Tiba-tiba pandangannya tertuju pada Bagus yang tengah memainkan ponsel. Mendadak muncul ide di benaknya.
“Gus, tolong ambilkan obatku di kamar,” ucap Wahda dengan memasang wajah memelas.“Apa?” tanya Bagus. Bukan ia tidak mendengar dengan permintaan Wahda, tetapi mana mungkin ada obat Wahda di dalam kamar. Ia ingin bertanya lagi, tetapi ibunya menatapnya dengan wajah penuh tanya padanya.“Mmm, baiklah,” ucap Bagus pasrah. Ia berdiri sambil membawa ponselnya."Gus, minjam ponselmu dong. Aku kehilangan no kontak teman. Semoga masih ada di ponselmu."Bagus mengerutkan kening, menatap curiga. Wahda mengerling ke arah ibu mertuanya. Bagus mengiringi kerlingan mata Wahda, terlihat ibunya menatap penuh selidik."Gus, jangan katakan kamu mempunyai rahasia dengan istrimu sendiri?!” tuduh Rusma.“Bukan begitu, tapi ….” Bagus kebingungan hendak berucap apa. Ia tau, Wahda pasti mau melakukan sesuatu dengan ponselnya, meski ia t"Wahda, kenapa kamu di sini?" tanya Angel sambil masuk ke rumah. "Ini rumahku, suka-sukaku dong!" tukas Wahda. "Bukannya kalian sudah cerai?!" "Apa? Wahda dan Bagus bercerai?" Sontak Bagus dan Angel terkejut dengan kemunculan Rusma, sedang Wahda berjuang keras menahan senyum. Bagus bergegas mendekati ibunya. "Tidak, Bu. Ibu salah dengar." "Ibu tidak tuli, Gus. Dan lagi kenapa perempuan ini ada di sini? Jangan katakan, kalian cerai gara-gara perempuan ini!" tunjuk Rusma pada Angel. "Bukan beg …." "Iya, Bu," potong Wahda cepat. "Dan dugaan Ibu juga benar." Wahda menghela napasnya. "Karena Ibu sudah tahu bagaimana pernikahan kami, saya tidak perlu lagi pura-pura menjadi istri yang baik." "Wahda!" Bagus menggelengkan kepala dengan wajah memelas. Wahda mendekati Rusma. "Saya sudah tidak tinggal di sini lagi, Bu. Terima kasih atas gudeg dan perhatian Ibu Gudeg buatan Ibu memang selalu enak. Maafkan saya kalau ada salah sama Ibu selama menjadi istri Bagus selama ini." A
Wahda menghela napasnya. Ia ikut menyandarkan punggung di samping Arsa. Sesekali ia menoleh Arsa yang memejamkan mata. Baru kali ini, ia melihat sosok Arsa yang berbeda setelah ibunya meninggal.*** Sepanjang perjalanan Sanad sangat gusar. Tiba-tiba kenangan perjuangan ibunya dan kebersamaan mereka mengulang di memorinya. Ia bertanya pada diri sendiri, kapan memberikan kontribusi pada ibunya? Setelah kuliah ia ingin mandiri dengan membuka usaha sendiri. Tidak ingin masuk ke perusahaan ayahnya juga ibunya. Ia selalu puas dengan setiap pencapaian yang didapat, meski penghasilan tidak seberapa jika dibandingkan seandainya bekerja di perusahaan kedua orang tuanya. Namun, setelah mendengar ibunya terkena serangan jantung dan harus dilakukan operasi segera, tiba-tiba sesal memenuhi rongga dadanya. Saat mengambil keputusan ibunya dalam keadaan sehat-sehat saja. Tidak terpikirkan olehnya kalau suatu saat, kesempatan berbakti pada orang tua mungkin
“Sepertinya ini warna kesukaan Wahda,” pancing Angel. Bagus mengangguk. Angel menahan diri untuk tidak tersenyum ejek. ***Dari kantor Arsa bergegas ke rumah sakit. Meski Sanad telah memberitahunya Fatima telah sadar, tetap saja ia ingin melihat secara langsung. Napas lega segera membanjiri begitu melihat Fatima duduk, minum dibantu oleh Teratai. Teratai menjauh setelah meletakkan gelas ke atas nakas, duduk di samping Evan yang sedang membaca buku ditemani Sanad. Setengah berlari Arsa mendekati Fatima. "Tante telah membuatku takut," ucapnya depan memasang wajah marah. Fatima tersenyum haru. Ia mengulurkan tangannya, tetapi Arsa malah memeluknya. "Kumohon, Tante harus sehat!" Fatima menghela napas,, lalu menepuk punggung pemuda itu. Teratai yang melihat itu menoleh ke arah Sanad yang juga memerhatikan mereka. Di banding Sanad, Arsa lebih terlihat hangat kepada Fatima. ***Wahda meno
“Kalau Tante jodohkan dengan seorang perempuan yang Tante kenal, kamu juga tidak akan menolak kan?”Arsa tersentak. “Nggak begitu juga, Tante,” jawab Arsa sambil merengut. Fatima tertawa. “Sebentar, ya.” Teratai berdiri. “Ma, biar aku yang siapkan. Mama, duduklah!” Evan langsung memegang lengan Teratai. Dengan pelan Teratai melepas pegangan Evan. “Bentar ya. Mama mau ke dapur dulu.”“Tidak usah, Tera. Aku bisa ambil sendiri,” cegah Arsa. “Tak apa. Evan anak baik kok.” Teratai memberikan ciuman di ubun-ubun Evan, yang membuat anak itu pasrah. Teratai ke dapur. Tak lama keluar membawa sebuah nampan yang berisi nasi dan gangan waluh dalam sebuah mangkok. Ia kembali ke dapur mengambil lauk pauk lainnya. “Assalamu ‘alaikum.” Muncul Sanad dengan menenteng tas kerjanya.“Wa ‘alaikum salam,” jawab serentak. “Papa?” Evan turun dari kursinya. “Sudah datang?” tanya Fatima.Tiba-t
“Tidak apa,” sahut Wahda cepat. “Oh iya, Arsa masih sering datang ke rumahmu?” Teratai mengangguk. “Tiap hari. Kamu tahu sendirilah, bagaimana Mama di hatinya, selain itu kadang memang urusan pekerjaan.” “Iya, aku tau,” jawab Wahda dengan menatap cemas. Kini tatapannya beralih ke toples yang berisi kuaci. “Paket!” Terdengar teriakan seorang laki-laki dari luar. Seketika mereka saling bersitatap. “Ada yang mesan barang?” tanya Teratai. Wahda dan Rania menggeleng. “Kak Wahda, ada paket atas nama Kakak.” Yanti, karyawan kafe Teratai muncul di balik pintu. Kening Wahda semakin mengerut. Namun, ia keluar saja untuk memastikan kebenarannya. Seketika matanya terpana. Sebuah boneka beruang warna ungu sebesar orang berdiri di depan pintu kafe. Sedang Rania ber-wah ria. Wahda mendekati boneka itu. “Dr, Wahda?” tanya kurir. Wahda mengangguk heran. Kurir menyerahkan selembar kertas. “Tanda tangan di sini, Kak.” Meski heran, Wahda tanda tangan saja. Setelah mengucapkan terima
Dalam mobil, sepanjang perjalanan Teratai hanya diam. Keane berkali-kali memerhatikannya melalui kaca spion. Ia memahami perasaan Sanad yang selalu khawatir mengingat dulu Arsa ada hati padanya. Ia juga mencoba memenuhi keinginan Sanad untuk menjaga jarak dengan Arsa. Namun, malam ini mendadak ia jenuh dengan sikap posesif Sanad. Sebelumnya ia telah memberitahu akan merayakan ulang tahun Wahda, tetapi mengapa tetap saja bersikukuh menyuruhnya pulang? Padahal dirinya sendiri, mengaku sedang lembur di kantor. *** Angel tersenyum semringah ketika melihat Bagus datang ke ruang kerjanya dengan membawa boneka besar. “Ini untukku?” tanya Angel tanpa kuasa menahan senyum.Bagus mengangguk. “Boneka ini kukirim untuk ulang tahun Wahda, tetapi ia malah mengembalikannya," ucap Bagus dengan wajah kusut.Seketika senyum Angel hilang. “Aku pulang dulu!” Bagus menoleh ke arah komputer yang menyala. “Kamu juga
“Arsa.”“Hmm?”“Jangan pergi ya.”Gerakan tangan Arsa terhenti. Wahda meluruskan badanya, menatap wajah pemilik tubuh jangkung itu dengan tengadah.“Kenapa?” tanya Wahda cemas. “Aku malah berencana mempercepat keberangkatan,” jawab Arsa pelan. Wahda termundur. Ia menggelengkan kepala dengan tetap menatap lurus. “Rencananya setelah Tante Fatima pulih. Aku akan pergi.”“Kenapa?”Arsa menghempas napasnya. “Kamu sudah tahu alasannya. Aku tidak bisa move on kalau terus-terusan di sini.”“Aku? Arsa, kamu tau kan kamu satu-satunya orang yang paling dekatku?”Arsa melangkah maju, ia mengusap kerudung yang membalut kepala Wahda. “Kamu pasti bisa. Lagi pula, di sini kamu tidak benar-benar sendiri. Masih ada ibumu, saudaramu meski mereka jauh, ada Teratai dan Adeena yang care padamu. Mereka akan selalu respect selama kamu mau membuka diri pada mereka.”Wahda menggeleng. Pandangannya
“Secepatnya. Jadi orang jangan seperti kacang lupa kulitnya. Ingat kamu sampai sekarang ini karena Ibu dan Kakak. Ibu sudah kau kirimi belum?”“Sudah,” jawab Bagus malas. Kembali ia memijat kedua pelipisnya setelah meletakkan ponsel. Kepalanya semakin mengusut jika mengingat berapa biaya yang selama ini ia tanggung? Dan berapa banyak pengorbanan Wahda untuk menopangnya? Ia sudah berusaha untuk tidak menjadi orang pelit, tentu saja sesuai dengan kemampuannya. Setiap gajian, ia selalu menyisihkan untuk rumah tangganya, tapi tidak tahu sebenarnya seberapa besar beban yang harus ditanggungnya. Mendadak ia sangat merindukan perempuan itu. *** “Ya … Hallo!” “Kak, Ibu pingsan!”Teratai tersentak. Arsa, July kekasih baru Arsa, Wahda, Rania, bahkan Angga di lain meja jadi mengalihkan perhatian padanya. “Apa?!”“Ibu tiba-tiba roboh dan pinngsan,” sahut Kembang dengan nada panik. “Terus
Arsa berdiri. "Ayo!" Arsa menarik kedua tangan Wahda, sehingga gadis itu terdiri, dan membimbingnya hingga keluar kafe dan memasuki mobil.Bagus terdiam tanpa berkedip. Mata memerah saga. Jantungnya berdenyut nyeri, menyaksikan Wahda merengek manja kepada laki-laki lain. *** “Kok, tiba-tiba nongol di kafe?” tanya Wahda.Arsa menoleh sesaat, lalu kembali fokus ke jalan. “Biasanya sesudah pulang dari kantor,” tambah Wahda. “Ada masalah di kantor. Mungkin beberapa hari ini aku akan lembur.”“Lalu?” “Aku pikir istirahat dulu sebentar ke kafe. Ternyata ….”Seketika Wahda diserang panik “Kami tidak janjian. Sumpah!” Wahda mengacungkan dua jempolnya. Arsa tertawa. “Iya, aku percaya kok.”Wahda merengut. “Jadi setelah ini mau ke mana? Ke kafe atau pulang dulu?” Arsa terdiam. Terlihat sedang memikirkan sesuatu. “Bagaimana kalau aku istirahat di rumahmu saja?! Sekalian
“Wahda, lihat di luar!” seru Teratai ketika melihat sebuah mobil memasuki halaman kafe. Wahda meluruskan badannya ketika mengenali mobil itu. Ia terus menatap mobil itu hingga pemiliknya keluar dari mobil, masuk kafe dan tak lama sudah ada di ruang mereka. “Wahda, bisa bicara sebentar?” Wahda terdiam. Enggan menjawab. Melihat dari matanya saja, sudah dapat ditebak maksud kedatangan Bagus.“Kita bicara di sana saja!” tunjuk Wahda pada meja yang biasa diduduki Angga dan Rania setelah kedua sahabatnya itu pergi.Bagus mengangkat alisnya. “Aku tidak boleh duduk di situ?” Wahda berdiri. “Aku tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman.”Bagus mengerutkan keningnya, tetapi ia mengikuti saja di mana Wahda duduk. Ia mengeluarkan sebuah kotak cincin lalu meletakkannya di atas meja dan langsung membukanya.Wahda sedikit terkejut. Ia sudah curiga dengan kedatangan Bagus. Kenyataannya tetap saja membuatnya kaget ketika melihat cincin itu. “Aku sudah menemukan rumah. Lebih besar dari yang kita lih
“Aku tunggu.” Wahda meluruskan pandangannya menghadap Arsa dengan mata membesar dan merapatkan geraham. Arsa tak mau kalah, ia mengangkat kedua alisnya, dengan sedikit menarik sudut bibirnya. ***Mauriyah duduk gelisah. Layar televisi menyala, tetapi tak kunjung ia perhatikan. Berkali-kali memerhatikan jam di dinding juga ponselnya yang sejak tadi tak jauh dari tangan. Sekali lagi membuka pesan yang ia kirim, tetapi tak kunjung dibuka Wahda. Ia langsung berdiri, begitu mendengar bunyi mobil memasuki halaman rumah dan menengok dengan menyingkap gorden sedikit. Ia memerhatikan bagaimana tingkah putrinya juga keponakan yang sebentar lagi akan menjadi menantu. Terlihat Arsa keluar dari mobil, lalu membuka pintu untuk Wahda. “Istirahatlah lebih awal.”Wahda mengangguk. “Terima kasih, ya.” Arsa mengangguk. “Titip salam buat, Tante. Maaf, aku tidak masuk dulu.”“Iya, akan aku sampaikan.”Terlihat Arsa memajukan wajahnya, tetapi dengan cepat Wahda mengangkat tangannya. Mauriyah yang men
Seketika ia pun bertanya-tanya, bagaimanakah kehidupannya tanpa Arsa? ***Setengah syok Arsa menatapi dari ujung kaki sampai kepala sosok yang tiba-tiba sudah di depannya. Ini pertama kalinya Wahda mendatangi kantornya.“Apa yang terjadi?” tanya Arsa tanpa kuasa melepaskan wajah syoknya. Wahda duduk di sofa. Arsa berdiri mendekatinya. “Tidak ada. Tadi habis dari rumah sakit, kepikiran saja ke sini.”Arsa mencebik bibirnya. “Jangan katakan kau masih mencurigaiku. Ini fatal bagiku.”“Tidak. Aku hanya ingin semua karyawan di sini tahu kalau Pak Arsa Fariq itu sudah mempunyai tunangan.” Tawa Arsa hampir saja meledak, andai saja tidak ingat kalau Wahda marah bisa ribet urusannya. “Kenapa? Sekarang sudah mulai training menjadi kekasih Arsa?” ledek Arsa. “Kau!” Wahda mengangkat tangannya, dengan cepat Arsa menangkapnya. “Sejak kapan mulai main tangan?”“Kau sih, membuatku kese
"Katanya tadi kamu terjatuh?" tanya Arsa nyaring sambil membuka kulkas dan mengambil sebotol kopi. "Kata siapa?" Wahda balik bertanya sambil terus memixer adonan es krim. "Tera." Wahda berdecak. "Tumben tu bini orang ember." Setelah menandaskan minumannya, Arsa memasukkan botolnya ke wadah sampah kering yang tak jauh dari kaki Wahda. "Coba aku lihat." Arsa mendekat. "Kau lihat aku sedang apa?!""Masih lama? Kalau lama matikan dulu." Yanti muncul dengan membawa peralatan kebersihan. "Yanti, tolong kau ganti Wahda sebentar." Wahda mematikan mixer. "Arsa, aku dokter. Tentu aku bisa merawat luka sekecil itu." Arsa tak bersuara. Ia menarik Wahda, membawa ke ruang ujung, lalu mendudukkannya di sofa inflatable. "Coba lihat tanganmu!" ucap Arsa sambil menyentuh tangan, dan memerhatikan telapak tangannya. Terlihat tangan Wahda yang bersih, meski masih ada goresan acak.
“Sanad ceritakanlah! Mama masih tidak bisa banyak suara, capek.” Sanad menceritakan pertemuan mereka di malam itu sewaktu di rumah Ardiansyah. “Saman memang menyukai Wahda, dan aku pun berharap mereka berjodoh supaya tali kekeluargaan terjaga, apalagi jika mengingat Saman cuma sepupu jauh. Hanya saja, aku tidak bisa memaksa Wahda. Dia bukan anak kandungku dan juga dia masih memiliki ibu dan saudara laki-laki. Kalaupun aku berucap kasar dan menyombongkan diri karena aku ingin, siapa pun suaminya nanti, aku ingin dia menghargai diri. Bagaimanapun Wahda seorang dokter dan memiliki garis keturunan ningrat. Setidaknya suaminya mampu memberinya kecukupan.”Arsa mengangguk-nganguk mendengar cerita Sanad. Sanad terdiam. Masih banyak ucapan Ardiansyah yang tidak ia ceritakan. Ardiansyah juga bercerita alasan mengapa dulu memperlihatkan ketidaksukaannya pada bapaknya Arsa. Karena bapaknya Arsa laki-laki sederhana dengan pemikiran sangat sederhana. Berka
Mata merah itu kini berair. “Aku tidak pernah bertemu teman seegois kamu. Sudah berapa banyak yang kulakukan untukmu beberapa bulan ini, kamu masih bicara seperti ini?" ****Arsa berdiri, lalu duduk di sampingnya. “Kau mau coba?”“Maksudmu?” tanya Wahda dengan menyipitkan mata.Arsa mengangkat tangan hendak memegang dagunya, tetapi ia segera menepis. “Jangan ngadi-ngadi.” Arsa berdecak mengejek “Lalu kamu maunya apa?”“Maksudmu?”“Mau dilanjutkan atau sampai di sini saja. Aku tinggal nelpon Tante Fatima,” ujar Arsa sambil meraih ponselnya yang sejak tergeletak di meja. lalu menggulir daftar panggilan.Wahda langsung menyambar ponsel itu. “Jangan! Aku nggak mau nikah sama Saman.” Wahda memasang wajah memelas.“Nah, makanya jangan bawel, Galuh¹! Jangan khawatir, aku laki-laki sejati kok.”“Apaan sih!”Arsa meluruskan badan Wahda menghadapnya. “Begini saja. Kita kan juga nggak
Wahda terdiam. Tiba-tiba ia menyadari satu hal. Bisakah ia tidak peduli jika Arsa sering ke rumah Sanad? Ia menarik mangkuk es krimnya lalu menyuapnya secara kasar. Arsa yang memerhatikan menjadi keheranan. “Ada apa?” Wahda hanya menggeleng, lalu kembali menyuap es krim. Arsa bergerak cepat ke sisi meja lainnya, lalu merebut mangkuk kecil itu. “Katakan, kenapa tiba-tiba berubah begini? Jangan katakan ada yang salah dengan jawabanku tadi!” Di dekat mereka, Rania juga keheranan akibat Angga yang tiba-tiba menariknya keluar sambil membawa laptop. Lalu mendudukkannya di sebuah kursi di ruang sebelah. Wahda ingin kembali mengambil, tetapi Arsa segera menjauhkan mangkuk itu. “Katakan dulu!” Wahda menghela napasnya. “Entahlah. Hubungan kita tiba-tiba berubah, sedang masih banyak masalah lain yang belum kelar. Lalu bagaimana aku menghadapinya nanti?” “Misalnya?” “Baga
“Oya?!” tanya Ardiansyah. “Aku tidak tau Bangkau punya seperti itu. Secara kehidupan mereka bisa dibilang sangat terbelakang.”Sanad masih berusaha memasang senyum, meski mendadak hatinya berubah kesal. “Iya, secara data statistik pendidikan, presentasi mereka sangat kecil dibanding desa lain. Tapi alhamdulillah, beberapa orang karyawan Tera mulai sudah ada yang sarjana, sekarang masih ada sekolah, dua orang kuliah.”“Oya? Memangnya istrimu bisnis apa saja? Cuma membudidayakan teratai?”Atul datang membawakan beberapa buah sendok kecil dan piring yang ia taruh di sebuah nampan.Sanad menggeleng. Sanad menggeser ke tengah plastik yang tadi terabaikan. Ia mengambil sebungkus kerupuk lalu menyerahkan kepada Ardiansyah. “Ini juga produk home industri milik istri saya, Pamam.”“Teratai Kedua,” eja Ardiansyah sambil memerhatikan kemasan kerupuk kering yang dipegangnya.“Sebelum menikah dengan saya, dia sudah mempunyai Teratai Produksi, yang sekarang berganti menjadi Teratai Kedua.” Mata