Dear diary.
"Selalu menurut belum tentu bahagia. Aku tahu ada luka di balik senyummu."
***Jam menunjukkan pukul sepuluh malam saat aku tengah menonton serial kesukaanku. Sebuah kisah fantasi manusia serigala yang sudah ribuan kali diputar.
Suara pintu dibuka mengalihkan atensiku dari layar televisi. Terlihat Kak Rania memasuki rumah sambil memijat tengkuknya, dan sesekali menggerakkan kepala ke kanan dan kiri. Dia terlihat sangat kelelahan.
"Tumben sampai larut, Kak?" tanyaku saat Kak Rania sudah berada dekat denganku.
"Ada korban kecelakaan tadi. Jadi, mau tidak mau Kakak harus menanganinya. Padahal tadi sudah bersiap untuk pulang," jelasnya sambil berlalu ke dapur.
Aku kembali melanjutkan acara nontonku, hingga suara Kak Rania kembali terdengar.
"Anjani, sudah malam, tidur sana!"
"Iya, Kak, sebentar lagi," sahutku tanpa mengalihkan atensiku dari layar televisi, karena sedang menayangkan adegan perkelahian antar serigala yang kusuka.
"Tapi jangan lewat tengah malam, ya, nggak baik buat kesehatan."
“Siap, Bu Dokter,” ucapku seraya terkekeh.
Malam semakin larut. Tiba-tiba hujan turun dan membuat suasana menjadi dingin.
"Dingin banget, sih, padahal lagi asik nonton," gerutuku sambil mematikan televisi.
Aku beranjak ke kamar untuk berlindung di bawah selimut. Meski rumah rapat, angin nakal tetap saja bisa menembusnya. Perlahan, mataku tertutup dan mulai menyambut alam mimpi.
***
Pagi harinya aku menjalani rutinitas seperti biasa. Hari ini aku ada janji dengan temanku untuk ke toko buku. Kami berencana untuk berburu novel terbaru.
Sila adalah nama temanku, gadis ceria pecinta kartun dan novel romansa. Gadis tersebut adalah tempat curhatku, dan juga rekan kerjaku.
Kami bekerja di salah satu penerbit, Sila seorang editor sedangkan aku adalah layouter.
Saat aku sedang menyisir rambut, tiba-tiba benda pipih yang tergeletak di ranjang berdering.
"Iya, halo, Sil, gimana?"
Maaf ya, nggak bisa ketemu hari ini. Aku ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal.
"Hmm, okelah. Ke toko buku masih bisa lain kali kok," sahutku meski sedikit kecewa.
Sorry, ujarnya dengan nada bersalah yang kentara.
"Nggak papa. Ya udah lanjut kerja lagi sana!"
Oke, love you Jani-ku.
"Menyeramkan," sahutku lalu memutus sambungan sepihak.
Aku memutuskan keluar dari kamar menuju dapur. Kakiku melangkah ringan, dan bibirku sesekali bersenandung tidak jelas. Lalu aku menuruni anak tangga dengan jalan zig-zag. Jika kalian berpikir aku seperti anak kecil, kalian sama seperti bunda.
Mau bagaimana lagi, menuruni tangga dengan jalan zig-zag dan tidak menginjak batas tepi keramik itu sangat menyenangkan. Hal itu akan melatih keseimbangan otak kalian dan melatih kelincahan. Bayangkan saja jika kalian salah pijak pasti akan terjatuh. Sama sepertiku dulu saat kecil. Meski begitu tidak ada kata jera bagiku.
"Pagi, Bunda," sapaku saat sudah berada di pintu dapur.
"Pagi juga, Sayang."
"Kak Rania ke mana, Bunda? Biasanya bantuin masak," tanyaku sambil mengambil buah apel dari lemari pendingin.
"Kakakmu sudah berangkat dari pagi. Katanya sih ada keperluan mendesak."
"Ke rumah sakit?"
"Iya, lah, ke mana lagi? Kamu ini," ujar bunda sambil menoel hidungku.
Kasian sekali Kak Rania, pagi buta sudah berkutat dengan pasien. Berteman dengan jarum suntik dan alat lainnya. Membayangkan saja sudah membuat kepalaku pening.
"Ada yang bisa Anjani bantu, Bunda?"
"Kamu bawa ikan bakar itu ke meja makan, ya," pinta bunda sambil menunjuk piring oval berisi ikan gurame bakar dengan saus kecap dan tomat yang mempercantik tampilan.
Perutku berbunyi memberi tanda bahwa sudah tak sabar untuk melahap gurame bakar itu. Segera saja aku angkat piring itu menuju meja makan.
"Ayah, ayo sarapan!" teriakku.
"Ayahmu sudah berangkat bersama Rania tadi." Sahutan dari bunda mengalihkan atensiku dari tangga.
"Jadi … kita sarapan berdua? Ah, nggak asik!" keluhku.
Ada sedikit rasa kesal dalam hatiku. Hal seperti ini sudah sering sekali terjadi setelah Kak Rania menjadi dokter.
Dulu, Bunda juga seorang bidan. Namun, setelah Kak Rania selesai kuliah, beliau memilih berhenti. Kini bunda sibuk dengan kegiatan menanam bunga anggrek di pekarangan belakang rumah.
Karena Kak Rania dan juga ayah sudah tidak di rumah, terpaksa aku sarapan berdua dengan bunda.
"Anjani, masuk kuliahmu 'kan masih lama, selama tiga bulan ada kegiatan apa?"
"Biasa sih Bun, layout. Tapi mungkin nanti Anjani tambah, lumayan buat mengisi waktu libur," sahutku sambil tersenyum.
“Kamu nggak pengin cari kerja lain?”
“Nggak tau nanti, Bunda. Masih cari-cari info juga,” jawabku seraya memasukkan potongan gurame bakar ke mulut.
***
Hari demi hari berlalu tiga bulan tidak terlalu terasa karena aku sangat disibukkan oleh pekerjaan.
Tidak terasa, lusa aku sudah mulai kuliah. Segala keperluan sudah kusiapkan supaya tidak mendadak.
Suara ketukan pintu mengalihkan atensiku dari laptop.
"Masuk aja, nggak Anjani kunci kok," sahutku.
Pintu terbuka dan menampakkan sosok Kak Rania. Dia menutup kembali pintunya lalu menghampiriku yang berada di atas ranjang.
"Lagi ngapain, Dek?"
"Biasa, Kak, lagi layout novel. Ada apa, Kak?"
"Sebenarnya Kakak ke sini mau curhat sama kamu, tapi kayaknya kamu lagi sibuk," ujar Kak Rania dengan nada lesu.
Kuletakkan laptop yang ada di pangkuanku ke meja.
"Sini, sini. Kakak mau curhat apa, hm? Anjani selalu siap menjadi pendengar yang baik."
Kak Rania mendekat dan duduk di hadapanku. Tangannya terulur memegang tanganku. Hal itu adalah kebiasaannya saat bercerita.
"Kamu ingat nggak sama cowok yang Kakak suka waktu kuliah?"
"Yang satu fakultas sama Kakak, bukan, sih?" tanyaku sambil mengingat-ingat cerita Kak Rania, dulu.
"Iya, bener. Dia!" ucapnya dengan antusias dan binary di mata.
"Lalu? Apa hubungannya sama dia?"
"Kemarin ada dokter pindahan, kamu tau dia siapa?"
"Ya nggak lah, ‘kan Kakak belum cerita," sahutku.
"Aih. Dia itu cowok yang Kakak suka. Rasanya seneng banget bisa satu tempat kerja," ujarnya tanpa sadar meremas tanganku.
"Iya, Anjani tau Kakak bahagia, tapi jangan remas tanganku juga dong," gerutuku membuat remasan Kak Rania terlepas. "Sakit tau," makiku.
Kak Rania hanya terkekeh mendengar makianku.
"Oh, iya, Kak. Dia tau nggak kalau Kakak suka sama dia?"
Senyum di wajah Kak Rania perlahan luntur. Dia menunduk dan menggeleng pelan.
"Kalau gitu, Kakak tunjukin dong, jangan diem aja."
"Caranya?"
"Ya ampun, Kak, masa nggak tau," ucapku tidak percaya. "Kakak kasih perhatian, buatin makan kek, atau apa gitu," lanjutku.
"Ah, ya, bener banget. Makasih Dek, kamu emang terbaik," ujarnya sebelum berlalu begitu saja dari kamarku.
"Kakak menyebalkan, ide itu nggak gratis ya!" teriakku.
Suara tawa Kak Rania dan Bunda terdengar membuatku kesal. Selalu saja begitu. Mereka memang menyebalkan. Aku turun dari ranjang untuk menutup pintu agar suara mereka tidak terdengar.
Kubaringkan tubuh di ranjang. Perlahan mata ini mulai terpejam dan kesadaranku hilang, tenggelam memasuki alam mimpi.
Entah berapa jam aku tertidur. Yang kutahu jam makan malam telah terlewati.
"Ternyata aku lupa matikan laptop," gumamku.
Aku segera mematikan dan menyimpan laptop kemudian mengunci pintu kamar dan kembali tidur.
***
Kicau burung tetangga mengusik tidurku. Mau tidak mau kubuka mata karena sinar mentari mulai masuk melalui ventilasi udara.
"Dek, bangun!" suara teriakan dan gedoran pintu membuatku kesal.
"Iya ... sebentar," sahutku sambil turun dari ranjang untuk membuka pintu.
"Ada apa sih, Kak, masih pagi juga," gumamku sambil menguap.
"Mandi sana, Kakak mau ajak kamu pergi,"
"Ke mana?"
Dear diary."Kita dekat namun aku tak tahu isi hatimu. Aku berharap kita selamanya, namun nyatanya doaku tak terjawab."***Sesuai kepesakatan tadi pagi, aku dan Kak Rania akan pergi berburu novel, lalu setelah itu kami akan menghabiskan waktu di kedai es krim. Itu memang hobi kami dan bagian dari rutinitas setiap bulan.Kak Rania biasa memanfaatkan libur kerjanya untuk menghabiskan waktu bersamaku. Sedari kecil, aku memang lebih dekat dengan kakak dibandingkan dengan bunda apalagi ayah.Setiap aku terkena masalah atau melakukan kesalahan, Kak Rania akan berdiri di depanku untuk membela dan melindungiku dari amarah ayah.Aku memang sangat manja terhadap Kak Rania. Dulu dia juga yang paling bersedih saat tahu aku sakit.Kalian tau betapa aku sangat menyayangi Kak Rania? Bagiku dia adalah matahariku. Dia yang selalu memberi kehangatan yang jarang kudapat dari ayah. Karena memang aku tidak terlalu dekat dengan ay
Dear diary."Dia adalah orang asing yang hadir menjadi jarak di antara aku dan dirimu."***Malam telah berlalu terganti pagi nan sejuk. Aku masih bergelung di bawah selimut, meski sinar baskara telah menerobos ventilasi.Rasa dingin membuatku enggan beranjak. Malas merajai tubuhku. Beruntung masih ada waktu satu jam sebelum kuliah.Ingin rasanya kupejamkan mata kembali, jika saja suara syahdu bunda tak mengusikku."Anjani! Bangun ... kamu ini anak gadis, tapi bangunnya kok siang banget, sih!" Bunda berteriak sambil menggedor pintu kamarku.Aku hanya diam saja dan menaikkan selimut sampai menutup kepala."Anjani! Keluarlah, Bunda mau minta tolong.""Iya, Bunda! Sebentar!"Dengan ogah-ogahan kupaksa tubuh untuk bangkit. Langkah kakiku mengarah ke pintu."Ada apa sih, Bunda?" tanyaku saat pintu telah terbuka."Ini, ponsel kakakmu ketinggalan di meja makan. Bunda mau minta
Dear Diary“Aku benci rumah sakit, tetapi kenapa takdir seolah membawaku bersinggungan dengan tempat tersebut?”***Kaki ini melangkah menyusuri lorong-lorong di antara rak yang menjulang tinggi. Aku berada di tempat buku-buku yang tebalnya melebihi empat ratus halaman.Tidak ada orang lain selain diriku. Tentu saja semua orang sangat malas melihat buku setebal ini. Namun, hal tersebut tidak berlaku untukku.Sejak kecil, aku memang sudah sangat tertarik dengan misteri-misteri yang disimpan rapat oleh alam. Jadi, buku sejarah alam memang kesukaanku. Selain itu, kisah-kisah dunia fantasi juga memiliki tempat khusus di hatiku.Baru sebentar berkeliling, aku sudah tenggelam dalam bacaan sebuah buku tua bersampul cokelat. Bagian tepi buku ini sudah agak rusak, mungkin karena tidak terawatt mengingat rak sejarah sangat jarang dikunjungi.Lembar demi lembar buku sudah aku baca, suasana sunyi membuatku mera
Dear Diary“Kedua kalinya kamu datang, dan berhasil membawa pergi hati ini.”***Dua hari berada di tempat yang tidak aku sukai, itu sama rasanya seperti berbulan-bulan. Beruntung kini aku boleh keluar kamar, meski hanya boleh di taman rumah sakit. Setidaknya aku bisa menghirup udara kebebasan.Oh tidak, aku belum bebas. Dokter gila ini terus saja berada di dekatku. Tidak tahukan jika keberadaannya membuatku sangat tidak nyaman.Aku merasa sangat aneh dengan sikap bunda akhir-akhir ini. Wanita paruh baya itu sangat sering meninggalkanku berdua dengan dokter gila ini.Kenapa aku menyebut Pak Ardi dokter gila? Entahlah rasanya panggilan itu cocok dengan sikapnya yang menyebalkan.Dia itu seperti tidak punya pekerjaan lain. Sampai-sampai terus mengekoriku dengan dalih ini adalah
Dear Diary“Patah sebelum mengetahui faktanya, mana yang lebih sakit dari itu?”***Saat aku membuka mata, hanya ada bunda yang masih terlelap di sofa tunggu. Aku pikir akan ada Pak Ardi di sini, tetapi ternyata tidak.Eh, kenapa jadi mikirin dokter gila itu, sih?“Bunda ….” Aku merasa perutku tidak nyaman dan menyebalkannya sangat sulit untuk bangun.Terlihat bunda mulai menggeliat mendengar panggilanku.“Kenapa, Sayang?” tanya Bunda sambil mendekat.“Anjani pengin ke kamar mandi, Bunda.”Bunda mengangguk dan mulai membantuku untuk turun dari tempat tidur.Tepat saat Bunda sedang mengurus tiang infus, seseorang mengetuk pintu kamar ini.Seorang pria berjas dokter memasuki ruangan ini. Aroma parfum khas Pak Ardi langsung menusuk indera penciumanku. Aroma kopi dengan sedikit manis cukup membuatku nyaman.Aku melirik ke arahnya sekilas. Ngapain dokter gila itu ke sini?“Assalammu’alaikum, Bunda, Anjani ….” Aku hanya melirik malas pada pria yang tengah menyalami bunda.“Sok deket banget,
Dear diary."Aku tak pernah suka dibandingkan. Jadi jangan pernah lakukan itu."***"Aku tidak mau, Ayah …. Bunda, tolong jelaskan pada Ayah jika aku tidak ingin menjadi dokter," ucapku seraya bergelayut manja pada bunda.Bunda Fatma adalah wanita kuat kelahiran Bandung. Bunda adalah panutanku yang selalu menguatkan diriku saat rapuh. Tempatku bersandar dan pulang kala masalah menghampiri."Ayah, tidak boleh begitu, biarkan Anjani mengambil fakultas yang dia mau," bujuk bunda yang membuatku tersenyum dalam pelukannya."Lihat, kelakuan Anjani. Itu karena Bunda selalu saja memanjakannya, dia jadi membangkang," cerca ayah. "Keluarga kita itu memang terlahir menjadi dokter. Kamu contoh Rania. Sekarang kakakmu itu sudah sukses menjadi dokter muda," papar ayah yang sedikit menggores hatiku.Aku tidak pernah suka dibandingkan. Ayah tahu itu tetapi tetap melakukannya. Bagiku, setiap manusia memiliki keunikan masing-masi
Dear Diary“Patah sebelum mengetahui faktanya, mana yang lebih sakit dari itu?”***Saat aku membuka mata, hanya ada bunda yang masih terlelap di sofa tunggu. Aku pikir akan ada Pak Ardi di sini, tetapi ternyata tidak.Eh, kenapa jadi mikirin dokter gila itu, sih?“Bunda ….” Aku merasa perutku tidak nyaman dan menyebalkannya sangat sulit untuk bangun.Terlihat bunda mulai menggeliat mendengar panggilanku.“Kenapa, Sayang?” tanya Bunda sambil mendekat.“Anjani pengin ke kamar mandi, Bunda.”Bunda mengangguk dan mulai membantuku untuk turun dari tempat tidur.Tepat saat Bunda sedang mengurus tiang infus, seseorang mengetuk pintu kamar ini.Seorang pria berjas dokter memasuki ruangan ini. Aroma parfum khas Pak Ardi langsung menusuk indera penciumanku. Aroma kopi dengan sedikit manis cukup membuatku nyaman.Aku melirik ke arahnya sekilas. Ngapain dokter gila itu ke sini?“Assalammu’alaikum, Bunda, Anjani ….” Aku hanya melirik malas pada pria yang tengah menyalami bunda.“Sok deket banget,
Dear Diary“Kedua kalinya kamu datang, dan berhasil membawa pergi hati ini.”***Dua hari berada di tempat yang tidak aku sukai, itu sama rasanya seperti berbulan-bulan. Beruntung kini aku boleh keluar kamar, meski hanya boleh di taman rumah sakit. Setidaknya aku bisa menghirup udara kebebasan.Oh tidak, aku belum bebas. Dokter gila ini terus saja berada di dekatku. Tidak tahukan jika keberadaannya membuatku sangat tidak nyaman.Aku merasa sangat aneh dengan sikap bunda akhir-akhir ini. Wanita paruh baya itu sangat sering meninggalkanku berdua dengan dokter gila ini.Kenapa aku menyebut Pak Ardi dokter gila? Entahlah rasanya panggilan itu cocok dengan sikapnya yang menyebalkan.Dia itu seperti tidak punya pekerjaan lain. Sampai-sampai terus mengekoriku dengan dalih ini adalah
Dear Diary“Aku benci rumah sakit, tetapi kenapa takdir seolah membawaku bersinggungan dengan tempat tersebut?”***Kaki ini melangkah menyusuri lorong-lorong di antara rak yang menjulang tinggi. Aku berada di tempat buku-buku yang tebalnya melebihi empat ratus halaman.Tidak ada orang lain selain diriku. Tentu saja semua orang sangat malas melihat buku setebal ini. Namun, hal tersebut tidak berlaku untukku.Sejak kecil, aku memang sudah sangat tertarik dengan misteri-misteri yang disimpan rapat oleh alam. Jadi, buku sejarah alam memang kesukaanku. Selain itu, kisah-kisah dunia fantasi juga memiliki tempat khusus di hatiku.Baru sebentar berkeliling, aku sudah tenggelam dalam bacaan sebuah buku tua bersampul cokelat. Bagian tepi buku ini sudah agak rusak, mungkin karena tidak terawatt mengingat rak sejarah sangat jarang dikunjungi.Lembar demi lembar buku sudah aku baca, suasana sunyi membuatku mera
Dear diary."Dia adalah orang asing yang hadir menjadi jarak di antara aku dan dirimu."***Malam telah berlalu terganti pagi nan sejuk. Aku masih bergelung di bawah selimut, meski sinar baskara telah menerobos ventilasi.Rasa dingin membuatku enggan beranjak. Malas merajai tubuhku. Beruntung masih ada waktu satu jam sebelum kuliah.Ingin rasanya kupejamkan mata kembali, jika saja suara syahdu bunda tak mengusikku."Anjani! Bangun ... kamu ini anak gadis, tapi bangunnya kok siang banget, sih!" Bunda berteriak sambil menggedor pintu kamarku.Aku hanya diam saja dan menaikkan selimut sampai menutup kepala."Anjani! Keluarlah, Bunda mau minta tolong.""Iya, Bunda! Sebentar!"Dengan ogah-ogahan kupaksa tubuh untuk bangkit. Langkah kakiku mengarah ke pintu."Ada apa sih, Bunda?" tanyaku saat pintu telah terbuka."Ini, ponsel kakakmu ketinggalan di meja makan. Bunda mau minta
Dear diary."Kita dekat namun aku tak tahu isi hatimu. Aku berharap kita selamanya, namun nyatanya doaku tak terjawab."***Sesuai kepesakatan tadi pagi, aku dan Kak Rania akan pergi berburu novel, lalu setelah itu kami akan menghabiskan waktu di kedai es krim. Itu memang hobi kami dan bagian dari rutinitas setiap bulan.Kak Rania biasa memanfaatkan libur kerjanya untuk menghabiskan waktu bersamaku. Sedari kecil, aku memang lebih dekat dengan kakak dibandingkan dengan bunda apalagi ayah.Setiap aku terkena masalah atau melakukan kesalahan, Kak Rania akan berdiri di depanku untuk membela dan melindungiku dari amarah ayah.Aku memang sangat manja terhadap Kak Rania. Dulu dia juga yang paling bersedih saat tahu aku sakit.Kalian tau betapa aku sangat menyayangi Kak Rania? Bagiku dia adalah matahariku. Dia yang selalu memberi kehangatan yang jarang kudapat dari ayah. Karena memang aku tidak terlalu dekat dengan ay
Dear diary."Selalu menurut belum tentu bahagia. Aku tahu ada luka di balik senyummu."***Jam menunjukkan pukul sepuluh malam saat aku tengah menonton serial kesukaanku. Sebuah kisah fantasi manusia serigala yang sudah ribuan kali diputar.Suara pintu dibuka mengalihkan atensiku dari layar televisi. Terlihat Kak Rania memasuki rumah sambil memijat tengkuknya, dan sesekali menggerakkan kepala ke kanan dan kiri. Dia terlihat sangat kelelahan."Tumben sampai larut, Kak?" tanyaku saat Kak Rania sudah berada dekat denganku."Ada korban kecelakaan tadi. Jadi, mau tidak mau Kakak harus menanganinya. Padahal tadi sudah bersiap untuk pulang," jelasnya sambil berlalu ke dapur.Aku kembali melanjutkan acara nontonku, hingga suara Kak Rania kembali terdengar."Anjani, sudah malam, tidur sana!""Iya, Kak, sebentar lagi," sahutku tanpa mengalihkan atensiku dari layar televisi, karena sedang menayangkan adegan
Dear diary."Aku tak pernah suka dibandingkan. Jadi jangan pernah lakukan itu."***"Aku tidak mau, Ayah …. Bunda, tolong jelaskan pada Ayah jika aku tidak ingin menjadi dokter," ucapku seraya bergelayut manja pada bunda.Bunda Fatma adalah wanita kuat kelahiran Bandung. Bunda adalah panutanku yang selalu menguatkan diriku saat rapuh. Tempatku bersandar dan pulang kala masalah menghampiri."Ayah, tidak boleh begitu, biarkan Anjani mengambil fakultas yang dia mau," bujuk bunda yang membuatku tersenyum dalam pelukannya."Lihat, kelakuan Anjani. Itu karena Bunda selalu saja memanjakannya, dia jadi membangkang," cerca ayah. "Keluarga kita itu memang terlahir menjadi dokter. Kamu contoh Rania. Sekarang kakakmu itu sudah sukses menjadi dokter muda," papar ayah yang sedikit menggores hatiku.Aku tidak pernah suka dibandingkan. Ayah tahu itu tetapi tetap melakukannya. Bagiku, setiap manusia memiliki keunikan masing-masi