“You gotta be kidding me?!” Aneska menjambak rambutnya, “Sumpah lawak banget. Gak cukup masuk ke badan orang lain, ternyata muka kita juga sama persis? Wah, gila!”
Aneska tidak menyangka wajahnya sangat mirip dengan Ratu Nadlyne. Pasalnya di masa depan, memang tidak ada yang tahu bagaimana rupa asli Ratu Nadlyne. Lukisan yang beredar hanyalah tiruan, dibuat berdasarkan arahan salah seorang rakyat yang mengaku pernah melihat kecantikan sang Ratu. Dari masa ke masa, selalu ada pembaharuan lukisan yang dianggap sebagai Ratu Nadlyne. Sedang lukisan asli justru tidak pernah keluar dari Istana. Pihak Istana maupun pihak – pihak terkait juga tidak memberikan sanggahan tentang lukisan yang beredar. Hal itu membuat banyak orang mengira, bahwa gambaran Ratu Nadlyne kurang lebih sama seperti lukisan. Hanya saja tidak seratus persen mirip.
“Gue bisa beneran gila kalo lama – lama di ruangan ini.” Aneska memutuskan keluar ruangan. Akan lebih baik ia berjalan – jalan di sekitar Istana sembari mengorek informasi lebih banyak tentang peristiwa sebelum jiwa mereka tertukar.
Namun, baru satu langkah Aneska keluar ruangan. Gita sontak menghadang pintu sembari terus mengucapkan kata maaf. Gita juga menarik Aneska masuk lagi ke kamar. Ekspresinya panik, takut, dan frustrasi.
“Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia. Saya tidak bermaksud kurang ajar. Hanya saja, tidak seharusnya Yang Mulia keluar ruangan memakai pakaian seperti itu. Kalau Baginda Raja sampai melihat atau mendengar kabar dari orang lain, Baginda Raja akan sangat marah.”
“Apa maksud kamu? Memangnya apa yang salah dari pakaianku?”
Aneska menunduk, mengamati pakaiannya. Kurang lebih modelnya mirip seperti daster. Terbuat dari bahan crepe warna putih, yang panjangnya mencapai lutut. Menurut Aneska tidak ada yang salah dari pakaiannya. Di masa depan, jenis kain crepe sudah sering dipakai untuk acara formal atau informal. Sedang Gita justru berpikir sebaliknya. Pakaian yang Aneska kenakan sangat tidak pantas untuk dipakai di luar ruangan. Terlebih untuk seorang Ratu kerajaan. Gita yakin Ratu Nadlyne masih ‘tidak baik – baik saja’ pasca aksi bunuh dirinya.
“Mohon ampun, Yang Mulia. Bukan maksud saya untuk menggurui. Akan tetapi, Yang Mulia tidak diperbolehkan keluar ruangan menggunakan pakaian seperti itu.” Gita menunduk takut. Tepatnya, takut sang Ratu salah paham maksud baiknya.
“Siapa yang melarang?” Aneska melipat tangan di depan dada.
“Sa – saya, Yang Mulia. Ta – tapi itu se – semua demi kebaikan Yang Mulia Ratu.” Gita menyahut, gugup.
Aneska menyadari sesuatu. Ia bukan lagi Aneska Prameswari, melainkan Nadlyne Aurora Eddlyn. Ratu Kerajaan Aldarian, sekaligus sosok paling dihormati di penjuru negeri. Semua tingkah lakunya akan menjadi sorotan publik.
“Ya sudah, aku harus memakai pakaian seperti apa?” Aneska bertanya malas. Suasana hatinya sudah tidak baik sejak pertama kali membuka mata.
“Akan saya panggilkan dayang kecantikan.” Gita pamit undur diri, keluar dari ruangan. Tidak lama setelahnya, Gita kembali lagi bersama beberapa dayang lain. Mereka juga membawa beberapa pakaian sebagai opsi sang Ratu.
“Terserah. Pilihkan saja untukku.” Aneska meminta Gita untuk memilihkan gaun. Sedang dirinya berjalan ke arah ranjang, lalu duduk di tepian. Belum genap dua jam Aneska hidup sebagai Nadlyne, semua tindakannya sudah dibatasi.
“Mari, Yang Mulia.” Gita menghampiri Aneska sembari mengulurkan tangan.
“Mau ngapain?” tanya Aneska, refleks.
“Membantu Yang Mulia memakai baju?” jawab Gita, ikut bingung.
Aneska melotot. Bola matanya refleks menatap satu per satu manusia lain di dalam ruangan ini. Membayangkan orang asing menjamah tubuhnya membuat Aneska merinding. Tidak. Aneska tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
“Mulai saat ini, kalian tidak perlu membantuku memakai pakaian. Kemarikan saja gaunnya.” Aneska mengulurkan tangannya.
“Tapi, Yang Mulia—”
“Tidak ada tapi – tapian. Ikuti saja perintahku. Aku janji tidak akan menghukum kalian.” Aneska bersikeras.
Mau, tidak mau, para dayang meletakkan pakaian pilihan Gita di atas kasur. Clares—kepala dayang kecantikan—mulai menjelaskan secara singkat urutan kain yang harus Aneska pakai. Pun bagaimana cara memakainya. Saking banyaknya, Aneska sampai dibuat melongo.
“Apakah harus sebanyak ini?” tanya Aneska dan dibalas anggukan oleh Clares.
“Oke. Aku bisa sendiri. Kalian boleh keluar,” kata Aneska pada akhirnya.
Dayang kecantikan langsung pamit undur diri. Sedang Gita tetap bertahan di dalam ruangan. Aneska juga tidak protes. Menurutnya, hanya Gita yang bisa membantu kalau – kalau Aneska mengalami kesusahan.
“Namamu siapa tadi? Maaf, aku lupa.” Aneska bertanya tanpa menoleh.
“Gita, Yang Mulia. Saya dayang pribadi Yang Mulia.” Gita mengangguk sopan.
“Oh iya?” Aneska menoleh cepat. Ia sedikit tertarik dengan jawaban Gita. Kalau Gita memang dayang pribadi Ratu Nadlyne, artinya Gita pasti tahu kejadian sebelum jiwa mereka tertukar. Baiklah, Aneska akan mengorek informasi dari wanita bernama Gita itu.
“Maaf aku terlalu banyak tanya. Beberapa ingatanku menghilang sejak peristiwa itu.” Aneska mulai berakting layaknya pemain drama. “Tapi, apakah benar kamu dayang pribadiku?”
“Balik badan dulu, Git. Aku mau lepas baju,” perintah Aneska sebelum Gita menjawab pertanyaan sang Ratu.
Gita menurut saja. Berselang satu detik setelahnya, Gita menjawab pertanyaan Aneska.
“Ya, Yang Mulia. Saya adalah dayang pribadi Yang Mulia sejak lama. Bahkan jauh sebelum Yang Mulia menikah dengan Baginda Raja.”
“Berarti kamu juga mengikuti kemanapun aku pergi?”
“Ya, Yang Mulia. Saya selalu mengikuti kemanapun Yang Mulia pergi, kecuali—” ucapan Gita terhenti. Dia berbalik badan ketika mendengar suara napas terengah dari arah belakang. Rupanya, Nadlyne kesulitan memakai korset seorang diri. Lantas Gita mendekat dan berdiri di belakang Nadlyne.
“Aduh! Git, jangan terlalu kencang. Aku gak bisa bernapas.”
Aneska terbatuk – batuk. Ia kesulitan bernapas akibat korset pemberian dayang tadi diikat terlalu erat oleh Gita.
“Maafkan saya, Yang Mulia.” Gita cepat – cepat melonggarkan talian pada korset.
“Esok, saya akan meminta penjahit Istana untuk memperbesar ukuran korset. Sekali lagi, maafkan saya, Yang Mulia.” Gita menunduk takut sembari terus melonggarkan ikatan pada bagian belakang korset.
“Sudah yang ini lepas saja, Git. Kamu juga tidak perlu bilang ke penjahit Istana. Mulai hari ini, aku tidak akan memakai korset lagi,” ujar Aneska pada Gita. Kemudian disambung dengan dumelan pelan, “Huh! Bisa makin kempes punyaku kalau tertekan terus – menerus.”
“Sekali lagi, Maaf, Yang Mulia. Bukan maksud menggurui. Akan tetapi, saya sedikit tidak setuju dengan usul Yang Mulia barusan. Yang Mulia harus tetap menggunakannya ketika pergi ke Pemerintahan.”
“Kenapa dengan area Pemerintahan?” Aneska menoleh singkat. Kini, sesak di dadanya sudah sedikit membaik.
“Area Pemerintahan bukanlah lingkungan yang baik, Yang Mulia. Banyak orang saling menjatuhkan. Sekali saja mereka tahu kelemahan kita, mereka akan menggunakan itu sebagai ancaman,” jelas Gita.
“Kelemahan apa yang kamu maksud? Aku benar – benar tidak mengerti. Ini kita masih bahas masalah korset kan?”
Gita mengangguk.
“Ya elah. Itu cuma perkara korset, Git. Bukan masalah serius. Kenapa harus dibawa sampai ke kantor Pemerintahan? Aneh kamu itu.” Aneska melemparkan korset ke arah ranjang. Ia tidak membutuhkan kain menyebalkan itu. Kemudian memakai petticoat lapis pertama. Ya, siapa sangka pemakaian petticoat di masa lampau tidak cukup satu?
“Maaf, Yang Mulia. Saya mengaku salah. Namun, Yang Mulia sendirilah yang bercerita kepada saya. Bahkan Yang Mulia juga meminta kami mendandani Yang Mulia sesempurna mungkin sebelum pergi ke Pemerintahan. Yang Mulia berkata, supaya mereka tidak bisa melihat kekuranganku, Git. Mereka harus tau aku, Nadlyne Aurora, juga Ratu Aldarian tidak akan pernah bisa dijatuhkan.”
“Aku? Bilang begitu?” tanya Aneska, kaget.
Gita mengangguk. “Yang Mulia juga selalu bilang, ada orang di pemerintahan yang berusaha menggulingkan Yang Mulia dari kursi pemerintahan.”
“What?!” Aneska menoleh cepat, “siapa, Git?”
Gita menggeleng. “Saya tidak tahu, Yang Mulia. Yang Mulia tidak pernah menyebut namanya. Saya juga tidak berani bertanya. Tugas saya hanya mendengarkan.”
Sebenarnya apa yang kamu tutupi, Nad? Siapa orang yang berusaha menjatuhkanmu dari kursi pemerintahan? Dan apa yang kamu lakukan di malam jiwa kita tertukar?
Aldarian di masa depan merupakan kota metropolitan dengan segala hiruk – pikuk yang melelahkan. Gedung – gedung pencakar langit memadati setiap sudut. Kendaraan umum super canggih. Aldarian semakin maju, tapi juga melelahkan disaat bersamaan. Semua orang bekerja siang dan malam demi memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat setiap harinya. Namun, semua itu tidak Aneska lihat di Aldarian era 1899.Aldarian versi 1899 jauh lebih tenang. Lingkungan di sekitar masih sangat asri dan terawat. Pohon – pohon tinggi menjulang indah. Bunga – bunga cantik bermekaran sebagai penghias hamparan lahan hijau itu. Tidak banyak juga manusia berlalu lalang di sekitarnya, membuat jalanan sangat lenggang. Kalaupun tidak sengaja bertemu, mereka akan berhenti dan menunduk hormat sampai Aneska benar – benar melewatinya. Kesenjangan antara Ratu dan rakyat sangat terasa.“Mereka kenapa nunduk terus, sih, Git?” tanya Aneska.“Karena Yang Mulia lewat.” Gita menjawab.“Kok aku?” Aneska masih belum paham. Nam
“Yang Mulia harus segera kembali,” ucap Gita.Aneska yang saat itu mengamati bunga bermekaran, langsung menoleh. Ia mendapati Gita bersimpuh di hadapannya. Seperti biasa, kepala wanita itu tertunduk dalam. Kemudian Aneska mengedarkan pandangan ke sekitar pondok. Pendar jingga keorenan masih terlihat, artinya belum terlalu malam untuk kembali ke Istana.“Haruskah kita kembali sekarang?” tanya Aneska.Gita mengangguk. “Masih ada cukup waktu bagi Yang Mulia membersihkan diri dan bersolek, sebelum bertemu Baginda Raja saat makan malam.”“Aku? Bersolek? Untuk Galen?” Kemudian Aneska tertawa keras. Kedua bola matanya mengerling malas. Mungkin Nadlyne yang asli akan melakukannya, tetapi tidak untuk dirinya. Aneska tidak akan merepotkan diri untuk pria tidak tahu terima kasih seperti Galen.“Yang Mulia—” Gita kembali dibuat kaget dengan perubahan sikap sang Ratu.“Ah, maksudku, aku tidak perlu bersolek malam ini. Sampaikan saja kepada Baginda Raja kalau aku tidak bisa menemuinya nanti malam.”
Di tempat lain yang tak kalah luas dari ruangan Nadlyne, seorang pria muda nan tampan terlihat menikmati jamuan makan malam dalam diam. Seolah ketidak-hadiran istrinya bukan suatu hal penting untuk dia pikirkan. Ada atau tidaknya Nadlyne, tetap tidak merubah kenyataan bahwa wanita itu telah membunuh kekasihnya. “Sebelumnya maafkan kelancangan saya, Baginda Raja. Tujuan saya kemari, lantaran ingin menyampaikan pesan Yang Mulia Ratu, bahwasannya malam ini Yang Mulia Ratu tidak bisa bergabung dalam jamuan makan malam.” Gerakan tangan Galen terhenti seiring dengan kunyahan di mulutnya. Kerutan tipis tercetak jelas di dahinya, namun tidak satu orang pun menyadari hal itu. Tidak biasanya wanita itu absen dari jamuan makan malam? batinnya sedikit penasaran. Meski begitu, Galen tetap memberi anggukan singkat pada Gita. “Terima kasih, Baginda Raja.” Gita mengangguk sopan, lalu perlahan mundur sebelum akhirnya berbalik arah. Kembali ke kamar Nadlyne, ratunya. Sepeninggal Gita, Galen langsung
Tiga hari berlalu sejak pertama kali Aneska terbangun sebagai Nadlyne Aurora. Artinya, Aneska mau tidak mau harus kembali ke pemerintahan untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai Ratu Aldarian. Ya, Aneska sudah bertekad menjalani hidup sebagai Nadlyne sembari mencaritahu kebenaran dibalik tertukarnya jiwa mereka. Alasan lain, Aneska tidak terima Nadlyne disengsarakan oleh suami menyebalkan seperti Galen. “Jangan terlalu kencang, Git.” “Harus banget pakai korset? Sumpah, ini nyiksa banget.” “Petticoatnya pakai satu lapis aja, Git. Gerah.” Nadlyne terus mendumel sepanjang Gita membantunya berpakaian. Jangan ini, jangan itu. Tidak usah pakai ini, tidak usah pakai itu. Beruntung Gita tahan mendengarkan semua omelan Nadlyne. Sesi berpakaian selesai, Gita keluar ruangan untuk memanggil para dayang kecantikan. “Entah perasaan aku saja, atau memang riasan di wajahku terlalu tebal?” celetuk Nadlyne setelah sesi berhias selesai. “Ma – maafkan saya, Yang Mulia.” Nadlyne menghembuskan n
Tubuh Nadlyne yang berisi jiwa Aneska langsung menerobos masuk kamar Galen begitu kedua penjaga membukanya. Ia menjinjing gaun bawahnya supaya lebih lega dalam melangkah. Ekspresinya terlihat sangat kesal;tatapan matanya menajam, kedua alisnya menukik, dahinya mengkerut, juga rahang mengeras.Sepertinya Nadlyne bisa menebak tujuan Galen memanggilnya masih berkaitan dengan cerita Gita tadi."Kenapa?!" sembur Nadlyne begitu berdiri di depan suaminya. Galen yang saat itu berdiri membelakangi pintu seketika menoleh. Melihat Nadlyne berdiri sembari melipat kedua tangan di dada, juga dagu yang terangkat angkuh. "Tidakkah Anda lupa melakukan tugas, Yang Mulia Ratu?" Galen bertanya penuh nada sindiran."Maksudmu ... tugas dalam melayanimu setiap pagi?" Nadlyne tersenyum remeh, "Jika benar tugas itu yang kamu maksud, tidak. Mulai saat ini, detik ini, tugas itu bukan lagi tanggung jawabku."Nadlyne berdecih, "Cih, emang gue cewek apaan."Tanpa bisa Nadlyne prediksi, tiba - tiba saja Galen ber
Aneska baru saja mengakhiri sesi mengajar taekwondo sekitar pukul sembilan malam. Ia berencana mampir ke apartemen Ildo sebelum pulang ke rumah. Kebetulan sekali apartemen tunangannya cukup dekat dengan Dojang tempat Aneska mengajar. Hanya berkisar dua menit berjalan kaki. Sekitar lima menit kemudian, Aneska tiba di depan unit Ildo. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu menghubungi nomor tunangannya. Meski tahu kode unit apartemen Ildo, Aneska tetap memperingati diri sendiri supaya tidak lancang masuk tanpa seizin pemiliknya. Bagaimanapun Aneska masih berstatus tunangan. Ia merasa tidak berhak masuk terlalu jauh pada wilayah privasi seseorang. Panggilan pertama tidak terjawab. Aneska mencoba menghubungi nomor Ildo lagi. Ia berpikir, mungkin Ildo sedang sibuk. Namun, sampai panggilan telepon ke lima, Ildo tak kunjung menjawab panggilannya. “Dia kemana?” Aneska bermonolog seorang diri. “Aku masuk aja, deh. Do, sorry aku masuk tanpa ijin kamu.” Aneska menekan kombinasi angka
“Maafkan saya, Yang Mulia. Saya tidak bisa memahami ucapan Yang Mulia barusan.”Aneska melihat wanita itu berkata dengan kepala tertunduk. Tanpa sadar dahi Aneska mengkerut tanda kebingungan. Ada banyak pertanyaan muncul di dalam kepalanya. Sebenarnya siapa orang - orang itu? Kenapa dirinya bisa ada di sini? batin Aneska “Sebelumnya saya mohon ijin bertanya, apakah ada keluhan yang saat ini dirasakan oleh Yang Mulia? Beberapa Dayang masih menyusul Tabib istana. Mereka akan tiba sesegera mungkin.” “Hah? Dayang? Tabib Istana? Maksudnya apa, sih? Ini gue dimana?” Aneska langsung bangkit dari posisi rebahannya dan turun dari ranjang. Ia berjongkok di depan wanita itu.“Yang Mulia jangan bersikap seperti ini. Mari, saya bantu kembali ke ranjang. Yang Mulia harus banyak beristirahat.” Wanita itu panik. Dia ingin memegang kedua sisi bahu Aneska tetapi urung, lantas yang bisa dia lakukan hanya terus memohon supaya Aneska bersedia kembali rebahan di ranjang.“Jelasin dulu, lo—maksud gue, kam
Tubuh Nadlyne yang berisi jiwa Aneska langsung menerobos masuk kamar Galen begitu kedua penjaga membukanya. Ia menjinjing gaun bawahnya supaya lebih lega dalam melangkah. Ekspresinya terlihat sangat kesal;tatapan matanya menajam, kedua alisnya menukik, dahinya mengkerut, juga rahang mengeras.Sepertinya Nadlyne bisa menebak tujuan Galen memanggilnya masih berkaitan dengan cerita Gita tadi."Kenapa?!" sembur Nadlyne begitu berdiri di depan suaminya. Galen yang saat itu berdiri membelakangi pintu seketika menoleh. Melihat Nadlyne berdiri sembari melipat kedua tangan di dada, juga dagu yang terangkat angkuh. "Tidakkah Anda lupa melakukan tugas, Yang Mulia Ratu?" Galen bertanya penuh nada sindiran."Maksudmu ... tugas dalam melayanimu setiap pagi?" Nadlyne tersenyum remeh, "Jika benar tugas itu yang kamu maksud, tidak. Mulai saat ini, detik ini, tugas itu bukan lagi tanggung jawabku."Nadlyne berdecih, "Cih, emang gue cewek apaan."Tanpa bisa Nadlyne prediksi, tiba - tiba saja Galen ber
Tiga hari berlalu sejak pertama kali Aneska terbangun sebagai Nadlyne Aurora. Artinya, Aneska mau tidak mau harus kembali ke pemerintahan untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai Ratu Aldarian. Ya, Aneska sudah bertekad menjalani hidup sebagai Nadlyne sembari mencaritahu kebenaran dibalik tertukarnya jiwa mereka. Alasan lain, Aneska tidak terima Nadlyne disengsarakan oleh suami menyebalkan seperti Galen. “Jangan terlalu kencang, Git.” “Harus banget pakai korset? Sumpah, ini nyiksa banget.” “Petticoatnya pakai satu lapis aja, Git. Gerah.” Nadlyne terus mendumel sepanjang Gita membantunya berpakaian. Jangan ini, jangan itu. Tidak usah pakai ini, tidak usah pakai itu. Beruntung Gita tahan mendengarkan semua omelan Nadlyne. Sesi berpakaian selesai, Gita keluar ruangan untuk memanggil para dayang kecantikan. “Entah perasaan aku saja, atau memang riasan di wajahku terlalu tebal?” celetuk Nadlyne setelah sesi berhias selesai. “Ma – maafkan saya, Yang Mulia.” Nadlyne menghembuskan n
Di tempat lain yang tak kalah luas dari ruangan Nadlyne, seorang pria muda nan tampan terlihat menikmati jamuan makan malam dalam diam. Seolah ketidak-hadiran istrinya bukan suatu hal penting untuk dia pikirkan. Ada atau tidaknya Nadlyne, tetap tidak merubah kenyataan bahwa wanita itu telah membunuh kekasihnya. “Sebelumnya maafkan kelancangan saya, Baginda Raja. Tujuan saya kemari, lantaran ingin menyampaikan pesan Yang Mulia Ratu, bahwasannya malam ini Yang Mulia Ratu tidak bisa bergabung dalam jamuan makan malam.” Gerakan tangan Galen terhenti seiring dengan kunyahan di mulutnya. Kerutan tipis tercetak jelas di dahinya, namun tidak satu orang pun menyadari hal itu. Tidak biasanya wanita itu absen dari jamuan makan malam? batinnya sedikit penasaran. Meski begitu, Galen tetap memberi anggukan singkat pada Gita. “Terima kasih, Baginda Raja.” Gita mengangguk sopan, lalu perlahan mundur sebelum akhirnya berbalik arah. Kembali ke kamar Nadlyne, ratunya. Sepeninggal Gita, Galen langsung
“Yang Mulia harus segera kembali,” ucap Gita.Aneska yang saat itu mengamati bunga bermekaran, langsung menoleh. Ia mendapati Gita bersimpuh di hadapannya. Seperti biasa, kepala wanita itu tertunduk dalam. Kemudian Aneska mengedarkan pandangan ke sekitar pondok. Pendar jingga keorenan masih terlihat, artinya belum terlalu malam untuk kembali ke Istana.“Haruskah kita kembali sekarang?” tanya Aneska.Gita mengangguk. “Masih ada cukup waktu bagi Yang Mulia membersihkan diri dan bersolek, sebelum bertemu Baginda Raja saat makan malam.”“Aku? Bersolek? Untuk Galen?” Kemudian Aneska tertawa keras. Kedua bola matanya mengerling malas. Mungkin Nadlyne yang asli akan melakukannya, tetapi tidak untuk dirinya. Aneska tidak akan merepotkan diri untuk pria tidak tahu terima kasih seperti Galen.“Yang Mulia—” Gita kembali dibuat kaget dengan perubahan sikap sang Ratu.“Ah, maksudku, aku tidak perlu bersolek malam ini. Sampaikan saja kepada Baginda Raja kalau aku tidak bisa menemuinya nanti malam.”
Aldarian di masa depan merupakan kota metropolitan dengan segala hiruk – pikuk yang melelahkan. Gedung – gedung pencakar langit memadati setiap sudut. Kendaraan umum super canggih. Aldarian semakin maju, tapi juga melelahkan disaat bersamaan. Semua orang bekerja siang dan malam demi memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat setiap harinya. Namun, semua itu tidak Aneska lihat di Aldarian era 1899.Aldarian versi 1899 jauh lebih tenang. Lingkungan di sekitar masih sangat asri dan terawat. Pohon – pohon tinggi menjulang indah. Bunga – bunga cantik bermekaran sebagai penghias hamparan lahan hijau itu. Tidak banyak juga manusia berlalu lalang di sekitarnya, membuat jalanan sangat lenggang. Kalaupun tidak sengaja bertemu, mereka akan berhenti dan menunduk hormat sampai Aneska benar – benar melewatinya. Kesenjangan antara Ratu dan rakyat sangat terasa.“Mereka kenapa nunduk terus, sih, Git?” tanya Aneska.“Karena Yang Mulia lewat.” Gita menjawab.“Kok aku?” Aneska masih belum paham. Nam
“You gotta be kidding me?!” Aneska menjambak rambutnya, “Sumpah lawak banget. Gak cukup masuk ke badan orang lain, ternyata muka kita juga sama persis? Wah, gila!” Aneska tidak menyangka wajahnya sangat mirip dengan Ratu Nadlyne. Pasalnya di masa depan, memang tidak ada yang tahu bagaimana rupa asli Ratu Nadlyne. Lukisan yang beredar hanyalah tiruan, dibuat berdasarkan arahan salah seorang rakyat yang mengaku pernah melihat kecantikan sang Ratu. Dari masa ke masa, selalu ada pembaharuan lukisan yang dianggap sebagai Ratu Nadlyne. Sedang lukisan asli justru tidak pernah keluar dari Istana. Pihak Istana maupun pihak – pihak terkait juga tidak memberikan sanggahan tentang lukisan yang beredar. Hal itu membuat banyak orang mengira, bahwa gambaran Ratu Nadlyne kurang lebih sama seperti lukisan. Hanya saja tidak seratus persen mirip. “Gue bisa beneran gila kalo lama – lama di ruangan ini.” Aneska memutuskan keluar ruangan. Akan lebih baik ia berjalan – jalan di sekitar Istana sembari meng
“Maafkan saya, Yang Mulia. Saya tidak bisa memahami ucapan Yang Mulia barusan.”Aneska melihat wanita itu berkata dengan kepala tertunduk. Tanpa sadar dahi Aneska mengkerut tanda kebingungan. Ada banyak pertanyaan muncul di dalam kepalanya. Sebenarnya siapa orang - orang itu? Kenapa dirinya bisa ada di sini? batin Aneska “Sebelumnya saya mohon ijin bertanya, apakah ada keluhan yang saat ini dirasakan oleh Yang Mulia? Beberapa Dayang masih menyusul Tabib istana. Mereka akan tiba sesegera mungkin.” “Hah? Dayang? Tabib Istana? Maksudnya apa, sih? Ini gue dimana?” Aneska langsung bangkit dari posisi rebahannya dan turun dari ranjang. Ia berjongkok di depan wanita itu.“Yang Mulia jangan bersikap seperti ini. Mari, saya bantu kembali ke ranjang. Yang Mulia harus banyak beristirahat.” Wanita itu panik. Dia ingin memegang kedua sisi bahu Aneska tetapi urung, lantas yang bisa dia lakukan hanya terus memohon supaya Aneska bersedia kembali rebahan di ranjang.“Jelasin dulu, lo—maksud gue, kam
Aneska baru saja mengakhiri sesi mengajar taekwondo sekitar pukul sembilan malam. Ia berencana mampir ke apartemen Ildo sebelum pulang ke rumah. Kebetulan sekali apartemen tunangannya cukup dekat dengan Dojang tempat Aneska mengajar. Hanya berkisar dua menit berjalan kaki. Sekitar lima menit kemudian, Aneska tiba di depan unit Ildo. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu menghubungi nomor tunangannya. Meski tahu kode unit apartemen Ildo, Aneska tetap memperingati diri sendiri supaya tidak lancang masuk tanpa seizin pemiliknya. Bagaimanapun Aneska masih berstatus tunangan. Ia merasa tidak berhak masuk terlalu jauh pada wilayah privasi seseorang. Panggilan pertama tidak terjawab. Aneska mencoba menghubungi nomor Ildo lagi. Ia berpikir, mungkin Ildo sedang sibuk. Namun, sampai panggilan telepon ke lima, Ildo tak kunjung menjawab panggilannya. “Dia kemana?” Aneska bermonolog seorang diri. “Aku masuk aja, deh. Do, sorry aku masuk tanpa ijin kamu.” Aneska menekan kombinasi angka