Rasa lembab dan dingin menyelimuti badan Valerie pagi ini. Di luar sedang hujan deras hingga terdengar suara gemuruh. Aneh, padahal hujannya berada di luar, tetapi badannya terasa lembab seperti habis di siram air.
"Hei, mau sampai kapan kau tidur nyenyak seperti itu? Dasar pemalas!" ah, suara yang sangat Valerie kenal.
Ariel membangunkan Valerie di pagi hari dengan siraman air dingin. Padahal, biasanya Valerie mencuci wajah dengan air hangat di pagi hari, apalagi jika cuaca sedang sangat dingin seperti minggu ini.
Valerie melihat ke arah jam kamarnya yang besar dan berdiri seperti lemari. Waktu menunjukkan pukul lima pagi, masih sangat pagi untuk bangun tidur. Valerie biasanya bangun jam tujuh atau delapan pagi.
Valerie terpaksa duduk karena badannya menjadi lembab, "Ada apa, Ariel? Bukankah ini masih terlalu pagi?"
"Aku lapar, cepat buatkan aku makanan!" perintah Ariel.
"Mengapa kau tidak meminta kepada
Valerie terbangun dari tidurnya. Ia melihat waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. Masih ada satu jam sebelum ia harus pergi ke dapur dan memasak untuk sarapan. Ah, Valerie baru ingat. Ia memimpikan masa lalunya saat terlelap semalam. Merindukan masa-masa di mana ia masih merasakan apa itu bahagia, saat masih ada sedikit kehangatan di rumah ini. Badannya terasa lebih ringan sekarang. Sudah tujuh tahun setelah kepergian semua pelayan di rumah ini, Valerie satu-satunya pengurus rumah yang sangat besar ini. Makan tak teratur dan bekerja tanpa henti setiap hari. Ia harus memprioritaskan makanan untuk ibu dan kedua saudaranya. Sedangkan, ia harus makan sendiri di dapur dengan lauk yang seadanya. Seandainya masih ada Rocelyn, sudah pasti Valerie bisa tumbuh seperti anak-anak lain yang seumuran dengan dirinya. Tumbuh dengan kasih sayang walaupun hanya sedikit, kebahagiaan, dan tubuh yang segar. Valerie selalu merasa lelah memikirkan
Dua kereta kuda berwarna merah dan perak tiba di halaman rumah. Terlihat ada lambang di salah satu kereta kuda, yaitu yang berwarna perak. Sepertinya kereta kuda itu milik bangsawan. Terlihat Ana turun dari kereta kuda berwarna merah. Valerie melihat dari balik jendela kamarnya. Ekspresi Ana saat itu seperti sedang panik dan tergesa-gesa. Tapi yang terpenting bukanlah itu. Kereta kuda berwarna perak dan memiliki lambang. Seperti ada beberapa orang di dalam kereta kuda itu. Valerie tak bisa melihat dengan jelas karena kaca jendela yang tertutup sehingga hanya terlihat samar-samar siapa saja orang yang ada di dalamnya melalui sinar matahari yang menyusup masuk ke jendela kereta kuda itu. 'Cepat sekali Ibu pulang?' Valerie bergegas turun ke lantai bawah untuk membukakan pintu rumah. Setelah itu, Ariel turun dari kereta kuda berwarna merah milik mereka dan menyusul Ana masuk ke dalam rumah. Tatapan Ana mengarah kepada
"Hei, Valerie! Cepat ambilkan minuman untukku!" ujar Ariel, adik angkat Valerie. Valerie yang berpakaian lusuh hanya bisa mengangguk pelan sambil menatap lantai dan berjalan menuju dapur untuk mengambilkan minuman. Saat Valerie berjalan ke dapur, teriakan lain memanggil dirinya. "Valerie! Cepat cuci bajuku!" teriak Ana, seorang janda yang memiliki dua anak kandung dan mengangkat Valerie sebagai anak angkat untuk dijadikan pembantu. Valerie berjalan mendekati ibu angkatnya tersebut dan mengambil beberapa baju yang tergeletak di lantai untuk dicuci. "Setelah cuci baju, jangan lupa memasak untuk makan siang," kata Ana, "makan siang hari ini harus daging sapi." Sekali lagi, Valerie hanya bisa mengangguk dan tidak berani untuk menjawab perkataan Ana. Lalu, ia kembali berjalan dengan tubuhnya yang lemas itu menuju ruang mencuci. Sejak ia bangun tidur pagi tadi, ia belum sempat untuk meneguk air sedikitpun. Setelah menaruh baju, V
Untuk siapa pun yang menemukan surat ini, Saya adalah ibu dari bayi ini. Maafkan saya karena harus menitipkan anak saya. Saya harap, siapa pun yang menemukan anak saya, bisa merawatnya dengan sebaik mungkin. Saya juga berharap, anak saya bisa mendapatkan kasih sayang dan kebahagiaan. Dalam kotak ini, ada beberapa perlengkapan dan juga susu bayi. Tolong rawat dan besarkan anak saya. Terakhir, bayi ini saya beri nama Valerie. Valerie Houston. Catherine. *** "Valerie, ayo bermain!" teriak seorang anak bernama Elijah. Valerie kecil yang saat itu masih berumur sepuluh tahun berlarian ke arah lapangan dimana teman-temannya bermain. "Tunggu aku!" ujar Valerie. Suara tawa dan candaan anak-anak dari panti asuhan itu memenuhi lapangan. Kebahagiaan berkumpul disana. Mereka sudah bagaikan keluarga. "Anak-anak! Waktunya makan siang!" seru Maia, ibu panti
Perjalanan yang ditempuh selama empat jam membuat Valerie kecil tertidur. Selama perjalanan, Ana juga tidak berbicara dengan Valerie.Valerie kecil sampai di rumah barunya pada pukul empat sore. Rumah itu sangat mewah, tapi terlihat sangat suram. Seperti tidak ada kebahagiaan didalamnya."Apa kita sudah sampai, Ibu?" tanya Valerie.Ana tidak menjawab pertanyaan Valerie dan berjalan lurus menuju pintu rumah. Valerie kecil mengikutinya dari belakang dan membawa barang-barangnya.Pintu rumah yang besar terbuka. Valerie melihat ke sekeliling rumah itu. Langit-langitnya sangat tinggi, jauh dari lantai. Ruangan yang sangat banyak, sofa yang besar, kamar mandi lebih dari tiga, ruang tamu yang seperti aula, dan ruang makan yang cukup untuk semua teman-temannya di panti asuhan."Anak-anak, Ibu pulang!" ujar Ana.Dua anak turun dari lantai dua. Satu anak laki-laki yang lebih tua dari Valerie dan satu anak perempuan yang sepertinya le
Dewi malam muncul menggantikan raja siang. Valerie kecil terbangun dari tidur lelapnya. Saat ia turun ke lantai bawah, keluarga barunya tak kunjung pulang. Sepertinya benar yang dikatan Rocelyn, keluarganya tak akan pulang dalam beberapa hari. Tok! Tok! Terlihat Rocelyn yang berada di depan pintu dengan membawa makan malam Valerie. "Apakah sudah waktunya makan malam?" tanya Valerie. "Benar, Valerie. Menu makan malammu adalah sup daging. Aku harap kamu menyukainya." jawab Rocelyn. "Terima kasih, Rocelyn." ujar Valerie "Jangan terlalu sedih. Mungkin saja ibu dan kedua saudaramu akan pulang besok atau lusa." hibur Rocelyn. Valerie hanya bisa tersenyum. Ia terlalu sedih untuk mengobrol sekarang. Tapi kesedihannya itu sirna saat ia mencoba sesuap sup daging. Rasanya sangat lezat sampai ingin menangis. Andai saja ia bisa memakan sup daging ini setiap hari. "Apa yang harus aku la
"Nona, ayo bangun. Hari sudah semakin siang, Nona." ujar Josie membangunkan Valerie. Valerie membuka sedikit kelopak matanya dan melihat sinar matahari merambat masuk dari balik jendela kamar. "Aku masih mengantuk sekali, Josie." ujar Valerie. "Anda harus sarapan, Nona. Bukankah anda bilang ingin bermain bersama teman-teman anda di taman?" Seketika Valerie langsung bangun dari tidurnya. Ia baru ingat jika harus bangun pagi dan segera sarapan agar bisa bermain lebih lama di taman. "Anda ingin sarapan dimana, Nona?" tanya Josie. "Tolong bawakan saja ke kamarku, Josie. Aku akan mandi selama sarapanku dibuat." jawab Valerie. Josie turun ke lantai bawah untuk menyiapkan sarapan Valerie, sedangkan Valerie bergegas ke kamar mandi. Valerie menghabiskan waktunya dengan cepat di kamar mandi. Ia mempercepat gerakannya sehingga ia selesai lebih dulu daripada sarapannya yang sedang dibuat. "Josie!
"Bangun, Nona. Nyonya Ana, Tuan Hugo, dan Nona Ariel sudah pulang." ujar Josie membangunkan Valerie. Valerie menahan rasa kantuknya dan memaksakan diri untuk duduk. Ia sudah menunggu kehadiran keluarganya. Rasa tidak sabar membuat Valerie berlarian ke lantai bawah mengenakan pakaian tidur. "Ibu?" Valerie berkeliling lantai bawah untuk mencari Ana, ibunya. Matanya sibuk melihat kesana kemari, tetapi tidak membuahkan hasil. Ia tak melihat batang hidung ibunya. "Ibu tidak ada di rumah." suara itu adalah suara Ariel, adik angkat Valerie. Ariel masih berusia sembilan tahun, setahun lebih muda dari Valerie. Ia memiliki rambut berwarna merah terang dan mata yang juga berwarna merah. Tidak lebih tinggi daripada Valerie, tetapi terlihat jauh lebih sehat dari Valerie. "Kapan kalian pulang, Ariel? Di mana Ibu dan Kakak?" tanya Valerie antusias. Ariel memutar bola matanya, "Tak usah kau pikirkan. Kau uru