Dear diary.
"Dia adalah orang asing yang hadir menjadi jarak di antara aku dan dirimu."
***Malam telah berlalu terganti pagi nan sejuk. Aku masih bergelung di bawah selimut, meski sinar baskara telah menerobos ventilasi.Rasa dingin membuatku enggan beranjak. Malas merajai tubuhku. Beruntung masih ada waktu satu jam sebelum kuliah.
Ingin rasanya kupejamkan mata kembali, jika saja suara syahdu bunda tak mengusikku.
"Anjani! Bangun ... kamu ini anak gadis, tapi bangunnya kok siang banget, sih!" Bunda berteriak sambil menggedor pintu kamarku.
Aku hanya diam saja dan menaikkan selimut sampai menutup kepala.
"Anjani! Keluarlah, Bunda mau minta tolong."
"Iya, Bunda! Sebentar!"
Dengan ogah-ogahan kupaksa tubuh untuk bangkit. Langkah kakiku mengarah ke pintu.
"Ada apa sih, Bunda?" tanyaku saat pintu telah terbuka.
"Ini, ponsel kakakmu ketinggalan di meja makan. Bunda mau minta tolong kamu, buat mengantarnya ke rumah sakit."
"Nggak, ah. Bunda 'kan tau kalau Anjani paling malas ke rumah sakit," ujarku sambil bersandar di daun pintu.
"Tolonglah, lagipula 'kan searah sama kampus."
"Iya deh iya. Udah 'kan? Anjani mau tidur lagi kalau gitu."
"Enak aja mau tidur lagi. Mandi sekarang, terus berangkat. Udah, buruan sana!"
"Ih, Bunda," protesku.
"Buruan!"
"Iya, iya," ujarku sambil melangkah ke kamar mandi.
***
"Jangan cemberut terus dong," ledek bunda.
"Abisnya Bunda ngeselin. Bunda 'kan bisa anterin sendiri, kenapa harus Anjani?"
"Bunda nggak bisa, nanti mau ada tamu. Udah sana berangkat!"
Dengan menaiki motor biru muda kesukaanku, aku berangkat ke rumah sakit Sejahtera, tempat kakak bekerja.
Motorku melaju dengan kecepatan sedikit tinggi. Kurang lebih lima belas menit, aku telah sampai di parkiran sebuah gedung besar bernuansa biru putih.
Kakiku melangkah memasuki gedung. Bau obat-obatan dan anti septik langsung menusuk indra penciumanku yang bahkan sudah ditutup masker.
Ugh, rasanya aku ingin muntah. Masa iya harus tahan napas?
Aku mendekati meja resepsionis untuk menanyakan di mana Kak Rania.
"Permisi," ujarku.
"Iya, ada yang bisa dibantu, Kak?" tanya seorang wanita cantik yang berdiri di belakang meja resepsionis.
"Saya mau tanya, Dokter Rania sekarang ada di mana, ya?"
"Apa sudah ada janji?"
"Saya adiknya."
"Oh maaf, Kak. Mari saya antar ke ruangannya," ucap wanita tersebut lalu meminta temannya untuk menggantikan posisinya sementara.
Aku hanya menurut saat diajak semakin masuk. Sebenarnya aku sudah sangat tidak tahan dengan bau rumah sakit ini. Heran aku dengan Kak Rania, bisa-bisanya dia sangat betah di sini.
"Ini ruangannya, kalau begitu saya permisi," ucap petugas resepsionis tadi, saat kami sampai di depan pintu ruangan Kak Rania.
Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada petugas yang telah membantuku. Lalu ku ketuk pintu itu dan tidak ada jawaban.
"Sepertinya Kak Rania tidak di dalam. Aku langsung masuk saja lah," gumamku.
Ternyata benar, ruangan itu kosong. Aku membuka masker karena di ruangan Kak Rania agak sedikit mendingan. Bau obat tidak terlaku menyengat di sini. Justru bau parfum kakak yang mendominasi.
Aku duduk di kursi yang memang di sediakan. Kubuka ponsel dan membaca beberapa aturan kampus yang tadi sudah dibagikan.
Aku fokus pada ponsel, hingga suara pintu dibuka mengalihkan atensiku.
Kulihat seorang pria berjas dokter berdiri mematung di pintu, dengan wajah sedikit memerah seperti menahan malu.
Dia menggaruk kepala bagian belakang yang kuyakin tidak gatal. Rambut pendeknya yang dibelah dua dia sisir menggunakan tangan sebelum kaki jenjangnya melangkah mendekat.
"Maaf, aku kira tidak ada orang. Setauku Dokter Rania sedang ke kantin tadi. Kamu siapa, ya?"
"Aku Anjani, adiknya. Lain kali meski tidak ada orang ketuk pintu dulu sebelum masuk," ucapku dengan nada cuek sambil berdiri dan berlalu keluar.
Saat lewat di depannya, parfum cokelat menusuk indra penciumanku. Meski kuyakin dia menggunakannya terlaku banyak, tetapi entah kenapa bau itu sangat menenangkan.
Aku bergegas menuju ke kantin, sambil kembali mengenakan masker. Ternyata benar, Kak Rania sedang berada di kantin sambil ditemani semangkuk bakso dan segelas es teh.
"Nih ponselnya. Bikin repot tau nggak," gerutuku sambil meletakkan ponsel Kak Rania di depannya.
"Dek, Dek. Kamu ini kok nggak pernah berubah. Masih saja benci sama rumah sakit. Padahal rumah sakit nggak ada buat salah apa-apa sama kamu loh."
"Nggak tau, deh."
"Permisi, ini ponselmu ketinggalan tadi di ruangan Rania," ucap seorang pria yang berada di sampingku sambil menyodorkan benda pipih yang kukenali.
"Makasih, ya," sahutku sambil menerima ponselku.
"Oh, iya, kenalkan ini Adikku, Anjani." Perkataan Kak Rania membuatku mendengus tidak suka.
"Udah memperkenalkan diri tadi kak, udah ya, Anjani mau ke kampus. Udah hampir telat ini."
Aku bergegas bangkit dan mencium pipi Kak Rania sebelum meninggalkan kantin rumah sakit itu. Ekor mataku sempat melihat ekspresi kecewa di wajah pria itu.
Entahlah. Mungkin aku salah. Namun nyatanya, aku memang tidak ingin berkenalan dengannya, meski aku sedikit penasaran dengan namanya. Akan tetapi aku yakin, nanti malam atau lusa, Kak Rania pasti akan mengomel tentang dia.
Aku sudah menaiki sepeda motor dan bersiap untuk ke kampus. Motor biru kesayanganku melaju dengan cepat. Suasana hatiku sedikit buruk pagi ini.
Rumah sakit masih saja membawa pengaruh buruk kepadaku. Ingatan-ingat saat aku dirawat selalu terngiang.
Apalagi dokter tadi. Teman Kak Rania itu sangat tidak sopan. Jika saja tadi bukan rumah sakit, pasti aku sudah memarahinya.
Sudah tau di ruangan Kak Rania hanya ada aku, tapi dia tetap masuk. Tadi juga waktu di kantin. Matanya itu sudah berapa kali tertangkap basah sedang curi-curi pandang.
Tidak terasa, aku sudah sampai di parkiran kampus. Hari ini adalah hari pertama masuk. Semoga saja aku bisa menghadapi kakak tingkat yang haus akan hormat.
Kucabut kunci motorku dan meletakkannya di saku tas. Kakiku melangkah pelan sambil menikmati pemandangan kampus. Kedua tanganku memegang tali tas yang aku gendong.
Jangan bilang aku seperti anak kecil. Karena hal seperti ini sudah menjadi kebiasaanku sejak dulu.
Sepertinya, hari pertamaku di kampus akan biasa-biasa saja. Tidak akan ada adegan seperti di novel, ya. Karena aku jalan pakai mata dan kaki.
***
Benar saja, semuanya berjalan biasa saja. Hingga waktu pulang tiba, aku memilih untuk mengunjungi perpustakaan terlebih dahulu.
Sebenarnya, perpustakaan adalah tempat yang paling kuincar saat aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah. Aku sangat ingin menjelajahi isi perpustakaan dan mencari buku-buku tua yang tersembunyi.
Sepertinya otakku sudah terlalu terkontaminasi dengan dunia fantasi. Sampai-sampai aku pernah membayangkan bahwa aku menemukan sebuah buku sihir di perpustakaan kampus.
Aku memasuki sebuah ruangan megah nan indah. Rak-rak buku menjulang tinggi. Suasana di dalam begitu sunyi meski banyak mahasiswi yang sedang membaca.
Seperti dugaanku, perpustakaan akan menjadi tempat favoritku yang kedua. Yang pertama? Tentu saja kantin.
Dear Diary“Aku benci rumah sakit, tetapi kenapa takdir seolah membawaku bersinggungan dengan tempat tersebut?”***Kaki ini melangkah menyusuri lorong-lorong di antara rak yang menjulang tinggi. Aku berada di tempat buku-buku yang tebalnya melebihi empat ratus halaman.Tidak ada orang lain selain diriku. Tentu saja semua orang sangat malas melihat buku setebal ini. Namun, hal tersebut tidak berlaku untukku.Sejak kecil, aku memang sudah sangat tertarik dengan misteri-misteri yang disimpan rapat oleh alam. Jadi, buku sejarah alam memang kesukaanku. Selain itu, kisah-kisah dunia fantasi juga memiliki tempat khusus di hatiku.Baru sebentar berkeliling, aku sudah tenggelam dalam bacaan sebuah buku tua bersampul cokelat. Bagian tepi buku ini sudah agak rusak, mungkin karena tidak terawatt mengingat rak sejarah sangat jarang dikunjungi.Lembar demi lembar buku sudah aku baca, suasana sunyi membuatku mera
Dear Diary“Kedua kalinya kamu datang, dan berhasil membawa pergi hati ini.”***Dua hari berada di tempat yang tidak aku sukai, itu sama rasanya seperti berbulan-bulan. Beruntung kini aku boleh keluar kamar, meski hanya boleh di taman rumah sakit. Setidaknya aku bisa menghirup udara kebebasan.Oh tidak, aku belum bebas. Dokter gila ini terus saja berada di dekatku. Tidak tahukan jika keberadaannya membuatku sangat tidak nyaman.Aku merasa sangat aneh dengan sikap bunda akhir-akhir ini. Wanita paruh baya itu sangat sering meninggalkanku berdua dengan dokter gila ini.Kenapa aku menyebut Pak Ardi dokter gila? Entahlah rasanya panggilan itu cocok dengan sikapnya yang menyebalkan.Dia itu seperti tidak punya pekerjaan lain. Sampai-sampai terus mengekoriku dengan dalih ini adalah
Dear Diary“Patah sebelum mengetahui faktanya, mana yang lebih sakit dari itu?”***Saat aku membuka mata, hanya ada bunda yang masih terlelap di sofa tunggu. Aku pikir akan ada Pak Ardi di sini, tetapi ternyata tidak.Eh, kenapa jadi mikirin dokter gila itu, sih?“Bunda ….” Aku merasa perutku tidak nyaman dan menyebalkannya sangat sulit untuk bangun.Terlihat bunda mulai menggeliat mendengar panggilanku.“Kenapa, Sayang?” tanya Bunda sambil mendekat.“Anjani pengin ke kamar mandi, Bunda.”Bunda mengangguk dan mulai membantuku untuk turun dari tempat tidur.Tepat saat Bunda sedang mengurus tiang infus, seseorang mengetuk pintu kamar ini.Seorang pria berjas dokter memasuki ruangan ini. Aroma parfum khas Pak Ardi langsung menusuk indera penciumanku. Aroma kopi dengan sedikit manis cukup membuatku nyaman.Aku melirik ke arahnya sekilas. Ngapain dokter gila itu ke sini?“Assalammu’alaikum, Bunda, Anjani ….” Aku hanya melirik malas pada pria yang tengah menyalami bunda.“Sok deket banget,
Dear diary."Aku tak pernah suka dibandingkan. Jadi jangan pernah lakukan itu."***"Aku tidak mau, Ayah …. Bunda, tolong jelaskan pada Ayah jika aku tidak ingin menjadi dokter," ucapku seraya bergelayut manja pada bunda.Bunda Fatma adalah wanita kuat kelahiran Bandung. Bunda adalah panutanku yang selalu menguatkan diriku saat rapuh. Tempatku bersandar dan pulang kala masalah menghampiri."Ayah, tidak boleh begitu, biarkan Anjani mengambil fakultas yang dia mau," bujuk bunda yang membuatku tersenyum dalam pelukannya."Lihat, kelakuan Anjani. Itu karena Bunda selalu saja memanjakannya, dia jadi membangkang," cerca ayah. "Keluarga kita itu memang terlahir menjadi dokter. Kamu contoh Rania. Sekarang kakakmu itu sudah sukses menjadi dokter muda," papar ayah yang sedikit menggores hatiku.Aku tidak pernah suka dibandingkan. Ayah tahu itu tetapi tetap melakukannya. Bagiku, setiap manusia memiliki keunikan masing-masi
Dear diary."Selalu menurut belum tentu bahagia. Aku tahu ada luka di balik senyummu."***Jam menunjukkan pukul sepuluh malam saat aku tengah menonton serial kesukaanku. Sebuah kisah fantasi manusia serigala yang sudah ribuan kali diputar.Suara pintu dibuka mengalihkan atensiku dari layar televisi. Terlihat Kak Rania memasuki rumah sambil memijat tengkuknya, dan sesekali menggerakkan kepala ke kanan dan kiri. Dia terlihat sangat kelelahan."Tumben sampai larut, Kak?" tanyaku saat Kak Rania sudah berada dekat denganku."Ada korban kecelakaan tadi. Jadi, mau tidak mau Kakak harus menanganinya. Padahal tadi sudah bersiap untuk pulang," jelasnya sambil berlalu ke dapur.Aku kembali melanjutkan acara nontonku, hingga suara Kak Rania kembali terdengar."Anjani, sudah malam, tidur sana!""Iya, Kak, sebentar lagi," sahutku tanpa mengalihkan atensiku dari layar televisi, karena sedang menayangkan adegan
Dear diary."Kita dekat namun aku tak tahu isi hatimu. Aku berharap kita selamanya, namun nyatanya doaku tak terjawab."***Sesuai kepesakatan tadi pagi, aku dan Kak Rania akan pergi berburu novel, lalu setelah itu kami akan menghabiskan waktu di kedai es krim. Itu memang hobi kami dan bagian dari rutinitas setiap bulan.Kak Rania biasa memanfaatkan libur kerjanya untuk menghabiskan waktu bersamaku. Sedari kecil, aku memang lebih dekat dengan kakak dibandingkan dengan bunda apalagi ayah.Setiap aku terkena masalah atau melakukan kesalahan, Kak Rania akan berdiri di depanku untuk membela dan melindungiku dari amarah ayah.Aku memang sangat manja terhadap Kak Rania. Dulu dia juga yang paling bersedih saat tahu aku sakit.Kalian tau betapa aku sangat menyayangi Kak Rania? Bagiku dia adalah matahariku. Dia yang selalu memberi kehangatan yang jarang kudapat dari ayah. Karena memang aku tidak terlalu dekat dengan ay
Dear Diary“Patah sebelum mengetahui faktanya, mana yang lebih sakit dari itu?”***Saat aku membuka mata, hanya ada bunda yang masih terlelap di sofa tunggu. Aku pikir akan ada Pak Ardi di sini, tetapi ternyata tidak.Eh, kenapa jadi mikirin dokter gila itu, sih?“Bunda ….” Aku merasa perutku tidak nyaman dan menyebalkannya sangat sulit untuk bangun.Terlihat bunda mulai menggeliat mendengar panggilanku.“Kenapa, Sayang?” tanya Bunda sambil mendekat.“Anjani pengin ke kamar mandi, Bunda.”Bunda mengangguk dan mulai membantuku untuk turun dari tempat tidur.Tepat saat Bunda sedang mengurus tiang infus, seseorang mengetuk pintu kamar ini.Seorang pria berjas dokter memasuki ruangan ini. Aroma parfum khas Pak Ardi langsung menusuk indera penciumanku. Aroma kopi dengan sedikit manis cukup membuatku nyaman.Aku melirik ke arahnya sekilas. Ngapain dokter gila itu ke sini?“Assalammu’alaikum, Bunda, Anjani ….” Aku hanya melirik malas pada pria yang tengah menyalami bunda.“Sok deket banget,
Dear Diary“Kedua kalinya kamu datang, dan berhasil membawa pergi hati ini.”***Dua hari berada di tempat yang tidak aku sukai, itu sama rasanya seperti berbulan-bulan. Beruntung kini aku boleh keluar kamar, meski hanya boleh di taman rumah sakit. Setidaknya aku bisa menghirup udara kebebasan.Oh tidak, aku belum bebas. Dokter gila ini terus saja berada di dekatku. Tidak tahukan jika keberadaannya membuatku sangat tidak nyaman.Aku merasa sangat aneh dengan sikap bunda akhir-akhir ini. Wanita paruh baya itu sangat sering meninggalkanku berdua dengan dokter gila ini.Kenapa aku menyebut Pak Ardi dokter gila? Entahlah rasanya panggilan itu cocok dengan sikapnya yang menyebalkan.Dia itu seperti tidak punya pekerjaan lain. Sampai-sampai terus mengekoriku dengan dalih ini adalah
Dear Diary“Aku benci rumah sakit, tetapi kenapa takdir seolah membawaku bersinggungan dengan tempat tersebut?”***Kaki ini melangkah menyusuri lorong-lorong di antara rak yang menjulang tinggi. Aku berada di tempat buku-buku yang tebalnya melebihi empat ratus halaman.Tidak ada orang lain selain diriku. Tentu saja semua orang sangat malas melihat buku setebal ini. Namun, hal tersebut tidak berlaku untukku.Sejak kecil, aku memang sudah sangat tertarik dengan misteri-misteri yang disimpan rapat oleh alam. Jadi, buku sejarah alam memang kesukaanku. Selain itu, kisah-kisah dunia fantasi juga memiliki tempat khusus di hatiku.Baru sebentar berkeliling, aku sudah tenggelam dalam bacaan sebuah buku tua bersampul cokelat. Bagian tepi buku ini sudah agak rusak, mungkin karena tidak terawatt mengingat rak sejarah sangat jarang dikunjungi.Lembar demi lembar buku sudah aku baca, suasana sunyi membuatku mera
Dear diary."Dia adalah orang asing yang hadir menjadi jarak di antara aku dan dirimu."***Malam telah berlalu terganti pagi nan sejuk. Aku masih bergelung di bawah selimut, meski sinar baskara telah menerobos ventilasi.Rasa dingin membuatku enggan beranjak. Malas merajai tubuhku. Beruntung masih ada waktu satu jam sebelum kuliah.Ingin rasanya kupejamkan mata kembali, jika saja suara syahdu bunda tak mengusikku."Anjani! Bangun ... kamu ini anak gadis, tapi bangunnya kok siang banget, sih!" Bunda berteriak sambil menggedor pintu kamarku.Aku hanya diam saja dan menaikkan selimut sampai menutup kepala."Anjani! Keluarlah, Bunda mau minta tolong.""Iya, Bunda! Sebentar!"Dengan ogah-ogahan kupaksa tubuh untuk bangkit. Langkah kakiku mengarah ke pintu."Ada apa sih, Bunda?" tanyaku saat pintu telah terbuka."Ini, ponsel kakakmu ketinggalan di meja makan. Bunda mau minta
Dear diary."Kita dekat namun aku tak tahu isi hatimu. Aku berharap kita selamanya, namun nyatanya doaku tak terjawab."***Sesuai kepesakatan tadi pagi, aku dan Kak Rania akan pergi berburu novel, lalu setelah itu kami akan menghabiskan waktu di kedai es krim. Itu memang hobi kami dan bagian dari rutinitas setiap bulan.Kak Rania biasa memanfaatkan libur kerjanya untuk menghabiskan waktu bersamaku. Sedari kecil, aku memang lebih dekat dengan kakak dibandingkan dengan bunda apalagi ayah.Setiap aku terkena masalah atau melakukan kesalahan, Kak Rania akan berdiri di depanku untuk membela dan melindungiku dari amarah ayah.Aku memang sangat manja terhadap Kak Rania. Dulu dia juga yang paling bersedih saat tahu aku sakit.Kalian tau betapa aku sangat menyayangi Kak Rania? Bagiku dia adalah matahariku. Dia yang selalu memberi kehangatan yang jarang kudapat dari ayah. Karena memang aku tidak terlalu dekat dengan ay
Dear diary."Selalu menurut belum tentu bahagia. Aku tahu ada luka di balik senyummu."***Jam menunjukkan pukul sepuluh malam saat aku tengah menonton serial kesukaanku. Sebuah kisah fantasi manusia serigala yang sudah ribuan kali diputar.Suara pintu dibuka mengalihkan atensiku dari layar televisi. Terlihat Kak Rania memasuki rumah sambil memijat tengkuknya, dan sesekali menggerakkan kepala ke kanan dan kiri. Dia terlihat sangat kelelahan."Tumben sampai larut, Kak?" tanyaku saat Kak Rania sudah berada dekat denganku."Ada korban kecelakaan tadi. Jadi, mau tidak mau Kakak harus menanganinya. Padahal tadi sudah bersiap untuk pulang," jelasnya sambil berlalu ke dapur.Aku kembali melanjutkan acara nontonku, hingga suara Kak Rania kembali terdengar."Anjani, sudah malam, tidur sana!""Iya, Kak, sebentar lagi," sahutku tanpa mengalihkan atensiku dari layar televisi, karena sedang menayangkan adegan
Dear diary."Aku tak pernah suka dibandingkan. Jadi jangan pernah lakukan itu."***"Aku tidak mau, Ayah …. Bunda, tolong jelaskan pada Ayah jika aku tidak ingin menjadi dokter," ucapku seraya bergelayut manja pada bunda.Bunda Fatma adalah wanita kuat kelahiran Bandung. Bunda adalah panutanku yang selalu menguatkan diriku saat rapuh. Tempatku bersandar dan pulang kala masalah menghampiri."Ayah, tidak boleh begitu, biarkan Anjani mengambil fakultas yang dia mau," bujuk bunda yang membuatku tersenyum dalam pelukannya."Lihat, kelakuan Anjani. Itu karena Bunda selalu saja memanjakannya, dia jadi membangkang," cerca ayah. "Keluarga kita itu memang terlahir menjadi dokter. Kamu contoh Rania. Sekarang kakakmu itu sudah sukses menjadi dokter muda," papar ayah yang sedikit menggores hatiku.Aku tidak pernah suka dibandingkan. Ayah tahu itu tetapi tetap melakukannya. Bagiku, setiap manusia memiliki keunikan masing-masi