Suara berisik semakin terdengar. Demikian pula dengan suara ketikan di laptop yang semakin jelas. Pernyataan Elena untuk menuntut Alexa di jalur hukum merupakan informasi penting. Pernyataan selanjutnya, giliran Drake. “Poin ketiga, klaim bahwa saya sengaja meninggalkan Alexa dan bayinya, itu tidak benar. Ada dua alasan saya meninggalkannya. Pertama, karena saya telah berstatus suami Elena saat itu. Elena sudah berbaik hati mengerti dan menunggu dengan sabar saya memutus kontak sepenuhnya dengan Alexa. Hingga saat saya memilih istri saya, Alexa tidak dalam keadaan mengandung. Bukti dokumen yang menyatakan kehamilannya sebelum pernikahan kami, itu palsu. Saya akan menunjukkan bukti rekaman cctv beserta pernyataan tim medis yang ia suap.” Keriuhan semakin jelas. Setelah dilanjutkan sesi penjelasan tim hukum dan tanya jawab wartawan, konferensi itu pun diakhiri. Elena dan Drake pulang ke mansion dengan dua mobil berbeda. Begitu sampai, Elena bergegas pergi ke kamarnya. Berendam air h
Entah berapa lama Elena larut dalam permainan yang ia mulai sendiri. Matanya seketika terbuka. Ia menghentikan apa yang dia mulai, mengikuti nalurinya. “Drake, aku ... harus berhenti.” “Tak apa.” Drake menyatukan keningnya dan kening Elena. Merasakan setiap embusan napas diiringi semilir angin malam. Meski sedingin itu, wajah Elena memerah. Ia yang memulai lebih dulu, tapi, ia sendiri yang merasa malu dan canggung. Elena melihat senyum lebar Drake. Pria itu tak melakukan apa pun selain membalas ciumannya saja tadi. Saking malunya, ia harusnya segera berlari ke kamar. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Elena sendiri tak mau menarik diri dari Drake. “Lembut dan manis,” ucap Drake lirih. “Apa?” Drake tak menjawab, ia hanya terus tersenyum. Elena lalu menarik diri, memberi jarak dengan Drake. “Aku ingin tidur sekarang. Selamat malam, Drake.” “Tidur saja di sini. Katanya bosan di kamar.” Elena sudah berdiri dari posisinya. Bagaimana mungkin ia bisa tidur di sini kalau ada
Drake pulang tepat waktu hari ini. Ia bergegas ke lantai dua. Usai mengetuk – ketuk pintu kamar Elena dan tak ada respon sama sekali, ia turun lagi. Kali ini ia berjalan menuju dapur.“Apa Elena belum pulang?” tanya Drake pada salah seorang staf.“Nona bilang tidak akan pulang hari ini.”“Kenapa?”“Nona Elena ada perjalanan bisnis ke Newcastle, Tuan.”“Baiklah, terima kasih.” Melangkah lebar menuju ke ruang utama, Drake segera memanggil Will. Drake mengernyitkan keningnya sesaat.“Kau tahu jika Elena ke Newcastle?”“Maaf, tidak.” Drake meraih ponsel di sakunya. Ia segera memencet tombol panggil untuk nomor Elena. Tak ada jawaban. Drake menghubungi Carl. Panggilannya tersambung.“Apa kau dan Elena di Newcastle sekarang?”“Ya, Tuan.”“Kenapa kau tak mengatakannya padaku?”“Maaf, saya kira Nona Elena sudah memberitahu Anda.”“Apa yang ia lakukan di sana?”“Rapat dan mengawasi cabang di sini selama dua malam.”“Dua malam?”“Ya, itu yang Nona katakan padaku.”“S
“Pandai sekali kau berkata manis.” “Memang itu yang kurasakan.” “Berhenti bercanda dan segeralah tidur.” “Tunggh, Elena. Apa yang akan kau lakukan? Kau tak bisa tidur.” “Aku hanya ingin ketenangan.” “Aku bisa membantumu tidur.” “Bagaimana caranya?” “Kau suka musik klasik, kan? Kalau kau masih ingat piringan hitam milik ibuku, akan kumainkan untukmu.” “Kau masih memilikinya?” “Tentu saja, coba dengarkan.” Elena tak bisa mengakhiri panggilan, ia ingin mendengar lagi, piringan hitam yang diputar ibu Drake saat mereka masih kecil. Elena selalu menyukainya. Terdengar nada demi nada mulai mengalun, membuat wanita beriris cokelat itu tersenyum. “Kau suka?” “Kalau boleh, aku ingin mendengarnya sedikit lebih lama.” Drake diam, membiarkan Elena menikmati musik yang ia putar dari piringan hitam. Ada gunanya juga menyimpan benda lama kesayangan ibunya. Beberapa menit berlalu. “Elena, kau sedang apa?” “Tiduran saja.” Tak ada lagi suara lain, keduanya terdiam. Hening mendengarka
“Tidak, aku kembali besok.” “Situasinya tak aman, Elena.” “Ada agenda penting besok.” “Persetan dengan agenda, kau terancam, Elena.” Elena menatap tajam ke arah Drake. Kate minggir perlahan. Ia menutup mulut rapat – rapat. “Kate, kau keluar dulu.” “Baiklah.” Kate segera keluar dari kamarnya. Tensinya di dalam ruangan begitu tinggi. Ia menutup pintu setelah di luar seraya menghela napas. “Ada apa?” “Mereka bertengkar.” Carl mengangguk mengerti. Ia mengajak Kate istirahat di kamarnya. “Pintunya aku buka, aku akan berjaga di luar. Jangan sungkan.” “Terima kasih, Carl.” “Kau pasti terkejut.” “Tentu saja. Aku juga kasihan pada ikan mati yang tak bersalah itu. Orang gila mana yang menyelinap ke kamar Elena dan bertingkah bodoh seperti itu.” “Kami sedang memeriksa cctv. Kau di sini saja sementara waktu.” Carl menatap tangan Kate yang gemetar. Lalu, mengamati ekspresi Kate yang menatap ke luar jendela. Ia lalu menggenggam tangan Kate. “Tak apa, Kate. Sudah aman.” “Pasti a
Mengembuskan napas dengan lega, udara segar pagi yang masuk melalui jendela membawa ketenangan di hatinya. Tangan Elena meraba ke samping, ia lalu mengernyitkan kening. Matanya terbuka dengan cepat. “Drake,” panggil Elena seraya bangkit. “Aku di sini. Kenapa?” Drake mendekat ranjang. Aroma wangi sabun tercium oleh Elena. Ia pikir Drake pergi ke luar kamar atau entah ke mana. “Tak apa. Kau sudah mandi, ya.” “Aku tak mau ketinggalan ikut ke kantormu.” “Kau mau ikut? Bisa ramai kalau orang – orang tahu kau ikut.” “Mudah saja. Tinggal pakai pakaian sama dengan Carl. Mereka pasti akan mengira aku bodyguardmu.” Drake memberi ide gila seraya tertawa. Elena tak yakin pria ini akan melakukan seperti perkataannya. “Nanti kita mampir untuk membeli pakaian baru untukmu.” “Aku sudah membelinya, menyuruh Will maksudnya. Sebentar lagi akan sampai.” “Baiklah, aku siap – siap dulu.” Elena masuk ke kamar mandi. Sebenarnya ia tak menduga Drake akan mengikutinya ke kantor cabang perusahaann
Setelah kepergian Elena, Drake yang merasa kesal karena wanita itu tak mengajaknya, memutuskan pergi ke lapangan golf. Berharap dapat mengurangi rasa jengkelnya. “Will, kita pergi main golf.” “Tidak mengikuti Nona Elena?” Will cukup asing melihat Drake tak menyusul Elena yang berkuda. Dari ekspresinya, jelas jika bosnya itu menahan kekesalan. “Tidak, Elena sepertinya muak melihat wajahku.” Drake segera kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Lalu, turun ke lantai satu setelah beberapa menit. Pria jangkung itu segera pergi menuju lapangan golf. Dalam perjalanan ke tempat tujuannya, Drake banyak berpikir dari sudut pandang Elena. Mantan istrinya itu pasti jengah dengannya. Setiap ke mana pun mengikuti. Tapi, meski tahu begitu, Drake tak bisa berhenti mencemaskan Elena. Jika tak melihat wanita itu dalam waktu lama, ia akan resah. “Harusnya kau bisa beradaptasi dengan perlakuanku, Elena,” gumam Drake. Setibanya di tempat golf, pria berambut hitam legam itu bersiap dengan s
Pria jangkung itu berdiri dari posisinya. Setelah menatap ke arah Elena sekilas, Drake mengajak Will bergeser ke samping kanan ruangan Elena berada. “Bagaimana, Will?” “Tentang insiden pembobolan kamar Nona Elena ada kabar terbaru. Mereka mengidentifikasi hasil rekaman cctv. Tiga orang terlihat memasuki kamar itu dua jam sebelumnya. Karena ketiganya menggunakan penutup kepala/buff, polisi cukup kesulitan mengenali identitas pelaku. Tapi, terdapat rekaman lain saat ada salah seorang dari ketiga orang ini berganti baju di toilet dan menemui seseorang di area parkir hotel. Orang yang ditemuinya cukup mudah dikenali. Dia adalah Nona Alexa.” Will menyerahkan dokumen yang salah satunya berisi hasil print out potongan cctv serta menunjukkan video rekaman di ponselnya. Dari tato kupu – kupu yang ada di lengan atas wanita dalam rekaman itu terlihat jelas. “Wanita itu berani berbuat sejauh ini. Mungkin hidupnya begitu membosankan.” “Bagaimana setelah ini, Tuan?” “Simpan semua bukti deng