Dear diary.
"Kita dekat namun aku tak tahu isi hatimu. Aku berharap kita selamanya, namun nyatanya doaku tak terjawab."
***Sesuai kepesakatan tadi pagi, aku dan Kak Rania akan pergi berburu novel, lalu setelah itu kami akan menghabiskan waktu di kedai es krim. Itu memang hobi kami dan bagian dari rutinitas setiap bulan.
Kak Rania biasa memanfaatkan libur kerjanya untuk menghabiskan waktu bersamaku. Sedari kecil, aku memang lebih dekat dengan kakak dibandingkan dengan bunda apalagi ayah.
Setiap aku terkena masalah atau melakukan kesalahan, Kak Rania akan berdiri di depanku untuk membela dan melindungiku dari amarah ayah.
Aku memang sangat manja terhadap Kak Rania. Dulu dia juga yang paling bersedih saat tahu aku sakit.
Kalian tau betapa aku sangat menyayangi Kak Rania? Bagiku dia adalah matahariku. Dia yang selalu memberi kehangatan yang jarang kudapat dari ayah. Karena memang aku tidak terlalu dekat dengan ayah.
"Dek. Kamu kok akhir-akhir ini hobi melamun. Ada masalah?" Teguran dari Kak Rania membuatku menoleh.
"Nggak, kok, Kak. Cuma lagi jenuh aja," jawabku asal.
"Nah, kalau gitu habiskan sarapannya supaya cepat berangkat. Kakak dengar ada banyak novel fantasi yang baru terbit. Apalagi kisah tentang, apa itu ww ...."
"Werewolf?"
"Nah iya itu," ujar Kak Rania dengan senyum mengembang.
"Beneran nih? Tapi Kakak yang bayar ya," ucapku antusias.
"Iya, nanti Kakak yang bayar," jawabnya yang membuat senyuman terukir di wajahku.
Seperti liburan bulan-bulan yang lalu, kakak akan membawaku berkeliling di toko buku. Kami biasa melakukan ini sejak SMP.
Awalnya kami pergi secara diam-diam. Namun, lama-kelamaan ayah dan bunda mengetahuinya. Kami sempat dihukum karena hal itu. Tapi tidak berlangsung lama karena Kak Rania kembali menemukan cara aman untuk melakukannya, meski dengan sedikit kebohongan.
Tapi kini semua itu sudah berlalu. Bunda dan ayah tidak pernah melarang kami lagi untuk membeli novel.
Di sinilah kami sekarang. Berada di antara rak-rak buku yang menjajakan novel-novel terbaru. Kak Rania sudah lebih dulu menuju kumpulan novel romansa, sedangkan aku berjalan menuju tumpukan novel fantasi.
Benar kata Kak Rania. Banyak buku-buku terbaru tentang manusia serigala.
Tanganku lincah mengambil buku-buku dengan tema kesukaanku.
"Aih, kenapa tadi tidak ambil keranjang, gini 'kan susah," gerutuku.
Kedua tanganku memegang setumpuk novel dengan ketebalan rata-rata tiga ratus halaman. Aku berjalan pelan karena novel di tanganku sedikit menutupi pandangan.
Hingga tanpa sadar, aku menabrak seseorang. Buku-buku berjatuhan dan berserakan di lantai.
"Maaf, saya tidak sengaja," ujarnya sambil membantu memungut novelku.
"Iya, nggak apa kok, salahku juga yang ceroboh."
"Ini bukumu."
"Ah, iya, terima kasih."
Setelah mengucapkan terima kasih, aku segera berlalu. Ada rasa tidak nyaman berada di dekat lelaki itu. Bahasanya yang terlalu formal dan kaku membuat suasana semakin canggung.
Jika dilihat sekilas dia lumayan tampan dengan rambut dibelah rapi. Meski hanya memakai kaos biasa dan celana training panjang, dia terlihat manis.
Hus, apa-apaan otakku ini, dasar jomblo nggak bisa liat yang bening dikit!
"Dek, udah pilih novelnya?" tanya Kak Rania yang sudah berada di dekatku.
"Udah, Kak," jawabku seraya meliriknya yang membawa dua novel berwarna coklat susu dan biru muda.
"Ya, sudah, ayo ke kasir!"
Antrian cukup panjang membuat tanganku pegal karena buku yang ku pegang cukup berat. Kakakku tersayang sepertinya tidak ingin membantu sama sekali. Karena sekarang tangannya yang satu sedang sibuk berlarian di atas keyboard ponsel.
Aku dan Kak Rania sudah sampai di parkiran. Kami berniat mengunjungi toko es krim. Es krim adalah makanan yang tidak akan pernah dilewatkan saat kami pergi ke luar.
"Kakak sudah pesan tempat duduk biasanya 'kan?"
"Sudah kok, semuanya sudah beres."
Kami memang tidak pernah absen untuk ke toko itu setiap bulannya. Bahkan sang pemilik toko sudah sangat hafal dengan kami.
***
Kak Rania menghentikan laju mobil kami di parkiran toko. Bangunan khas anak muda dengan nuansa romance mendominasi. Namun, jangan salah sangka, bangunan toko tidak berwarna merah muda, melainkan biru muda yang sangat indah. Warna yang dipilih sangat mencolok dan membuatnya tidak pernah sepi pengunjung.
Tanganku terulur membuka pintu dan membuat lonceng berbunyi. Kami disambut senyum manis salah satu petugas yang berjaga di dekat pintu. Inilah yang membedakan kedai es krim yang satu ini dengan lainnya. Pekerja di sini sangat ramah dan murah senyum sehingga membuat pengunjung betah berlama-lama.
Selain dari segi pelayanan, es krim di sini juga paling enak. Favoritku adalah coklat dengan saos stroberi dan taburan kacang almond. Sedangkan Kak Rania sangat suka dengan vanila bluberi.
Kami menempati meja paling dekat dengan panggung. Kedai es krim ini juga menyediakan panggung untuk orang-orang kreatif yang belum memiliki tempat untuk menyalurkan bakat mereka.
Alunan musik terdengar indah di telinga. Duduk berhadapan bersama Kak Rania sambil menikmati es krim adalah momen yang selalu kutunggu setiap bulan.
Kak Rania yang semakin sibuk membuat waktu kami bersama semakin jarang. Jadi, saat-saat seperti inilah kami bisa menghabiskan waktu bersama.
"Dek, nyanyi, yuk. Udah lama loh kita nggak duet," ajak Kak Rania.
"Nggak, ah, Kak. Pengunjung lagi rame banget. Anjani malu," tolakku.
Jujur saja aku tidak terlalu percaya diri dengan suaraku. Aku takut saat bernyanyi dan aku merasa bagus, tetapi nyatanya terdengar buruk di telinga orang lain.
"Ayolah, masa cuma duduk-duduk."
"Anjani nggak mau, Kak. Mending minta satu lagu aja ke mereka," jawabku sambil menunjuk sekelompok orang yang berada di atas panggung.
"Nggak, ah."
"Ya, udah, makan es krim aja, punya Kakak masih banyak tuh."
Akhirnya Kak Rania mengalah dan memilih untuk melanjutkan makannya. Kami menikmati es krim sambil sesekali membicarakan hal tidak penting.
Dari mulai kucing tetangga yang mati setelah semalaman terjebak di got, keisengan teman Kak Rania saat menangani pasien, dan masih banyak lagi.
Waktu terus bergulir, bahkan aku sudah menghabiskan dua porsi es krim. Kini senja mulai terlihat, memamerkan cahaya jingga yang menawan.
"Udah mau gelap. Pulang, yuk!"
"Ayo, Kak. Sebelum ada teror dari bunda," ujarku sambil tertawa.
Baru saja berucap ponsel Kak Rania berbunyi tanda pesan masuk.
"Bunda ya, Kak?"
"Iya, kamu balas nih, Kakak mau bayar dulu."
Aku dan Kak Rania sudah berada di dalam mobil dan siap melaju. Perlahan mobil bergerak meninggalkan pelataran kedai es krim tersebut.
Entah hanya perasaanku saja atau memang pertanda, aku merasa akan merindukan momen ini.
"Kak, cari penjual martabak dulu, ya," pintaku.
"Boleh, sekalian beli buat ayah sama bunda biar nggak diomelin," sahut Kak Risa sambil tertawa.
***
Kami sampai di rumah tepat pukul tujuh malam. Bunda sudah berada di teras menunggu aku dan Kak Rania.
"Bunda kok di luar, ‘kan Anjani udah bilang, kalau kita pergi jangan ditungguin pulangnya," ujarku saat sudah di dekat bunda.
"Kamu ini gimana, kalian itu anak gadis Bunda, mana mungkin Bunda nggak khawatir."
"Tapi kami udah besar, Bunda," protesku.
"Sudah-sudah, Anjani ini novelmu," lerai Kak Rania sambil memberikan kantong keresek besar kepadaku.
"Ya Tuhan, kamu abis merampok Kakakmu? Dasar anak nakal," ujar bunda dengan nada bercanda.
Aku sudah lebih dulu melarikan diri sebelum terkena cubitan cinta dari bunda. Kudengar suara tawa Kak Rania dari dalam. Namun, rasanya ada yang aneh. Seperti ada sesuatu yang akan hilang.
Dear diary."Dia adalah orang asing yang hadir menjadi jarak di antara aku dan dirimu."***Malam telah berlalu terganti pagi nan sejuk. Aku masih bergelung di bawah selimut, meski sinar baskara telah menerobos ventilasi.Rasa dingin membuatku enggan beranjak. Malas merajai tubuhku. Beruntung masih ada waktu satu jam sebelum kuliah.Ingin rasanya kupejamkan mata kembali, jika saja suara syahdu bunda tak mengusikku."Anjani! Bangun ... kamu ini anak gadis, tapi bangunnya kok siang banget, sih!" Bunda berteriak sambil menggedor pintu kamarku.Aku hanya diam saja dan menaikkan selimut sampai menutup kepala."Anjani! Keluarlah, Bunda mau minta tolong.""Iya, Bunda! Sebentar!"Dengan ogah-ogahan kupaksa tubuh untuk bangkit. Langkah kakiku mengarah ke pintu."Ada apa sih, Bunda?" tanyaku saat pintu telah terbuka."Ini, ponsel kakakmu ketinggalan di meja makan. Bunda mau minta
Dear Diary“Aku benci rumah sakit, tetapi kenapa takdir seolah membawaku bersinggungan dengan tempat tersebut?”***Kaki ini melangkah menyusuri lorong-lorong di antara rak yang menjulang tinggi. Aku berada di tempat buku-buku yang tebalnya melebihi empat ratus halaman.Tidak ada orang lain selain diriku. Tentu saja semua orang sangat malas melihat buku setebal ini. Namun, hal tersebut tidak berlaku untukku.Sejak kecil, aku memang sudah sangat tertarik dengan misteri-misteri yang disimpan rapat oleh alam. Jadi, buku sejarah alam memang kesukaanku. Selain itu, kisah-kisah dunia fantasi juga memiliki tempat khusus di hatiku.Baru sebentar berkeliling, aku sudah tenggelam dalam bacaan sebuah buku tua bersampul cokelat. Bagian tepi buku ini sudah agak rusak, mungkin karena tidak terawatt mengingat rak sejarah sangat jarang dikunjungi.Lembar demi lembar buku sudah aku baca, suasana sunyi membuatku mera
Dear Diary“Kedua kalinya kamu datang, dan berhasil membawa pergi hati ini.”***Dua hari berada di tempat yang tidak aku sukai, itu sama rasanya seperti berbulan-bulan. Beruntung kini aku boleh keluar kamar, meski hanya boleh di taman rumah sakit. Setidaknya aku bisa menghirup udara kebebasan.Oh tidak, aku belum bebas. Dokter gila ini terus saja berada di dekatku. Tidak tahukan jika keberadaannya membuatku sangat tidak nyaman.Aku merasa sangat aneh dengan sikap bunda akhir-akhir ini. Wanita paruh baya itu sangat sering meninggalkanku berdua dengan dokter gila ini.Kenapa aku menyebut Pak Ardi dokter gila? Entahlah rasanya panggilan itu cocok dengan sikapnya yang menyebalkan.Dia itu seperti tidak punya pekerjaan lain. Sampai-sampai terus mengekoriku dengan dalih ini adalah
Dear Diary“Patah sebelum mengetahui faktanya, mana yang lebih sakit dari itu?”***Saat aku membuka mata, hanya ada bunda yang masih terlelap di sofa tunggu. Aku pikir akan ada Pak Ardi di sini, tetapi ternyata tidak.Eh, kenapa jadi mikirin dokter gila itu, sih?“Bunda ….” Aku merasa perutku tidak nyaman dan menyebalkannya sangat sulit untuk bangun.Terlihat bunda mulai menggeliat mendengar panggilanku.“Kenapa, Sayang?” tanya Bunda sambil mendekat.“Anjani pengin ke kamar mandi, Bunda.”Bunda mengangguk dan mulai membantuku untuk turun dari tempat tidur.Tepat saat Bunda sedang mengurus tiang infus, seseorang mengetuk pintu kamar ini.Seorang pria berjas dokter memasuki ruangan ini. Aroma parfum khas Pak Ardi langsung menusuk indera penciumanku. Aroma kopi dengan sedikit manis cukup membuatku nyaman.Aku melirik ke arahnya sekilas. Ngapain dokter gila itu ke sini?“Assalammu’alaikum, Bunda, Anjani ….” Aku hanya melirik malas pada pria yang tengah menyalami bunda.“Sok deket banget,
Dear diary."Aku tak pernah suka dibandingkan. Jadi jangan pernah lakukan itu."***"Aku tidak mau, Ayah …. Bunda, tolong jelaskan pada Ayah jika aku tidak ingin menjadi dokter," ucapku seraya bergelayut manja pada bunda.Bunda Fatma adalah wanita kuat kelahiran Bandung. Bunda adalah panutanku yang selalu menguatkan diriku saat rapuh. Tempatku bersandar dan pulang kala masalah menghampiri."Ayah, tidak boleh begitu, biarkan Anjani mengambil fakultas yang dia mau," bujuk bunda yang membuatku tersenyum dalam pelukannya."Lihat, kelakuan Anjani. Itu karena Bunda selalu saja memanjakannya, dia jadi membangkang," cerca ayah. "Keluarga kita itu memang terlahir menjadi dokter. Kamu contoh Rania. Sekarang kakakmu itu sudah sukses menjadi dokter muda," papar ayah yang sedikit menggores hatiku.Aku tidak pernah suka dibandingkan. Ayah tahu itu tetapi tetap melakukannya. Bagiku, setiap manusia memiliki keunikan masing-masi
Dear diary."Selalu menurut belum tentu bahagia. Aku tahu ada luka di balik senyummu."***Jam menunjukkan pukul sepuluh malam saat aku tengah menonton serial kesukaanku. Sebuah kisah fantasi manusia serigala yang sudah ribuan kali diputar.Suara pintu dibuka mengalihkan atensiku dari layar televisi. Terlihat Kak Rania memasuki rumah sambil memijat tengkuknya, dan sesekali menggerakkan kepala ke kanan dan kiri. Dia terlihat sangat kelelahan."Tumben sampai larut, Kak?" tanyaku saat Kak Rania sudah berada dekat denganku."Ada korban kecelakaan tadi. Jadi, mau tidak mau Kakak harus menanganinya. Padahal tadi sudah bersiap untuk pulang," jelasnya sambil berlalu ke dapur.Aku kembali melanjutkan acara nontonku, hingga suara Kak Rania kembali terdengar."Anjani, sudah malam, tidur sana!""Iya, Kak, sebentar lagi," sahutku tanpa mengalihkan atensiku dari layar televisi, karena sedang menayangkan adegan
Dear Diary“Patah sebelum mengetahui faktanya, mana yang lebih sakit dari itu?”***Saat aku membuka mata, hanya ada bunda yang masih terlelap di sofa tunggu. Aku pikir akan ada Pak Ardi di sini, tetapi ternyata tidak.Eh, kenapa jadi mikirin dokter gila itu, sih?“Bunda ….” Aku merasa perutku tidak nyaman dan menyebalkannya sangat sulit untuk bangun.Terlihat bunda mulai menggeliat mendengar panggilanku.“Kenapa, Sayang?” tanya Bunda sambil mendekat.“Anjani pengin ke kamar mandi, Bunda.”Bunda mengangguk dan mulai membantuku untuk turun dari tempat tidur.Tepat saat Bunda sedang mengurus tiang infus, seseorang mengetuk pintu kamar ini.Seorang pria berjas dokter memasuki ruangan ini. Aroma parfum khas Pak Ardi langsung menusuk indera penciumanku. Aroma kopi dengan sedikit manis cukup membuatku nyaman.Aku melirik ke arahnya sekilas. Ngapain dokter gila itu ke sini?“Assalammu’alaikum, Bunda, Anjani ….” Aku hanya melirik malas pada pria yang tengah menyalami bunda.“Sok deket banget,
Dear Diary“Kedua kalinya kamu datang, dan berhasil membawa pergi hati ini.”***Dua hari berada di tempat yang tidak aku sukai, itu sama rasanya seperti berbulan-bulan. Beruntung kini aku boleh keluar kamar, meski hanya boleh di taman rumah sakit. Setidaknya aku bisa menghirup udara kebebasan.Oh tidak, aku belum bebas. Dokter gila ini terus saja berada di dekatku. Tidak tahukan jika keberadaannya membuatku sangat tidak nyaman.Aku merasa sangat aneh dengan sikap bunda akhir-akhir ini. Wanita paruh baya itu sangat sering meninggalkanku berdua dengan dokter gila ini.Kenapa aku menyebut Pak Ardi dokter gila? Entahlah rasanya panggilan itu cocok dengan sikapnya yang menyebalkan.Dia itu seperti tidak punya pekerjaan lain. Sampai-sampai terus mengekoriku dengan dalih ini adalah
Dear Diary“Aku benci rumah sakit, tetapi kenapa takdir seolah membawaku bersinggungan dengan tempat tersebut?”***Kaki ini melangkah menyusuri lorong-lorong di antara rak yang menjulang tinggi. Aku berada di tempat buku-buku yang tebalnya melebihi empat ratus halaman.Tidak ada orang lain selain diriku. Tentu saja semua orang sangat malas melihat buku setebal ini. Namun, hal tersebut tidak berlaku untukku.Sejak kecil, aku memang sudah sangat tertarik dengan misteri-misteri yang disimpan rapat oleh alam. Jadi, buku sejarah alam memang kesukaanku. Selain itu, kisah-kisah dunia fantasi juga memiliki tempat khusus di hatiku.Baru sebentar berkeliling, aku sudah tenggelam dalam bacaan sebuah buku tua bersampul cokelat. Bagian tepi buku ini sudah agak rusak, mungkin karena tidak terawatt mengingat rak sejarah sangat jarang dikunjungi.Lembar demi lembar buku sudah aku baca, suasana sunyi membuatku mera
Dear diary."Dia adalah orang asing yang hadir menjadi jarak di antara aku dan dirimu."***Malam telah berlalu terganti pagi nan sejuk. Aku masih bergelung di bawah selimut, meski sinar baskara telah menerobos ventilasi.Rasa dingin membuatku enggan beranjak. Malas merajai tubuhku. Beruntung masih ada waktu satu jam sebelum kuliah.Ingin rasanya kupejamkan mata kembali, jika saja suara syahdu bunda tak mengusikku."Anjani! Bangun ... kamu ini anak gadis, tapi bangunnya kok siang banget, sih!" Bunda berteriak sambil menggedor pintu kamarku.Aku hanya diam saja dan menaikkan selimut sampai menutup kepala."Anjani! Keluarlah, Bunda mau minta tolong.""Iya, Bunda! Sebentar!"Dengan ogah-ogahan kupaksa tubuh untuk bangkit. Langkah kakiku mengarah ke pintu."Ada apa sih, Bunda?" tanyaku saat pintu telah terbuka."Ini, ponsel kakakmu ketinggalan di meja makan. Bunda mau minta
Dear diary."Kita dekat namun aku tak tahu isi hatimu. Aku berharap kita selamanya, namun nyatanya doaku tak terjawab."***Sesuai kepesakatan tadi pagi, aku dan Kak Rania akan pergi berburu novel, lalu setelah itu kami akan menghabiskan waktu di kedai es krim. Itu memang hobi kami dan bagian dari rutinitas setiap bulan.Kak Rania biasa memanfaatkan libur kerjanya untuk menghabiskan waktu bersamaku. Sedari kecil, aku memang lebih dekat dengan kakak dibandingkan dengan bunda apalagi ayah.Setiap aku terkena masalah atau melakukan kesalahan, Kak Rania akan berdiri di depanku untuk membela dan melindungiku dari amarah ayah.Aku memang sangat manja terhadap Kak Rania. Dulu dia juga yang paling bersedih saat tahu aku sakit.Kalian tau betapa aku sangat menyayangi Kak Rania? Bagiku dia adalah matahariku. Dia yang selalu memberi kehangatan yang jarang kudapat dari ayah. Karena memang aku tidak terlalu dekat dengan ay
Dear diary."Selalu menurut belum tentu bahagia. Aku tahu ada luka di balik senyummu."***Jam menunjukkan pukul sepuluh malam saat aku tengah menonton serial kesukaanku. Sebuah kisah fantasi manusia serigala yang sudah ribuan kali diputar.Suara pintu dibuka mengalihkan atensiku dari layar televisi. Terlihat Kak Rania memasuki rumah sambil memijat tengkuknya, dan sesekali menggerakkan kepala ke kanan dan kiri. Dia terlihat sangat kelelahan."Tumben sampai larut, Kak?" tanyaku saat Kak Rania sudah berada dekat denganku."Ada korban kecelakaan tadi. Jadi, mau tidak mau Kakak harus menanganinya. Padahal tadi sudah bersiap untuk pulang," jelasnya sambil berlalu ke dapur.Aku kembali melanjutkan acara nontonku, hingga suara Kak Rania kembali terdengar."Anjani, sudah malam, tidur sana!""Iya, Kak, sebentar lagi," sahutku tanpa mengalihkan atensiku dari layar televisi, karena sedang menayangkan adegan
Dear diary."Aku tak pernah suka dibandingkan. Jadi jangan pernah lakukan itu."***"Aku tidak mau, Ayah …. Bunda, tolong jelaskan pada Ayah jika aku tidak ingin menjadi dokter," ucapku seraya bergelayut manja pada bunda.Bunda Fatma adalah wanita kuat kelahiran Bandung. Bunda adalah panutanku yang selalu menguatkan diriku saat rapuh. Tempatku bersandar dan pulang kala masalah menghampiri."Ayah, tidak boleh begitu, biarkan Anjani mengambil fakultas yang dia mau," bujuk bunda yang membuatku tersenyum dalam pelukannya."Lihat, kelakuan Anjani. Itu karena Bunda selalu saja memanjakannya, dia jadi membangkang," cerca ayah. "Keluarga kita itu memang terlahir menjadi dokter. Kamu contoh Rania. Sekarang kakakmu itu sudah sukses menjadi dokter muda," papar ayah yang sedikit menggores hatiku.Aku tidak pernah suka dibandingkan. Ayah tahu itu tetapi tetap melakukannya. Bagiku, setiap manusia memiliki keunikan masing-masi