Di tempat lain yang tak kalah luas dari ruangan Nadlyne, seorang pria muda nan tampan terlihat menikmati jamuan makan malam dalam diam. Seolah ketidak-hadiran istrinya bukan suatu hal penting untuk dia pikirkan. Ada atau tidaknya Nadlyne, tetap tidak merubah kenyataan bahwa wanita itu telah membunuh kekasihnya.
“Sebelumnya maafkan kelancangan saya, Baginda Raja. Tujuan saya kemari, lantaran ingin menyampaikan pesan Yang Mulia Ratu, bahwasannya malam ini Yang Mulia Ratu tidak bisa bergabung dalam jamuan makan malam.”Gerakan tangan Galen terhenti seiring dengan kunyahan di mulutnya. Kerutan tipis tercetak jelas di dahinya, namun tidak satu orang pun menyadari hal itu. Tidak biasanya wanita itu absen dari jamuan makan malam? batinnya sedikit penasaran. Meski begitu, Galen tetap memberi anggukan singkat pada Gita.“Terima kasih, Baginda Raja.” Gita mengangguk sopan, lalu perlahan mundur sebelum akhirnya berbalik arah. Kembali ke kamar Nadlyne, ratunya.Sepeninggal Gita, Galen langsung melanjutkan aktivitas makannya. Tidak ada waktu untuk memikirkan wanita itu. Lagipula, mereka sudah sepakat tidak mencampuri urusan satu sama lain. Jikalau Nadlyne tidak makan dan berakhir sakit, bukan tanggung jawab Galen untuk mengurusnya sampai sembuh.Tanpa Galen ketahui, beberapa dayang yang ada di sana membatin kasihan. Tepatnya, mengasihani kisah cinta sang ratu yang tidak pernah mendapat balasan dari sang raja meskipun sudah menginjak dua tahun usia pernikahan. Hubungan mereka terjalin atas dasar kepentingan politik. Dan semua penghuni istana tahu bahwa Galen tidak pernah menganggap Nadlyne sebagai istri.“Saya selesai.”Galen beranjak dari kursi, lalu meninggalkan ruang makan. Aura pria itu sangat menyeramkan; sorot matanya tajam, ekspresi wajahnya datar, juga kedua kakinya melangkah lebar dan cepat. Ada satu tempat yang harus dia datangi. Pun Emerald, pengawal pribadinya, yang setia mengikutinya dari belakang.Tujuan Galen adalah perpustakaan pribadinya—tepatnya ruang rahasia di bawah gedung itu. Ruang yang sengaja Galen buat demi penyelidikan kasus kematian Anastasya—mendiang kekasihnya.“Silahkan, Baginda Raja,” ucap Emerald, mempersilahkan Galen masuk melalui pintu rahasia di belakang rak buku. Seperti biasa, Emerald akan berjaga di luar perpustakaan sampai pertemuan rahasia itu selesai.Ketika Galen tiba di ruang rahasia, kedua sahabatnya sudah berada di sana. Shaga tiduran di kasur, sedang Skyler membaca buku di kursi kayu jati tua. Tanpa banyak basa – basi, Galen langsung duduk di sebelah Shaga. Satu telapak tangannya bertumpu pada lutut kiri.“Apakah pria itu sudah mau mengaku?” tanya Galen.Shaga menggeleng. “Dia bahkan menertawaiku. Katanya, dia rela mati daripada bersaksi di pengadilan.”“Sial!” umpat Galen. Kini, kedua telapak tangan Galen bertumpu pada lutut. Sorot matanya tajam menatap lurus ke arah tangga. Napasnya mulai memburu. Emosi mulai merasuki hati dan pikirannya.“Aku rasa, ada sesuatu yang menahannya.” Kali ini Skyler menyeletuk.Skyler menutup buku bacaan berwarna cokelat kekuningan, lalu diletakkan pada meja. Kedua telapak tangannya terlipat di depan dada. Sorot matanya menatap Galen dan Shaga bergantian.“Sesuatu?” Galen dan Shaga berkata, lengkap dengan kerutan di dahi masing - masing.Sky tersenyum tipis sembari mengangkat kedua bahunya. “Sebenarnya masih prasangka awal. Tapi aku yakin ada sesuatu yang membuat pria itu enggan membuka suara. Ancaman, misalnya?”“Ancaman?” Galen menatap Skyler, penasaran.Skyler mulai menceritakan hasil penemuannya. Ketika mampir di desa Altree—tempat pria itu berasal—Skyler menemukan sebuah fakta bahwa anak dan istri pelaku sudah menghilang sejak dua tahun terakhir. Waktunya bersamaan dengan kematian Anastasya, sahabat mereka yang juga kekasih Galen.“Jadi Nadlyne menggunakan keluarga pria itu sebagai jaminan?” tanya Galen menyimpulkan."Bisa jadi?" Skyler malah bertanya balik sembari mengendikkan bahu."Atau mereka sengaja meninggalkan desa setelah mengetahui perbuatan bejat pria itu? Dengan begitu mereka tidak perlu menanggung malu saat pria itu diadili oleh hukum kerajaan." Shaga ikut berkonspirasi.***Entah berapa lama waktu berlalu, selama itu pula aktivitas Aneska hanya berguling – guling di kasur. Dari terlentang, miring, sampai tengkurap sudah Aneska coba. Sayangnya, rasa kantuk tidak kunjung menghampirinya. Padahal dari segi kenyamanan, kamar Nadlyne jauh lebih nyaman dari kamarnya di masa depan. Hampir semua perabot dan pernak - perniknya menggunakan emas dan berlian asli, membuat kamar ini jauh terlihat lebih mewah. Tetapi, Aneska malah gelisah dan berakhir insomnia. Entah apa penyebabnya, Aneska juga tidak tahu.“Gue keluar aja, kali, ya? Jalan - jalan sebentar gitu?” monolog Aneska seorang diri.Biasanya, penyebab Aneska insomnia ada dua. Pertama, memikirkan nominal cicilan yang harus ia bayar bulan itu. Kedua, lapar. Sayangnya, di era ini, Aneska tidak perlu memikirkan dua hal itu. Si pemilik tubuh, Nadlyne bukan wanita yang suka membeli barang jalur nyicil sepertinya. Soal lapar, mana mungkin! beberapa jam lalu Aneksa baru saja makan aneka olahan daging sapi dan ayam—yang di masa depan tergolong makanan mahal."Iya, deh. Gue keluar aja. Daripada gue plonga - plongo di dalam kamar."Aneska beranjak dari ranjang, lalu memakai gaun luar saja. Sedangkan dua petticoat sengaja ditinggalkan. Aneska yakin semua orang di istana sudah tidur. Kecil kemungkinan ada orang melihat penampilannya malam ini.“Yang Mulia Ratu!”Aneska menoleh, kaget. Ia melihat Gita sedang berlarian ke arahnya sembari membetulkan sanggul di kepalanya yang sedikit berantakan. Aneska menebak, Gita sempat tertidur saat menjaga di luar ruangan tadi.“Git? Kenapa kamu masih ada di depan ruanganku?”Gita berhenti tepat di belakang Aneska, lalu menjawab sopan. “Sudah menjadi tugas saya, Yang Mulia.”“Ya ampun, beristirahatlah di ruanganmu, Git. Aku tidak perlu dijaga sampai seperti itu. Lagipula, sudah ada dua pengawal di depan ruanganku kan?”Keduanya beriringan tanpa arah. Aneska hanya asal berbelok tanpa tahu kemana tujuannya. Sedang Gita setia mengekor di belakang Aneska. Seperti biasanya.“Eh? Ini kita dimana, Git?” Aneska menoleh dan untuk pertama kalinya, seorang ratu nyasar di dalam istananya sendiri. Lucu bukan?Gita tidak langsung menjawab. Wanita itu menatap sang ratu dan pintu di ujung lorong secara bergantian. Sebelum kecelakaan itu terjadi, bisa dikatakan, Nadlyne salah satu wanita yang sering berkunjung di ruang itu.“Apakah Yang Mulia juga tidak mengingat ruangan itu?”“Memangnya itu ruangan apa?” tanya Aneska. Tetapi beberapa detik setelahnya, Aneska langsung putar arah. “Sudahlah, Git. Ayo kembali—”Baru saja Aneska dan Gita putar arah, Galen muncul dengan ekspresi datar andalannya. Pria itu menghampiri Aneksa dan Gita dengan santai.“Sedang apa kalian di depan ruangan saya?” Pandangan Galen tertuju pada Nadlyne, istrinya. Tajam dan menusuk.Aneska diam."Jawab!" seru Galen lagi, kali ini nada suaranya sedikit lebih tinggi."Biasa aja, kali. Gak usah ngegas. Apalagi sampai melotot - melotot gitu. Ntar copot terus gelinding di tanah, baru tau rasa," sarkas Aneska."Anda!" tegur Galen sembari mengacungkan tangan ke arah istrinya."Apa?! gak terima? sini maju!" tantang Aneska balik.Merasa tertantang, Galen melangkah cepat. Mengikis jarak diantara mereka berdua hingga menyisahkan jarak sekitar tiga puluh senti. Sorot mata Galen kian menajam ketika melihat senyum miring di wajah Nadlyne."Jadi ini wujud aslimu? Dasar wanita ular!"Aneska malah semakin maju. Kepalanya mendongak berani, juga jari telunjuknya menuding tepat di wajah Galen. "Perlu diketahui. Nadlyne Aurora yang lama sudah mati. Yang ada hanya aku. Nadlyne Aurora yang akan membalas semua perlakuanmu. So, go away dan jangan mencari masalah denganku!" imbuh Aneska"Yang Mulia Ratu, mohon jangan seperti ini. Ampuni Yang Mulia Ratu, Baginda Raja. Yang Mulia Ratu belum sepenuhnya pulih—“Gita menyentuh lengan Aneska. Berniat menarik mundur Nadlyne dari perang urat antara suami istri itu. Sayangnya, Aneska menoleh dan ikut memelototinya."Kita pergi sekarang!"Aneska melewati Galen begitu saja. Bahkan dengan sengaja ia menabrakkan sebagian bahunya pada lengan kekar Galen. Meski sakit, Aneska tetap berakting 'baik-baik saja'. Jangan sampai harga diri yang sudah ia bangun setinggi tembok Cina harus runtuh di depan Galen.Gak lucu dong, kalau gue yang nabrak. Gue juga yang kesakitan di depan dia, batin Aneska.Persetan jika setelah ini suaminya—ralat, suami Nadlyne—akan marah. Yang jelas, Aneska tidak akan diam saja jika ditindas. Apalagi oleh suaminya sendiri.Aneska akan hidup sebagai Nadlyne yang baru dan membalas dendam pada Galen Songong Edward.Tiga hari berlalu sejak pertama kali Aneska terbangun sebagai Nadlyne Aurora. Artinya, Aneska mau tidak mau harus kembali ke pemerintahan untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai Ratu Aldarian. Ya, Aneska sudah bertekad menjalani hidup sebagai Nadlyne sembari mencaritahu kebenaran dibalik tertukarnya jiwa mereka. Alasan lain, Aneska tidak terima Nadlyne disengsarakan oleh suami menyebalkan seperti Galen. “Jangan terlalu kencang, Git.” “Harus banget pakai korset? Sumpah, ini nyiksa banget.” “Petticoatnya pakai satu lapis aja, Git. Gerah.” Nadlyne terus mendumel sepanjang Gita membantunya berpakaian. Jangan ini, jangan itu. Tidak usah pakai ini, tidak usah pakai itu. Beruntung Gita tahan mendengarkan semua omelan Nadlyne. Sesi berpakaian selesai, Gita keluar ruangan untuk memanggil para dayang kecantikan. “Entah perasaan aku saja, atau memang riasan di wajahku terlalu tebal?” celetuk Nadlyne setelah sesi berhias selesai. “Ma – maafkan saya, Yang Mulia.” Nadlyne menghembuskan n
Tubuh Nadlyne yang berisi jiwa Aneska langsung menerobos masuk kamar Galen begitu kedua penjaga membukanya. Ia menjinjing gaun bawahnya supaya lebih lega dalam melangkah. Ekspresinya terlihat sangat kesal;tatapan matanya menajam, kedua alisnya menukik, dahinya mengkerut, juga rahang mengeras.Sepertinya Nadlyne bisa menebak tujuan Galen memanggilnya masih berkaitan dengan cerita Gita tadi."Kenapa?!" sembur Nadlyne begitu berdiri di depan suaminya. Galen yang saat itu berdiri membelakangi pintu seketika menoleh. Melihat Nadlyne berdiri sembari melipat kedua tangan di dada, juga dagu yang terangkat angkuh. "Tidakkah Anda lupa melakukan tugas, Yang Mulia Ratu?" Galen bertanya penuh nada sindiran."Maksudmu ... tugas dalam melayanimu setiap pagi?" Nadlyne tersenyum remeh, "Jika benar tugas itu yang kamu maksud, tidak. Mulai saat ini, detik ini, tugas itu bukan lagi tanggung jawabku."Nadlyne berdecih, "Cih, emang gue cewek apaan."Tanpa bisa Nadlyne prediksi, tiba - tiba saja Galen ber
Aneska baru saja mengakhiri sesi mengajar taekwondo sekitar pukul sembilan malam. Ia berencana mampir ke apartemen Ildo sebelum pulang ke rumah. Kebetulan sekali apartemen tunangannya cukup dekat dengan Dojang tempat Aneska mengajar. Hanya berkisar dua menit berjalan kaki. Sekitar lima menit kemudian, Aneska tiba di depan unit Ildo. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu menghubungi nomor tunangannya. Meski tahu kode unit apartemen Ildo, Aneska tetap memperingati diri sendiri supaya tidak lancang masuk tanpa seizin pemiliknya. Bagaimanapun Aneska masih berstatus tunangan. Ia merasa tidak berhak masuk terlalu jauh pada wilayah privasi seseorang. Panggilan pertama tidak terjawab. Aneska mencoba menghubungi nomor Ildo lagi. Ia berpikir, mungkin Ildo sedang sibuk. Namun, sampai panggilan telepon ke lima, Ildo tak kunjung menjawab panggilannya. “Dia kemana?” Aneska bermonolog seorang diri. “Aku masuk aja, deh. Do, sorry aku masuk tanpa ijin kamu.” Aneska menekan kombinasi angka
“Maafkan saya, Yang Mulia. Saya tidak bisa memahami ucapan Yang Mulia barusan.”Aneska melihat wanita itu berkata dengan kepala tertunduk. Tanpa sadar dahi Aneska mengkerut tanda kebingungan. Ada banyak pertanyaan muncul di dalam kepalanya. Sebenarnya siapa orang - orang itu? Kenapa dirinya bisa ada di sini? batin Aneska “Sebelumnya saya mohon ijin bertanya, apakah ada keluhan yang saat ini dirasakan oleh Yang Mulia? Beberapa Dayang masih menyusul Tabib istana. Mereka akan tiba sesegera mungkin.” “Hah? Dayang? Tabib Istana? Maksudnya apa, sih? Ini gue dimana?” Aneska langsung bangkit dari posisi rebahannya dan turun dari ranjang. Ia berjongkok di depan wanita itu.“Yang Mulia jangan bersikap seperti ini. Mari, saya bantu kembali ke ranjang. Yang Mulia harus banyak beristirahat.” Wanita itu panik. Dia ingin memegang kedua sisi bahu Aneska tetapi urung, lantas yang bisa dia lakukan hanya terus memohon supaya Aneska bersedia kembali rebahan di ranjang.“Jelasin dulu, lo—maksud gue, kam
“You gotta be kidding me?!” Aneska menjambak rambutnya, “Sumpah lawak banget. Gak cukup masuk ke badan orang lain, ternyata muka kita juga sama persis? Wah, gila!” Aneska tidak menyangka wajahnya sangat mirip dengan Ratu Nadlyne. Pasalnya di masa depan, memang tidak ada yang tahu bagaimana rupa asli Ratu Nadlyne. Lukisan yang beredar hanyalah tiruan, dibuat berdasarkan arahan salah seorang rakyat yang mengaku pernah melihat kecantikan sang Ratu. Dari masa ke masa, selalu ada pembaharuan lukisan yang dianggap sebagai Ratu Nadlyne. Sedang lukisan asli justru tidak pernah keluar dari Istana. Pihak Istana maupun pihak – pihak terkait juga tidak memberikan sanggahan tentang lukisan yang beredar. Hal itu membuat banyak orang mengira, bahwa gambaran Ratu Nadlyne kurang lebih sama seperti lukisan. Hanya saja tidak seratus persen mirip. “Gue bisa beneran gila kalo lama – lama di ruangan ini.” Aneska memutuskan keluar ruangan. Akan lebih baik ia berjalan – jalan di sekitar Istana sembari meng
Aldarian di masa depan merupakan kota metropolitan dengan segala hiruk – pikuk yang melelahkan. Gedung – gedung pencakar langit memadati setiap sudut. Kendaraan umum super canggih. Aldarian semakin maju, tapi juga melelahkan disaat bersamaan. Semua orang bekerja siang dan malam demi memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat setiap harinya. Namun, semua itu tidak Aneska lihat di Aldarian era 1899.Aldarian versi 1899 jauh lebih tenang. Lingkungan di sekitar masih sangat asri dan terawat. Pohon – pohon tinggi menjulang indah. Bunga – bunga cantik bermekaran sebagai penghias hamparan lahan hijau itu. Tidak banyak juga manusia berlalu lalang di sekitarnya, membuat jalanan sangat lenggang. Kalaupun tidak sengaja bertemu, mereka akan berhenti dan menunduk hormat sampai Aneska benar – benar melewatinya. Kesenjangan antara Ratu dan rakyat sangat terasa.“Mereka kenapa nunduk terus, sih, Git?” tanya Aneska.“Karena Yang Mulia lewat.” Gita menjawab.“Kok aku?” Aneska masih belum paham. Nam
“Yang Mulia harus segera kembali,” ucap Gita.Aneska yang saat itu mengamati bunga bermekaran, langsung menoleh. Ia mendapati Gita bersimpuh di hadapannya. Seperti biasa, kepala wanita itu tertunduk dalam. Kemudian Aneska mengedarkan pandangan ke sekitar pondok. Pendar jingga keorenan masih terlihat, artinya belum terlalu malam untuk kembali ke Istana.“Haruskah kita kembali sekarang?” tanya Aneska.Gita mengangguk. “Masih ada cukup waktu bagi Yang Mulia membersihkan diri dan bersolek, sebelum bertemu Baginda Raja saat makan malam.”“Aku? Bersolek? Untuk Galen?” Kemudian Aneska tertawa keras. Kedua bola matanya mengerling malas. Mungkin Nadlyne yang asli akan melakukannya, tetapi tidak untuk dirinya. Aneska tidak akan merepotkan diri untuk pria tidak tahu terima kasih seperti Galen.“Yang Mulia—” Gita kembali dibuat kaget dengan perubahan sikap sang Ratu.“Ah, maksudku, aku tidak perlu bersolek malam ini. Sampaikan saja kepada Baginda Raja kalau aku tidak bisa menemuinya nanti malam.”
Tubuh Nadlyne yang berisi jiwa Aneska langsung menerobos masuk kamar Galen begitu kedua penjaga membukanya. Ia menjinjing gaun bawahnya supaya lebih lega dalam melangkah. Ekspresinya terlihat sangat kesal;tatapan matanya menajam, kedua alisnya menukik, dahinya mengkerut, juga rahang mengeras.Sepertinya Nadlyne bisa menebak tujuan Galen memanggilnya masih berkaitan dengan cerita Gita tadi."Kenapa?!" sembur Nadlyne begitu berdiri di depan suaminya. Galen yang saat itu berdiri membelakangi pintu seketika menoleh. Melihat Nadlyne berdiri sembari melipat kedua tangan di dada, juga dagu yang terangkat angkuh. "Tidakkah Anda lupa melakukan tugas, Yang Mulia Ratu?" Galen bertanya penuh nada sindiran."Maksudmu ... tugas dalam melayanimu setiap pagi?" Nadlyne tersenyum remeh, "Jika benar tugas itu yang kamu maksud, tidak. Mulai saat ini, detik ini, tugas itu bukan lagi tanggung jawabku."Nadlyne berdecih, "Cih, emang gue cewek apaan."Tanpa bisa Nadlyne prediksi, tiba - tiba saja Galen ber
Tiga hari berlalu sejak pertama kali Aneska terbangun sebagai Nadlyne Aurora. Artinya, Aneska mau tidak mau harus kembali ke pemerintahan untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai Ratu Aldarian. Ya, Aneska sudah bertekad menjalani hidup sebagai Nadlyne sembari mencaritahu kebenaran dibalik tertukarnya jiwa mereka. Alasan lain, Aneska tidak terima Nadlyne disengsarakan oleh suami menyebalkan seperti Galen. “Jangan terlalu kencang, Git.” “Harus banget pakai korset? Sumpah, ini nyiksa banget.” “Petticoatnya pakai satu lapis aja, Git. Gerah.” Nadlyne terus mendumel sepanjang Gita membantunya berpakaian. Jangan ini, jangan itu. Tidak usah pakai ini, tidak usah pakai itu. Beruntung Gita tahan mendengarkan semua omelan Nadlyne. Sesi berpakaian selesai, Gita keluar ruangan untuk memanggil para dayang kecantikan. “Entah perasaan aku saja, atau memang riasan di wajahku terlalu tebal?” celetuk Nadlyne setelah sesi berhias selesai. “Ma – maafkan saya, Yang Mulia.” Nadlyne menghembuskan n
Di tempat lain yang tak kalah luas dari ruangan Nadlyne, seorang pria muda nan tampan terlihat menikmati jamuan makan malam dalam diam. Seolah ketidak-hadiran istrinya bukan suatu hal penting untuk dia pikirkan. Ada atau tidaknya Nadlyne, tetap tidak merubah kenyataan bahwa wanita itu telah membunuh kekasihnya. “Sebelumnya maafkan kelancangan saya, Baginda Raja. Tujuan saya kemari, lantaran ingin menyampaikan pesan Yang Mulia Ratu, bahwasannya malam ini Yang Mulia Ratu tidak bisa bergabung dalam jamuan makan malam.” Gerakan tangan Galen terhenti seiring dengan kunyahan di mulutnya. Kerutan tipis tercetak jelas di dahinya, namun tidak satu orang pun menyadari hal itu. Tidak biasanya wanita itu absen dari jamuan makan malam? batinnya sedikit penasaran. Meski begitu, Galen tetap memberi anggukan singkat pada Gita. “Terima kasih, Baginda Raja.” Gita mengangguk sopan, lalu perlahan mundur sebelum akhirnya berbalik arah. Kembali ke kamar Nadlyne, ratunya. Sepeninggal Gita, Galen langsung
“Yang Mulia harus segera kembali,” ucap Gita.Aneska yang saat itu mengamati bunga bermekaran, langsung menoleh. Ia mendapati Gita bersimpuh di hadapannya. Seperti biasa, kepala wanita itu tertunduk dalam. Kemudian Aneska mengedarkan pandangan ke sekitar pondok. Pendar jingga keorenan masih terlihat, artinya belum terlalu malam untuk kembali ke Istana.“Haruskah kita kembali sekarang?” tanya Aneska.Gita mengangguk. “Masih ada cukup waktu bagi Yang Mulia membersihkan diri dan bersolek, sebelum bertemu Baginda Raja saat makan malam.”“Aku? Bersolek? Untuk Galen?” Kemudian Aneska tertawa keras. Kedua bola matanya mengerling malas. Mungkin Nadlyne yang asli akan melakukannya, tetapi tidak untuk dirinya. Aneska tidak akan merepotkan diri untuk pria tidak tahu terima kasih seperti Galen.“Yang Mulia—” Gita kembali dibuat kaget dengan perubahan sikap sang Ratu.“Ah, maksudku, aku tidak perlu bersolek malam ini. Sampaikan saja kepada Baginda Raja kalau aku tidak bisa menemuinya nanti malam.”
Aldarian di masa depan merupakan kota metropolitan dengan segala hiruk – pikuk yang melelahkan. Gedung – gedung pencakar langit memadati setiap sudut. Kendaraan umum super canggih. Aldarian semakin maju, tapi juga melelahkan disaat bersamaan. Semua orang bekerja siang dan malam demi memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat setiap harinya. Namun, semua itu tidak Aneska lihat di Aldarian era 1899.Aldarian versi 1899 jauh lebih tenang. Lingkungan di sekitar masih sangat asri dan terawat. Pohon – pohon tinggi menjulang indah. Bunga – bunga cantik bermekaran sebagai penghias hamparan lahan hijau itu. Tidak banyak juga manusia berlalu lalang di sekitarnya, membuat jalanan sangat lenggang. Kalaupun tidak sengaja bertemu, mereka akan berhenti dan menunduk hormat sampai Aneska benar – benar melewatinya. Kesenjangan antara Ratu dan rakyat sangat terasa.“Mereka kenapa nunduk terus, sih, Git?” tanya Aneska.“Karena Yang Mulia lewat.” Gita menjawab.“Kok aku?” Aneska masih belum paham. Nam
“You gotta be kidding me?!” Aneska menjambak rambutnya, “Sumpah lawak banget. Gak cukup masuk ke badan orang lain, ternyata muka kita juga sama persis? Wah, gila!” Aneska tidak menyangka wajahnya sangat mirip dengan Ratu Nadlyne. Pasalnya di masa depan, memang tidak ada yang tahu bagaimana rupa asli Ratu Nadlyne. Lukisan yang beredar hanyalah tiruan, dibuat berdasarkan arahan salah seorang rakyat yang mengaku pernah melihat kecantikan sang Ratu. Dari masa ke masa, selalu ada pembaharuan lukisan yang dianggap sebagai Ratu Nadlyne. Sedang lukisan asli justru tidak pernah keluar dari Istana. Pihak Istana maupun pihak – pihak terkait juga tidak memberikan sanggahan tentang lukisan yang beredar. Hal itu membuat banyak orang mengira, bahwa gambaran Ratu Nadlyne kurang lebih sama seperti lukisan. Hanya saja tidak seratus persen mirip. “Gue bisa beneran gila kalo lama – lama di ruangan ini.” Aneska memutuskan keluar ruangan. Akan lebih baik ia berjalan – jalan di sekitar Istana sembari meng
“Maafkan saya, Yang Mulia. Saya tidak bisa memahami ucapan Yang Mulia barusan.”Aneska melihat wanita itu berkata dengan kepala tertunduk. Tanpa sadar dahi Aneska mengkerut tanda kebingungan. Ada banyak pertanyaan muncul di dalam kepalanya. Sebenarnya siapa orang - orang itu? Kenapa dirinya bisa ada di sini? batin Aneska “Sebelumnya saya mohon ijin bertanya, apakah ada keluhan yang saat ini dirasakan oleh Yang Mulia? Beberapa Dayang masih menyusul Tabib istana. Mereka akan tiba sesegera mungkin.” “Hah? Dayang? Tabib Istana? Maksudnya apa, sih? Ini gue dimana?” Aneska langsung bangkit dari posisi rebahannya dan turun dari ranjang. Ia berjongkok di depan wanita itu.“Yang Mulia jangan bersikap seperti ini. Mari, saya bantu kembali ke ranjang. Yang Mulia harus banyak beristirahat.” Wanita itu panik. Dia ingin memegang kedua sisi bahu Aneska tetapi urung, lantas yang bisa dia lakukan hanya terus memohon supaya Aneska bersedia kembali rebahan di ranjang.“Jelasin dulu, lo—maksud gue, kam
Aneska baru saja mengakhiri sesi mengajar taekwondo sekitar pukul sembilan malam. Ia berencana mampir ke apartemen Ildo sebelum pulang ke rumah. Kebetulan sekali apartemen tunangannya cukup dekat dengan Dojang tempat Aneska mengajar. Hanya berkisar dua menit berjalan kaki. Sekitar lima menit kemudian, Aneska tiba di depan unit Ildo. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu menghubungi nomor tunangannya. Meski tahu kode unit apartemen Ildo, Aneska tetap memperingati diri sendiri supaya tidak lancang masuk tanpa seizin pemiliknya. Bagaimanapun Aneska masih berstatus tunangan. Ia merasa tidak berhak masuk terlalu jauh pada wilayah privasi seseorang. Panggilan pertama tidak terjawab. Aneska mencoba menghubungi nomor Ildo lagi. Ia berpikir, mungkin Ildo sedang sibuk. Namun, sampai panggilan telepon ke lima, Ildo tak kunjung menjawab panggilannya. “Dia kemana?” Aneska bermonolog seorang diri. “Aku masuk aja, deh. Do, sorry aku masuk tanpa ijin kamu.” Aneska menekan kombinasi angka