Drake pulang tepat waktu hari ini. Ia bergegas ke lantai dua. Usai mengetuk – ketuk pintu kamar Elena dan tak ada respon sama sekali, ia turun lagi. Kali ini ia berjalan menuju dapur.“Apa Elena belum pulang?” tanya Drake pada salah seorang staf.“Nona bilang tidak akan pulang hari ini.”“Kenapa?”“Nona Elena ada perjalanan bisnis ke Newcastle, Tuan.”“Baiklah, terima kasih.” Melangkah lebar menuju ke ruang utama, Drake segera memanggil Will. Drake mengernyitkan keningnya sesaat.“Kau tahu jika Elena ke Newcastle?”“Maaf, tidak.” Drake meraih ponsel di sakunya. Ia segera memencet tombol panggil untuk nomor Elena. Tak ada jawaban. Drake menghubungi Carl. Panggilannya tersambung.“Apa kau dan Elena di Newcastle sekarang?”“Ya, Tuan.”“Kenapa kau tak mengatakannya padaku?”“Maaf, saya kira Nona Elena sudah memberitahu Anda.”“Apa yang ia lakukan di sana?”“Rapat dan mengawasi cabang di sini selama dua malam.”“Dua malam?”“Ya, itu yang Nona katakan padaku.”“S
“Pandai sekali kau berkata manis.” “Memang itu yang kurasakan.” “Berhenti bercanda dan segeralah tidur.” “Tunggh, Elena. Apa yang akan kau lakukan? Kau tak bisa tidur.” “Aku hanya ingin ketenangan.” “Aku bisa membantumu tidur.” “Bagaimana caranya?” “Kau suka musik klasik, kan? Kalau kau masih ingat piringan hitam milik ibuku, akan kumainkan untukmu.” “Kau masih memilikinya?” “Tentu saja, coba dengarkan.” Elena tak bisa mengakhiri panggilan, ia ingin mendengar lagi, piringan hitam yang diputar ibu Drake saat mereka masih kecil. Elena selalu menyukainya. Terdengar nada demi nada mulai mengalun, membuat wanita beriris cokelat itu tersenyum. “Kau suka?” “Kalau boleh, aku ingin mendengarnya sedikit lebih lama.” Drake diam, membiarkan Elena menikmati musik yang ia putar dari piringan hitam. Ada gunanya juga menyimpan benda lama kesayangan ibunya. Beberapa menit berlalu. “Elena, kau sedang apa?” “Tiduran saja.” Tak ada lagi suara lain, keduanya terdiam. Hening mendengarka
“Tidak, aku kembali besok.” “Situasinya tak aman, Elena.” “Ada agenda penting besok.” “Persetan dengan agenda, kau terancam, Elena.” Elena menatap tajam ke arah Drake. Kate minggir perlahan. Ia menutup mulut rapat – rapat. “Kate, kau keluar dulu.” “Baiklah.” Kate segera keluar dari kamarnya. Tensinya di dalam ruangan begitu tinggi. Ia menutup pintu setelah di luar seraya menghela napas. “Ada apa?” “Mereka bertengkar.” Carl mengangguk mengerti. Ia mengajak Kate istirahat di kamarnya. “Pintunya aku buka, aku akan berjaga di luar. Jangan sungkan.” “Terima kasih, Carl.” “Kau pasti terkejut.” “Tentu saja. Aku juga kasihan pada ikan mati yang tak bersalah itu. Orang gila mana yang menyelinap ke kamar Elena dan bertingkah bodoh seperti itu.” “Kami sedang memeriksa cctv. Kau di sini saja sementara waktu.” Carl menatap tangan Kate yang gemetar. Lalu, mengamati ekspresi Kate yang menatap ke luar jendela. Ia lalu menggenggam tangan Kate. “Tak apa, Kate. Sudah aman.” “Pasti a
Mengembuskan napas dengan lega, udara segar pagi yang masuk melalui jendela membawa ketenangan di hatinya. Tangan Elena meraba ke samping, ia lalu mengernyitkan kening. Matanya terbuka dengan cepat. “Drake,” panggil Elena seraya bangkit. “Aku di sini. Kenapa?” Drake mendekat ranjang. Aroma wangi sabun tercium oleh Elena. Ia pikir Drake pergi ke luar kamar atau entah ke mana. “Tak apa. Kau sudah mandi, ya.” “Aku tak mau ketinggalan ikut ke kantormu.” “Kau mau ikut? Bisa ramai kalau orang – orang tahu kau ikut.” “Mudah saja. Tinggal pakai pakaian sama dengan Carl. Mereka pasti akan mengira aku bodyguardmu.” Drake memberi ide gila seraya tertawa. Elena tak yakin pria ini akan melakukan seperti perkataannya. “Nanti kita mampir untuk membeli pakaian baru untukmu.” “Aku sudah membelinya, menyuruh Will maksudnya. Sebentar lagi akan sampai.” “Baiklah, aku siap – siap dulu.” Elena masuk ke kamar mandi. Sebenarnya ia tak menduga Drake akan mengikutinya ke kantor cabang perusahaann
Setelah kepergian Elena, Drake yang merasa kesal karena wanita itu tak mengajaknya, memutuskan pergi ke lapangan golf. Berharap dapat mengurangi rasa jengkelnya. “Will, kita pergi main golf.” “Tidak mengikuti Nona Elena?” Will cukup asing melihat Drake tak menyusul Elena yang berkuda. Dari ekspresinya, jelas jika bosnya itu menahan kekesalan. “Tidak, Elena sepertinya muak melihat wajahku.” Drake segera kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Lalu, turun ke lantai satu setelah beberapa menit. Pria jangkung itu segera pergi menuju lapangan golf. Dalam perjalanan ke tempat tujuannya, Drake banyak berpikir dari sudut pandang Elena. Mantan istrinya itu pasti jengah dengannya. Setiap ke mana pun mengikuti. Tapi, meski tahu begitu, Drake tak bisa berhenti mencemaskan Elena. Jika tak melihat wanita itu dalam waktu lama, ia akan resah. “Harusnya kau bisa beradaptasi dengan perlakuanku, Elena,” gumam Drake. Setibanya di tempat golf, pria berambut hitam legam itu bersiap dengan s
Pria jangkung itu berdiri dari posisinya. Setelah menatap ke arah Elena sekilas, Drake mengajak Will bergeser ke samping kanan ruangan Elena berada. “Bagaimana, Will?” “Tentang insiden pembobolan kamar Nona Elena ada kabar terbaru. Mereka mengidentifikasi hasil rekaman cctv. Tiga orang terlihat memasuki kamar itu dua jam sebelumnya. Karena ketiganya menggunakan penutup kepala/buff, polisi cukup kesulitan mengenali identitas pelaku. Tapi, terdapat rekaman lain saat ada salah seorang dari ketiga orang ini berganti baju di toilet dan menemui seseorang di area parkir hotel. Orang yang ditemuinya cukup mudah dikenali. Dia adalah Nona Alexa.” Will menyerahkan dokumen yang salah satunya berisi hasil print out potongan cctv serta menunjukkan video rekaman di ponselnya. Dari tato kupu – kupu yang ada di lengan atas wanita dalam rekaman itu terlihat jelas. “Wanita itu berani berbuat sejauh ini. Mungkin hidupnya begitu membosankan.” “Bagaimana setelah ini, Tuan?” “Simpan semua bukti deng
“Elena, kau sudah bangun.” Drake tercengang saat menatap Elena. Wanita itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ia mencoba bangkit dari posisinya, tapi, tak bisa. “Kau sedang dirawat di rumah sakit. Aku akan memanggil dokter sebentar.” Drake menahan tubuhnya agar tak banyak bergerak. Pria itu keluar dari ruangan, lalu segera masuk lagi. Ia masih berusaha bergerak. “Apa yang terjadi? Tubuhku sakit semua.” “Kau jatuh dari kuda. Tapi, tak apa, kau sudah tersadar dan semua akan baik – baik saja.” Dokter dan timnya masuk ke ruangan. Drake melangkah mundur. Memberi ruang pada tim medis untuk memeriksa Elena yang terlihat bingung. Elena menatapnya sesekali sambil menjawab pertanyaan dokter. Diam – diam, Drake bernapas lega. Elena terlihat baik – baik saja sejauh ini. Tapi, ia harus menunggu keterangan dari dokter. “Bisa kita bicara sebentar?” Dokter itu mengajak Drake berbincang di luar. Kate dan Carl giliran masuk untuk menemani Elena. “Kondisinya membaik dengan cepa
“Hei kau, kutu buku. Pergi sana! Kami tak mau bermain denganmu!” “Main saja dengan buku – bukumu itu!” “Anak aneh, hanya bisa diam dan belajar, belajar terus.” “Dasar miskin! Seragammu sampai kumal seperti itu, menjijikkan!” Serentetan kalimat itu biasa didengar olehnya. Hanya karena ia yang mencoba mendekati mereka dan berteman dengan mereka. Semua respons itu membuat menjaga jarak lebih jauh lagi dari teman – temannya. Jarak antara dunianya dan dunia mereka semakin menjauh. Semakin waktu berlalu, ia menikmati kesendiriannya. Semakin nyaman dengan jarak yang terbangun hari demi hari. Hingga suatu hari, seorang anak yang cantik, teman satu kelasnya hadir. “Hai, namamu Kate, ya? Kenapa sendirian di sini?” Kate menatap Elena dengan kesal. Gadis itu mengganggu kegiatan belajarnya. Lebih baik mencari teman dari pada terjebak di perpustakaan sepertinya saat ini. “Hai, kau melamun?” “Aku tidak tahu siapa kau. Tapi, jangan ganggu aku yang sedang belajar!” Dengan nada ketus Kate