Dalam mobil, sepanjang perjalanan Teratai hanya diam. Keane berkali-kali memerhatikannya melalui kaca spion.
Ia memahami perasaan Sanad yang selalu khawatir mengingat dulu Arsa ada hati padanya. Ia juga mencoba memenuhi keinginan Sanad untuk menjaga jarak dengan Arsa. Namun, malam ini mendadak ia jenuh dengan sikap posesif Sanad. Sebelumnya ia telah memberitahu akan merayakan ulang tahun Wahda, tetapi mengapa tetap saja bersikukuh menyuruhnya pulang? Padahal dirinya sendiri, mengaku sedang lembur di kantor.***Angel tersenyum semringah ketika melihat Bagus datang ke ruang kerjanya dengan membawa boneka besar.“Ini untukku?” tanya Angel tanpa kuasa menahan senyum.Bagus mengangguk. “Boneka ini kukirim untuk ulang tahun Wahda, tetapi ia malah mengembalikannya," ucap Bagus dengan wajah kusut.Seketika senyum Angel hilang.“Aku pulang dulu!” Bagus menoleh ke arah komputer yang menyala. “Kamu juga“Arsa.”“Hmm?”“Jangan pergi ya.”Gerakan tangan Arsa terhenti. Wahda meluruskan badanya, menatap wajah pemilik tubuh jangkung itu dengan tengadah.“Kenapa?” tanya Wahda cemas. “Aku malah berencana mempercepat keberangkatan,” jawab Arsa pelan. Wahda termundur. Ia menggelengkan kepala dengan tetap menatap lurus. “Rencananya setelah Tante Fatima pulih. Aku akan pergi.”“Kenapa?”Arsa menghempas napasnya. “Kamu sudah tahu alasannya. Aku tidak bisa move on kalau terus-terusan di sini.”“Aku? Arsa, kamu tau kan kamu satu-satunya orang yang paling dekatku?”Arsa melangkah maju, ia mengusap kerudung yang membalut kepala Wahda. “Kamu pasti bisa. Lagi pula, di sini kamu tidak benar-benar sendiri. Masih ada ibumu, saudaramu meski mereka jauh, ada Teratai dan Adeena yang care padamu. Mereka akan selalu respect selama kamu mau membuka diri pada mereka.”Wahda menggeleng. Pandangannya
“Secepatnya. Jadi orang jangan seperti kacang lupa kulitnya. Ingat kamu sampai sekarang ini karena Ibu dan Kakak. Ibu sudah kau kirimi belum?”“Sudah,” jawab Bagus malas. Kembali ia memijat kedua pelipisnya setelah meletakkan ponsel. Kepalanya semakin mengusut jika mengingat berapa biaya yang selama ini ia tanggung? Dan berapa banyak pengorbanan Wahda untuk menopangnya? Ia sudah berusaha untuk tidak menjadi orang pelit, tentu saja sesuai dengan kemampuannya. Setiap gajian, ia selalu menyisihkan untuk rumah tangganya, tapi tidak tahu sebenarnya seberapa besar beban yang harus ditanggungnya. Mendadak ia sangat merindukan perempuan itu. *** “Ya … Hallo!” “Kak, Ibu pingsan!”Teratai tersentak. Arsa, July kekasih baru Arsa, Wahda, Rania, bahkan Angga di lain meja jadi mengalihkan perhatian padanya. “Apa?!”“Ibu tiba-tiba roboh dan pinngsan,” sahut Kembang dengan nada panik. “Terus
Sebuah ketukan berbunyi di pintu mobil Arsa. Arsa menurunkan kacanya. Seketika mata Sanad membesar melihat istrinya yang terlelap dalam mobil Arsa. “TERA?!” pekik Sanad. Teratai mengerjap. “Jangan marah dulu! Dengarkan dulu penjelasannya,” seru Arsa. Teratai tersentak ketika menyadari tertidur di mobil Arsa. “Maaf, aku ketiduran.” Arsa mengangguk. Sanad tak bersuara. Ia pergi meninggalkan tempat itu. “Terima kasih, Arsa. Tanpa kamu, aku tidak tahu bagaimana jadinya tadi,” ucap Teratai.Arsa mengangguk. “Masuklah! Sepertinya dia akan marah padamu.”Teratai tersenyum tipis, sambil berusaha menyembunyikan kegetirannya. Ia tahu, marahnya Sanad kali ini bukan main-main. Ia keluar dari mobil Arsa. “Hati-hat di jalan.”Arsa mengangguk. Teratai menutup pintu mobil, lalu melepaskan kepergian Arsa. Ia menghempaskan napasnya sebelum memasuki rumah. Hari yang melelahkan, dan masih ada hal
“Dan dengan mudahnya kamu tertidur di mobil laki-laki?! Tidak ada sedikit pun ke khawatiran?”“Aku mengaku salah. Maafkan aku.” Sanad menghempaskan napas. “Aku maafkan. Tapi aku perlu waktu menghilangkan kekecewaan ini. Kuharap ke depannya ini tidak terjadi lagi.”Teratai mengangguk. “Terima kasih.”Masih dengan amarah, Sanad berbalik. Teratai meletakkan kepalanya ke bantal. Tiba-tiba saja mata dan pikirannya terjaga, meski lelah masih terasa. Ia menelan ludahnya yang terasa kesulitan melewati tenggorokan. Sanad memaafkan dan menerima pembelaannya. Namun, di sisi lain ia pun terluka. Di saat panik, bagaimana ia bisa berpikir banyak? Seharusnya Sanad memahami situasinya? Seharusnya Sanad bertanya bagaimana keadaan ibunya sekarang? Apakah ibunya bukan siapa-siapa di mata Sanad? Ia tahu, tidur di mobil seorang laki-laki kesalahan itu sangat fatal, tetapi tidakkah bertanya mengapa dan bagaimana kondisinya saat itu? Sampai sekarang
Wahda tertawa mengejek. "Diingatkan malah serang balik.""Memang benar kan?!" kali ini nadanya lebih judes. Sesaat Rania dan Angga saling bersitatap. Sedari tadi Rania cemas dengan tindakan bosnya, tetapi sungkan bertanya. Arsa pun menatap cemas, terlebih lagi jika melihat biji kuaci yang tidak sedikit di atas meja portabel. Semua orang di sana tau, kalau kuaci biji labu milik Teratai rasanya asin. Sedang Adeena cuek saja, ikut menikmati kuaci biji labu itu sambil membaca komik."Ada masalah?" tanya Wahda. Gerakan Teratai terhenti. Ia menarik kembali tangan yang tadinya masuk ke toples. "Cuma bete aja." Wahda mengerutkan kening. "Bete sampai melahap biji kuaci sebanyak itu?""Kakak sore ini sudah makan belum?" tanya Rania. "Jangan-jangan kenyang hanya dengan makan kuaci itu." Teratai tidak menjawab. Ia membuka ponselnya yang berbunyi. "Ran, aku pulang dulu. Tolong bersihkan ya," ucap Teratai sambil berdiri cepat tanpa peduli dengan reaksi teman-temannya. Ia masuk ke ruang uju
Evan menggeleng, lalu duduk. “Ish … pura-pura itu tidak baik! Kenapa tidak menyapa Papa tadi?!” “Mama juga pura-pura tadi,” balik Evan. Teratai membesarkan matanya. Evan malah tertawa. “Anak nakal.” Teratai menyerang perut Evan dengan cubitan. Evan makin tergelak. Teratai menghentikan gelitikannya, lalu mengacungkan bibir ke mulutnya, lalu menunjuk keluar, seketika Evan terdiam. “Tidur, yuk. Besok pagi, Evan Mama tantang bangunin Papa sebelum subuh, sanggup nggak?” “Siapa takut?!” *** Sekitar setengah lima Teratai mengajak Evan membangunkan Sanad. Ia menggendong Evan yang masih mengantuk ke kamarnya. “Pa!” ucapnya sambil mendirikan Evan di samping Sanad. “Pa, sudah hampir subuh.” "Bangunin Papa?" bisik Teratai pada Evan. Evan masih menguap. Matanya masih saja terasa lengket. "Pa!" Kali ini Teratai mengguncang bahu Sanad. "Pa, bangun!" "Mmm … aku baru saja terlelap," sahut Sanad setengah mengigau. "Tapi sudah hampir subuh,” ucapnya sambil duduk d
“Lalu kamu mau menyukai laki-laki seperti apa?” Emosi pamannya semakin meningkat. “Menyukai seperti Bagus, lihat dirimu, lima tahun menikah apa yang kamu dapatkan darinya, setelah itu dicampakkan.” Seketika mata Wahda berkaca-kaca. “Saya memang dicampakkan Bagus, tapi tidak seputus asa itu sampai harus menikah Saman yang juga suka main perempuan hanya karena lebih kaya dan dari keluarga bermartabat.” “Lalu apa kau sudah punya calon? Paman ingin lihat seperti apa dia?” desak Ardiansyah. “Jangan katakan dengan Arsa! Asal kamu tau, Paman sangat malu mendengar desas desus tentangmu. Bagaimana kamu bisa kemana-mana selalu bersamanya. Ingat, Wahda, kamu janda. Bisa mengundang banyak fitnah.” “Ayah?!” tegur istrinya dengan cara elegan, tetapi membuat Wahda ingin muak melihatnya. Mata Mauriyah mulai berkaca-kaca. Siapapun maklum kesombongan saudara suaminya. Tapi kali ini benar-benar memukul perasaannya sebagai seorang ibu. “Memangnya kenapa dengan Arsa? Dia juga seorang direktu
Wahda menghirup udara malam dalam lalu mengembuskan pelan. "Paman menjodohkanku dengan Saman." Arsa tersentak. "Makin tua, makin gila tu pak tua." "Dia pamanmu," sahut Wahda lalu mengembuskan ingusnya. "Iya. Terus?" "Aku tolak." "Good. Lalu masalahnya apa?" tanya Arsa. "Paman mengancamku, jika tidak membawakan calon yang kaya dalam waktu dekat ini, dia akan menikahkanku dengan Saman. Huwaa …." Wahda kembali menangis. "Makin tua, makin semena-mena dia. Kenapa tidak jodohkan saja dengan putrinya?" gerutu Arsa. Wahda yang merasa tidak diperhatikan tangisannya menjadi kesal. Ia mengguncang bahu Arsa. "Arsa bantu aku dong!" "Aku bisa bantu apa? Mau dikenalkan dengan temanku atau karyawan? Rasanya tidak ada yang sesuai dengan kualifikasi diinginkan paman." Wahda kembali menangis nyaring. Seketika Arsa tertawa melihat sepupunya itu yang terlihat tak kunjung dewasa. Tiba-tiba ia menyadari satu hal. Ia menyukai Teratai karena sikapnya yang berani, mandiri, dan dewas
“Gimana?” tanya Cintia dengan mata berbinar. Arsa yang menggigit kue keringnya terlihat begitu memesona di matanya. “Enak," ucap Arsa setelah menggigitnya.“Benar ‘kan? Benar kata teman saya Silakan dimakan, biar Bapak tidak ngantuk. Lumayan juga pengganjal lapar. Bukankah Bapak belum makan dari sore tadi?”Arsa mengangguk dengan wajah keheranan. Cintia berdiri, lalu kembali duduk ke kursinya. Sesaat hening. Arsa kembali menaruh perhatiannya ke dokumen. Ia mengangkat wajahnya ketika mendengar suatu bunyi asing. Terlihat Cintia sedang mengusap-ngusap kedua lengannya. Dari raut wajah, gadis tengah itu kedinginan. Arsa berdiri, mengambil jas di kursinya, lalu mendekati Cintia. Sebuah ketukan berbunyi ketika ia hendak menyampirkan jas itu ke bahu Cintia. “Wahda?!” Arsa melempar jas itu ke sofa bekas duduknya. “Kamu ke sini?”Wahda mengangkat lunch boxnya. “Aku membawa ini. Kamu belum makan kan? Kita makan bareng ya.”
“Sudah berapa minggu?” tanya Teratai pada Kembang yang perutnya sudah kelihatan membesar. “12 minggu, Kak,” jawab Kembang sambil duduk di samping kaki ibunya. Tangannya langsung saja memijat kaki itu. Tak jauh dari situ, di samping Sanad, Arbain khusyu menyimak berita di layar televisi sambil ngemil kacang goreng. “Sebentar lagi Evan akan punya adik. Senang nggak?” tanya Teratai pada Evan yang duduk di sampingnya, asik melipat kertas origami bersama Sanad. Evan mengangguk. Tiba-tiba Sanad mengocok rambut ikal Evan dengan gemas. Serta merta Evan merapikan rambutnya dengan wajah kesal. Kembang tertawa melihat pemandangan itu. “Benar Evan senang punya adik?” tanya Kembang. Evan menjawab dengan anggukan. “Minta sama Mama Papa!” Seketika senyum Teratai memudar. "Biar Evan bisa melihat adik setiap hari." Teratai tidak lagi mendengar
“Kenapa?”Wahda mengedikkan bahunya. “Moodku lagi kurang bagus. Jadi pingin cepat istirahat.”Teratai mengalihkan perhatiannya. “Sudah kangen ya?” goda Teratai. Wahda duduk. “Entahlah. Rasa kurang aja. Tiap hari selalu ada dia, tiba-tiba nggak ada jadi berasa banget. Kamu sendiri kenapa belum pulang? Biasanya cepat! Pak macan nggak jemput?"“Kasihan Yanti kalau ditinggal sendiri. Biasanya ada Rania. Di mana ada Rania, ada Angga Jadi nggak masalah meninggalkan kafe. Mana Arsa nggak ada lagi. Meski dia ke sini sekadar istirahat, keberadaan dia tetap lumayan membantu.”Wahda kembali menyandarkan punggungnya. Kali ini sedikit berbaring. "Tambah karyawan napa?"“Kalau rindu tengoklah!” Wahda mengernyit. Begitulah Teratai. Sampai sekarang ia belum berhasil mengorek keterangan siapa gadis penjual kembang misterius itu dari mulut Teratai.“Dia akan besar kepala, kalau aku menjenguknya sekarang!”Teratai meng
Arsa berdiri. "Ayo!" Arsa menarik kedua tangan Wahda, sehingga gadis itu terdiri, dan membimbingnya hingga keluar kafe dan memasuki mobil.Bagus terdiam tanpa berkedip. Mata memerah saga. Jantungnya berdenyut nyeri, menyaksikan Wahda merengek manja kepada laki-laki lain. *** “Kok, tiba-tiba nongol di kafe?” tanya Wahda.Arsa menoleh sesaat, lalu kembali fokus ke jalan. “Biasanya sesudah pulang dari kantor,” tambah Wahda. “Ada masalah di kantor. Mungkin beberapa hari ini aku akan lembur.”“Lalu?” “Aku pikir istirahat dulu sebentar ke kafe. Ternyata ….”Seketika Wahda diserang panik “Kami tidak janjian. Sumpah!” Wahda mengacungkan dua jempolnya. Arsa tertawa. “Iya, aku percaya kok.”Wahda merengut. “Jadi setelah ini mau ke mana? Ke kafe atau pulang dulu?” Arsa terdiam. Terlihat sedang memikirkan sesuatu. “Bagaimana kalau aku istirahat di rumahmu saja?! Sekalian
“Wahda, lihat di luar!” seru Teratai ketika melihat sebuah mobil memasuki halaman kafe. Wahda meluruskan badannya ketika mengenali mobil itu. Ia terus menatap mobil itu hingga pemiliknya keluar dari mobil, masuk kafe dan tak lama sudah ada di ruang mereka. “Wahda, bisa bicara sebentar?” Wahda terdiam. Enggan menjawab. Melihat dari matanya saja, sudah dapat ditebak maksud kedatangan Bagus.“Kita bicara di sana saja!” tunjuk Wahda pada meja yang biasa diduduki Angga dan Rania setelah kedua sahabatnya itu pergi.Bagus mengangkat alisnya. “Aku tidak boleh duduk di situ?” Wahda berdiri. “Aku tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman.”Bagus mengerutkan keningnya, tetapi ia mengikuti saja di mana Wahda duduk. Ia mengeluarkan sebuah kotak cincin lalu meletakkannya di atas meja dan langsung membukanya.Wahda sedikit terkejut. Ia sudah curiga dengan kedatangan Bagus. Kenyataannya tetap saja membuatnya kaget ketika melihat cincin itu. “Aku sudah menemukan rumah. Lebih besar dari yang kita lih
“Aku tunggu.” Wahda meluruskan pandangannya menghadap Arsa dengan mata membesar dan merapatkan geraham. Arsa tak mau kalah, ia mengangkat kedua alisnya, dengan sedikit menarik sudut bibirnya. ***Mauriyah duduk gelisah. Layar televisi menyala, tetapi tak kunjung ia perhatikan. Berkali-kali memerhatikan jam di dinding juga ponselnya yang sejak tadi tak jauh dari tangan. Sekali lagi membuka pesan yang ia kirim, tetapi tak kunjung dibuka Wahda. Ia langsung berdiri, begitu mendengar bunyi mobil memasuki halaman rumah dan menengok dengan menyingkap gorden sedikit. Ia memerhatikan bagaimana tingkah putrinya juga keponakan yang sebentar lagi akan menjadi menantu. Terlihat Arsa keluar dari mobil, lalu membuka pintu untuk Wahda. “Istirahatlah lebih awal.”Wahda mengangguk. “Terima kasih, ya.” Arsa mengangguk. “Titip salam buat, Tante. Maaf, aku tidak masuk dulu.”“Iya, akan aku sampaikan.”Terlihat Arsa memajukan wajahnya, tetapi dengan cepat Wahda mengangkat tangannya. Mauriyah yang men
Seketika ia pun bertanya-tanya, bagaimanakah kehidupannya tanpa Arsa? ***Setengah syok Arsa menatapi dari ujung kaki sampai kepala sosok yang tiba-tiba sudah di depannya. Ini pertama kalinya Wahda mendatangi kantornya.“Apa yang terjadi?” tanya Arsa tanpa kuasa melepaskan wajah syoknya. Wahda duduk di sofa. Arsa berdiri mendekatinya. “Tidak ada. Tadi habis dari rumah sakit, kepikiran saja ke sini.”Arsa mencebik bibirnya. “Jangan katakan kau masih mencurigaiku. Ini fatal bagiku.”“Tidak. Aku hanya ingin semua karyawan di sini tahu kalau Pak Arsa Fariq itu sudah mempunyai tunangan.” Tawa Arsa hampir saja meledak, andai saja tidak ingat kalau Wahda marah bisa ribet urusannya. “Kenapa? Sekarang sudah mulai training menjadi kekasih Arsa?” ledek Arsa. “Kau!” Wahda mengangkat tangannya, dengan cepat Arsa menangkapnya. “Sejak kapan mulai main tangan?”“Kau sih, membuatku kese
"Katanya tadi kamu terjatuh?" tanya Arsa nyaring sambil membuka kulkas dan mengambil sebotol kopi. "Kata siapa?" Wahda balik bertanya sambil terus memixer adonan es krim. "Tera." Wahda berdecak. "Tumben tu bini orang ember." Setelah menandaskan minumannya, Arsa memasukkan botolnya ke wadah sampah kering yang tak jauh dari kaki Wahda. "Coba aku lihat." Arsa mendekat. "Kau lihat aku sedang apa?!""Masih lama? Kalau lama matikan dulu." Yanti muncul dengan membawa peralatan kebersihan. "Yanti, tolong kau ganti Wahda sebentar." Wahda mematikan mixer. "Arsa, aku dokter. Tentu aku bisa merawat luka sekecil itu." Arsa tak bersuara. Ia menarik Wahda, membawa ke ruang ujung, lalu mendudukkannya di sofa inflatable. "Coba lihat tanganmu!" ucap Arsa sambil menyentuh tangan, dan memerhatikan telapak tangannya. Terlihat tangan Wahda yang bersih, meski masih ada goresan acak.
“Sanad ceritakanlah! Mama masih tidak bisa banyak suara, capek.” Sanad menceritakan pertemuan mereka di malam itu sewaktu di rumah Ardiansyah. “Saman memang menyukai Wahda, dan aku pun berharap mereka berjodoh supaya tali kekeluargaan terjaga, apalagi jika mengingat Saman cuma sepupu jauh. Hanya saja, aku tidak bisa memaksa Wahda. Dia bukan anak kandungku dan juga dia masih memiliki ibu dan saudara laki-laki. Kalaupun aku berucap kasar dan menyombongkan diri karena aku ingin, siapa pun suaminya nanti, aku ingin dia menghargai diri. Bagaimanapun Wahda seorang dokter dan memiliki garis keturunan ningrat. Setidaknya suaminya mampu memberinya kecukupan.”Arsa mengangguk-nganguk mendengar cerita Sanad. Sanad terdiam. Masih banyak ucapan Ardiansyah yang tidak ia ceritakan. Ardiansyah juga bercerita alasan mengapa dulu memperlihatkan ketidaksukaannya pada bapaknya Arsa. Karena bapaknya Arsa laki-laki sederhana dengan pemikiran sangat sederhana. Berka