Entah berapa lama Elena larut dalam permainan yang ia mulai sendiri. Matanya seketika terbuka. Ia menghentikan apa yang dia mulai, mengikuti nalurinya. “Drake, aku ... harus berhenti.” “Tak apa.” Drake menyatukan keningnya dan kening Elena. Merasakan setiap embusan napas diiringi semilir angin malam. Meski sedingin itu, wajah Elena memerah. Ia yang memulai lebih dulu, tapi, ia sendiri yang merasa malu dan canggung. Elena melihat senyum lebar Drake. Pria itu tak melakukan apa pun selain membalas ciumannya saja tadi. Saking malunya, ia harusnya segera berlari ke kamar. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Elena sendiri tak mau menarik diri dari Drake. “Lembut dan manis,” ucap Drake lirih. “Apa?” Drake tak menjawab, ia hanya terus tersenyum. Elena lalu menarik diri, memberi jarak dengan Drake. “Aku ingin tidur sekarang. Selamat malam, Drake.” “Tidur saja di sini. Katanya bosan di kamar.” Elena sudah berdiri dari posisinya. Bagaimana mungkin ia bisa tidur di sini kalau ada
Drake pulang tepat waktu hari ini. Ia bergegas ke lantai dua. Usai mengetuk – ketuk pintu kamar Elena dan tak ada respon sama sekali, ia turun lagi. Kali ini ia berjalan menuju dapur.“Apa Elena belum pulang?” tanya Drake pada salah seorang staf.“Nona bilang tidak akan pulang hari ini.”“Kenapa?”“Nona Elena ada perjalanan bisnis ke Newcastle, Tuan.”“Baiklah, terima kasih.” Melangkah lebar menuju ke ruang utama, Drake segera memanggil Will. Drake mengernyitkan keningnya sesaat.“Kau tahu jika Elena ke Newcastle?”“Maaf, tidak.” Drake meraih ponsel di sakunya. Ia segera memencet tombol panggil untuk nomor Elena. Tak ada jawaban. Drake menghubungi Carl. Panggilannya tersambung.“Apa kau dan Elena di Newcastle sekarang?”“Ya, Tuan.”“Kenapa kau tak mengatakannya padaku?”“Maaf, saya kira Nona Elena sudah memberitahu Anda.”“Apa yang ia lakukan di sana?”“Rapat dan mengawasi cabang di sini selama dua malam.”“Dua malam?”“Ya, itu yang Nona katakan padaku.”“S
“Pandai sekali kau berkata manis.” “Memang itu yang kurasakan.” “Berhenti bercanda dan segeralah tidur.” “Tunggh, Elena. Apa yang akan kau lakukan? Kau tak bisa tidur.” “Aku hanya ingin ketenangan.” “Aku bisa membantumu tidur.” “Bagaimana caranya?” “Kau suka musik klasik, kan? Kalau kau masih ingat piringan hitam milik ibuku, akan kumainkan untukmu.” “Kau masih memilikinya?” “Tentu saja, coba dengarkan.” Elena tak bisa mengakhiri panggilan, ia ingin mendengar lagi, piringan hitam yang diputar ibu Drake saat mereka masih kecil. Elena selalu menyukainya. Terdengar nada demi nada mulai mengalun, membuat wanita beriris cokelat itu tersenyum. “Kau suka?” “Kalau boleh, aku ingin mendengarnya sedikit lebih lama.” Drake diam, membiarkan Elena menikmati musik yang ia putar dari piringan hitam. Ada gunanya juga menyimpan benda lama kesayangan ibunya. Beberapa menit berlalu. “Elena, kau sedang apa?” “Tiduran saja.” Tak ada lagi suara lain, keduanya terdiam. Hening mendengarka
“Tidak, aku kembali besok.” “Situasinya tak aman, Elena.” “Ada agenda penting besok.” “Persetan dengan agenda, kau terancam, Elena.” Elena menatap tajam ke arah Drake. Kate minggir perlahan. Ia menutup mulut rapat – rapat. “Kate, kau keluar dulu.” “Baiklah.” Kate segera keluar dari kamarnya. Tensinya di dalam ruangan begitu tinggi. Ia menutup pintu setelah di luar seraya menghela napas. “Ada apa?” “Mereka bertengkar.” Carl mengangguk mengerti. Ia mengajak Kate istirahat di kamarnya. “Pintunya aku buka, aku akan berjaga di luar. Jangan sungkan.” “Terima kasih, Carl.” “Kau pasti terkejut.” “Tentu saja. Aku juga kasihan pada ikan mati yang tak bersalah itu. Orang gila mana yang menyelinap ke kamar Elena dan bertingkah bodoh seperti itu.” “Kami sedang memeriksa cctv. Kau di sini saja sementara waktu.” Carl menatap tangan Kate yang gemetar. Lalu, mengamati ekspresi Kate yang menatap ke luar jendela. Ia lalu menggenggam tangan Kate. “Tak apa, Kate. Sudah aman.” “Pasti a
Mengembuskan napas dengan lega, udara segar pagi yang masuk melalui jendela membawa ketenangan di hatinya. Tangan Elena meraba ke samping, ia lalu mengernyitkan kening. Matanya terbuka dengan cepat. “Drake,” panggil Elena seraya bangkit. “Aku di sini. Kenapa?” Drake mendekat ranjang. Aroma wangi sabun tercium oleh Elena. Ia pikir Drake pergi ke luar kamar atau entah ke mana. “Tak apa. Kau sudah mandi, ya.” “Aku tak mau ketinggalan ikut ke kantormu.” “Kau mau ikut? Bisa ramai kalau orang – orang tahu kau ikut.” “Mudah saja. Tinggal pakai pakaian sama dengan Carl. Mereka pasti akan mengira aku bodyguardmu.” Drake memberi ide gila seraya tertawa. Elena tak yakin pria ini akan melakukan seperti perkataannya. “Nanti kita mampir untuk membeli pakaian baru untukmu.” “Aku sudah membelinya, menyuruh Will maksudnya. Sebentar lagi akan sampai.” “Baiklah, aku siap – siap dulu.” Elena masuk ke kamar mandi. Sebenarnya ia tak menduga Drake akan mengikutinya ke kantor cabang perusahaann
Setelah kepergian Elena, Drake yang merasa kesal karena wanita itu tak mengajaknya, memutuskan pergi ke lapangan golf. Berharap dapat mengurangi rasa jengkelnya. “Will, kita pergi main golf.” “Tidak mengikuti Nona Elena?” Will cukup asing melihat Drake tak menyusul Elena yang berkuda. Dari ekspresinya, jelas jika bosnya itu menahan kekesalan. “Tidak, Elena sepertinya muak melihat wajahku.” Drake segera kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Lalu, turun ke lantai satu setelah beberapa menit. Pria jangkung itu segera pergi menuju lapangan golf. Dalam perjalanan ke tempat tujuannya, Drake banyak berpikir dari sudut pandang Elena. Mantan istrinya itu pasti jengah dengannya. Setiap ke mana pun mengikuti. Tapi, meski tahu begitu, Drake tak bisa berhenti mencemaskan Elena. Jika tak melihat wanita itu dalam waktu lama, ia akan resah. “Harusnya kau bisa beradaptasi dengan perlakuanku, Elena,” gumam Drake. Setibanya di tempat golf, pria berambut hitam legam itu bersiap dengan s
Pria jangkung itu berdiri dari posisinya. Setelah menatap ke arah Elena sekilas, Drake mengajak Will bergeser ke samping kanan ruangan Elena berada. “Bagaimana, Will?” “Tentang insiden pembobolan kamar Nona Elena ada kabar terbaru. Mereka mengidentifikasi hasil rekaman cctv. Tiga orang terlihat memasuki kamar itu dua jam sebelumnya. Karena ketiganya menggunakan penutup kepala/buff, polisi cukup kesulitan mengenali identitas pelaku. Tapi, terdapat rekaman lain saat ada salah seorang dari ketiga orang ini berganti baju di toilet dan menemui seseorang di area parkir hotel. Orang yang ditemuinya cukup mudah dikenali. Dia adalah Nona Alexa.” Will menyerahkan dokumen yang salah satunya berisi hasil print out potongan cctv serta menunjukkan video rekaman di ponselnya. Dari tato kupu – kupu yang ada di lengan atas wanita dalam rekaman itu terlihat jelas. “Wanita itu berani berbuat sejauh ini. Mungkin hidupnya begitu membosankan.” “Bagaimana setelah ini, Tuan?” “Simpan semua bukti deng
“Elena, kau sudah bangun.” Drake tercengang saat menatap Elena. Wanita itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ia mencoba bangkit dari posisinya, tapi, tak bisa. “Kau sedang dirawat di rumah sakit. Aku akan memanggil dokter sebentar.” Drake menahan tubuhnya agar tak banyak bergerak. Pria itu keluar dari ruangan, lalu segera masuk lagi. Ia masih berusaha bergerak. “Apa yang terjadi? Tubuhku sakit semua.” “Kau jatuh dari kuda. Tapi, tak apa, kau sudah tersadar dan semua akan baik – baik saja.” Dokter dan timnya masuk ke ruangan. Drake melangkah mundur. Memberi ruang pada tim medis untuk memeriksa Elena yang terlihat bingung. Elena menatapnya sesekali sambil menjawab pertanyaan dokter. Diam – diam, Drake bernapas lega. Elena terlihat baik – baik saja sejauh ini. Tapi, ia harus menunggu keterangan dari dokter. “Bisa kita bicara sebentar?” Dokter itu mengajak Drake berbincang di luar. Kate dan Carl giliran masuk untuk menemani Elena. “Kondisinya membaik dengan cepa
Drake menatap layar datar di seberang meja kerjanya. Sore itu sidang putusan yang akan membacakan vonis untuk Alfred dan Paman Smith, serta Alexa akan dibacakan. Momen yang paling ditunggu oleh Drake dan Elena. Will duduk di sofa tamu, tak jauh dari meja Drake, juga turun memperhatikan jalannya sidang di layar kaca. Menit demi menit hingga jam berlalu. Alexa dan Paman Smith telah menyelesaikan sidang lebih dulu dibandingkan Alfred. Karena Alexa yang membuka semua pintu di kasus ini, layaknya whistle blower, ia divonis 5 tahun penjara atas tuduhan intimidasi, ancaman dan membantu Alfred dalam menjual nark*ba. Sedangkan Paman Smith dijatuhi hukuman seumur hidup atas percobaan pembunuhan. Sampai pada saat sebelum putusan dibacakan. Hakim memberikan kesempatan pada Alfred untuk bersuara. Dalam pembelaannya, Alfred menyangkal semua bukti dan tuduhan yang selama ini diajukan pihak lawan. Usai menyampaikan suaranya, hakim membacakan vonis. Dalam sidang putusan hari in
Usai melaksanakan tugas dari Drake hari itu, Carl bergegas memasuki mobilnya. Dalam perjalanan, ia menelepon Kate. “Halo, kau ke mana saja?” “Kate, aku sedang dalam perjalanan pulang. Apa Steven dan Dean masih di sana?” “Tentu saja. Kami sedang bermain kartu.” “Apa kalian minum?” “Sedikit wine. Dean, jangan coba-coba curang ya.” Suara Kate terlihat memarahi Dean, rekan setim Carl yang bertugas menjaga keluarga Drake Graysen. Hari ini mereka bertugas menjaga Kate karena Carl sibuk di luar seharian. “Sial! Jangan minum dengan mereka.” “Carl, kau mengumpat padaku?” “Tidak, Kate. Aku mengumpat pada Steven dan Dean. Aku akan segera sampai.” Carl buru-buru menutup panggilannya, ia menambah kecepatan mobilnya. *** “Kami hanya bosan dan bermain kartu terlihat seru.” Kate memberi penjelasan seraya menuangkan jus apel ke sebuah gelas. Pria di depannya itu diam tak bergeming. Hanya menatapnya dengan tajam. “Ini, minumlah.” Carl dan Kate duduk di ruang makan. Pria itu meneguk seg
“Aku tak mengerti mengapa kau menanggapi pendekatan Alfred padahal kau tahu jelas motif di baliknya.”“Karena dia yakin bisa memanfaatkanku untuk menjatuhkan Elena, aku ingin melakukan hal yang sama dan membalikkan situasinya. Aku yakin bila dekat dengan Alfred, aku bisa membantu Elena dengan caraku.”“Apa Nyonya Elena saat itu tahu rencanamu?”“Elena tahu, tentu saja ia tak setuju. Katanya seolah menjadikanku umpan atau martir.”“Perkataannya benar.”“Carl, waktu itu aku hanya ingin membantu.”“Kau pasti bersikeras menjalankan rencanamu, kan? Meski Nyonya Elena tak setuju?”“Ya. Jadi, aku mencoba bersabar di dekat. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana dan aku bisa tahu lebih awal rencana Alfred terhadap Elena. Sampai pria kasar itu .... Ya, akhirnya aku memilih pergi dan tak melanjutkan rencana konyol itu.”“Kenapa berhenti?”“Apa?”“Kate, kau mendadak memutuskan menghentikan rencanamu. Kalimatmu berhenti usai mengatakan ‘sampai pria kasar itu .... Apa yang dilakukannya
“Katakan padaku detailnya, Will. Apa yang terjadi?”“Nona Alexa mengaku mendapatkan intimidasi di lingkungan penjara.”“Dari siapa? Sipir?”“Tidak hanya dari sipir, sesama narapidana juga.” Drake mengerutkan keningnya, ia tak menduga kehidupan Alexa yang ingin mengutarakan kebenaran di depan pengadilan, harus dibayar sepahit itu. Kehidupan di penjara bukanlah hal yang mudah, bagai hukum rimba. Jika tidak dibantu, Alexa, yang merupakan satu-satunya kunci mengungkap keburukan Alfred dan ayahnya, bisa celaka. Tentu ini buruk untuknya dan Elena. “Tempatkan orang-orang kita untuk membantu Alexa bertahan. Bagaimana pun caranya, kita harus menjaganya tetap hidup, karena Alexa adalah saksi kunci.”“Ya, kami akan menempatkan orang-orang kita di antara sipir, narapidana dan ada seorang dokter yang cukup bisa dipercaya.”“Dokter? Siapa?”“Kakaknya Carl. Sudah empat tahun ini bekerja di penjara tempat Alexa ditahan.”“Oh, ya? Apa Carl yakin kalau kakaknya bisa dipercaya untuk tuga
Kate langsung menekan tombol panggil pada kontak dengan nama Carl. Tangannya gemetaran saat mengangkat ponsel ke telinganya.“Halo, Kate, aku sedang di depan rumahmu.”“Jadi, itu kau? Yang berdiri di depan pintuku sekarang?”“Iya, buka pintunya.”Kate langsung bernapas lega sebelum membuka pintunya. Begitu melihat wajah Carl di depannya, tubuhnya langsung lemas seketika. Ia bersandar di ambang pintu.“Hey, ada apa?”Carl menahan tubuh Kate dengan memegangi pundak wanita di depannya itu.“Aku melihat ada mobil mencurigakan di bawah. Dari tadi orangnya mondar mandir di depan gedung.”“Tak apa, aku di sini.”Keduanya segera memasuki flat Kate, lalu duduk di ruang tamu. Carl mengamati ekspresi Kate yang perlahan melembut, seraya melihat ke depan gedung melalui jendela. “Aku ingin keluar, membeli bahan makanan, lalu mengecek ke jendela. Mobil itu tak pergi sama sekali sejak tadi.”“Orang itu juga mondar mandir saat aku datang.”“Tadi kukira orang itu yang ada di depan pintu.
Terlahir menjadi seorang pewaris dari keluarga kaya menjadi impian hampir setiap orang. Tapi, itu tak lagi berlaku bagi Drake yang menginjak usia 7 tahun dan menyadari situasinya berbeda dengan harapan. Ia pernah melihat sorot mata penuh cinta dari kedua orang tuanya, hingga menyadari, perasaan itu lenyap sempurna dari sorot mata sang ibu. Usia di mama seharusnya Drake bisa membaca layaknya seperti anak-anak lain, membuat tekanan dari sang ayah semakin keras. Drake merasa ia berusaha sebaik mungkin untuk bisa membaca. Tapi, apa daya, matanya seolah melihat huruf-huruf itu lepas dari posisinya dan menari-nari tak beraturan. “Sampai kapan kau menjadi anak bodoh? Membaca saja kau tidak bisa bagaimana mau mewarisi perusahaan?” Dari situlah, Drake kecil mendapat beberapa cambukan sebagai hukuman. Malamnya, ia langsung demam. Mama Lily menangis pilu saat menemaninya semalaman. “Maaf, Ma. Maafkan putramu yang bodoh ini.” “Tidak, Drake. Ini bukan salahmu. Mama akan cari cara untuk mem
“Kita bicarakan hal lain saja.” “Drake, ada apa? Aku tahu ada yang salah, tapi, kau tak mau cerita padaku.” “Tidak. Itu tidak penting lagi, Elena.” “Penting bagiku.” “Penting bagiku untuk menjaga keadaanmu dan bayi kita tetap stabil.” “Tapi, aku tidak bisa pura-pura tak tahu sedangkan aku jelas merasa kau menyembunyikan sesuatu.” “Sudah kubilang itu tak penting. Semua sudah berlalu.” Elena membuang pandangannya ke samping. Sepertinya ini juga sia-sia saja. Seperti tadi saat bertanya ke Mama Lily. Wanita berambut pirang itu berdiri, lalu keluar dari kamar. Drake menghela napas kasar, mengikuti Elena. “Elena, kau mau ke mana? Ini sudah malam.” “Kau tidur saja.” “Aku tidak mungkin tidur kalau kau belum tidur.” Elena tak menanggapi, ia hanya berjalan terus menuju perpustakaan. Ia ingin menenangkan diri sejenak. Satu ruangan dengan Drake terasa membuatnya kecewa. “Elena, ayo kembali ke kamar.” “Aku masih mau di sini. Pergilah.” Elena baru saja melangkah masuk ke perpustakaan
Tatapan sendu Drake terlihat jelas. Istrinya itu kini tampak rapuh di matanya. Sesekali menghela napas panjang, mengingat setiap momen Elena membantunya mandi, berganti pakaian dan makan. Terkadang ia juga membantu mengetikkan pekerjaan kantornya saat bahunya mulai sakit. Ia ingin merutuki diri sendiri karena tak peka pada keadaan istrinya sendiri. Beberapa kali ia mengetahui Elena muntah di pagi hari. Ia kira hanya karena sakit maaf yang kadang kambuh.“Drake, aku tertidur ya?”Lamunan Drake seketika buyar saat melihat mata Elena terbuka. Istrinya berusaha bangun.“Tidur saja dulu, kau perlu istirahat.”Elena kembali berbaring. Ia merasa tubuhnya lebih ringan sekarang. Tiba-tiba ia ingat, tangannya langsung mencengkeram jari-jari Drake.“Bayinya bagaimana?”“Baik-baik saja. Tak ada masalah. Jangan khawatir.”“Syukurlah.”Elena memejamkan matanya sesaat. Ia menarik napas panjang dengan rasa lega. Drake beranjak dari duduknya, ia mencium kening istrinya cukup lama.
Wanita berambut pirang itu duduk dengan tatapan kosong. Seolah seperti patung, Elena tak bergerak sedikit pun. Hingga dua orang, pria dan wanita datang menghampiri. “Elena.” Kate langsung memeluk tubuh ramping yang kini rapuh itu. Elena membalas pelukan Kate seraya menangis tersedu. Di tangannya masih tersisa darah dari Drake. “Kate, maaf, bajumu kotor terkena darah di tanganku.” “Tak masalah. Jangan khawatir. Bagaimana kondisi Drake?” “Will bilang bahunya terkena tembakan. Drake menghalau peluru yang sepertinya sengaja dialihkan padaku.” “Pelakunya bagaimana?” tanya Carl dengan nada cemas. “Sudah diamankan oleh pihak berwajib. Will sedang bertemu dengan mereka.” Carl memutuskan tetap berjaga di situ. Ia telah meminta beberapa pengawal Drkae yang lain untuk mendekat ke ruang perawatan ini, menjaga dan mengantisipasi jika saja masih ada orang suruhan Alfred yang berniat mencelakai. “Kita bersihkan dulu tanganmu. Ayo, Elena.” Kate membantu Elena berdiri lalu berjalan menuju t