"Rauna, umur udah tua tapi kali ini kau tolak lagi lamaran anak juragan empang kampung sebelah. Pusing tahu kepala mbak! Maumu apa, sih? Mau sampai kapan kamu begini? Kapan mbak bisa tidur nyenyak, jika pinta terakhir almarhum ibu belum juga bisa mbak lakukan. Nikah dong Una ...."
Mbakku, Rina. Selalu memaksaku menikah dan menjodohkanku dengan banyak pria pilihannya.
Aku mengerti, aku paham! Jika itu merupakan pinta almarhum Ibu yang terakhir pada Mbak Ina, tapi aku sampai sekarang belum menemukan pria yang sesuai kata hati.
"Mbak, bisa kasih Una waktu buat nafas gak, sih! Nanti juga Una nikah kok Mbak, dan pastinya gak akan ngerepotin Mbak. Una mohon, lelaki hari ini merupakan lelaki terakhir yang Mbak kenalkan pada Una. Jodoh itu rahasia Tuhan, Mbak! Jangan paksa kehendak Mbak pada Una!" tegasku kala itu.
Mbak Rina atau Mbak Ina, panggilannya.
Menatapku nyalang.
"Yo wes, terserah kamu aja Una! Toh keras kepala, watak kepala batu sudah mendarah daging! Aku sebagai mbak-mu, setidaknya sudah berusaha memberi jalan untukmu. Jika bagimu tak ada kecocokan dan ingin menunggu hingga jadi perawan tua sampai satu abad juga, mbak udah ga mau tahu lagi." Mbak Ina pergi sembari menarik lengan suaminya, Mas Irgi yang menatapku sendu.
Ya, lelaki itu adalah alasan aku tak jua menikah sampai sekarang.
Mas Irgi, kekasihku semasa kuliah dan kami sudah merencanakan pernikahan kala itu.
Kala itu, Mbak Ina kembali dari Taiwan.
Tanpa kuketahui keduanya menjalin hubungan di belakangku.
Tiada angin tiada hujan, Mbak Ina mengaku hamil anak Mas Irgi pada Ayah dan Ibu serta aku.
Aku bahkan luruh ke tanah saat mendengar semua itu dan mereka pun mengakui telah menjalin hubungan.
Beberapa hari setelah pengakuan Mbak Ina, Ayah menutup mata untuk selamanya, karena serangan jantung mendadak.
Pernikahan Mbak Ina dan Mas Irgi tetap berlangsung walau hanya sederhana.
Semenjak itu, aku menutup hati untuk kaum adam, aku takut tersakiti kembali.
Bahkan Mbak Ina pun tak diizinkan oleh Ibu untuk tinggal di rumah kami, di mana dulu dia lahir dan besar bersamaku, adiknya.
Mas Irgi, memboyong Mbak Ina tinggal di kampungnya dan mereka mempunyai usaha bengkel mobil dan motor yang maju pesat hingga kini.
Semenjak itu aku tinggal berdua bersama Ibu, setiap seminggu sekali Mbak Ina selalu pulang dan menghabiskan waktu di rumah, walau Mas Irgi tak pernah ikut. Mas Irgi hanya mengantar dan menjemput Mbak Ina saja.
Hingga saat-saat terakhir Ibu, Mbak Ina dipanggil Ibu ke kamar. Ibu ingin bicara berdua dengannya.
Airmataku tak henti menetes saat kutahu pinta Ibu pada Mbak Ina adalah aku memiliki pasangan hidup dan meminta Mbak Ina terus ada untukku hingga aku menikah nanti.
Nyatanya, sampai kini usiaku sudah menginjak 35 tahun.
Ibu telah pergi hampir sepuluh tahun, tapi aku tak jua menikah.
Mbak Ina pun tak jua memiliki keturunan, entah apa masalahnya. Aku pun tak tahu.
Aku yang seorang diri di rumah, mendapat tawaran kerja menjaga toko milik Paman di ujung kampung, tepatnya sebelum makam jaman dulu, yang kini menjadi hutan bambu yang begitu seram.
Toko itu buka 24 jam, jika siang di jaga oleh karyawan lain. Maka malam adalah giliran jagaku.
Entah mengapa aku sama sekali tak merasa takut ataupun risih, secara aku memiliki keterampilan ilmu bela diri.
Sudah menjadi rahasia umum di kampung, sehingga tak ada para preman yang berani menggangguku, itulah alasan Paman meminta aku bekerja di tokonya.
Toko yang ramai bila para peronda berjaga tak jauh dari toko dan tempat belanja darurat para anak kost dan juga pemotor yang lewat.
Dari sinilah kisahku, menemukan cintaku.
Lelaki yang membuatku kembali merasa debaran di dada.
Sehingga tanpa kusadari, aku mulai membuka hati.
"Kang Mas Bandi," gumamku saat itu.
_____________________________
Malam ini malam satu suro, Ani … karyawan paman yang berjaga di siang hari menolak menjaga toko di hari ini.
Mau tak mau, aku menunggu toko semenjak siang. Pada acara penyambutan satu suro ini, toko Paman selalu menyediakan kembang tujuh rupa.
Semua itu tak dapat dipungkiri, karena area makam dekat toko selalu ramai didatangi para warga, tentu dengan segala ritual yang aku sendiri tak tahu jelasnya.
Menjelang Isya, ada parade warga yang menggunakan baju jaman dulu dan itu menghiburku yang berjaga seorang diri.
Semakin malam, maka makam terdengar ramai riuh. Itu karena pengunjung makam yang terus berdatangan hingga tengah malam.
“Nduk, beli air mineralnya satu sama kembangnya sekantong, ya.” Seorang bapak gendut bertelanjang dada dan penuh tanah badannya menghampiriku serta menyodorkan uang berwarna merah, di mana lambang presiden pertama kita tersenyum manis di sana.
“Siap, Pak! Tunggu sebentar, ya!" Aku lalu beranjak ke dalam toko dan dengan cekatan mengambil air mineral serta kembang juga uang kembaliannya.
“Ini, Pak!" Aku tersenyum sembari memberikan barang belanjaan Bapak itu.
“O, ga usah kembaliannya buat Ndok saja. Pesan guru saya, tuh! Yang lagi duduk di atas makam keramat,” tunjuk sang Bapak. “ Kembaliannya buat Ndok saja, dan nanti kalau ada lelaki tampan singgah ke sini tolong dia ya, jangan sampai ke tangkep. Ingat, ya!” seru Bapak tua itu.
Aku hanya mengangguk saja, daripada ribet. Toh, para pemuja seperti Bapak ini sudah menjadi makanan bualan para dukun di sini. Satu tujuannya, pasti kejayaan.
Tak lama, Bapak- Bapak tua itu pamit pulang, karena motornya di parkiran toko. Uang parkir pun seikhlasnya, Paman tak pernah memasang harga.
Sekitar pukul dua malam, angin tiba-tiba bertiup kencang, aku yang duduk di luar toko, akhirnya masuk ke dalam dan memakai selimut duduk di kursi yang ada di meja kasir.
Tiba-tiba mataku mengantuk sekali, dan sayup-sayup kudengar suara lelaki berdehem di depan toko.
“Mau beli apa?” tanyaku.
Aku pun ke luar menemui calon pembeli itu, keningku mengernyit … saat kulihat lelaki itu mengenakan pakaian kerajaan jaman dulu lengkap dengan ikat kepala serta hiasan di telinganya.
Kalung berwarna emas dan berukuran besar itu sungguh membuat dirinya benar-benar layaknya pangeran jaman kerajaan dulu.
“Kok ga ganti baju sih, Mas? Wong arak-arakannya juga sudah selesai dari jam delapan tadi, kan?”celetukku.
Lelaki itu malah terlihat bingung dan melihat ke arah pakaiannya sendiri.
“Apa ada yang salah dari pakaian saya?” tanyanya sopan sekali.
Aku malah cekikikan melihat raut wajahnya seolah tak paham dengan perkataanku.
“Yo wes, ra popo! Mas ini mau beli apa? Jangan bilang mau beli kembang, ya!”
candaku.
Aku masih saja tertawa, entah mengapa setiap kali melihat wajah tampan yang seolah lugu itu menggelitik hatiku.
“Nah itu, Sampeyan tahu yang saya butuhkan!” ujarnya.
“Lah, kok benar. Apa aku bakal jadi cenayang setelah ini. Hahaha!” tukasku, kali ini aku tertawa hingga terpingkal-pingkal.
“Saya serius.” Lelaki itu menarik tanganku dan menyerahkan dua keping lempeng seperti emas.
“Weh, opo iki?” tanyaku tak percaya.
“Emas, itu untuk kembangnya. Cepat berikan, sajenku tadi ga sempat kumakan, keburu dikejar para pengawal kerajaan,” ungkap lelaki itu.
“Aneh, lapar kok makan bunga! Makan nasi tho, Mas. Ga mungkin kenyang, ga juga bikin harum mulut,” protesku, tapi tetap saja pembeli adalah raja dan aku mengambil sekantong kembang untuknya.
Lelaki itu benar-benar memakan kembang itu hingga habis, aku mematung menyaksikannya. Bodohnya aku, tak ada dalam pikiranku terlintas sedikit pun jika lelaki ini adalah demit dari makam yang di keramatkan para peziarah.
“Mas, Mas! Apa enaknya sih makan bunga? Mau makan nasi ga, mumpung saya bawa nasi banyak ini?”tawarku padanya.
Lelaki itu menggelengkan kepala sembari menjawab, “Tidak, terima kasih!”
Tak lama, terdengar suara ramai riuh dan beberapa orang yang gaduh seperti anak sekolah tawuran.
“Cepat, kita harus mengejarnya! Jika tidak, Prabu akan menghukum kita, cari keberadaan Pangeran Bandi.”
Lelaki itu menarik aku ke dalam toko dan meminta menutup toko, aku yang panik, segera menarik rolling door toko rapat-rapat.
Lelaki itu lalu memeluk tubuhku erat, tubuhnya gemetar hebat.
Aku hanya dapat menatap wajahnya lekat. Belum lagi pelukannya erat, membuat di antara kami tak ada jarak sama sekali.
“Maaf,” ujarnya.
Sejurus kemudian, lelaki itu yang aku sendiri tak tahu namanya, mencium dan memagut bibirku. Hampir-hampir aku tak dapat bernafas.
Samar terdengar di luar, seseorang berkata,”Tadi Pangeran sempat di sini. Harum kembang yang disantap dan semilir aroma tubuh Pangeran juga belum jauh. Mungkin saja beberapa langkah di depan, cepat! Kejar Pangeran jika kalian mau selamat!”
Mataku menatap nyalang padanya, berani- beraninya dia mengambil kesempatan untuk mencuri ciuman pertamaku.
Mas Irgi yang bertahun-tahun menjalin kasih denganku saja, tak pernah berani menyentuh bibirku.
“Maafkan aku, semua ini aku lakukan karena dengan berbaur aroma tubuhmu, mereka takkana dapat menemukanku. Terima kasih, aku akan mengingat semua jasamu padaku.” Lelaki itu menatapku lekat dan menyeka bibirku yang basah karena perbuatannya.
“Kau sudah mengambil ciuman pertamaku, tanggung jawab!” sungutku.
"Baiklah, aku akan bertanggung jawab. Nah, bagaimana caranya? Sedang sekarang saja aku sedang dikejar para pengawal istana. Begini saja. Bantu aku bersembunyi, aku akan bertanggung jawab dan menjadi apa pun sesuai perintahmu, sekarang kau adalah tuanku dan aku adalah budakmu." Lelaki itu mundur beberapa langkah dan bersimpuh di depanku.
"Mulai sekarang Pangeran Bandi adalah hamba, siapa nama Panjenengan ?" tanya lelaki bernama Bandi tersebut.
Aku hanya dapat menepuk jidat.
"Oalah, opo iki? Mumet, mumet!”
"Jadi nama Panjenengan siapa? Nanti hamba panggil---""Rauna saja, tak perlu ada embel tuan dan hamba, panggil aja Una," selaku." Kalo gitu saya panggil Jenengan Mbak Una saja, ya!" tukas lelaki aneh itu."Terserah, Mas saja. Pulang gih, nanti kalau saya hamil gimana?" celetukku."Lah, saya baru tahu lho, ada wanita hamil dengan hanya dicium saja," kekehnya.Aku malah kesal mendengarnya, "Pulang sana, saya udah mau tutup toko. Sudah jam tunggu teman saya ini.""Saya sama Mbak ya, ga tahu mau pulang kemana, saya kan lagi dikejar-kejar sama prajurit tadi. Kalau pergi saya ga tahu kudu kemana." Bandi memelas, tatapannya begitu menyedihkan."Tapi apa kata orang nanti, kalau kamu tinggal sama saya," tukasku bimbang."Tenang, Mbak! Saya hanya bisa dilihat sama yang saya kehendaki saja. Kali ini saya hanya ingin dilihat Mbak saja.""Terserah!" tukasku acuh.Tak lama sinar surya menyinari dunia. Lah, kenapa malah nyanyi! Aku pun gegas bersiap untuk kembali pulang, memang dapat kulihat, Bandi
Setelah si Bandi itu menyosor pipiku, aku pun mengejar dirinya.Alhasil aku dapat sampai ke toko hanya dalam waktu lima belas menitan."Dasar Bandi! Awas kamu kalau nongol di toko malam ini, aku jadiin kamu umpan kucing nanti," gerutuku.Saat itu, Ani terlihat sudah bersiap pulang dan aku harus segera menggantikannya di kasir dan menunggu toko seorang diri."Mbak, tumben lari-lari mulu? Apa habis dikejar demit?" canda wanita cantik bernama Ani tersebut."Edan! Mana ada yang mau dikejar demit, kecuali kalau demitnya ganteng," tukasku.Kami pun akhirnya tertawa bersama.Tak lama datang Mbah Juju, sang kuncen makam yang sudah akrab dengaan kami, aku dan Ani."Husss, Maghrib lho ini! Ga baik cekikikan pas Magrib, nanti ada yang ikutan ketawa gimana?" tukas Mbah Juju.Seketika kami terdiam, kata-kata Mbah Juju sukses membuat Ani lari tunggang-langgang meninggalkan aku berdua dengan Mbah Juju yang menahan tawa melihat tingkah Ani yang memang penakut itu."Ani, Ani! Mbok yo ga begitu juga tak
"Mbak!"Lelaki itu memanggilku dari kejauhan sembari melambaikan tangannya, senyumnya merekah membuat ketampanannya semakin terpancar."Mengapa lelaki itu terlihat semakin tampan, ya?" gumamku.Tak lama lelaki itu telah berada di depanku, masih dengan senyum manisnya."Mbak," ucapnya lagi."Bandi, kamu kok masih ga ganti baju sih, itu ga dimarahi yang punya kostum gitu?" tanyaku yang penasaran.Keningnya mengernyit, "Baju, Mbak? Wong ini baju saya dan cuma punya satu ini, apa baju ini ga buat sya ganteng gitu di mata Mbak? Kalo ga ganteng saya ganti baju dulu, tapi baju siapa, ya?"Bandi membuatku bingung, rasanya ingin berkata dirinya orang gila.Tak ingin pusing karena tingkah konyol lelaki itu, aku pun masa bodo padanya, nyatanya kini lelaki itu membawa sekantung kembang dan mulai memakannya di depanku.Aku hanya dapat menggelengkan kepalaku saja melihat tingkah tak biasanya.Malam semakin merangkak naik, angin semilir menusuk tulang, aku mengenakan jaket yang selalu ada dalam ta
"Ga ada orang? Lah, tadi Una ngomong sama siapa?" tanya ku pada Mbah Juju."Hmmm, awas demit tho Na, mbok yo kamu pake ramah aja sama semua makhluk. Kamu ga curiga gitu," sahut Mbah Juju.Aku hanya menggeleng, seketika bulu kudukku meremang."Ih, kok seketika Una jadi merinding, ya!" tukaskuSejurus kemudian, aku memilih duduk di kursi kasir saja hingga pagi tiba.Beberapa warga mulai ke toko di saat subuh, Ibu-Ibu yang hendak mencuci ke sungai mulai berdatangan ke toko guna membeli sabun dan peralata mandi."Ndok, mbah mau sabun colek dua dan sabun mandi merk anu satu ya," ujar Mbah Tukiyem.Seorang sepuh yang kerap menjadi dukun beranak di kampung ini.Dengan cekatan, segera kuraih sabun sesuai permintaan Mbah Tukiyem."Mbah mau nyuci ya?" sapaku ramah.Mbah Tukiyem tersenyum sembari mengangguk pelan, "Nggeh, mbah mau mencuci kain jarik yang di pakai pasien mbah yang melahirkan di rumah mbah semalam," sahut Mbah Tukiyem."Tumben Mbah, lahirannya di rumah Mbah. Biasanya kan Mbah yang
"Tolonglah Mbak, terus teranglah pada Una. Setidaknya Una akan menuruti perkataan Mbak," pintaku pada Mbak Ina.Mbak Ina lalu berjalan ke arahku dan memelukku erat, dituntunnya aku ke kursi rotan hasil karya Ayah dulu di saat senggangnya."Mas, tunggu di teras ya," pinta Mbak Ina pada Mas Irgi.Lelaki itu mengangguk dan sejurus kemudian telah berada di teras rumah, punggungnya terlihat dari kaca jendela.Mbak Ina menggenggam tanganku, tangisnya mulai terdengar kembali ... bahkan kini airmatanya menetes hingga membasahi tanganku yang digenggamnya."Una, kejadian beberapa tahun silam merupakan salah mbak. Mas Irgi hanya korban keegoisan mbak saja, waktu itu di mana mbak pulang dari Taiwan. Ayah mengatakan kalau mbak harus kembali ke Taiwan lagi, karena begitu kamu wisuda ... ayah akan menikahkanmu dengan mas Irgi. Mbak saat itu marah pada ayah, mbak lelah harus menjadi tulang punggung keluarga. Saat itu, mbak sudah menyarankan ayah agar menjual sapi dan beberapa lahan saja sebagai modal
"Kita di mana, Bandi?" tanyaku sekali lagi.Lelaki berhidung mancung itu tersenyum dan kemudian mendekat padaku. "Kita di alamku, Mbak!" jawabnya.Entah mengapa aku tak puas dengan jawabannya."Bandi!" pekikku."Hmm," dengusnya. Aksanya masih setia memandang ke arah jalan. Jalan yang lenggang, tak sedikit pun tampak seperti di kampungku. Di mana kendaraan sesekali lewat. "Tunggu sebentar, ya! Saya harap Mbak tak keluar. Duduk manislah di situ." Bandi keluar setelah meminta aku menunggunya. Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut gubuk ini, gubuk yang beralasan tanah serta beratap daun rumbia. Sebuah tungku batu tersedia di sudut gubuk."Ah, bagaimana bisa aku ada di sini?" Kusentuh kakiku yang tadi terkilir, senyumku merekah kala rasa sakit itu telah hilang. Seolah tak terjadi apa pun, kakiku bisa digerakkan bebas."Rupanya Bandi mahir jadi tukang urut," gumamku yang terkekeh.Beberapa saat kemudian, lelaki tampan itu kembali dengan dua helai kain di tangannya."Mbak, ganti pa
"Bandi!" pekikku.Bagaimana aku tak memekik, aku terperanjat kala tubuh ini di angkat dan aku berada dalam rangkulannya."Sttt, jangan berisik. Kita akan segera sampai ke tujuan!" Bandi eh Kang Mas Bayu berbisik, pandangan kami bertaut."Ta-tapi aku takut jatuh," selaku.Bagaimana tidak, Kang Mas Bayu melesat tinggi di udara. Hanya dalam satu pijakan, bisa membuatnya melesat begitu jauh."Peluk Kang Mas kalau takut," bisiknya tepat di telingaku.Aku yang takut, memejamkan mata dan memeluk lehernya erat. Di mana wajahku kubenamkan di ceruk lehernya.Sejurus kemudian, Kang Mas Bayu menurunkanku. "Nimas, kita sampai. Ini padepokan yang tak akan ada yang mengenali kita. Ingat, aku suamimu dan kau istriku. Panggil aku, Kang Mas Bayu," terang Kang Mas Bayu. Aku mengangguk pelan, kugenggam erat jemarinya yang begitu besar."Jangan tinggalkan aku, ya!" celetukku ketika itu.Kami yang masuk ke padepokan tersebut, sempat berhenti sejenak. Mas Bayu menatapku dan mengangguk pelan."Kang Mas j
"Berisik! Apa yang terjadi di sini? Pagi-pagi sudah rebutan wedang jahe!" Kang Mas Bayu masuk dan meraih wedang jahe itu di tangan sang gadis."Nimas mau?" tanya Kang Mas Bayu padaku. Aku mengangguk pelan, lalu diserahkannya cawan yang berisi wedang jahe itu padaku."Habiskan, biar rahimmu hangat. Anak kita akan tumbuh sehat." Kang Mas Bayu berkata sembari mengelus perut rampingku. "Ap-apa? Jadi benar, Kang Mas sudah menikah?" cecar wanita cantik di depanku."Benar sekali!" sahutnya lugas.Wanita itu menatapku tajam, seolah hendak menelanjangiku. "Mau-maunya sama wanita tua dan tak cantik, tak ayu! Kang Mas sakit mata," sindir wanita itu.Aku hanya menghela napas panjang sembari mengelus dada, sedang Kang Mas Bayu hanya menahan tawa melihatku yang kesal."Kenapa wanita itu?" dengusku kesal. Kini kududuk di samping Kang Mas Bayu yang tengah menyantap nasi tiwul beserta lauk pauknya."Ojo ngedumel, Nimas! Ayu-nya nanti hilang," bujuk Mas Bayu."Lah, siapa sih wanita itu? Iya, dia can
"Berisik! Apa yang terjadi di sini? Pagi-pagi sudah rebutan wedang jahe!" Kang Mas Bayu masuk dan meraih wedang jahe itu di tangan sang gadis."Nimas mau?" tanya Kang Mas Bayu padaku. Aku mengangguk pelan, lalu diserahkannya cawan yang berisi wedang jahe itu padaku."Habiskan, biar rahimmu hangat. Anak kita akan tumbuh sehat." Kang Mas Bayu berkata sembari mengelus perut rampingku. "Ap-apa? Jadi benar, Kang Mas sudah menikah?" cecar wanita cantik di depanku."Benar sekali!" sahutnya lugas.Wanita itu menatapku tajam, seolah hendak menelanjangiku. "Mau-maunya sama wanita tua dan tak cantik, tak ayu! Kang Mas sakit mata," sindir wanita itu.Aku hanya menghela napas panjang sembari mengelus dada, sedang Kang Mas Bayu hanya menahan tawa melihatku yang kesal."Kenapa wanita itu?" dengusku kesal. Kini kududuk di samping Kang Mas Bayu yang tengah menyantap nasi tiwul beserta lauk pauknya."Ojo ngedumel, Nimas! Ayu-nya nanti hilang," bujuk Mas Bayu."Lah, siapa sih wanita itu? Iya, dia can
"Bandi!" pekikku.Bagaimana aku tak memekik, aku terperanjat kala tubuh ini di angkat dan aku berada dalam rangkulannya."Sttt, jangan berisik. Kita akan segera sampai ke tujuan!" Bandi eh Kang Mas Bayu berbisik, pandangan kami bertaut."Ta-tapi aku takut jatuh," selaku.Bagaimana tidak, Kang Mas Bayu melesat tinggi di udara. Hanya dalam satu pijakan, bisa membuatnya melesat begitu jauh."Peluk Kang Mas kalau takut," bisiknya tepat di telingaku.Aku yang takut, memejamkan mata dan memeluk lehernya erat. Di mana wajahku kubenamkan di ceruk lehernya.Sejurus kemudian, Kang Mas Bayu menurunkanku. "Nimas, kita sampai. Ini padepokan yang tak akan ada yang mengenali kita. Ingat, aku suamimu dan kau istriku. Panggil aku, Kang Mas Bayu," terang Kang Mas Bayu. Aku mengangguk pelan, kugenggam erat jemarinya yang begitu besar."Jangan tinggalkan aku, ya!" celetukku ketika itu.Kami yang masuk ke padepokan tersebut, sempat berhenti sejenak. Mas Bayu menatapku dan mengangguk pelan."Kang Mas j
"Kita di mana, Bandi?" tanyaku sekali lagi.Lelaki berhidung mancung itu tersenyum dan kemudian mendekat padaku. "Kita di alamku, Mbak!" jawabnya.Entah mengapa aku tak puas dengan jawabannya."Bandi!" pekikku."Hmm," dengusnya. Aksanya masih setia memandang ke arah jalan. Jalan yang lenggang, tak sedikit pun tampak seperti di kampungku. Di mana kendaraan sesekali lewat. "Tunggu sebentar, ya! Saya harap Mbak tak keluar. Duduk manislah di situ." Bandi keluar setelah meminta aku menunggunya. Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut gubuk ini, gubuk yang beralasan tanah serta beratap daun rumbia. Sebuah tungku batu tersedia di sudut gubuk."Ah, bagaimana bisa aku ada di sini?" Kusentuh kakiku yang tadi terkilir, senyumku merekah kala rasa sakit itu telah hilang. Seolah tak terjadi apa pun, kakiku bisa digerakkan bebas."Rupanya Bandi mahir jadi tukang urut," gumamku yang terkekeh.Beberapa saat kemudian, lelaki tampan itu kembali dengan dua helai kain di tangannya."Mbak, ganti pa
"Tolonglah Mbak, terus teranglah pada Una. Setidaknya Una akan menuruti perkataan Mbak," pintaku pada Mbak Ina.Mbak Ina lalu berjalan ke arahku dan memelukku erat, dituntunnya aku ke kursi rotan hasil karya Ayah dulu di saat senggangnya."Mas, tunggu di teras ya," pinta Mbak Ina pada Mas Irgi.Lelaki itu mengangguk dan sejurus kemudian telah berada di teras rumah, punggungnya terlihat dari kaca jendela.Mbak Ina menggenggam tanganku, tangisnya mulai terdengar kembali ... bahkan kini airmatanya menetes hingga membasahi tanganku yang digenggamnya."Una, kejadian beberapa tahun silam merupakan salah mbak. Mas Irgi hanya korban keegoisan mbak saja, waktu itu di mana mbak pulang dari Taiwan. Ayah mengatakan kalau mbak harus kembali ke Taiwan lagi, karena begitu kamu wisuda ... ayah akan menikahkanmu dengan mas Irgi. Mbak saat itu marah pada ayah, mbak lelah harus menjadi tulang punggung keluarga. Saat itu, mbak sudah menyarankan ayah agar menjual sapi dan beberapa lahan saja sebagai modal
"Ga ada orang? Lah, tadi Una ngomong sama siapa?" tanya ku pada Mbah Juju."Hmmm, awas demit tho Na, mbok yo kamu pake ramah aja sama semua makhluk. Kamu ga curiga gitu," sahut Mbah Juju.Aku hanya menggeleng, seketika bulu kudukku meremang."Ih, kok seketika Una jadi merinding, ya!" tukaskuSejurus kemudian, aku memilih duduk di kursi kasir saja hingga pagi tiba.Beberapa warga mulai ke toko di saat subuh, Ibu-Ibu yang hendak mencuci ke sungai mulai berdatangan ke toko guna membeli sabun dan peralata mandi."Ndok, mbah mau sabun colek dua dan sabun mandi merk anu satu ya," ujar Mbah Tukiyem.Seorang sepuh yang kerap menjadi dukun beranak di kampung ini.Dengan cekatan, segera kuraih sabun sesuai permintaan Mbah Tukiyem."Mbah mau nyuci ya?" sapaku ramah.Mbah Tukiyem tersenyum sembari mengangguk pelan, "Nggeh, mbah mau mencuci kain jarik yang di pakai pasien mbah yang melahirkan di rumah mbah semalam," sahut Mbah Tukiyem."Tumben Mbah, lahirannya di rumah Mbah. Biasanya kan Mbah yang
"Mbak!"Lelaki itu memanggilku dari kejauhan sembari melambaikan tangannya, senyumnya merekah membuat ketampanannya semakin terpancar."Mengapa lelaki itu terlihat semakin tampan, ya?" gumamku.Tak lama lelaki itu telah berada di depanku, masih dengan senyum manisnya."Mbak," ucapnya lagi."Bandi, kamu kok masih ga ganti baju sih, itu ga dimarahi yang punya kostum gitu?" tanyaku yang penasaran.Keningnya mengernyit, "Baju, Mbak? Wong ini baju saya dan cuma punya satu ini, apa baju ini ga buat sya ganteng gitu di mata Mbak? Kalo ga ganteng saya ganti baju dulu, tapi baju siapa, ya?"Bandi membuatku bingung, rasanya ingin berkata dirinya orang gila.Tak ingin pusing karena tingkah konyol lelaki itu, aku pun masa bodo padanya, nyatanya kini lelaki itu membawa sekantung kembang dan mulai memakannya di depanku.Aku hanya dapat menggelengkan kepalaku saja melihat tingkah tak biasanya.Malam semakin merangkak naik, angin semilir menusuk tulang, aku mengenakan jaket yang selalu ada dalam ta
Setelah si Bandi itu menyosor pipiku, aku pun mengejar dirinya.Alhasil aku dapat sampai ke toko hanya dalam waktu lima belas menitan."Dasar Bandi! Awas kamu kalau nongol di toko malam ini, aku jadiin kamu umpan kucing nanti," gerutuku.Saat itu, Ani terlihat sudah bersiap pulang dan aku harus segera menggantikannya di kasir dan menunggu toko seorang diri."Mbak, tumben lari-lari mulu? Apa habis dikejar demit?" canda wanita cantik bernama Ani tersebut."Edan! Mana ada yang mau dikejar demit, kecuali kalau demitnya ganteng," tukasku.Kami pun akhirnya tertawa bersama.Tak lama datang Mbah Juju, sang kuncen makam yang sudah akrab dengaan kami, aku dan Ani."Husss, Maghrib lho ini! Ga baik cekikikan pas Magrib, nanti ada yang ikutan ketawa gimana?" tukas Mbah Juju.Seketika kami terdiam, kata-kata Mbah Juju sukses membuat Ani lari tunggang-langgang meninggalkan aku berdua dengan Mbah Juju yang menahan tawa melihat tingkah Ani yang memang penakut itu."Ani, Ani! Mbok yo ga begitu juga tak
"Jadi nama Panjenengan siapa? Nanti hamba panggil---""Rauna saja, tak perlu ada embel tuan dan hamba, panggil aja Una," selaku." Kalo gitu saya panggil Jenengan Mbak Una saja, ya!" tukas lelaki aneh itu."Terserah, Mas saja. Pulang gih, nanti kalau saya hamil gimana?" celetukku."Lah, saya baru tahu lho, ada wanita hamil dengan hanya dicium saja," kekehnya.Aku malah kesal mendengarnya, "Pulang sana, saya udah mau tutup toko. Sudah jam tunggu teman saya ini.""Saya sama Mbak ya, ga tahu mau pulang kemana, saya kan lagi dikejar-kejar sama prajurit tadi. Kalau pergi saya ga tahu kudu kemana." Bandi memelas, tatapannya begitu menyedihkan."Tapi apa kata orang nanti, kalau kamu tinggal sama saya," tukasku bimbang."Tenang, Mbak! Saya hanya bisa dilihat sama yang saya kehendaki saja. Kali ini saya hanya ingin dilihat Mbak saja.""Terserah!" tukasku acuh.Tak lama sinar surya menyinari dunia. Lah, kenapa malah nyanyi! Aku pun gegas bersiap untuk kembali pulang, memang dapat kulihat, Bandi
"Rauna, umur udah tua tapi kali ini kau tolak lagi lamaran anak juragan empang kampung sebelah. Pusing tahu kepala mbak! Maumu apa, sih? Mau sampai kapan kamu begini? Kapan mbak bisa tidur nyenyak, jika pinta terakhir almarhum ibu belum juga bisa mbak lakukan. Nikah dong Una ...."Mbakku, Rina. Selalu memaksaku menikah dan menjodohkanku dengan banyak pria pilihannya.Aku mengerti, aku paham! Jika itu merupakan pinta almarhum Ibu yang terakhir pada Mbak Ina, tapi aku sampai sekarang belum menemukan pria yang sesuai kata hati."Mbak, bisa kasih Una waktu buat nafas gak, sih! Nanti juga Una nikah kok Mbak, dan pastinya gak akan ngerepotin Mbak. Una mohon, lelaki hari ini merupakan lelaki terakhir yang Mbak kenalkan pada Una. Jodoh itu rahasia Tuhan, Mbak! Jangan paksa kehendak Mbak pada Una!" tegasku kala itu.Mbak Rina atau Mbak Ina, panggilannya.Menatapku nyalang."Yo wes, terserah kamu aja Una! Toh keras kepala, watak kepala batu sudah mendarah daging! Aku sebagai mbak-mu, setidakny