih mencurigaiku. Ini fatal bagiku.”“Tidak. Aku hanya ingin semua karyawan di sini tahu kalau Pak Arsa Fariq itu sudah mempunyai tunangan.” Tawa Arsa hampir saja meledak, andai saja tidak ingat kalau Wahda marah bisa ribet urusannya. “Kenapa? Sekarang sudah mulai training menjadi kekasih Arsa?” ledek Arsa. “Kau!” Wahda mengangkat tangannya, dengan cepat Arsa menangkapnya. “Sejak kapan mulai main tangan?”“Kau sih, membuatku kese
"Katanya tadi kamu terjatuh?" tanya Arsa nyaring sambil membuka kulkas dan mengambil sebotol kopi. "Kata siapa?" Wahda balik bertanya sambil terus memixer adonan es krim. "Tera." Wahda berdecak. "Tumben tu bini orang ember." Setelah menandaskan minumannya, Arsa memasukkan botolnya ke wadah sampah kering yang tak jauh dari kaki Wahda. "Coba aku lihat." Arsa mendekat. "Kau lihat aku sedang apa?!""Masih lama? Kalau lama matikan dulu." Yanti muncul dengan membawa peralatan kebersihan. "Yanti, tolong kau ganti Wahda sebentar." Wahda mematikan mixer. "Arsa, aku dokter. Tentu aku bisa merawat luka sekecil itu." Arsa tak bersuara. Ia menarik Wahda, membawa ke ruang ujung, lalu mendudukkannya di sofa inflatable. "Coba lihat tanganmu!" ucap Arsa sambil menyentuh tangan, dan memerhatikan telapak tangannya. Terlihat tangan Wahda yang bersih, meski masih ada goresan acak.
“Sanad ceritakanlah! Mama masih tidak bisa banyak suara, capek.” Sanad menceritakan pertemuan mereka di malam itu sewaktu di rumah Ardiansyah. “Saman memang menyukai Wahda, dan aku pun berharap mereka berjodoh supaya tali kekeluargaan terjaga, apalagi jika mengingat Saman cuma sepupu jauh. Hanya saja, aku tidak bisa memaksa Wahda. Dia bukan anak kandungku dan juga dia masih memiliki ibu dan saudara laki-laki. Kalaupun aku berucap kasar dan menyombongkan diri karena aku ingin, siapa pun suaminya nanti, aku ingin dia menghargai diri. Bagaimanapun Wahda seorang dokter dan memiliki garis keturunan ningrat. Setidaknya suaminya mampu memberinya kecukupan.”Arsa mengangguk-nganguk mendengar cerita Sanad. Sanad terdiam. Masih banyak ucapan Ardiansyah yang tidak ia ceritakan. Ardiansyah juga bercerita alasan mengapa dulu memperlihatkan ketidaksukaannya pada bapaknya Arsa. Karena bapaknya Arsa laki-laki sederhana dengan pemikiran sangat sederhana. Berka
Mata merah itu kini berair. “Aku tidak pernah bertemu teman seegois kamu. Sudah berapa banyak yang kulakukan untukmu beberapa bulan ini, kamu masih bicara seperti ini?" ****Arsa berdiri, lalu duduk di sampingnya. “Kau mau coba?”“Maksudmu?” tanya Wahda dengan menyipitkan mata.Arsa mengangkat tangan hendak memegang dagunya, tetapi ia segera menepis. “Jangan ngadi-ngadi.” Arsa berdecak mengejek “Lalu kamu maunya apa?”“Maksudmu?”“Mau dilanjutkan atau sampai di sini saja. Aku tinggal nelpon Tante Fatima,” ujar Arsa sambil meraih ponselnya yang sejak tergeletak di meja. lalu menggulir daftar panggilan.Wahda langsung menyambar ponsel itu. “Jangan! Aku nggak mau nikah sama Saman.” Wahda memasang wajah memelas.“Nah, makanya jangan bawel, Galuh¹! Jangan khawatir, aku laki-laki sejati kok.”“Apaan sih!”Arsa meluruskan badan Wahda menghadapnya. “Begini saja. Kita kan juga nggak
Wahda terdiam. Tiba-tiba ia menyadari satu hal. Bisakah ia tidak peduli jika Arsa sering ke rumah Sanad? Ia menarik mangkuk es krimnya lalu menyuapnya secara kasar. Arsa yang memerhatikan menjadi keheranan. “Ada apa?” Wahda hanya menggeleng, lalu kembali menyuap es krim. Arsa bergerak cepat ke sisi meja lainnya, lalu merebut mangkuk kecil itu. “Katakan, kenapa tiba-tiba berubah begini? Jangan katakan ada yang salah dengan jawabanku tadi!” Di dekat mereka, Rania juga keheranan akibat Angga yang tiba-tiba menariknya keluar sambil membawa laptop. Lalu mendudukkannya di sebuah kursi di ruang sebelah. Wahda ingin kembali mengambil, tetapi Arsa segera menjauhkan mangkuk itu. “Katakan dulu!” Wahda menghela napasnya. “Entahlah. Hubungan kita tiba-tiba berubah, sedang masih banyak masalah lain yang belum kelar. Lalu bagaimana aku menghadapinya nanti?” “Misalnya?” “Baga
“Oya?!” tanya Ardiansyah. “Aku tidak tau Bangkau punya seperti itu. Secara kehidupan mereka bisa dibilang sangat terbelakang.”Sanad masih berusaha memasang senyum, meski mendadak hatinya berubah kesal. “Iya, secara data statistik pendidikan, presentasi mereka sangat kecil dibanding desa lain. Tapi alhamdulillah, beberapa orang karyawan Tera mulai sudah ada yang sarjana, sekarang masih ada sekolah, dua orang kuliah.”“Oya? Memangnya istrimu bisnis apa saja? Cuma membudidayakan teratai?”Atul datang membawakan beberapa buah sendok kecil dan piring yang ia taruh di sebuah nampan.Sanad menggeleng. Sanad menggeser ke tengah plastik yang tadi terabaikan. Ia mengambil sebungkus kerupuk lalu menyerahkan kepada Ardiansyah. “Ini juga produk home industri milik istri saya, Pamam.”“Teratai Kedua,” eja Ardiansyah sambil memerhatikan kemasan kerupuk kering yang dipegangnya.“Sebelum menikah dengan saya, dia sudah mempunyai Teratai Produksi, yang sekarang berganti menjadi Teratai Kedua.” Mata
Mauriyah membuka pintu kamar Wahda pelan. Terlihat anak perempuannya itu sedang duduk di kursi dengan meletakkan kepala di meja rias, sedang tangan mengetuk-ngetukkan pensil alis ke meja. "Bu." Wahda meluruskan badannya, menatap wajah ibunya di cermin."Apa yang kamu pikirkan?""Entahlah. Merasa ragu saja dengan apa yang akan diambil?""Meragukan Arsa?""Bukan. Cuma … dengan Arsa, kaya … syok aja. Sulit dipercaya. Dia yang sudah kuanggap seperti abangku tiba-tiba akan jadi suamiku. Berasa aneh banget." Mauriyah mundur. Duduk di ujung ranjang. "Bukannya sesama sepupu itu biasa di keluarga ayahmu?!""Iya, tapi tidak terpikirkan kalau suatu saat akan mengalaminya." Wahda berdiri, lalu meletakkan kepala di paha ibunya."Bagaimana dengan surat cerainya?" "Lagi nunggu kabar kak Gilang."Mauriyah berdecak mengejek. "Urusan begitu sampai menyewa pengacara? Pemalas.""Bukan pemalas, Bu. Aku cuma memanfaatkan anugerah. Sayang punya sepupu pengacara kalau enggak dimanfaatkan."Mauriyah mengge
"Tapi aku tidak setuju kalau diberikan seluruh saham kepada Arsa," sela Teratai yang membuat pandangan Sanad dan Fatima tertuju padanya. "Kamu masih ada Evan. Aku takut ke depannya akan berpengaruh kepada Evan. Kurasa itu akan menjadi sesuatu yang berharga baginya, bukan berapa jumlahnya, melainkan itulah peninggalan ayah dan kakeknya. Selain itu, seperti yang Papa bilang tadi akan menimbulkan kecemburuan di antara keponakan lain jika memberikan milik Mama, bagaimana juga dengan Evan jika tidak meninggalkan sepersen pun buat dia? Saat ini ia memang tidak mengerti apa-apa, tapi nanti? Aku sering lihat di keluarga Papa satu sama lain saling pamer dan berbangga-bangga, bahkan kadang anak yang masih kuliah saja pun obrolannya sudah reksadana, cripto. Khawatirnya ada yang sengaja mengompori Evan nanti. " "Lalu kamu punya usul? Saat ini kita menghadapi keluarga Saman, salah satu pemilik saham terbesar di perusahaan batu bara Tanjung. Dan soal Evan juga adik-adiknya, saat mereka dewasa na
"Tapi ….""Kamu sudah punya calon?""Nggak ada.""Siap dengan Saman?""Enggak lah.""Nah apalagi? Anggaplah ini simbiosis mutualisme. Kamu membutuhkanku supaya bebas dari Saman, aku membutuhkanmu supaya bisa move on dari Tera.""Tapi, yakin paman akan menerimamu?" tanya Wahda cemas. Ia tidak bisa membayangkan jika tidak berhasil meraih hati paman, mungkin ia akan kehilangan Arsa untuk selamanya. "Kita coba saja dulu. Hasilnya gimana, kita serahkan sama yang Kuasa. Pastinya kita sudah sama-sama berusaha."***"Tumben masih siang ke sini. Biasanya pulang dari kerja," cecar Fatima begitu melihat Arsa memasuki rumah. "Ada yang ingin aku bicarakan dengan Tante."Fatima mengangkat kedua alisnya. Ia menyuruh Arsa duduk dengan isyarat tangannya. "Katakanlah.""Aku ingin melamar Wahda," ucap Arsa pelan. Fatima terkejut. "Kalian pacaran?"Arsa menggeleng. "Paman Ardiansyah melamar Wahda untuk Saman."Fatima kembali terkejut. Kali ini bercampur cemas. "Lalu kamu mau menikahi Wahda karena