"Kau mengatakan apa, Nona?" tanya Rasyid dengan ekspresi cemas di wajahnya.
"Aku adalah seorang pelacur, Kyai. Awalnya aku ingin menggoda kamu, tapi ternyata aku salah mengira. Maafkan aku," jawab Shanum sambil tertunduk malu. Rasyid sendiri saat ini sedang sibuk dalam pikirannya hingga menyebabkan dia tak mendengar perkataan Shanum barusan. "Bagaimana aku akan menjelaskan asal-usul wanita ini pada Ummi? Ya Allah... Aku harus melakukan apa sekarang? Aku terjebak dalam janji yang aku buat sendiri," ucap Rasyid dalam hati. "Andai aku lebih teliti, tentu aku tidak akan terjebak dalam situasi seperti ini.” "Huh! Jika aku mengikuti pengajian, bagaimana caraku untuk mendapatkan banyak pelanggan seperti yang di inginkan Mamih?" gerutu Shanum dalam hati sambil terus memasang wajah cemberutnya. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, kini mobil Rasyid berhenti di sebuah Masjid. Dimana Masjid tersebut sudah dipenuhi oleh ribuan orang, dan dapat dipastikan mereka sedang menunggu kedatangan sang kyai tercinta. "Tunggu sebentar ya, Nona. Biar aku ambilkan blazerku agar kau dapat memakainya," ujar Rasyid sambil membuka pintu mobil, dan dengan cekatan pria itu bergerak menuju bagasi mobil lalu kembali dengan blazer yang sudah dipegangnya. "Mungkin ini sedikit besar, tapi ndak apa-apa, toh kamu akan menghadiri pengajian jadi bajunya harus longgar," kata Rasyid sambil menyodorkan blazer itu ke arah Shanum. Perempuan itu hanya mengangguk sebelum mengenakan blazer yang diberikan oleh sang Kyai tampan. Setelah memarkir mobilnya, Rasyid dan Shanum turun dari kendaraan dan segera disambut oleh para jama'ah. "Masya Allah... Dia sungguh cantik, siapa wanita itu?" ucap salah satu jamaah di sana. "Sepertinya dia ibu nyai kita. Subhanallah.. aku baru sadar ternyata kyai sudah menikah," sahut yang lain. "Tapi mengapa dia mengenakan syal sebagai hijab? Dan kenapa hijabnya terlihat asal?" ucap yang lain sambil terus memperhatikan Shanum dari atas hingga bawah. Mendengar itu, Rasyid gegas meminta kepada wanita sebelumnya untuk membawakan jilbab yang bisa dipakai oleh Shanum. "Bu, tolong pinjamkan dia jilbab ya. Dia tadi buru-buru pengen ikut saya sampai lupa pakai jilbab," ujar Rasyid dengan sopan. "Oh, siap kyai, saya ambilkan dulu di dalam," sahut wanita itu sambil berjalan menuju ke dalam masjid. Orang-orang yang mendengar perkataan Rasyid hanya bisa diam sambil keheranan, karena mereka berpikir, bagaimana bisa seorang Ibu Nyai bisa lupa memakai jilbab? Meskipun demikian, Shanum tetap diperlakukan dengan baik oleh para jama'ah wanita di sana. Di dalam Masjid, dengan hati-hati para jama'ah wanita itu memakaikan jilbab pada Shanum hingga menutupi seluruh rambut dan lehernya. "Masya Allah... Ibu nyai terlihat sangat cantik," ucap salah satu ibu-ibu jama'ah di sana dan tidak lama kemudian Shanum diantar keluar dari balik tirai untuk duduk berdekatan dengan Rasyid. "Ibu nyai, silakan duduk di sebelah Kyai," kata salah satu jama'ah wanita sambil tersenyum dengan penuh rasa hormat. Shanum rasa dia sangat tidak pantas jika harus duduk bersebelahan dengan Kyai, sehingga ia memilih untuk duduk di bawah bersama para jama'ah perempuan. "Saya ingin di sini saja bersama kalian," kata Shanum sambil tersenyum tipis. "Oh, kalau begitu, biar saya minta beberapa hidangan diatur di sini ya," ujar salah satu jama'ah wanita itu. Shanum merasa tidak pantas mendapatkan perlakuan istimewa seperti itu. Ia juga merasa bersalah pada para ibu-ibu pengajian yang terlihat sibuk menyajikan hidangan untuknya, hanya karena menganggap dirinya sebagai seorang ibu nyai atau istri dari sang Kyai tampan. Shanum yang baru pertama kali menghadiri pengajian, duduk dengan tenang sambil memperhatikan dengan seksama setiap kata yang diucapkan oleh kyai tersebut. Sesekali, ia tersenyum saat sang kyai menyelipkan lelucon di sela-sela ceramahnya. Namun, secara perlahan, perasaan malu mulai menyelinap ke dalam hatinya ketika ia mendengar tentang wanita yang sholehah dan mulia. Untuk pertama kalinya, Shanum merasa rendah diri. Padahal, biasanya Shanum selalu merasa menjadi wanita paling berharga karena jumlah bayaran untuk bisa bersama dengannya sangat mahal. Tapi ternyata, setelah Shanum duduk dan mendengarkan ceramah dari kyai tampan itu, dia merasa menjadi wanita yang paling hina dan paling kotor dimuka bumi ini. Selama ceramah itu berlangsung, Shanum terus menundukkan kepalanya menahan malu dan sesal yang menyeruak di hatinya. Bahkan wanita itu sampai menitikkan air mata di saat mendengarkan kisah wanita mulia bernama Sayidah Fatimah. "Ya Allah... Betapa hinanya diriku ini," lirih Shanum dalam batinnya yang setelah sekian lama tidak pernah menyebut nama Tuhan-Nya. Setelah beberapa saat, pengajian itu berakhir dan jam menunjukkan pukul satu malam. Dengan mata yang sudah bengkak akibat menangis, Shanum mendekati kyai Rasyid. "Kyai, aku ingin pulang..." bisik Shanum yang tidak berani mengangkat wajahnya. "Kenapa kau menangis, Nona? Apakah kau menyesali perbuatanmu itu?" tanya Rasyid ketika mendengar suara parau dari Shanum. Tidak ada jawaban dari Shanum, wanita itu hanya bisa menangis dan terus menangis menyesali segala dosa yang sudah dia lakukan. "Bertaubatlah, Nona. Tidak pernah ada kata terlambat sebelum roh meninggalkan tubuh." "Kamu sangat anggun dengan hijab panjang itu, jauh lebih menawan daripada sebelumnya, dan akan semakin cantik jika tidak pernah dilepas," ujar Rasyid sambil tersenyum manis ke arah Shanum. Mendapat pujian semacam itu membuat Shanum memunculkan rona merah di pipinya. Wanita itu sedikit melirik ke arah Rasyid sambil tersenyum tipis. "Berapa imbalan yang harus aku berikan karena telah membawamu selama tiga jam ini?" Tanya Rasyid yang membuat senyum di bibir Shanum memudar. "Tadi kau minta aku bertaubat, tapi sekarang kau tanya soal bayaran?" Tanya Shanum dengan ekspresi kesal. Rasyid hanya tersenyum tipis ketika melihat respon yang diberikan oleh Shanum. "Jadi, sudah mantap ingin bertaubat?" pertanyaan yang di lontarkan oleh Rasyid telah berhasil membuat Shanum kembali tertunduk malu. Melihat Shanum kembali tertunduk dengan wajah yang memerah, membuat Rasyid tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Mari, Nona. Aku antar kau pulang," ucap Rasyid sambil mempersilahkan Shanum untuk berjalan lebih dulu menuju mobilnya. Sesampainya di rumah bordir, Rasyid langsung melihat hal senonoh yang sedang di lakukan oleh seorang pria bersama tiga orang wanita. Karena tidak tahan berada di tempat itu, dengan segera Rasyid meminta Shanum untuk keluar dari mobilnya. "Ini uang untukmu, keluarlah dari mobilku. Aku benar-benar tidak tahan berada di sini," ucap Rasyid dengan ekspresi gelisah. Walaupun ragu, pada akhirnya Shanum mengambil uang itu dan keluar dari mobil Rasyid. Begitu Shanum keluar, Rasyid mengurungkan niat untuk pergi, dia tetap memperhatikan gadis itu seolah takdir sedang menuntunnya menjemput jodoh. Dia tetap memperhatikan Shanum, perlahan, sampai siluet gadis itu menghilang. Setelah memarkir mobilnya, dia menghampiri salah satu penjaga rumah bordir, lantas bertanya, “Apa aku tidak bisa membeli pelacur di sini?” Awalnya, penjaga itu tak acuh, tapi setelah Rasyid mengeluarkan kartu hitam dari kantongnya, dua penjaga itu seketika kikuk. “Bi-bisa. Datanglah ke sini tiga jam lagi, ada pelelangan besar terhadap pelacur unggulan kita.” “Termasuk yang baru saja masuk tadi?” “Ma-maksud Anda, Shanum?” Salah satu penjaga mengernyitkan dahi. “Sebaiknya Tuan berpikir dua kali. Dia adalah berlian rumah bordir kami. Aku tidak ingin merendahkan Anda, Tuan, tapi Tuan perlu ingat, harganya tiga sampai empat kali lipat lebih mahal dari pelacur lain. Tuan harus bersiap!” Belum sempat Rasyid berbalik, kedua penjaga itu seketika menahannya. “Lelang hanya bisa dilakukan oleh anggota resmi rumah bordir, Tuan.” “Sepuluh juta pertama untuk kalian! Akan aku jadikan dia milikku!” Rasyid menyerahkan amplop coklat berisi uang seratus ribuan. “Buatkan aku kartu anggota resmi rumah bordir, dua jam lagi, aku kembali dengan membayar lima belas juta sisanya! Apa dua puluh lima juta cukup untuk jasa pembuatan kartu anggota?” ****Kehadiran Shanum di rumah bordir dengan mengenakan hijab panjang dan blazer yang kebesaran membuat semua orang di sana terkesima, seakan tidak percaya bahwa wanita yang mereka lihat adalah Shanum."Sudah kubilang berulang kali, pakaian ini aku pakai atas permintaan pelanggan. Kenapa kalian tidak bisa percaya itu?" gerutu Shanum dengan nada kesal."Bagaimana kami bisa percaya? Kita ini kan menjual tubuh kita sebagai barang dagangan, kalau tertutup seperti itu bagaimana bisa dilihat?" ujar salah satu wanita pelacur bernama Clara."Sudah-sudah! Kembali ke tempat masing-masing!""Shanum harus di hias untuk tampil sebagai bintang di acara pelacuran malam ini," ucap Mamih Elish yang tiba-tiba muncul dan membubarkan para wanita jalang yang sedang berkumpul. "Acara pelacuran apa yang Mamih maksud?" Tanya Shanum. "Fotomu di media sosial banyak dilirik oleh para turis asing. Karena terlalu banyak pria yang memintamu malam ini, jadi Mamih putuskan untuk membuat sebuah acara pelacuran agar bis
"Kenapa kau marah begitu padaku? Bukankah seharusnya kau senang karena kau terjual dengan harga dua ratus ribu dollar?" Tanya Rasyid, entah apakah ia sedang mempertanyakan amarah Shanum atau mengejeknya."Aku tidak senang, Kyai! Sebenarnya, acara ini dibuat hanya untuk menyewaku!""Tapi, kau malah membeliku dan membuat aku terusir begitu saja dari rumah dan keluargaku!" sentak Shanum dengan mata yang sudah berkaca-kaca."Rumah dan keluarga? Kamu sebut semua ini sebagai rumah dan keluarga?" Tanya Rasyid sambil mengangkat alisnya. "Tentu saja! Mereka semua adalah keluargaku! Dan rumah bordir ini adalah tempat tinggalku!" ucap Shanum sambil terus menatap Rasyid dengan tajam. Wanita itu merasa semakin kesal saat Rasyid malah tertawa pelan. "Kenapa tertawa begitu?! Aku sedang tidak bercanda, Kyai!" Shanum menggebu-gebu, emosi dalam dirinya semakin meningkat karena ekspresi wajah Rasyid."Kau ini lucu sekali, Nona. Kau menyebut mereka semua sebagai keluargamu, tapi apakah mereka memperlak
Di sebuah ballroom hotel, terlihat berbagai dekorasi pernikahan yang sangat memukau telah dipasang di setiap sudutnya. Pelaminan dan kursi untuk para tamu telah dihiasi dengan sangat apik untuk acara yang akan diselenggarakan malam ini. Pernikahan yang sangat terhormat dengan pesta yang sangat mewah belum pernah terbayangkan oleh Shanum sebelumnya. Dia berpikir bahwa, kehidupannya akan terus berputar di sekitar rumah bordir tersebut, di mana berbagai pria akan datang dan pergi. Dia merasa bahwa takdirnya saat ini sedang berpihak padanya, hingga dia diberikan hadiah terbesar dalam hidupnya. Yaitu seorang suami yang sangat tampan, mapan, dan saleh. Wanita itu juga begitu merasa malu kepada sang kuasa. Dia yang pendosa saja masih di berikan seorang suami sebaik ini, apalagi kalau dia sungguh-sungguh bertaubat? Sungguh, Shanum saat ini benar-benar sudah tidak sabar untuk belajar ilmu agama bersama Rasyid. Di atas pelaminan itu, Shanum terus memandangi wajah Rasyid yang terli
Wanita berpakaian pengantin itu terus tergugu di sebuah kursi kayu yang terletak di tepi jalan. Terangnya lampu di padu dengan cahaya rembulan dan semilir angin malam yang menerpa lembut wajah Shanum membuat kesedihannya semakin terasa.Dia tahu saat ini dirinya sedang menjadi pusat perhatian orang yang berlalu lalang. Tapi kali ini dia tidak perduli. Rasa sakit di hatinya terlalu besar hingga menutupi rasa malunya. Tak dapat di elakkan, semua hinaan yang di berikan oleh Ummi Zulaikha begitu menyayat hatinya.Saat di hotel itu, Shanum merasa begitu sakit hati hingga membuat dia memutuskan untuk menyerah di hari pernikahannya.Tetapi sekarang, rasa sedih itu berubah menjadi sebuah penyesalan yang cukup dalam. Wanita ini menyesal karena cintanya begitu lemah, hingga baru di uji sedikit dia sudah langsung kalah.Di tengah kesedihannya, wanita itu sadar bahwa sekarang dia harus mencari jalan untuk menyambung hidup. “Persetan dengan hinaan itu! Sekarang yang harus aku pikirkan adalah ba
Di kediaman keluarga besar Al-Hafiz, terlihat Syekh Abdurrahman mendesah kecewa setelah mendengar penjelasan dari Ummi Zulaikha yang menurutnya, tindakan dia sudah benar. “Tindakanku sudah benar. Rasyid sangat tidak pantas jika harus bersanding dengan wanita hina seperti Shanum,”ucapnya dengan penuh keyakinan.“Tindakanmu ini salah, Zulaikha! Kau seharusnya tidak bertindak seperti ini pada menantumu, apalagi saat itu banyak orang luar yang menyaksikan.” Syekh Abdurrahman sangat tidak mengerti dengan cara berpikir wanita di hadapannya.“Dia bukan menantuku, Syekh!” sarkas Ummi Zulaikha. Dia menolak mentah-mentah jika ada seseorang yang mengatakan bahwa Shanum adalah menantunya. “Kenapa kau tidak ingin mengakui dia sebagai menantumu, huh? Karena dia seorang pelacur?” “Bukankah ini semua terjadi juga karena ulahmu yang terus mendesak Rasyid untuk menikah?”pertanyaan yang di lontarkan oleh Syekh Abdurrahman berhasil membuat Ummi Zulaikha mati kutu.“Aku akui, Shanum memang bukan wanita
Di kasur tanpa ranjang tersebut, Shanum terlihat masih asyik bermain di alam bawah sadarnya. Padahal, sinar sang surya telah menyapa hangat wajah wanita cantik itu melalui celah-celah jendela.Tidur lelapnya terusik ketika mendengar suara gaduh dari para penghuni kost lain yang sedang berebut kamar mandi. “Astaga!... Apa Clara dan Dian berebut seorang pria lagi?” racaunya sambil mengusap air liur yang mengalir di pipi sebelah kiri.Wanita itu duduk di atas kasur sambil mengucek matanya. Saat kesadarannya hampir terkumpul, sayup-sayup dia kembali mendengar suara dua orang wanita yang sedang berebut kamar mandi.Seketika matanya terbelalak. Dia melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. “Ya ampun! Aku kesiangan!”pekiknya sambil meloncat dari kasur dan gegas menyambar handuk lalu keluar dari kamar.Mood-nya di pagi hari semakin hancur saat melihat barisan antrian yang begitu panjang berasal dari dua bilik kama
Hari demi hari Shanum lalui. Tak terasa, sudah hampir dua pekan dia berada di sini. Dari pagi sampai sore dia habiskan untuk bekerja sebagai OG di salah satu pabrik yang ada di sana. Dan dari sore hingga malam dia habiskan untuk belajar mengaji juga beristirahat.Sekarang wanita itu paham arti dari sulitnya hidup. Seperti saat ini, awalnya dia begitu kesulitan, apalagi pekerjaan sebagai office girl tidaklah mudah bagi wanita manja sepertinya. Tetapi perlahan dia mulai terbiasa dengan semua itu.Mulai dari mengantri di kamar mandi, membersihkan terlebih dahulu wc yang kotor sebelum ia pakai, istiqomah memakai hijab, serta baju gamis panjang selepas Shanum bekerja.Memang, terkadang Shanum kerap kali mengeluh. Tapi tak apa, bukankah ini sebuah kemajuan besar untuk Shanum?Selepas membersihkan diri, Shanum merebahkan dirinya di kasur. Menatap langit-langit kamar lalu beralih menatap jam yang terus berdetak.Suara jam itu berhasil membawa Shanum ke alam lamunan yang membuat pikirannya
“Tidak-tidak. Dia pasti hanya membual. Walaupun dia menyusulku, aku yakin dia tidak akan tahan dengan kost yang aku tempati,” Shanum membatin. Merasa ucapan Rasyid hanya sebuah bualan belaka, Shanum akhirnya hanya mengibas-ngibaskan tangannya lalu melenggang pergi menuju kerumunan para jama'ah.“Kau yang telah menantang aku, jadi bersiaplah, Shanum.” Rasyid tersenyum. Dia sangat bersyukur bisa kembali bertemu dengan istrinya. Doa dan ikhtiar nya selama ini akhirnya membuahkan hasil. Dengan kuasa-Nya, Allah kembali mempertemukan mereka sama seperti pada awal pertemuan keduanya. Dalam ketidak sengajaan dan acara pengajian.“Alhamdulillah,” pria itu mengusap wajahnya lalu kembali menyapa para jama'ah nya. Situasi memang menjadi sedikit canggung. Sebab, mereka semua bingung ketika sang Kyai tiba-tiba menarik seorang gadis menjauh dari kerumunan.Namun, mereka semua enggan untuk bertanya. Karena khawatir akan menyinggung hati Kyai terhormat itu. Setelah acara majelis ta'lim selesai, S
Sesuai apa yang di ucapkannya semalam, Rasyid sudah siap dengan mobilnya seusai sholat subuh. Sepertinya, dia masih sedikit marah padaku perihal ucapanku semalam. Memang, setelah sentakannya semalam, dia tidak mau mendengarkan perkataanku lagi dan meminta aku untuk segera tidur.“Berhati-hatilah di jalan, Rasyid,” ucap Tuan Abrahah sambil menepuk bahu suamiku. Sungguh sandiwara yang sempurna. Ingin sekali rasanya aku meneriaki semua niat busuknya di hadapan semua orang.Tapi, aku yakin tidak akan ada yang mempercayaiku. Yang ada aku hanya akan mendapatkan cibiran dari mertuaku dan amarah yang semakin besar dari suamiku. Setelah menutup bagasi mobilnya, Rasyid berjalan menghampiriku.Aku langsung mencium punggung tangannya saat dia menyodorkan tangannya padaku. Dia memelukku cukup lama, lalu berbisik, “Maafkan aku karena semalam telah membentakmu.”Kami mengendurkan pelukan kami. Aku menatapnya lalu mengangguk pelan. Saat dia tersenyum tipis, aku pun ikut tersenyum. Rasa kesal ya
Hari-hari berlalu, sangat terasa bagiku setiap detiknya saat Tuan Abrahah tinggal di sini bersamaku. Dia gila! Tuan Abrahah sangat gila! Dia berkali-kali berusaha mencelakai aku dan kandunganku.Tuan Abrahah seringkali membasahi lantai yang akan aku pijak dengan menggunakan minyak agar aku terpeleset dan jatuh, atau, sengaja mencampurkan bahan-bahan makanan yang dapat menggugurkan kandunganku.Untunglah aku memiliki suami yang sangat perhatian padaku. Semua siasat busuk Tuan Abrahah selalu di gagalkan oleh Rasyid. Saat aku hendak terjatuh karena memijak lantai yang licin, Rasyid dengan sigap menangkapku dan memarahi para asisten rumah tangga yang dia anggap kurang teliti dalam mengeringkan lantai.Begitupun saat Rasyid mengetahui jika ada bahan makanan yang membahayakan ibu hamil di makananku. Seluruh koki yang baru di sewa oleh Rasyid setelah mengetahui kehamilanku langsung di marahi habis-habisan bahkan di pecat. Padahal, ini bukan kesalahan mereka, tapi kesalahan dari kakaknya.
“Tidak! Rasyid!” aku berteriak. Ini memang sangat nekat. Tapi, lebih baik aku di marahi Rasyid dan menjadi bulan-bulanannya Ummi Zulaikha daripada harus melayani Tuan Abrahah. Tuan Abrahah panik seketika. Ia langsung membekap mulutku saat Rasyid mulai menggedor-gedor pintu. “Shanum? Kau kah itu yang berteriak? Tolong buka pintunya, Sayang.” kata Rasyid sambil terus menggedor pintu.Aku berusaha memberontak, tapi, tenaganya sangat kuat. “Dasar pelacur gila!” umpatnya padaku dengan suara berbisik sambil menyeret diriku bersembunyi di balik bak. Kamar mandi ini memang di sediakan untuk art di rumah ini. Itulah sebabnya tidak ada bathub di sini, melainkan sebuah bak yang terbuat dari semen dan di lapisi dengan keramik.Ukuran bak ini cukup untuk menyembunyikan aku dan Tuan Abrahah. Gedoran pintu terdengar semakin keras. “Shanum, jangan membuat aku cemas, cepat buka pintunya!” teriak Rasyid dari arah luar.Tuan Abrahah sedikit mengintip sambil terus memegangiku. Dari suara yang aku de
“Apa maksudmu, Bang?” tanya Rasyid pada Tuan Abrahah. Lelaki itu mengalir pandangannya dariku. Dia tersenyum pada Rasyid. “Ah, bukan apa-apa. Aku hanya bergurau,” jawabnya. Dia memang sedang berbicara dengan Rasyid, tapi, matanya selalu mengarah kepadaku.Di ruang tamu ini, ada beberapa orang yang wajahnya sangat asing bagiku, tapi, jika di perhatikan, Tuan Abrahah terlihat mirip dengan Rasyid. Ada dua orang perempuan seusiaku dan tiga orang perempuan seusia Ummi Zulaikha, juga ada tiga orang pria di sini, tiga pria itu terlihat sudah cukup berumur.Kami pun duduk di sofa yang sudah tersedia. Aku cukup terkejut saat melihat dua perempuan seusiaku itu duduk mengapit Tuan Abrahah, lalu, melingkarkan tangan mereka di kedua lengan lelaki itu.“Shanum, perkenalkan, mereka adalah kerabat almarhum Abi mertuamu yang baru sah warga negara Indonesia satu pekan yang lalu,” ucap Ummi Zulaikha padaku. Oh, shit! Jadi, Tuan Abrahah sudah menetap selama satu pekan di sini?Aku tersenyum singkat p
Kenapa orang itu bisa menghubungi Rasyid? Siapa dia? Apa hubungannya dengan Rasyid? Jika orang itu melihatku, itu bisa gawat! Pundakku tiba-tiba di tepuk. Aku yang masih ketakutan pun refleks berteriak keras. “Aaaa! To-tolong menjauh dariku!” teriakku yang refleks berjongkok memeluk lututku.“Hei, Shanum, ada apa? Ini aku,” suara Rasyid terdengar. Aku langsung mendongakkan kepalaku. Aku langsung bangkit dari dudukku sambil meraba tubuh Rasyid. Benar. Ini Rasyid. Tidak ada orang menakutkan itu di sini.“Ada apa?” tanya Rasyid lagi. Apakah aku harus memberitahunya? Tapi, bagaimana jika aku salah dengar? Tidak-tidak. Aku tidak salah dengar. Aku hapal betul bagaimana suaranya.“Shanum?” Rasyid memanggilku sambil mengusap pipiku. Aku yang semula memandang kosong kini beralih menatap manik birunya. Tatapannya yang teduh membuat hatiku sedikit tenang. “Ada apa, Sayang?”tanya Rasyid sekali lagi. “Ta-tadi ada yang menelfon,” jawabku sedikit terbata.Ekspresi Rasyid langsung menunjukkan b
Satu pekan telah berlalu. Selama itu, aku sadar bahwa hamil itu tidak enak. Setiap hari aku harus mengalami morning sicknees yang sangat menyiksa. Selama satu pekan itu, Rasyid pun menjadi tempat aku meluapkan emosiku. Aku sering memarahinya tanpa alasan, sering tiba-tiba merajuk. Dan Rasyid sendiri, dia selalu meladeni semua tingkahku dengan penuh kelembutan.Seperti sekarang ini, aku sedang marah pada Rasyid karena gagal membawakan aku bubur ayam langganan kami. Saat Rasyid kembali dengan tangan kosong, aku langsung menangis. Ya, aku akui semenjak hamil aku menjadi cengeng. Tangisanku bahkan belum berhenti sampai sekarang. “Berhenti menangis, Sayang. Aku bisa belikan di tempat lain, mau?” tawarnya. Aku menggeleng cepat. “Cuma mau yang di depan gang itu!” kesalku. “Di sana kan tutup, Sayang. Di tempat lain aja ya?” bujuknya lagi. “No! No! No!” ucapku sambil menggelengkan kepala dan menggerakkan jari telunjuk ke kanan dan ke kiri.“Mau bubur aja ribet! Banyak banget dramanya, h
Aku sedang duduk di kursi taman belakang. Menghirup rakus udara yang ada di sana. Berusaha menetralkan hatiku yang tidak beraturan. Bulir-bulir air mataku terus menetes, mewakili berbagai kata yang tak sanggup terucap. Ucapan Rasyid sebelumnya bagai sebuah pisau yang menancap begitu dalam di hatiku. Cukup lama aku duduk di sini, dengan air mata yang terus mengalir. Mataku sudah terasa berat. Sepertinya, aku harus menghentikan tangisanku. Saat aku bangun dari dudukku, tiba-tiba saja kepalaku terasa berkunang. Semua pandangan menjadi kabur dan, perlahan, semuanya menjadi gelap bersamaan dengan jatuhnya keseimbangan kakiku. Samar-samar aku mendengar suara laki-laki yang memanggil namaku. Sepertinya itu Rasyid. Aku ingin membuka mataku, tapi, mataku ini terasa sangat berat. Entah sudah berapa lama mataku terpejam, tapi, saat aku membuka mata, aku sudah berada di kamar. Rasa pening kembali menyerang, namun, tidak senyeri sebelumnya. Pandanganku mengedar mengitari ruangan. Ada Rasyi
“Buby, apa itu benar?” tanyaku. Aku terus menatapnya, dengan maksud menuntut suamiku agar segera memberikan jawaban. Rasyid menatapku sejenak, lalu, membuang pandangannya sambil menghela nafas berat. “Sudahlah, hentikan pembahasan ini!” kata Rasyid. Nada bicaranya sedikit ketus. Dia langsung pergi dari kamar menyisakan perasaan yang berkecamuk dalam diriku. Tiba-tiba saja Zulfah berteriak, “Kenapa kau meminta Rasyid untuk menjadikan aku istri keduanya?! Aku tidak mau, Ummi!” Wow, cukup mengejutkan. Sebelumnya, Zulfah terlihat ketakutan setengah mati, dan sekarang, dia sudah berani memakai Ummi Zulaikha. Harus aku akui, gadis ini sudah tidak waras.“Cih! Kau tidak ingin menjadi yang kedua tapi menyukai pria beristri. Dasar gadis gila! Di mana otakmu itu?” sarkasku sambil menatap tajam ke arah Zulfah.Zulfah sudah terlihat marah. Ia siap melontarkan segala perkataan kasarnya. Namun, Ummi Zulaikha langsung memelototi Zulfah. Aku paham dengan isyarat mata mertuaku itu. Dia memberi
Mataku melebar sempurna mendengarnya tuduhannya. Ternyata, selain pengecut, Zulfah merupakan perempuan munafik. Suamiku bergerak cepat menggendong Ummi Zulaikha dan meletakkannya di atas ranjang. Lalu, dengan telaten suamiku melakukan pertolongan pertama pada dahi mertuaku.Sejauh ini, Rasyid belum bereaksi apapun terhadap tuduhan yang di lontarkan Zulfah. Manik birunya terlihat mengedar menatap kamar yang berantakan.Entah kenapa, aku pun hanya diam. Aku malah ikut mengedarkan pandanganku, padahal, seharusnya aku memberikan pembelaan diri karena sudah di tuduh oleh Zulfah. Tidak. Sebenarnya, aku ingin melihat bagaimana reaksi Rasyid. Pandangannya sempat menatap aku dan Zulfah secara bergantian. Setelahnya, dia kembali menunjukkan fokusnya pada Ummi Zulaikha. Namun,tatapan yang di berikannya tadi, seolah menyelidik aku dan Zulfah. Keheningan terjadi di antara kami bertiga.Zulfah masih setia berdiri di ambang pintu, dan aku pun sama. Aku masih duduk di tepi kasur sambil memandan