Ketika Rasyid sedang di rundung kegundahan karena tak kunjung bisa menghubungi sang ibu, tiba-tiba bahunya disentuh oleh seseorang hingga membuat pria tersebut menoleh.
"Assalamualaikum Rasyid, bagaimana perjalanmu kemari?" tanya seorang pria paruh baya yang mengenakan jubah panjang dengan peci di kepalanya. Melihat kehadiran sang guru, membuat rasa gundah di hatinya sedikit berkurang. Dengan penuh hormat, pria itu mencium punggung tangan gurunya. "Waalaikumsalam Syekh, Alhamdulillah perjalanan Rasyid lancar," jawab Rasyid dengan senyum yang merekah. "Alhamdulillah... Aku ingin mengingatkanmu tentang jadwal pengajian yang telah disiapkan untuk malam ini. Sebagai seorang Kyai, kamu diharapkan datang tepat waktu," ucap syekh Abdurrahman. "Insyaallah, jika tidak ada halangan apapun Rasyid akan hadir tepat waktu," sahut Rasyid, tak lama sang guru berpamitan untuk menyambut kedatangan putrinya. Meskipun Rasyid merasa sedikit penasaran dengan anak perempuan sang guru. Namun, dia memutuskan untuk tidak ikut menyambut kedatangan putri syekh Abdurrahman karena jadwalnya yang padat. Di sisi lain jalan, terlihat Shanum berdiri dengan penuh keyakinan, mencari target yang sesuai. Senyumnya merekah begitu melihat sebuah mobil berhenti di tepi jalan, dan dia melihat sosok pemilik mobil yang sangat memesona. "Dia tampan sekali... Jadi penasaran sepanas apa permainanya," gumam Shanum. Wanita ini sudah membayangkan berbagai permainan panas bersama pria didalam mobil itu, hingga membuat rahimnya terasa hangat. Dengan langkah anggun, wanita itu mendekati Rasyid yang tengah sibuk dengan ponselnya. "Permisi, Tuan, bolehkah aku menumpang di mobilmu?" Ucap Shanum dengan suara lembut. "Maaf, Nona, kau mungkin harus mencari tumpangan lain," jawab Rasyid tanpa menatap ke arah Shanum. "Oh ayolah Tuan, aku sungguh membutuhkan tumpangan saat ini," pinta Shanum dengan ekspresi sedih. "Maaf, aku tidak dapat memberikan tumpangan, kau bisa mencari taksi di sekitar sini," kata Rasyid sambil menempelkan ponselnya di telinga, berharap panggilannya terhubung. Ketika Rasyid kembali mendengar panggilan operator telepon, pria itu menghela nafas panjang. "Ya Allah... Kenapa sulit sekali untuk menghubungi Ummi?" gumam Rasyid sambil berupaya kembali menghubungi Ibunya. "Tuan, aku mohon, izinkan aku untuk masuk. Aku merasa takut sendirian di tempat ini, terutama ini sudah malam." "Tolong kasihanilah aku, wanita yang lemah ini. Aku sangat memohon, Tuan," Shanum terus merayu sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada dengan mata yang berkaca-kaca. "Maaf, nona. Aku tidak dapat memberikan izin kepadamu untuk masuk ke dalam mobilku," tegas Rasyid sekali lagi. Saat ini, pria tersebut keluar dari kendaraannya dengan harapan menemukan sinyal yang optimal untuk menghubungi ibunya. Ketika Rasyid berupaya mencari sinyal untuk menghubungi ibunya, dia terus diganggu oleh Shanum yang tak henti-hentinya meminta izin untuk masuk. Meskipun demikian, pria tersebut berusaha untuk mengabaikan Shanum. Untuk saat ini, Rasyid hanya terfokus akan usahanya menghubungkan sang ibu. "Assalamualaikum, Ummi," ucap Rasyid pada sang ibu ketika koneksi telepon mereka berhasil terhubung. Namun, kecemasan kembali melanda dirinya ketika suara ibunya terdengar terputus-putus melalui telepon. Dengan sigap, Rasyid bergerak mencari sinyal agar panggilan teleponnya tidak terputus. "Hallo? Ummi? Apa Ummi mendengarku?" kata Rasyid sambil mencoba mendengarkan jawaban ibunya. Namun, Rasyid sedikit kesulitan mendengar jawaban ibunya karena Shanum terus berusaha meminta izin agar di perkenankan masuk, hingga suara wanita itu mengalahkan suara ibunya di telepon. "Tenanglah Nona," tegas Rasyid sambil menatap tajam ke arah Shanum. "Aku mohon tuan, izinkan Aku masuk," pinta Shanum lagi dengan air mata yang mengalir di pipinya. Saat hendak menjawab Shanum, tiba-tiba suara ibunya terdengar di telepon, membuat Rasyid kembali mendekatkan ponselnya ke telinga. "Ummi bilang apa barusan? Mohon maaf Ummi, suara Ummi terdengar tidak stabil," ucap Rasyid pada ibunya. "Aku mohon izinkan aku masuk, Tuan," sungguh, suara Shanum saat ini benar-benar mengganggu dirinya dan usahanya untuk menghubungi ibunya. Karena frustrasi, akhirnya Rasyid pun berkata, "Ya, silakan masuk!" Mendengar Rasyid memberi izin, dengan cepat Shanum menghapus air matanya dan tersenyum ceria sambil berjalan memasuki mobil. Di sisi Rasyid, pria itu mendesah penuh kekecewaan saat panggilan telepon kepada ibunya kembali terputus karena sinyal yang buruk. Di saat itu, Rasyid langsung teringat akan wanita yang sejak tadi memohon padanya. "Astaghfirullahalazim! Mengapa aku malah mengizinkan dia masuk?" gerutu Rasyid sambil berlari mendekati mobilnya. Pria tersebut segera melihat Shanum yang sudah duduk anggun di kursi penumpang depan sambil merapikan rambutnya. Melihat itu, seketika Rasyid memperlambat langkahnya dan mengusap wajahnya dengan kasar. "Astaghfirullah...". Dengan ekspresi wajah yang murung, Rasyid memasuki mobil. Melihat itu, Shanum dapat merasakan sebuah kesempatan untuk mendekat. "Hei Tuan, apa ada hal yang mengganggumu?" tanya Shanum sambil tersenyum manis pada Rasyid. Ketika Rasyid menoleh ke arah Shanum, dengan sengaja wanita itu menurunkan gaun tipisnya untuk menonjolkan belahan dadanya. Sontak saja Rasyid menutup matanya dan berbalik menghadap ke depan sambil terus memohon ampun kepada sang pencipta. "Astaghfirullah... Rasyid, mengapa kamu begitu ceroboh? Sekarang aku harus menjelaskan apa pada wanita ini?" "Bagaimana mungkin dia akan menerima niat baikku? Sedangkan kami tidak saling mengenal," gumam Rasyid dengan suara pelan sambil memijit pelipisnya. "Tuan, mengapa wajahmu terlihat sedih?" tanya Shanum lagi dengan penuh perhatian. "Tidak apa-apa, Nona," jawab Rasyid tanpa menatap ke arah Shanum. "Tuan, dari mana asalmu dan ke mana tujuanmu? Bolehkah aku ikut? Sebenarnya, aku sendiri tidak memiliki tujuan saat ini. Apakah Tuan merasa kesepian? Ingin ditemani? Aku bisa menemanimu hingga pagi jika kamu mau," ucap Shanum sambil tersenyum genit. Kilau mata Shanum langsung berbinar ketika Rasyid mendekatinya. Namun, pria itu malah memberikan isyarat dengan tangannya agar Shanum sedikit memundurkan tubuhnya. Meskipun merasa sedikit kesal, Shanum tetap menggeser tubuhnya untuk membuat jarak dengan Rasyid. Terlihat pria itu mengambil sebuah peci dan sorban dari kursi belakang. "Aku baru saja kembali dari Mesir dan sekarang berniat untuk menghadiri pengajian di Masjid Agung Demak," jawab Rasyid sambil mengenakan peci dan melepas jasnya, kemudian menggantungkan sorban itu di bahu sebelah kanan. Mendengar ucapan Rasyid, senyum genit yang sebelumnya terpampang di bibir Shanum tiba-tiba menghilang, digantikan oleh ekspresi tegang. "Apakah kau ini seorang Kyai?" tanya Shanum yang diangguki oleh Rasyid. "Astaga! Aku salah sasaran," gerutu Shanum dalam hati, dan kini keringat dingin mulai membasahi dahinya. "Maaf ya Kyai, sebelumnya aku tidak menyadari bahwa kau adalah seorang Kyai," ucap Shanum dengan penuh penyesalan. Sementara Rasyid hanya terkekeh geli ketika dia dipanggil kyai oleh wanita yang sejak tadi memanggilnya dengan panggilan Tuan. "Tidak masalah, Nona," sahut Rasyid santai. "Kalau begitu aku mau turun saja ya, Kyai," ucap Shanum sambil bersiap membuka pintu mobil. "Eh, tidak bisa. Kamu kan tadi bilang mau ikut dan temani aku, sudah sampai memohon-mohon segala." "Jadi sekarang kamu harus ikut temani aku ke pengajian. Ndak apa-apa, sekali-kali ikut pengajian, bagus juga untukmu," ucap Rasyid sambil mulai menjalankan mobilnya. "Tapi, Kyai, aku tidak mengenakan jilbab," sahut Shanum yang berharap bisa keluar dari mobil tersebut. "Nanti jilbabnya pinjam dari jama'ah perempuan saja, biar aku yang meminta jilbab untukmu," balas Rasyid yang hampir membuat Shanum putus asa. "Apakah aku bisa mengenakan jilbab dengan baju seperti ini?" pertanyaan Shanum membuat Rasyid refleks melirik ke arah gaun tipis tanpa lengan yang di kenakan wanita itu. "Ada blazer di bagasi mobilku, kau bisa meminjamnya," jawab Rasyid sambil bertekad kuat dalam hati untuk menjaga agar wanita di sebelahnya tetap berada di dekatnya. Selain ingin mengenal wanita tersebut lebih baik, Rasyid juga belum merasa cukup berani untuk menyatakan niat baiknya kepada wanita asing tersebut. "Tapi kyai, aku ini adalah seorang wanita pelacur," ujar Shanum. Mendengar perkataan wanita di sebelah membuat Rasyid seketika menghentikan mobilnya."Kau mengatakan apa, Nona?" tanya Rasyid dengan ekspresi cemas di wajahnya. "Aku adalah seorang pelacur, Kyai. Awalnya aku ingin menggoda kamu, tapi ternyata aku salah mengira. Maafkan aku," jawab Shanum sambil tertunduk malu.Rasyid sendiri saat ini sedang sibuk dalam pikirannya hingga menyebabkan dia tak mendengar perkataan Shanum barusan. "Bagaimana aku akan menjelaskan asal-usul wanita ini pada Ummi? Ya Allah... Aku harus melakukan apa sekarang? Aku terjebak dalam janji yang aku buat sendiri," ucap Rasyid dalam hati."Andai aku lebih teliti, tentu aku tidak akan terjebak dalam situasi seperti ini.”"Huh! Jika aku mengikuti pengajian, bagaimana caraku untuk mendapatkan banyak pelanggan seperti yang di inginkan Mamih?" gerutu Shanum dalam hati sambil terus memasang wajah cemberutnya.Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, kini mobil Rasyid berhenti di sebuah Masjid. Dimana Masjid tersebut sudah dipenuhi oleh ribuan orang, dan dapat dipastikan mereka sedang menunggu kedatanga
Kehadiran Shanum di rumah bordir dengan mengenakan hijab panjang dan blazer yang kebesaran membuat semua orang di sana terkesima, seakan tidak percaya bahwa wanita yang mereka lihat adalah Shanum."Sudah kubilang berulang kali, pakaian ini aku pakai atas permintaan pelanggan. Kenapa kalian tidak bisa percaya itu?" gerutu Shanum dengan nada kesal."Bagaimana kami bisa percaya? Kita ini kan menjual tubuh kita sebagai barang dagangan, kalau tertutup seperti itu bagaimana bisa dilihat?" ujar salah satu wanita pelacur bernama Clara."Sudah-sudah! Kembali ke tempat masing-masing!""Shanum harus di hias untuk tampil sebagai bintang di acara pelacuran malam ini," ucap Mamih Elish yang tiba-tiba muncul dan membubarkan para wanita jalang yang sedang berkumpul. "Acara pelacuran apa yang Mamih maksud?" Tanya Shanum. "Fotomu di media sosial banyak dilirik oleh para turis asing. Karena terlalu banyak pria yang memintamu malam ini, jadi Mamih putuskan untuk membuat sebuah acara pelacuran agar bis
"Kenapa kau marah begitu padaku? Bukankah seharusnya kau senang karena kau terjual dengan harga dua ratus ribu dollar?" Tanya Rasyid, entah apakah ia sedang mempertanyakan amarah Shanum atau mengejeknya."Aku tidak senang, Kyai! Sebenarnya, acara ini dibuat hanya untuk menyewaku!""Tapi, kau malah membeliku dan membuat aku terusir begitu saja dari rumah dan keluargaku!" sentak Shanum dengan mata yang sudah berkaca-kaca."Rumah dan keluarga? Kamu sebut semua ini sebagai rumah dan keluarga?" Tanya Rasyid sambil mengangkat alisnya. "Tentu saja! Mereka semua adalah keluargaku! Dan rumah bordir ini adalah tempat tinggalku!" ucap Shanum sambil terus menatap Rasyid dengan tajam. Wanita itu merasa semakin kesal saat Rasyid malah tertawa pelan. "Kenapa tertawa begitu?! Aku sedang tidak bercanda, Kyai!" Shanum menggebu-gebu, emosi dalam dirinya semakin meningkat karena ekspresi wajah Rasyid."Kau ini lucu sekali, Nona. Kau menyebut mereka semua sebagai keluargamu, tapi apakah mereka memperlak
Di sebuah ballroom hotel, terlihat berbagai dekorasi pernikahan yang sangat memukau telah dipasang di setiap sudutnya. Pelaminan dan kursi untuk para tamu telah dihiasi dengan sangat apik untuk acara yang akan diselenggarakan malam ini. Pernikahan yang sangat terhormat dengan pesta yang sangat mewah belum pernah terbayangkan oleh Shanum sebelumnya. Dia berpikir bahwa, kehidupannya akan terus berputar di sekitar rumah bordir tersebut, di mana berbagai pria akan datang dan pergi. Dia merasa bahwa takdirnya saat ini sedang berpihak padanya, hingga dia diberikan hadiah terbesar dalam hidupnya. Yaitu seorang suami yang sangat tampan, mapan, dan saleh. Wanita itu juga begitu merasa malu kepada sang kuasa. Dia yang pendosa saja masih di berikan seorang suami sebaik ini, apalagi kalau dia sungguh-sungguh bertaubat? Sungguh, Shanum saat ini benar-benar sudah tidak sabar untuk belajar ilmu agama bersama Rasyid. Di atas pelaminan itu, Shanum terus memandangi wajah Rasyid yang terli
Wanita berpakaian pengantin itu terus tergugu di sebuah kursi kayu yang terletak di tepi jalan. Terangnya lampu di padu dengan cahaya rembulan dan semilir angin malam yang menerpa lembut wajah Shanum membuat kesedihannya semakin terasa.Dia tahu saat ini dirinya sedang menjadi pusat perhatian orang yang berlalu lalang. Tapi kali ini dia tidak perduli. Rasa sakit di hatinya terlalu besar hingga menutupi rasa malunya. Tak dapat di elakkan, semua hinaan yang di berikan oleh Ummi Zulaikha begitu menyayat hatinya.Saat di hotel itu, Shanum merasa begitu sakit hati hingga membuat dia memutuskan untuk menyerah di hari pernikahannya.Tetapi sekarang, rasa sedih itu berubah menjadi sebuah penyesalan yang cukup dalam. Wanita ini menyesal karena cintanya begitu lemah, hingga baru di uji sedikit dia sudah langsung kalah.Di tengah kesedihannya, wanita itu sadar bahwa sekarang dia harus mencari jalan untuk menyambung hidup. “Persetan dengan hinaan itu! Sekarang yang harus aku pikirkan adalah ba
Di kediaman keluarga besar Al-Hafiz, terlihat Syekh Abdurrahman mendesah kecewa setelah mendengar penjelasan dari Ummi Zulaikha yang menurutnya, tindakan dia sudah benar. “Tindakanku sudah benar. Rasyid sangat tidak pantas jika harus bersanding dengan wanita hina seperti Shanum,”ucapnya dengan penuh keyakinan.“Tindakanmu ini salah, Zulaikha! Kau seharusnya tidak bertindak seperti ini pada menantumu, apalagi saat itu banyak orang luar yang menyaksikan.” Syekh Abdurrahman sangat tidak mengerti dengan cara berpikir wanita di hadapannya.“Dia bukan menantuku, Syekh!” sarkas Ummi Zulaikha. Dia menolak mentah-mentah jika ada seseorang yang mengatakan bahwa Shanum adalah menantunya. “Kenapa kau tidak ingin mengakui dia sebagai menantumu, huh? Karena dia seorang pelacur?” “Bukankah ini semua terjadi juga karena ulahmu yang terus mendesak Rasyid untuk menikah?”pertanyaan yang di lontarkan oleh Syekh Abdurrahman berhasil membuat Ummi Zulaikha mati kutu.“Aku akui, Shanum memang bukan wanita
Di kasur tanpa ranjang tersebut, Shanum terlihat masih asyik bermain di alam bawah sadarnya. Padahal, sinar sang surya telah menyapa hangat wajah wanita cantik itu melalui celah-celah jendela.Tidur lelapnya terusik ketika mendengar suara gaduh dari para penghuni kost lain yang sedang berebut kamar mandi. “Astaga!... Apa Clara dan Dian berebut seorang pria lagi?” racaunya sambil mengusap air liur yang mengalir di pipi sebelah kiri.Wanita itu duduk di atas kasur sambil mengucek matanya. Saat kesadarannya hampir terkumpul, sayup-sayup dia kembali mendengar suara dua orang wanita yang sedang berebut kamar mandi.Seketika matanya terbelalak. Dia melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. “Ya ampun! Aku kesiangan!”pekiknya sambil meloncat dari kasur dan gegas menyambar handuk lalu keluar dari kamar.Mood-nya di pagi hari semakin hancur saat melihat barisan antrian yang begitu panjang berasal dari dua bilik kama
Hari demi hari Shanum lalui. Tak terasa, sudah hampir dua pekan dia berada di sini. Dari pagi sampai sore dia habiskan untuk bekerja sebagai OG di salah satu pabrik yang ada di sana. Dan dari sore hingga malam dia habiskan untuk belajar mengaji juga beristirahat.Sekarang wanita itu paham arti dari sulitnya hidup. Seperti saat ini, awalnya dia begitu kesulitan, apalagi pekerjaan sebagai office girl tidaklah mudah bagi wanita manja sepertinya. Tetapi perlahan dia mulai terbiasa dengan semua itu.Mulai dari mengantri di kamar mandi, membersihkan terlebih dahulu wc yang kotor sebelum ia pakai, istiqomah memakai hijab, serta baju gamis panjang selepas Shanum bekerja.Memang, terkadang Shanum kerap kali mengeluh. Tapi tak apa, bukankah ini sebuah kemajuan besar untuk Shanum?Selepas membersihkan diri, Shanum merebahkan dirinya di kasur. Menatap langit-langit kamar lalu beralih menatap jam yang terus berdetak.Suara jam itu berhasil membawa Shanum ke alam lamunan yang membuat pikirannya
Sesuai apa yang di ucapkannya semalam, Rasyid sudah siap dengan mobilnya seusai sholat subuh. Sepertinya, dia masih sedikit marah padaku perihal ucapanku semalam. Memang, setelah sentakannya semalam, dia tidak mau mendengarkan perkataanku lagi dan meminta aku untuk segera tidur.“Berhati-hatilah di jalan, Rasyid,” ucap Tuan Abrahah sambil menepuk bahu suamiku. Sungguh sandiwara yang sempurna. Ingin sekali rasanya aku meneriaki semua niat busuknya di hadapan semua orang.Tapi, aku yakin tidak akan ada yang mempercayaiku. Yang ada aku hanya akan mendapatkan cibiran dari mertuaku dan amarah yang semakin besar dari suamiku. Setelah menutup bagasi mobilnya, Rasyid berjalan menghampiriku.Aku langsung mencium punggung tangannya saat dia menyodorkan tangannya padaku. Dia memelukku cukup lama, lalu berbisik, “Maafkan aku karena semalam telah membentakmu.”Kami mengendurkan pelukan kami. Aku menatapnya lalu mengangguk pelan. Saat dia tersenyum tipis, aku pun ikut tersenyum. Rasa kesal ya
Hari-hari berlalu, sangat terasa bagiku setiap detiknya saat Tuan Abrahah tinggal di sini bersamaku. Dia gila! Tuan Abrahah sangat gila! Dia berkali-kali berusaha mencelakai aku dan kandunganku.Tuan Abrahah seringkali membasahi lantai yang akan aku pijak dengan menggunakan minyak agar aku terpeleset dan jatuh, atau, sengaja mencampurkan bahan-bahan makanan yang dapat menggugurkan kandunganku.Untunglah aku memiliki suami yang sangat perhatian padaku. Semua siasat busuk Tuan Abrahah selalu di gagalkan oleh Rasyid. Saat aku hendak terjatuh karena memijak lantai yang licin, Rasyid dengan sigap menangkapku dan memarahi para asisten rumah tangga yang dia anggap kurang teliti dalam mengeringkan lantai.Begitupun saat Rasyid mengetahui jika ada bahan makanan yang membahayakan ibu hamil di makananku. Seluruh koki yang baru di sewa oleh Rasyid setelah mengetahui kehamilanku langsung di marahi habis-habisan bahkan di pecat. Padahal, ini bukan kesalahan mereka, tapi kesalahan dari kakaknya.
“Tidak! Rasyid!” aku berteriak. Ini memang sangat nekat. Tapi, lebih baik aku di marahi Rasyid dan menjadi bulan-bulanannya Ummi Zulaikha daripada harus melayani Tuan Abrahah. Tuan Abrahah panik seketika. Ia langsung membekap mulutku saat Rasyid mulai menggedor-gedor pintu. “Shanum? Kau kah itu yang berteriak? Tolong buka pintunya, Sayang.” kata Rasyid sambil terus menggedor pintu.Aku berusaha memberontak, tapi, tenaganya sangat kuat. “Dasar pelacur gila!” umpatnya padaku dengan suara berbisik sambil menyeret diriku bersembunyi di balik bak. Kamar mandi ini memang di sediakan untuk art di rumah ini. Itulah sebabnya tidak ada bathub di sini, melainkan sebuah bak yang terbuat dari semen dan di lapisi dengan keramik.Ukuran bak ini cukup untuk menyembunyikan aku dan Tuan Abrahah. Gedoran pintu terdengar semakin keras. “Shanum, jangan membuat aku cemas, cepat buka pintunya!” teriak Rasyid dari arah luar.Tuan Abrahah sedikit mengintip sambil terus memegangiku. Dari suara yang aku de
“Apa maksudmu, Bang?” tanya Rasyid pada Tuan Abrahah. Lelaki itu mengalir pandangannya dariku. Dia tersenyum pada Rasyid. “Ah, bukan apa-apa. Aku hanya bergurau,” jawabnya. Dia memang sedang berbicara dengan Rasyid, tapi, matanya selalu mengarah kepadaku.Di ruang tamu ini, ada beberapa orang yang wajahnya sangat asing bagiku, tapi, jika di perhatikan, Tuan Abrahah terlihat mirip dengan Rasyid. Ada dua orang perempuan seusiaku dan tiga orang perempuan seusia Ummi Zulaikha, juga ada tiga orang pria di sini, tiga pria itu terlihat sudah cukup berumur.Kami pun duduk di sofa yang sudah tersedia. Aku cukup terkejut saat melihat dua perempuan seusiaku itu duduk mengapit Tuan Abrahah, lalu, melingkarkan tangan mereka di kedua lengan lelaki itu.“Shanum, perkenalkan, mereka adalah kerabat almarhum Abi mertuamu yang baru sah warga negara Indonesia satu pekan yang lalu,” ucap Ummi Zulaikha padaku. Oh, shit! Jadi, Tuan Abrahah sudah menetap selama satu pekan di sini?Aku tersenyum singkat p
Kenapa orang itu bisa menghubungi Rasyid? Siapa dia? Apa hubungannya dengan Rasyid? Jika orang itu melihatku, itu bisa gawat! Pundakku tiba-tiba di tepuk. Aku yang masih ketakutan pun refleks berteriak keras. “Aaaa! To-tolong menjauh dariku!” teriakku yang refleks berjongkok memeluk lututku.“Hei, Shanum, ada apa? Ini aku,” suara Rasyid terdengar. Aku langsung mendongakkan kepalaku. Aku langsung bangkit dari dudukku sambil meraba tubuh Rasyid. Benar. Ini Rasyid. Tidak ada orang menakutkan itu di sini.“Ada apa?” tanya Rasyid lagi. Apakah aku harus memberitahunya? Tapi, bagaimana jika aku salah dengar? Tidak-tidak. Aku tidak salah dengar. Aku hapal betul bagaimana suaranya.“Shanum?” Rasyid memanggilku sambil mengusap pipiku. Aku yang semula memandang kosong kini beralih menatap manik birunya. Tatapannya yang teduh membuat hatiku sedikit tenang. “Ada apa, Sayang?”tanya Rasyid sekali lagi. “Ta-tadi ada yang menelfon,” jawabku sedikit terbata.Ekspresi Rasyid langsung menunjukkan b
Satu pekan telah berlalu. Selama itu, aku sadar bahwa hamil itu tidak enak. Setiap hari aku harus mengalami morning sicknees yang sangat menyiksa. Selama satu pekan itu, Rasyid pun menjadi tempat aku meluapkan emosiku. Aku sering memarahinya tanpa alasan, sering tiba-tiba merajuk. Dan Rasyid sendiri, dia selalu meladeni semua tingkahku dengan penuh kelembutan.Seperti sekarang ini, aku sedang marah pada Rasyid karena gagal membawakan aku bubur ayam langganan kami. Saat Rasyid kembali dengan tangan kosong, aku langsung menangis. Ya, aku akui semenjak hamil aku menjadi cengeng. Tangisanku bahkan belum berhenti sampai sekarang. “Berhenti menangis, Sayang. Aku bisa belikan di tempat lain, mau?” tawarnya. Aku menggeleng cepat. “Cuma mau yang di depan gang itu!” kesalku. “Di sana kan tutup, Sayang. Di tempat lain aja ya?” bujuknya lagi. “No! No! No!” ucapku sambil menggelengkan kepala dan menggerakkan jari telunjuk ke kanan dan ke kiri.“Mau bubur aja ribet! Banyak banget dramanya, h
Aku sedang duduk di kursi taman belakang. Menghirup rakus udara yang ada di sana. Berusaha menetralkan hatiku yang tidak beraturan. Bulir-bulir air mataku terus menetes, mewakili berbagai kata yang tak sanggup terucap. Ucapan Rasyid sebelumnya bagai sebuah pisau yang menancap begitu dalam di hatiku. Cukup lama aku duduk di sini, dengan air mata yang terus mengalir. Mataku sudah terasa berat. Sepertinya, aku harus menghentikan tangisanku. Saat aku bangun dari dudukku, tiba-tiba saja kepalaku terasa berkunang. Semua pandangan menjadi kabur dan, perlahan, semuanya menjadi gelap bersamaan dengan jatuhnya keseimbangan kakiku. Samar-samar aku mendengar suara laki-laki yang memanggil namaku. Sepertinya itu Rasyid. Aku ingin membuka mataku, tapi, mataku ini terasa sangat berat. Entah sudah berapa lama mataku terpejam, tapi, saat aku membuka mata, aku sudah berada di kamar. Rasa pening kembali menyerang, namun, tidak senyeri sebelumnya. Pandanganku mengedar mengitari ruangan. Ada Rasyi
“Buby, apa itu benar?” tanyaku. Aku terus menatapnya, dengan maksud menuntut suamiku agar segera memberikan jawaban. Rasyid menatapku sejenak, lalu, membuang pandangannya sambil menghela nafas berat. “Sudahlah, hentikan pembahasan ini!” kata Rasyid. Nada bicaranya sedikit ketus. Dia langsung pergi dari kamar menyisakan perasaan yang berkecamuk dalam diriku. Tiba-tiba saja Zulfah berteriak, “Kenapa kau meminta Rasyid untuk menjadikan aku istri keduanya?! Aku tidak mau, Ummi!” Wow, cukup mengejutkan. Sebelumnya, Zulfah terlihat ketakutan setengah mati, dan sekarang, dia sudah berani memakai Ummi Zulaikha. Harus aku akui, gadis ini sudah tidak waras.“Cih! Kau tidak ingin menjadi yang kedua tapi menyukai pria beristri. Dasar gadis gila! Di mana otakmu itu?” sarkasku sambil menatap tajam ke arah Zulfah.Zulfah sudah terlihat marah. Ia siap melontarkan segala perkataan kasarnya. Namun, Ummi Zulaikha langsung memelototi Zulfah. Aku paham dengan isyarat mata mertuaku itu. Dia memberi
Mataku melebar sempurna mendengarnya tuduhannya. Ternyata, selain pengecut, Zulfah merupakan perempuan munafik. Suamiku bergerak cepat menggendong Ummi Zulaikha dan meletakkannya di atas ranjang. Lalu, dengan telaten suamiku melakukan pertolongan pertama pada dahi mertuaku.Sejauh ini, Rasyid belum bereaksi apapun terhadap tuduhan yang di lontarkan Zulfah. Manik birunya terlihat mengedar menatap kamar yang berantakan.Entah kenapa, aku pun hanya diam. Aku malah ikut mengedarkan pandanganku, padahal, seharusnya aku memberikan pembelaan diri karena sudah di tuduh oleh Zulfah. Tidak. Sebenarnya, aku ingin melihat bagaimana reaksi Rasyid. Pandangannya sempat menatap aku dan Zulfah secara bergantian. Setelahnya, dia kembali menunjukkan fokusnya pada Ummi Zulaikha. Namun,tatapan yang di berikannya tadi, seolah menyelidik aku dan Zulfah. Keheningan terjadi di antara kami bertiga.Zulfah masih setia berdiri di ambang pintu, dan aku pun sama. Aku masih duduk di tepi kasur sambil memandan