Aldarian di masa depan merupakan kota metropolitan dengan segala hiruk – pikuk yang melelahkan. Gedung – gedung pencakar langit memadati setiap sudut. Kendaraan umum super canggih. Aldarian semakin maju, tapi juga melelahkan disaat bersamaan. Semua orang bekerja siang dan malam demi memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat setiap harinya. Namun, semua itu tidak Aneska lihat di Aldarian era 1899.
Aldarian versi 1899 jauh lebih tenang. Lingkungan di sekitar masih sangat asri dan terawat. Pohon – pohon tinggi menjulang indah. Bunga – bunga cantik bermekaran sebagai penghias hamparan lahan hijau itu. Tidak banyak juga manusia berlalu lalang di sekitarnya, membuat jalanan sangat lenggang. Kalaupun tidak sengaja bertemu, mereka akan berhenti dan menunduk hormat sampai Aneska benar – benar melewatinya. Kesenjangan antara Ratu dan rakyat sangat terasa.
“Mereka kenapa nunduk terus, sih, Git?” tanya Aneska.
“Karena Yang Mulia lewat.” Gita menjawab.
“Kok aku?” Aneska masih belum paham. Namun, seketika bibirnya membentuk huruf ‘o’ singkat. Mereka bukan hormat pada Aneska, melainkan Nadlyne Aurora. Wanita yang saat ini tubuhnya Aneska tinggali.
Mereka berdua kembali berjalan menyusuri taman. Gita setia mengekor di belakang Aneska.
“Ini kita ke mana?” tanya Aneska ketika sampai di persimpangan taman.
Belum sempat Gita menjawab, seorang pria tampan berbaju hitam beludru—lengkap dengan seluruh atribut berlian yang menempel—berjalan ke arah mereka. Gita menunduk, lalu menyingkir.
“Kamu ngapain, Git?” tanya Aneska kebingungan. Pasalnya, Gita tiba – tiba saja berdiri di pinggir jalan. Sedangkan Aneska masih berdiri di tengah jalan.
“Baginda Raja hendak melintas, Yang Mulia.” Gita menjawab sopan.
Aneska mengernyit, lalu mengedarkan pandangan. Saat itulah ia melihat pria tampan, berbadan tegap dengan dua telapak saling bertaut di belakang tubuh, sedang berjalan ke arahnya. Aneska yakin dia adalah Raja Galen. Tiba – tiba saja jantung Aneska berdetak tidak keruan. Semuanya terjadi begitu saja.
Suami gue ... Maksud gue, suami Nadlyne ganteng banget! Batin Aneska.
Aneska tanpa sadar mengigit bibir bawahnya. Senyum indah tertahan di bibirnya.
“Sela … mat sore.” Aneska melongo seketika.
Galen melintas begitu saja, diikuti sembilan pengawal di belakangnya. Keberadaan Aneska dan Gita seolah tidak pernah ada di sekitar mereka. Bahkan sekadar melirik pun, tidak. Refleks kepala Aneska menoleh ke arah Gita.
“Itu tadi beneran Galen, kan?” tanya Aneska memastikan. Ia takut salah melihat atau salah mengenali orang. Pasalnya, sama seperti rupa Nadlyne. Lukisan wajah Galen yang asli pun tidak pernah tersebar di masa depan.
Gita mengangguk.
“Kok Galen gitu ke gue?!” semprot Aneska. “Maksud aku, kok Galen acuh ke aku? Aku masih istrinya kan, Git?” Aneska lanjut berjalan, tetapi sesekali menoleh. Mengoceh panjang lebar tentang kekesalannya pada Galen.
Situasi berbalik. Giliran Gita yang melongo mendengar ocehan Nadlyne. Baru pertama kali Gita mendengar Nadlyne menyebut Baginda Raja hanya dengan nama. Biasanya majikannya itu selalu memanggil suaminya dengan sebutan “Baginda Raja.”
“Bukannya Galen dikenal sayang banget sama istrinya? Cih, pencitraan.” Aneska terus mengomel.
Tidak seperti itu, Yang Mulia. Gita membatin. Meski begitu, Gita tetap diam dan mengekor di belakang Nadlyne. Gita telan semua ocehan dan umpatan Nadlyne. Dia cukup tahu diri dengan tidak ikut campur dalam permasalahan rumah tangga sang ratu.
“Gita, jawab! Aku dari tadi marah, lho!”
Gita gelagapan. Dia seperti bertemu Nadlyne yang sama, tetapi juga berbeda. Dari segi rupa, mereka memang sama. Tetapi dari pembawaan dan sikap, keduanya sangat bertolak belakang. Nadlyne yang sebelumnya sangat anggun, perhatian, dan berhati – hati dalam bertindak. Sedangkan Nadlyne yang ada dihadapannya sekarang, mempunyai sifat cerewet, suka berkata aneh, mudah marah.
“Ampuni saya, Yang Mulia.” Gita menunduk sopan.
Tidak berselang lama, mereka tiba di pondok bunga. Aneska langsung duduk di sebuah kursi kayu tua dengan kaki menyilang, tangan terlipat di depan dada, dan ekspresi wajah masam. Diam – diam Aneska melirik Gita yang bersimpuh di tanah sembari menundukkan kepala. Sepertinya Aneska sudah bisa menebak alasan Gita tidak berani menanggapi omelannya tentang Galen.
“Aku sedih, tau, Git. Melihat suamiku sendiri bersikap acuh tak acuh tadi, aku merasa menjadi istri yang gagal.” Aneska kembali bermain peran. Kepalanya ikut menunduk. Jari lentiknya memilin gaun dengan gerakan kecil.
“Yang Mulia jangan berkata demikian. Selama ini, Yang Mulia sudah melakukan tugas istri dengan sangat baik. Bahkan—” ucapan Gita menggantung, seolah baru menyadari kelancangannya dalam berbicara.
“Kenapa, Git? Cerita aja. Siapa tahu ceritamu dapat mengembalikan ingatanku yang hilang.” Aneska terus mempertahankan ekspresi sedihnya.
“Kamu tidak perlu segan padaku. Kita sudah saling mengenal sejak lama, Git. Aku sudah menganggapmu seperti saudariku sendiri.” Aneska berkata lagi.
Gita terharu mendengar penuturan Nadlyne. Sedikit tidak menyangka bahwa kalimat itu akan terdengar lagi dari bibir Nadlyne. Wanita dihadapannya itu memang tidak pernah memperlakukan Gita layaknya seorang dayang pribadi. Malahan Gita selalu diperlakukan seperti saudari. Mereka sering berbagi cerita dan rahasia.
“Sebelumnya, ampuni saya, Yang Mulia. Maafkan kelancangan saya dalam berbicara,” ucap Gita, pelan.
“Apa yang saya katakan sebelumnya memang benar. Di mata saya, para dayang lain, dan rakyat Aldarian, Yang Mulia Ratu adalah wanita penyayang. Kami semua tahu Yang Mulia sangat mencintai Baginda Raja. Meski … Baginda Raja selalu bersikap acuh dan sengaja mengabaikan keberadaan Yang Mulia, tetapi Yang Mulia terus berusaha menjadi istri yang baik bagi Baginda Raja.”
Tanpa sepenglihatan Gita, Aneska mengerling malas. Ia semakin kesal pada Galen setelah mendengar cerita Gita. Dasar cowok gak bersyukur! Udah dapet istri sebaik hati dan secantik Nadlyne malah disia – siain. Awas aja lo!
“Baiklah. Aku akan berbicara padanya ketika kami sudah berada di kamar.” Aneska kembali berakting lemah lembut di depan Gita.
“Itu—” Gita menanggapi pelan.
“Ya, Git?”
“Sebenarnya, Yang Mulia tidak tidur satu ruangan dengan Baginda Raja.” Gita semakin menunduk, takut dengan respon Nadlyne. Dan benar saja, kurang dari satu menit setelahnya, Aneska langsung berdiri dan berseru dramatis.
“What the—f*ck!” Aneska mengumpat keras. Kemudian cepat – cepat mengubah ekspresi wajahnya kembali melas. Ia terduduk dengan lemas.
“Apa Baginda Raja sebenci itu padaku, Git? Kenapa kami sampai pisah ruangan,” ucap Aneska.
“Mohon Maaf, Yang Mulia. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan Yang Mulia barusan.” Gita mengatupkan tangan di depan hidung. Kepalanya masih tertunduk hormat.
Aneska kembali mengumpat dalam hati. Siapa lagi objeknya, kalau bukan Galen. Padahal paras ayu Nadlyne dipadukan dengan kemewahan gaun berbahan sutra dan aksesoris di kepalanya adalah gambaran wanita kerajaan paling cantik dan berkelas. Aneska menduga Galen mempunyai kelainan alias gay.
“Ah, aku jadi sedih. Tetapi, seperti perkataanmu tadi, aku akan terus berusaha menjadi istri yang baik bagi Baginda Raja.” Aneska memasang senyum tipis.
Gita mengangguk setuju sembari tersenyum. Kemudian keduanya kembali diam. Aneska sibuk mengumpati Galen dalam hati, sedang Gita hanya diam dan menunggui sang ratu.
“Apa suamiku menyukai pria, Git?” celetuk Aneska tiba – tiba. Membuat Gita mendongak dan menoleh panik. Dia takut ada seseorang mendengar ucapan Nadlyne.
“Tidak. Tidak seperti itu, Yang Mulia,” sanggah Gita.
“Lantas kenapa dia tidak menyukaiku, Git? Apakah aku kurang cantik? Apakah aku kurang pandai dalam bercinta? Atau bagaimana?” Aneska kembali memainkan perannya sebagai Nadlyne.
“Bukan hak saya untuk menjawab, Yang Mulia.” Gita menjawab halus.
Maafkan saya, Yang Mulia. Saya belum siap menceritakan kebenaran itu pada Yang Mulia. Saya hanya tidak ingin Yang Mulia sedih, batin Gita.
“Yang Mulia harus segera kembali,” ucap Gita.Aneska yang saat itu mengamati bunga bermekaran, langsung menoleh. Ia mendapati Gita bersimpuh di hadapannya. Seperti biasa, kepala wanita itu tertunduk dalam. Kemudian Aneska mengedarkan pandangan ke sekitar pondok. Pendar jingga keorenan masih terlihat, artinya belum terlalu malam untuk kembali ke Istana.“Haruskah kita kembali sekarang?” tanya Aneska.Gita mengangguk. “Masih ada cukup waktu bagi Yang Mulia membersihkan diri dan bersolek, sebelum bertemu Baginda Raja saat makan malam.”“Aku? Bersolek? Untuk Galen?” Kemudian Aneska tertawa keras. Kedua bola matanya mengerling malas. Mungkin Nadlyne yang asli akan melakukannya, tetapi tidak untuk dirinya. Aneska tidak akan merepotkan diri untuk pria tidak tahu terima kasih seperti Galen.“Yang Mulia—” Gita kembali dibuat kaget dengan perubahan sikap sang Ratu.“Ah, maksudku, aku tidak perlu bersolek malam ini. Sampaikan saja kepada Baginda Raja kalau aku tidak bisa menemuinya nanti malam.”
Di tempat lain yang tak kalah luas dari ruangan Nadlyne, seorang pria muda nan tampan terlihat menikmati jamuan makan malam dalam diam. Seolah ketidak-hadiran istrinya bukan suatu hal penting untuk dia pikirkan. Ada atau tidaknya Nadlyne, tetap tidak merubah kenyataan bahwa wanita itu telah membunuh kekasihnya. “Sebelumnya maafkan kelancangan saya, Baginda Raja. Tujuan saya kemari, lantaran ingin menyampaikan pesan Yang Mulia Ratu, bahwasannya malam ini Yang Mulia Ratu tidak bisa bergabung dalam jamuan makan malam.” Gerakan tangan Galen terhenti seiring dengan kunyahan di mulutnya. Kerutan tipis tercetak jelas di dahinya, namun tidak satu orang pun menyadari hal itu. Tidak biasanya wanita itu absen dari jamuan makan malam? batinnya sedikit penasaran. Meski begitu, Galen tetap memberi anggukan singkat pada Gita. “Terima kasih, Baginda Raja.” Gita mengangguk sopan, lalu perlahan mundur sebelum akhirnya berbalik arah. Kembali ke kamar Nadlyne, ratunya. Sepeninggal Gita, Galen langsung
Tiga hari berlalu sejak pertama kali Aneska terbangun sebagai Nadlyne Aurora. Artinya, Aneska mau tidak mau harus kembali ke pemerintahan untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai Ratu Aldarian. Ya, Aneska sudah bertekad menjalani hidup sebagai Nadlyne sembari mencaritahu kebenaran dibalik tertukarnya jiwa mereka. Alasan lain, Aneska tidak terima Nadlyne disengsarakan oleh suami menyebalkan seperti Galen. “Jangan terlalu kencang, Git.” “Harus banget pakai korset? Sumpah, ini nyiksa banget.” “Petticoatnya pakai satu lapis aja, Git. Gerah.” Nadlyne terus mendumel sepanjang Gita membantunya berpakaian. Jangan ini, jangan itu. Tidak usah pakai ini, tidak usah pakai itu. Beruntung Gita tahan mendengarkan semua omelan Nadlyne. Sesi berpakaian selesai, Gita keluar ruangan untuk memanggil para dayang kecantikan. “Entah perasaan aku saja, atau memang riasan di wajahku terlalu tebal?” celetuk Nadlyne setelah sesi berhias selesai. “Ma – maafkan saya, Yang Mulia.” Nadlyne menghembuskan n
Tubuh Nadlyne yang berisi jiwa Aneska langsung menerobos masuk kamar Galen begitu kedua penjaga membukanya. Ia menjinjing gaun bawahnya supaya lebih lega dalam melangkah. Ekspresinya terlihat sangat kesal;tatapan matanya menajam, kedua alisnya menukik, dahinya mengkerut, juga rahang mengeras.Sepertinya Nadlyne bisa menebak tujuan Galen memanggilnya masih berkaitan dengan cerita Gita tadi."Kenapa?!" sembur Nadlyne begitu berdiri di depan suaminya. Galen yang saat itu berdiri membelakangi pintu seketika menoleh. Melihat Nadlyne berdiri sembari melipat kedua tangan di dada, juga dagu yang terangkat angkuh. "Tidakkah Anda lupa melakukan tugas, Yang Mulia Ratu?" Galen bertanya penuh nada sindiran."Maksudmu ... tugas dalam melayanimu setiap pagi?" Nadlyne tersenyum remeh, "Jika benar tugas itu yang kamu maksud, tidak. Mulai saat ini, detik ini, tugas itu bukan lagi tanggung jawabku."Nadlyne berdecih, "Cih, emang gue cewek apaan."Tanpa bisa Nadlyne prediksi, tiba - tiba saja Galen ber
Aneska baru saja mengakhiri sesi mengajar taekwondo sekitar pukul sembilan malam. Ia berencana mampir ke apartemen Ildo sebelum pulang ke rumah. Kebetulan sekali apartemen tunangannya cukup dekat dengan Dojang tempat Aneska mengajar. Hanya berkisar dua menit berjalan kaki. Sekitar lima menit kemudian, Aneska tiba di depan unit Ildo. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu menghubungi nomor tunangannya. Meski tahu kode unit apartemen Ildo, Aneska tetap memperingati diri sendiri supaya tidak lancang masuk tanpa seizin pemiliknya. Bagaimanapun Aneska masih berstatus tunangan. Ia merasa tidak berhak masuk terlalu jauh pada wilayah privasi seseorang. Panggilan pertama tidak terjawab. Aneska mencoba menghubungi nomor Ildo lagi. Ia berpikir, mungkin Ildo sedang sibuk. Namun, sampai panggilan telepon ke lima, Ildo tak kunjung menjawab panggilannya. “Dia kemana?” Aneska bermonolog seorang diri. “Aku masuk aja, deh. Do, sorry aku masuk tanpa ijin kamu.” Aneska menekan kombinasi angka
“Maafkan saya, Yang Mulia. Saya tidak bisa memahami ucapan Yang Mulia barusan.”Aneska melihat wanita itu berkata dengan kepala tertunduk. Tanpa sadar dahi Aneska mengkerut tanda kebingungan. Ada banyak pertanyaan muncul di dalam kepalanya. Sebenarnya siapa orang - orang itu? Kenapa dirinya bisa ada di sini? batin Aneska “Sebelumnya saya mohon ijin bertanya, apakah ada keluhan yang saat ini dirasakan oleh Yang Mulia? Beberapa Dayang masih menyusul Tabib istana. Mereka akan tiba sesegera mungkin.” “Hah? Dayang? Tabib Istana? Maksudnya apa, sih? Ini gue dimana?” Aneska langsung bangkit dari posisi rebahannya dan turun dari ranjang. Ia berjongkok di depan wanita itu.“Yang Mulia jangan bersikap seperti ini. Mari, saya bantu kembali ke ranjang. Yang Mulia harus banyak beristirahat.” Wanita itu panik. Dia ingin memegang kedua sisi bahu Aneska tetapi urung, lantas yang bisa dia lakukan hanya terus memohon supaya Aneska bersedia kembali rebahan di ranjang.“Jelasin dulu, lo—maksud gue, kam
“You gotta be kidding me?!” Aneska menjambak rambutnya, “Sumpah lawak banget. Gak cukup masuk ke badan orang lain, ternyata muka kita juga sama persis? Wah, gila!” Aneska tidak menyangka wajahnya sangat mirip dengan Ratu Nadlyne. Pasalnya di masa depan, memang tidak ada yang tahu bagaimana rupa asli Ratu Nadlyne. Lukisan yang beredar hanyalah tiruan, dibuat berdasarkan arahan salah seorang rakyat yang mengaku pernah melihat kecantikan sang Ratu. Dari masa ke masa, selalu ada pembaharuan lukisan yang dianggap sebagai Ratu Nadlyne. Sedang lukisan asli justru tidak pernah keluar dari Istana. Pihak Istana maupun pihak – pihak terkait juga tidak memberikan sanggahan tentang lukisan yang beredar. Hal itu membuat banyak orang mengira, bahwa gambaran Ratu Nadlyne kurang lebih sama seperti lukisan. Hanya saja tidak seratus persen mirip. “Gue bisa beneran gila kalo lama – lama di ruangan ini.” Aneska memutuskan keluar ruangan. Akan lebih baik ia berjalan – jalan di sekitar Istana sembari meng
Tubuh Nadlyne yang berisi jiwa Aneska langsung menerobos masuk kamar Galen begitu kedua penjaga membukanya. Ia menjinjing gaun bawahnya supaya lebih lega dalam melangkah. Ekspresinya terlihat sangat kesal;tatapan matanya menajam, kedua alisnya menukik, dahinya mengkerut, juga rahang mengeras.Sepertinya Nadlyne bisa menebak tujuan Galen memanggilnya masih berkaitan dengan cerita Gita tadi."Kenapa?!" sembur Nadlyne begitu berdiri di depan suaminya. Galen yang saat itu berdiri membelakangi pintu seketika menoleh. Melihat Nadlyne berdiri sembari melipat kedua tangan di dada, juga dagu yang terangkat angkuh. "Tidakkah Anda lupa melakukan tugas, Yang Mulia Ratu?" Galen bertanya penuh nada sindiran."Maksudmu ... tugas dalam melayanimu setiap pagi?" Nadlyne tersenyum remeh, "Jika benar tugas itu yang kamu maksud, tidak. Mulai saat ini, detik ini, tugas itu bukan lagi tanggung jawabku."Nadlyne berdecih, "Cih, emang gue cewek apaan."Tanpa bisa Nadlyne prediksi, tiba - tiba saja Galen ber
Tiga hari berlalu sejak pertama kali Aneska terbangun sebagai Nadlyne Aurora. Artinya, Aneska mau tidak mau harus kembali ke pemerintahan untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai Ratu Aldarian. Ya, Aneska sudah bertekad menjalani hidup sebagai Nadlyne sembari mencaritahu kebenaran dibalik tertukarnya jiwa mereka. Alasan lain, Aneska tidak terima Nadlyne disengsarakan oleh suami menyebalkan seperti Galen. “Jangan terlalu kencang, Git.” “Harus banget pakai korset? Sumpah, ini nyiksa banget.” “Petticoatnya pakai satu lapis aja, Git. Gerah.” Nadlyne terus mendumel sepanjang Gita membantunya berpakaian. Jangan ini, jangan itu. Tidak usah pakai ini, tidak usah pakai itu. Beruntung Gita tahan mendengarkan semua omelan Nadlyne. Sesi berpakaian selesai, Gita keluar ruangan untuk memanggil para dayang kecantikan. “Entah perasaan aku saja, atau memang riasan di wajahku terlalu tebal?” celetuk Nadlyne setelah sesi berhias selesai. “Ma – maafkan saya, Yang Mulia.” Nadlyne menghembuskan n
Di tempat lain yang tak kalah luas dari ruangan Nadlyne, seorang pria muda nan tampan terlihat menikmati jamuan makan malam dalam diam. Seolah ketidak-hadiran istrinya bukan suatu hal penting untuk dia pikirkan. Ada atau tidaknya Nadlyne, tetap tidak merubah kenyataan bahwa wanita itu telah membunuh kekasihnya. “Sebelumnya maafkan kelancangan saya, Baginda Raja. Tujuan saya kemari, lantaran ingin menyampaikan pesan Yang Mulia Ratu, bahwasannya malam ini Yang Mulia Ratu tidak bisa bergabung dalam jamuan makan malam.” Gerakan tangan Galen terhenti seiring dengan kunyahan di mulutnya. Kerutan tipis tercetak jelas di dahinya, namun tidak satu orang pun menyadari hal itu. Tidak biasanya wanita itu absen dari jamuan makan malam? batinnya sedikit penasaran. Meski begitu, Galen tetap memberi anggukan singkat pada Gita. “Terima kasih, Baginda Raja.” Gita mengangguk sopan, lalu perlahan mundur sebelum akhirnya berbalik arah. Kembali ke kamar Nadlyne, ratunya. Sepeninggal Gita, Galen langsung
“Yang Mulia harus segera kembali,” ucap Gita.Aneska yang saat itu mengamati bunga bermekaran, langsung menoleh. Ia mendapati Gita bersimpuh di hadapannya. Seperti biasa, kepala wanita itu tertunduk dalam. Kemudian Aneska mengedarkan pandangan ke sekitar pondok. Pendar jingga keorenan masih terlihat, artinya belum terlalu malam untuk kembali ke Istana.“Haruskah kita kembali sekarang?” tanya Aneska.Gita mengangguk. “Masih ada cukup waktu bagi Yang Mulia membersihkan diri dan bersolek, sebelum bertemu Baginda Raja saat makan malam.”“Aku? Bersolek? Untuk Galen?” Kemudian Aneska tertawa keras. Kedua bola matanya mengerling malas. Mungkin Nadlyne yang asli akan melakukannya, tetapi tidak untuk dirinya. Aneska tidak akan merepotkan diri untuk pria tidak tahu terima kasih seperti Galen.“Yang Mulia—” Gita kembali dibuat kaget dengan perubahan sikap sang Ratu.“Ah, maksudku, aku tidak perlu bersolek malam ini. Sampaikan saja kepada Baginda Raja kalau aku tidak bisa menemuinya nanti malam.”
Aldarian di masa depan merupakan kota metropolitan dengan segala hiruk – pikuk yang melelahkan. Gedung – gedung pencakar langit memadati setiap sudut. Kendaraan umum super canggih. Aldarian semakin maju, tapi juga melelahkan disaat bersamaan. Semua orang bekerja siang dan malam demi memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat setiap harinya. Namun, semua itu tidak Aneska lihat di Aldarian era 1899.Aldarian versi 1899 jauh lebih tenang. Lingkungan di sekitar masih sangat asri dan terawat. Pohon – pohon tinggi menjulang indah. Bunga – bunga cantik bermekaran sebagai penghias hamparan lahan hijau itu. Tidak banyak juga manusia berlalu lalang di sekitarnya, membuat jalanan sangat lenggang. Kalaupun tidak sengaja bertemu, mereka akan berhenti dan menunduk hormat sampai Aneska benar – benar melewatinya. Kesenjangan antara Ratu dan rakyat sangat terasa.“Mereka kenapa nunduk terus, sih, Git?” tanya Aneska.“Karena Yang Mulia lewat.” Gita menjawab.“Kok aku?” Aneska masih belum paham. Nam
“You gotta be kidding me?!” Aneska menjambak rambutnya, “Sumpah lawak banget. Gak cukup masuk ke badan orang lain, ternyata muka kita juga sama persis? Wah, gila!” Aneska tidak menyangka wajahnya sangat mirip dengan Ratu Nadlyne. Pasalnya di masa depan, memang tidak ada yang tahu bagaimana rupa asli Ratu Nadlyne. Lukisan yang beredar hanyalah tiruan, dibuat berdasarkan arahan salah seorang rakyat yang mengaku pernah melihat kecantikan sang Ratu. Dari masa ke masa, selalu ada pembaharuan lukisan yang dianggap sebagai Ratu Nadlyne. Sedang lukisan asli justru tidak pernah keluar dari Istana. Pihak Istana maupun pihak – pihak terkait juga tidak memberikan sanggahan tentang lukisan yang beredar. Hal itu membuat banyak orang mengira, bahwa gambaran Ratu Nadlyne kurang lebih sama seperti lukisan. Hanya saja tidak seratus persen mirip. “Gue bisa beneran gila kalo lama – lama di ruangan ini.” Aneska memutuskan keluar ruangan. Akan lebih baik ia berjalan – jalan di sekitar Istana sembari meng
“Maafkan saya, Yang Mulia. Saya tidak bisa memahami ucapan Yang Mulia barusan.”Aneska melihat wanita itu berkata dengan kepala tertunduk. Tanpa sadar dahi Aneska mengkerut tanda kebingungan. Ada banyak pertanyaan muncul di dalam kepalanya. Sebenarnya siapa orang - orang itu? Kenapa dirinya bisa ada di sini? batin Aneska “Sebelumnya saya mohon ijin bertanya, apakah ada keluhan yang saat ini dirasakan oleh Yang Mulia? Beberapa Dayang masih menyusul Tabib istana. Mereka akan tiba sesegera mungkin.” “Hah? Dayang? Tabib Istana? Maksudnya apa, sih? Ini gue dimana?” Aneska langsung bangkit dari posisi rebahannya dan turun dari ranjang. Ia berjongkok di depan wanita itu.“Yang Mulia jangan bersikap seperti ini. Mari, saya bantu kembali ke ranjang. Yang Mulia harus banyak beristirahat.” Wanita itu panik. Dia ingin memegang kedua sisi bahu Aneska tetapi urung, lantas yang bisa dia lakukan hanya terus memohon supaya Aneska bersedia kembali rebahan di ranjang.“Jelasin dulu, lo—maksud gue, kam
Aneska baru saja mengakhiri sesi mengajar taekwondo sekitar pukul sembilan malam. Ia berencana mampir ke apartemen Ildo sebelum pulang ke rumah. Kebetulan sekali apartemen tunangannya cukup dekat dengan Dojang tempat Aneska mengajar. Hanya berkisar dua menit berjalan kaki. Sekitar lima menit kemudian, Aneska tiba di depan unit Ildo. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu menghubungi nomor tunangannya. Meski tahu kode unit apartemen Ildo, Aneska tetap memperingati diri sendiri supaya tidak lancang masuk tanpa seizin pemiliknya. Bagaimanapun Aneska masih berstatus tunangan. Ia merasa tidak berhak masuk terlalu jauh pada wilayah privasi seseorang. Panggilan pertama tidak terjawab. Aneska mencoba menghubungi nomor Ildo lagi. Ia berpikir, mungkin Ildo sedang sibuk. Namun, sampai panggilan telepon ke lima, Ildo tak kunjung menjawab panggilannya. “Dia kemana?” Aneska bermonolog seorang diri. “Aku masuk aja, deh. Do, sorry aku masuk tanpa ijin kamu.” Aneska menekan kombinasi angka