Dear diary.
"Aku tak pernah suka dibandingkan. Jadi jangan pernah lakukan itu."
***"Aku tidak mau, Ayah …. Bunda, tolong jelaskan pada Ayah jika aku tidak ingin menjadi dokter," ucapku seraya bergelayut manja pada bunda.
Bunda Fatma adalah wanita kuat kelahiran Bandung. Bunda adalah panutanku yang selalu menguatkan diriku saat rapuh. Tempatku bersandar dan pulang kala masalah menghampiri.
"Ayah, tidak boleh begitu, biarkan Anjani mengambil fakultas yang dia mau," bujuk bunda yang membuatku tersenyum dalam pelukannya.
"Lihat, kelakuan Anjani. Itu karena Bunda selalu saja memanjakannya, dia jadi membangkang," cerca ayah. "Keluarga kita itu memang terlahir menjadi dokter. Kamu contoh Rania. Sekarang kakakmu itu sudah sukses menjadi dokter muda," papar ayah yang sedikit menggores hatiku.
Aku tidak pernah suka dibandingkan. Ayah tahu itu tetapi tetap melakukannya. Bagiku, setiap manusia memiliki keunikan masing-masing. Kenapa harus disamakan jika bisa menjadi baik di bidang yang berbeda?
Baru saja aku hendak protes, suara kakakku terdengar, "Yah, jangan begitu. Sesuatu yang dipaksakan pasti tidak akan baik hasilnya. Bisa jadi Anjani akan berhenti di tengah jalan jika kita memaksanya."
"Ugh, Kakak memang yang terbaik," ujarku tanpa rasa bersalah.
"Kamu ini, selalu saja membela adikku. Kapan Anjani akan dewasa kalau kalian terus saja membelanya."
Nyaliku kembali ciut, kueratkan pelukan pada bunda untuk mencari perlindungan. Ayah dan bunda memang sangat bertolak belakang. Ayah memiiki sifat tegas yang terkadang membuatku takut.
"Yah, yang mau menjelaninya 'kan Anjani, kita tidak bisa memaksa. Tugas kita itu memfasilitasi dan mengarahkan ke jalan yang benar. Yang terpenting Anjani mau kuliah."
"Betul kata Bunda, Ayah. Bayangkan saja jika kita memaksanya untuk kuliah kedokteran dan akhirnya berhenti di tengah jalan, bukannya akan sia-sia?"
Aku hampir tertawa dalam pelukan bunda karena mendengar ayah dipojokan. Menjadi anak terakhir tidak bagitu buruk menurutku. Saat seperti ini, bunda dan kakak pasti akan membelaku.
"Baiklah! Terserah! Kalian ini selalu saja main keroyokan. Ayah kalah dan kalian menang. Tapi ada syaratnya, Anjani harus lulus dengan nilai terbaik. Jadi, fakultas apa yang akan kamu ambil, Anjani?"
"Anjani ingin masuk fakultas ekonomika dan bisnis jurusan manajemen, Yah," jelasku dengan senyum merekah.
"Ya sudah, terserah padamu saja. Tapi Anjani harus berjanji untuk giat belajar dan lulus dengan nilai terbaik, bisa?"
"Akan aku coba, Ayah. Anjani janji," ucapku sambil berpindah ke pelukan ayah.
Handian adalah nama ayahku. Sebenarnya dia sangat penyayang, tetapi ada satu sifatnya yang sangat ku benci. Ayah sangat senang membanding-bandingkan aku dan kakakku. Namun, aku tetap menyayanginya karena beliau pahlawanku.
"Kamu senang, hm," ujar ayah sambil membelai rambut hitam panjangku.
"Senang Ayah, terima kasih," ucapku seraya mengeratkan pelukan tanganku pada tubuh ayah.
"Iya, sama-sama. Besok ke kampusnya sama Rania, ya," ucap ayah yang kujawab dengan anggukan.
***
Sesuai rencana semalam, kini aku dan kakakku sedang dalam perjalanan ke kampus yang aku inginkan.
"Anjani, kamu yakin akan mengambil manajemen?" tanya Kak Rania dengan pandangan tetap fokus mengendarai mobil.
"Iya, Kak, kenapa?"
"Apa kamu yakin tidak mau menjadi dokter, bukankah dulu saat masih kecil, kamu sangat ingin menjadi dokter kandungan?"
"Itu dulu Kak. Kakak ‘kan tau sejak kejadian jarum suntik melengkung, aku benci dengan semua hal yang berkaitan dengan rumah sakit. Tidak bisa dibayangkan jika setiap hari aku harus berada di sana," jawabku menggebu-gebu.
"Iya, Kakak tau kok, tapi santai saja dong, Kakak ‘kan cuma tanya," ujarnya sambil terkekeh.
"Agrh, masih pagi juga. Kakak sudah membuat suasana hatiku berantakan," gerutuku.
"Oh ayolah, coba untuk berdamai dengan masa lalu. Kamu tau kalau dokter itu tidak sengaja 'kan?"
"Aku tau, Kak. Tapi gara-gara dia aku jadi takut dengan jarum suntik, dan itu menyebalkan."
Kakak tertawa mendengar omelanku. Hal itu justru membuatku semakin kesal.
Seperti yang kakakku bilang, dulu aku sangat ingin menjadi seorang dokter kandungan. Namun, karena satu kejadian aku jadi mengubah cita-citaku.
Kejadian itu sudah lama memang. Waktu itu aku sakit disentri. Penyakit radang usus dengan disertai diare berdarah. Penyebabnya adalah bakteri shigella atau amuba. Entah terinfeksi dari mana aku juga tidak tahu, yang jelas rasanya sangat menyakitkan.
Awalnya aku mengalami diare berdarah tetapi aku biarkan saja. Lama kelamaan aku sering merasakan nyeri dan kram perut yang teramat sakit. Hingga suatu malam aku mengalami demam tinggi dan akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Sejak saat itu, dokter mendiagnosis bahwa aku terkena disentri.
Dirawat di rumah sakit selama dua pekan sungguh sangat membosankan bagiku. Hingga sesuatu terjadi sehari sebelum aku diperbolehkan pulang. Seorang mahasiswa magang mendapat tugas untuk menyuntikkan cairan yang entah apa gunanya, aku juga tidak tahu. Mahasiswa laki-laki itu terlihat meyakinkan, jadi aku diam saja saat dia mulai memegang lenganku dan bersiap menyuntikkan cairan itu.
Aku tidak pernah melihat saat dokter atau suster melakukan tugasnya, tetapi entah kenapa kali ini aku penasaran, dan hal itu masih kusesali sampai sekarang. Aku melihat bagaimana jarum suntik yang seharusnya menusuk kulitku, justru melengkung. Ternyata mahasiswa itu lupa melepas ikatan di lenganku. Sejak hari itu, aku takut dengan jarum suntik.
"Sudah sampai, ayo turun. Pagi-pagi sudah melamun."
"Ini 'kan gara-gara Kakak, aku jadi mengingat kejadian menyebalkan dengan jarum suntik itu," gerutuku.
"Ya sudah lupakan dulu soal itu. Sebaiknya kita masuk sekarang, Kakak ada jadwal operasi tiga jam lagi," paparnya sambil melepas sabuk pengaman.
Kakiku menapak di pelataran kampus yang cukup asri.
"Pintar juga kamu pilih kampus," komentar Kak Rania saat melihat lingkungan kampus.
"Iya dong, Anjani," jawabku membanggakan diri.
"Yah, nggak jadi deh. Baru dipuji gitu aja udah terbang."
Aku menekuk bibirku mendengar penuturan Kak Rania. Kakak memang sangat menyebalkan, tetapi aku sangat menyayanginya.
"Sudah. Masuk, yuk," ajaknya.
Kami berjalan berdampingan melewati koridor panjang menuju ruang pendaftaran. Terlihat banyak calon mahasiswa yang berlalu-lalang sambil membawa berkas-berkas persyaratan. Aku yang malas ribet, memilih untuk memasukannya ke dalam tas yang kugendong.
Pendaftaran tidak terlalu lama karena aku tidak melalui jalur beasiswa. Rencananya akan aku coba mencari beasiswa pada semester depan.
Kini kakakku sedang mengantri untuk menyelesaikan administrasi. Sementara diriku menunggu di koridor dekat ruang rektorat sambil mengamati pemandangan kampus dari lantai tiga.
Mobil-mobil berjajar rapi menjadi pemandangan pertama yang aku lihat. Parkiran di sini cukup luas dan nyaman. Namun, sepertinya aku tidak akan membawa mobil karena hal itu merepotkan.
"Kamu ini, hobi kok melamun," tegur Kak Rania yang mengejutkanku.
"Ya ampun, Kak, kalau Anjani jantungan gimana coba?"
"Hus, doa kok jelek banget. Udah, pulang yuk. Atau kamu mau ikut Kakak ke rumah sakit?"
"Ogah banget. Pokoknya Kakak antar aku pulang dulu. Kalau nggak aku minta uang buat naik taksi," ujarku sambil tersenyum.
"Daripada kasih uang lebih baik Kakak antar pulang. Kamu 'kan kalau udah keluar kandang susah masuknya," cibir Kak Rania.
"Iya, deh, iya. Kakak yang penurut, berbakti, kebanggaan orang tua. Anjani mah apa, cuma serpihan gula."
"Kok, gula?"
"Iya dong, 'kan Anjani manis, kaya gula," ucapku dengan begitu percaya diri.
"Ya ampun, bunda ngidam apa sih pas hamil kamu. Kok bisa lahir spesies kaya gini bentuknya," ujar Kak Rania sambil geleng-geleng kepala melihat tingkahku.
"Kakakku yang cantik dan baik hati, tapi lebih cantik aku, kok tega sih sama adikmu yang manis ini," ucapku dengan wajah masam yang sengaja dibuat-buat.
"Udah deh, pulang yuk. Kalau lama-lama di sini Kakak takut kamu malu-maluin," ujarnya sambil menarik tanganku.
Aku hanya menurut saja ditarik oleh Kak Rania. Meski sedikit sakit, tetapi tidak masalah. Aku justru ingin tertawa melihat wajah Kak Rania yang sedikit memerah menahan kesal.
Dear diary."Selalu menurut belum tentu bahagia. Aku tahu ada luka di balik senyummu."***Jam menunjukkan pukul sepuluh malam saat aku tengah menonton serial kesukaanku. Sebuah kisah fantasi manusia serigala yang sudah ribuan kali diputar.Suara pintu dibuka mengalihkan atensiku dari layar televisi. Terlihat Kak Rania memasuki rumah sambil memijat tengkuknya, dan sesekali menggerakkan kepala ke kanan dan kiri. Dia terlihat sangat kelelahan."Tumben sampai larut, Kak?" tanyaku saat Kak Rania sudah berada dekat denganku."Ada korban kecelakaan tadi. Jadi, mau tidak mau Kakak harus menanganinya. Padahal tadi sudah bersiap untuk pulang," jelasnya sambil berlalu ke dapur.Aku kembali melanjutkan acara nontonku, hingga suara Kak Rania kembali terdengar."Anjani, sudah malam, tidur sana!""Iya, Kak, sebentar lagi," sahutku tanpa mengalihkan atensiku dari layar televisi, karena sedang menayangkan adegan
Dear diary."Kita dekat namun aku tak tahu isi hatimu. Aku berharap kita selamanya, namun nyatanya doaku tak terjawab."***Sesuai kepesakatan tadi pagi, aku dan Kak Rania akan pergi berburu novel, lalu setelah itu kami akan menghabiskan waktu di kedai es krim. Itu memang hobi kami dan bagian dari rutinitas setiap bulan.Kak Rania biasa memanfaatkan libur kerjanya untuk menghabiskan waktu bersamaku. Sedari kecil, aku memang lebih dekat dengan kakak dibandingkan dengan bunda apalagi ayah.Setiap aku terkena masalah atau melakukan kesalahan, Kak Rania akan berdiri di depanku untuk membela dan melindungiku dari amarah ayah.Aku memang sangat manja terhadap Kak Rania. Dulu dia juga yang paling bersedih saat tahu aku sakit.Kalian tau betapa aku sangat menyayangi Kak Rania? Bagiku dia adalah matahariku. Dia yang selalu memberi kehangatan yang jarang kudapat dari ayah. Karena memang aku tidak terlalu dekat dengan ay
Dear diary."Dia adalah orang asing yang hadir menjadi jarak di antara aku dan dirimu."***Malam telah berlalu terganti pagi nan sejuk. Aku masih bergelung di bawah selimut, meski sinar baskara telah menerobos ventilasi.Rasa dingin membuatku enggan beranjak. Malas merajai tubuhku. Beruntung masih ada waktu satu jam sebelum kuliah.Ingin rasanya kupejamkan mata kembali, jika saja suara syahdu bunda tak mengusikku."Anjani! Bangun ... kamu ini anak gadis, tapi bangunnya kok siang banget, sih!" Bunda berteriak sambil menggedor pintu kamarku.Aku hanya diam saja dan menaikkan selimut sampai menutup kepala."Anjani! Keluarlah, Bunda mau minta tolong.""Iya, Bunda! Sebentar!"Dengan ogah-ogahan kupaksa tubuh untuk bangkit. Langkah kakiku mengarah ke pintu."Ada apa sih, Bunda?" tanyaku saat pintu telah terbuka."Ini, ponsel kakakmu ketinggalan di meja makan. Bunda mau minta
Dear Diary“Aku benci rumah sakit, tetapi kenapa takdir seolah membawaku bersinggungan dengan tempat tersebut?”***Kaki ini melangkah menyusuri lorong-lorong di antara rak yang menjulang tinggi. Aku berada di tempat buku-buku yang tebalnya melebihi empat ratus halaman.Tidak ada orang lain selain diriku. Tentu saja semua orang sangat malas melihat buku setebal ini. Namun, hal tersebut tidak berlaku untukku.Sejak kecil, aku memang sudah sangat tertarik dengan misteri-misteri yang disimpan rapat oleh alam. Jadi, buku sejarah alam memang kesukaanku. Selain itu, kisah-kisah dunia fantasi juga memiliki tempat khusus di hatiku.Baru sebentar berkeliling, aku sudah tenggelam dalam bacaan sebuah buku tua bersampul cokelat. Bagian tepi buku ini sudah agak rusak, mungkin karena tidak terawatt mengingat rak sejarah sangat jarang dikunjungi.Lembar demi lembar buku sudah aku baca, suasana sunyi membuatku mera
Dear Diary“Kedua kalinya kamu datang, dan berhasil membawa pergi hati ini.”***Dua hari berada di tempat yang tidak aku sukai, itu sama rasanya seperti berbulan-bulan. Beruntung kini aku boleh keluar kamar, meski hanya boleh di taman rumah sakit. Setidaknya aku bisa menghirup udara kebebasan.Oh tidak, aku belum bebas. Dokter gila ini terus saja berada di dekatku. Tidak tahukan jika keberadaannya membuatku sangat tidak nyaman.Aku merasa sangat aneh dengan sikap bunda akhir-akhir ini. Wanita paruh baya itu sangat sering meninggalkanku berdua dengan dokter gila ini.Kenapa aku menyebut Pak Ardi dokter gila? Entahlah rasanya panggilan itu cocok dengan sikapnya yang menyebalkan.Dia itu seperti tidak punya pekerjaan lain. Sampai-sampai terus mengekoriku dengan dalih ini adalah
Dear Diary“Patah sebelum mengetahui faktanya, mana yang lebih sakit dari itu?”***Saat aku membuka mata, hanya ada bunda yang masih terlelap di sofa tunggu. Aku pikir akan ada Pak Ardi di sini, tetapi ternyata tidak.Eh, kenapa jadi mikirin dokter gila itu, sih?“Bunda ….” Aku merasa perutku tidak nyaman dan menyebalkannya sangat sulit untuk bangun.Terlihat bunda mulai menggeliat mendengar panggilanku.“Kenapa, Sayang?” tanya Bunda sambil mendekat.“Anjani pengin ke kamar mandi, Bunda.”Bunda mengangguk dan mulai membantuku untuk turun dari tempat tidur.Tepat saat Bunda sedang mengurus tiang infus, seseorang mengetuk pintu kamar ini.Seorang pria berjas dokter memasuki ruangan ini. Aroma parfum khas Pak Ardi langsung menusuk indera penciumanku. Aroma kopi dengan sedikit manis cukup membuatku nyaman.Aku melirik ke arahnya sekilas. Ngapain dokter gila itu ke sini?“Assalammu’alaikum, Bunda, Anjani ….” Aku hanya melirik malas pada pria yang tengah menyalami bunda.“Sok deket banget,
Dear Diary“Patah sebelum mengetahui faktanya, mana yang lebih sakit dari itu?”***Saat aku membuka mata, hanya ada bunda yang masih terlelap di sofa tunggu. Aku pikir akan ada Pak Ardi di sini, tetapi ternyata tidak.Eh, kenapa jadi mikirin dokter gila itu, sih?“Bunda ….” Aku merasa perutku tidak nyaman dan menyebalkannya sangat sulit untuk bangun.Terlihat bunda mulai menggeliat mendengar panggilanku.“Kenapa, Sayang?” tanya Bunda sambil mendekat.“Anjani pengin ke kamar mandi, Bunda.”Bunda mengangguk dan mulai membantuku untuk turun dari tempat tidur.Tepat saat Bunda sedang mengurus tiang infus, seseorang mengetuk pintu kamar ini.Seorang pria berjas dokter memasuki ruangan ini. Aroma parfum khas Pak Ardi langsung menusuk indera penciumanku. Aroma kopi dengan sedikit manis cukup membuatku nyaman.Aku melirik ke arahnya sekilas. Ngapain dokter gila itu ke sini?“Assalammu’alaikum, Bunda, Anjani ….” Aku hanya melirik malas pada pria yang tengah menyalami bunda.“Sok deket banget,
Dear Diary“Kedua kalinya kamu datang, dan berhasil membawa pergi hati ini.”***Dua hari berada di tempat yang tidak aku sukai, itu sama rasanya seperti berbulan-bulan. Beruntung kini aku boleh keluar kamar, meski hanya boleh di taman rumah sakit. Setidaknya aku bisa menghirup udara kebebasan.Oh tidak, aku belum bebas. Dokter gila ini terus saja berada di dekatku. Tidak tahukan jika keberadaannya membuatku sangat tidak nyaman.Aku merasa sangat aneh dengan sikap bunda akhir-akhir ini. Wanita paruh baya itu sangat sering meninggalkanku berdua dengan dokter gila ini.Kenapa aku menyebut Pak Ardi dokter gila? Entahlah rasanya panggilan itu cocok dengan sikapnya yang menyebalkan.Dia itu seperti tidak punya pekerjaan lain. Sampai-sampai terus mengekoriku dengan dalih ini adalah
Dear Diary“Aku benci rumah sakit, tetapi kenapa takdir seolah membawaku bersinggungan dengan tempat tersebut?”***Kaki ini melangkah menyusuri lorong-lorong di antara rak yang menjulang tinggi. Aku berada di tempat buku-buku yang tebalnya melebihi empat ratus halaman.Tidak ada orang lain selain diriku. Tentu saja semua orang sangat malas melihat buku setebal ini. Namun, hal tersebut tidak berlaku untukku.Sejak kecil, aku memang sudah sangat tertarik dengan misteri-misteri yang disimpan rapat oleh alam. Jadi, buku sejarah alam memang kesukaanku. Selain itu, kisah-kisah dunia fantasi juga memiliki tempat khusus di hatiku.Baru sebentar berkeliling, aku sudah tenggelam dalam bacaan sebuah buku tua bersampul cokelat. Bagian tepi buku ini sudah agak rusak, mungkin karena tidak terawatt mengingat rak sejarah sangat jarang dikunjungi.Lembar demi lembar buku sudah aku baca, suasana sunyi membuatku mera
Dear diary."Dia adalah orang asing yang hadir menjadi jarak di antara aku dan dirimu."***Malam telah berlalu terganti pagi nan sejuk. Aku masih bergelung di bawah selimut, meski sinar baskara telah menerobos ventilasi.Rasa dingin membuatku enggan beranjak. Malas merajai tubuhku. Beruntung masih ada waktu satu jam sebelum kuliah.Ingin rasanya kupejamkan mata kembali, jika saja suara syahdu bunda tak mengusikku."Anjani! Bangun ... kamu ini anak gadis, tapi bangunnya kok siang banget, sih!" Bunda berteriak sambil menggedor pintu kamarku.Aku hanya diam saja dan menaikkan selimut sampai menutup kepala."Anjani! Keluarlah, Bunda mau minta tolong.""Iya, Bunda! Sebentar!"Dengan ogah-ogahan kupaksa tubuh untuk bangkit. Langkah kakiku mengarah ke pintu."Ada apa sih, Bunda?" tanyaku saat pintu telah terbuka."Ini, ponsel kakakmu ketinggalan di meja makan. Bunda mau minta
Dear diary."Kita dekat namun aku tak tahu isi hatimu. Aku berharap kita selamanya, namun nyatanya doaku tak terjawab."***Sesuai kepesakatan tadi pagi, aku dan Kak Rania akan pergi berburu novel, lalu setelah itu kami akan menghabiskan waktu di kedai es krim. Itu memang hobi kami dan bagian dari rutinitas setiap bulan.Kak Rania biasa memanfaatkan libur kerjanya untuk menghabiskan waktu bersamaku. Sedari kecil, aku memang lebih dekat dengan kakak dibandingkan dengan bunda apalagi ayah.Setiap aku terkena masalah atau melakukan kesalahan, Kak Rania akan berdiri di depanku untuk membela dan melindungiku dari amarah ayah.Aku memang sangat manja terhadap Kak Rania. Dulu dia juga yang paling bersedih saat tahu aku sakit.Kalian tau betapa aku sangat menyayangi Kak Rania? Bagiku dia adalah matahariku. Dia yang selalu memberi kehangatan yang jarang kudapat dari ayah. Karena memang aku tidak terlalu dekat dengan ay
Dear diary."Selalu menurut belum tentu bahagia. Aku tahu ada luka di balik senyummu."***Jam menunjukkan pukul sepuluh malam saat aku tengah menonton serial kesukaanku. Sebuah kisah fantasi manusia serigala yang sudah ribuan kali diputar.Suara pintu dibuka mengalihkan atensiku dari layar televisi. Terlihat Kak Rania memasuki rumah sambil memijat tengkuknya, dan sesekali menggerakkan kepala ke kanan dan kiri. Dia terlihat sangat kelelahan."Tumben sampai larut, Kak?" tanyaku saat Kak Rania sudah berada dekat denganku."Ada korban kecelakaan tadi. Jadi, mau tidak mau Kakak harus menanganinya. Padahal tadi sudah bersiap untuk pulang," jelasnya sambil berlalu ke dapur.Aku kembali melanjutkan acara nontonku, hingga suara Kak Rania kembali terdengar."Anjani, sudah malam, tidur sana!""Iya, Kak, sebentar lagi," sahutku tanpa mengalihkan atensiku dari layar televisi, karena sedang menayangkan adegan
Dear diary."Aku tak pernah suka dibandingkan. Jadi jangan pernah lakukan itu."***"Aku tidak mau, Ayah …. Bunda, tolong jelaskan pada Ayah jika aku tidak ingin menjadi dokter," ucapku seraya bergelayut manja pada bunda.Bunda Fatma adalah wanita kuat kelahiran Bandung. Bunda adalah panutanku yang selalu menguatkan diriku saat rapuh. Tempatku bersandar dan pulang kala masalah menghampiri."Ayah, tidak boleh begitu, biarkan Anjani mengambil fakultas yang dia mau," bujuk bunda yang membuatku tersenyum dalam pelukannya."Lihat, kelakuan Anjani. Itu karena Bunda selalu saja memanjakannya, dia jadi membangkang," cerca ayah. "Keluarga kita itu memang terlahir menjadi dokter. Kamu contoh Rania. Sekarang kakakmu itu sudah sukses menjadi dokter muda," papar ayah yang sedikit menggores hatiku.Aku tidak pernah suka dibandingkan. Ayah tahu itu tetapi tetap melakukannya. Bagiku, setiap manusia memiliki keunikan masing-masi