"Mbak!"
Lelaki itu memanggilku dari kejauhan sembari melambaikan tangannya, senyumnya merekah membuat ketampanannya semakin terpancar.
"Mengapa lelaki itu terlihat semakin tampan, ya?" gumamku.
Tak lama lelaki itu telah berada di depanku, masih dengan senyum manisnya.
"Mbak," ucapnya lagi.
"Bandi, kamu kok masih ga ganti baju sih, itu ga dimarahi yang punya kostum gitu?" tanyaku yang penasaran.
Keningnya mengernyit, "Baju, Mbak? Wong ini baju saya dan cuma punya satu ini, apa baju ini ga buat sya ganteng gitu di mata Mbak? Kalo ga ganteng saya ganti baju dulu, tapi baju siapa, ya?"
Bandi membuatku bingung, rasanya ingin berkata dirinya orang gila.
Tak ingin pusing karena tingkah konyol lelaki itu, aku pun masa bodo padanya, nyatanya kini lelaki itu membawa sekantung kembang dan mulai memakannya di depanku.
Aku hanya dapat menggelengkan kepalaku saja melihat tingkah tak biasanya.
Malam semakin merangkak naik, angin semilir menusuk tulang, aku mengenakan jaket yang selalu ada dalam tasku.
Mungkin karena sudah larut malam, kini tak lagi aku melihat Bandi di depan toko.
"Lelaki aneh itu sudah pergi, ya! Dasar, pergi aja ga pamit dulu. Jadinya kan aku nyari dia, dasar wong edan!" gerutuku saat itu.
Aku yang celingak-celinguk di depan toko, dikejutkan oleh Mbah Juju yang menepuk bahuku tiba-tiba.
"Ngapain kamu celingukan di luar gitu, Na?" tanya Mbah Juju.
"Eh, demit!" pekikku yang terkejut.
"Lah, mbah ganteng gini dikata demit. Tuh, di sana yang lagi nyembah demit, bukan nyembah mbah, kan?" tunjuk mbah Juju.
"Hehehe!"
Aku hanya menyengir saja melihat ke arah makam keramat yang tengah di kunjungi sekelompok orang itu.
"Mbah, lihat cowok ganteng, tinggi terus pake baju arak-arakan ga?" tanyaku pada mbah Juju.
"Ga ada tuh, sedari tadi mbah di sini dan ga ada lihat cowok ganteng, wong yang datang para sepuh dan para dukun, kok! Jadi ga ada yang bening nan tampan seperti katamu tadi, awas lho! Jangan-jangan itu demit," tukas mbah Juju.
"Mbah, jangan nakutin deh! Emaang mbah mau di sini kalau Una takut gara-gara ucapan Mbah tadi," dengusku.
Mbah Juju terkekeh, "Yo wes, malam ini kan mbah memang akan ada di makam karena menjadi kuncen makam yang di datangi para sepuh itu. Bikinin mbah kopi, Na! Dua ya, kita berdua nongkrong di depan toko aja, gimana?"
"Nggeh, siap Pak Bos!" celetukku gembira.
Gegas aku ke dalam dan menyeduh dua cup kopi untukku dan mbah Juju.
Saat itu kulihat jam di tangan, sudah menunjukkan pukul satu malam.
Aku hanya menghela napas panjang saat membawa dua cup kopi keluar dan Mbah Juju sudah beranjak ke tengah makam kembali.
"Eh, pergi lagi! Katanya mau ngopi bareng! Mbah ini kadang-kadang," gerutuku.
Kuaktifkan ponselku, setelah tadi kuisi daya.
Kubuka sebuah aplikasi di mana kita bisa bernyanyi walau suaraku tak sebagus artis, tapi ya, lumayanlah! Untuk menghibur hati dan membunuh rasa bosan seorang diri.
"Ah, aku mulai merindukan para bapak yang meronda, meski kerap kali ngutang rokok dan ga mau rugi masalah air seduhan kopi yang sedikit ... tapi kehadiran mereka membuat malam terasa menyenangkan, haduh ... kok serasa merindukan suami orang. Bapak- Bapak, kenapa kalian ga meronda setiap tanggal satu suro hingga semimggu ke depan? Una kan jadi dosa, rindu suara kalian yang nyanyiin lagu lawas dengan nada sumbang dan rindu dengar kalian gibahin istri sendiri," gumamku seorang diri.
Aku bergumam sembari berkacak pinggang ke arah pos ronda yang jaraknya ga jauh dari toko.
Saat aku asyik ngedumel, ternyata ada seorang wanita cantik duduk di kursi tempat aku menyimpan dua cup kopi aku dan mbah Juju.
Merasa ada pelanggan, aku pun gegas mendekati.
"Mbak, mau beli apa?" tanyaku padanya.
Kupersembahkan senyum termanisku padanya.
"Saya cari kang mas saya. Kami sudah mau menikah, tapi dia kabur dan saya tak tahu dia ke mana," ujar wanita itu penuh kelembutan.
"Wah, apa ini korban cinta paksa? Atau karena sang lelaki punya gebetan lain?" Aku menduga-duga, seolah detektif kawakan.
"Saya sampai ke sini mencari dia, mungkin saja Sampeyan lihat lelaki tampan keliling di sini. Kata para pengawal, kang mas lari ke arah sini," tukasnya.
Aku yang mengangguk, kini menelisik penampilan wanita anggun ini.
Cara berpakaiannya sama seperti Bandi. Bagaimana tidak, di tengah malam begini keluar rumah hanya mengenakan kemban dan selendang saja.
'Apa mereka ini sedang syuting film kolosal ataukah orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa, ya?' batinku menerka-nerka.
"Mau ngopi atau beli sesuatu?" tawarku pada wanita itu.
Matanya yang sendu, kini menatap ke arah bungkusan kembang yang sudah layu dan akan kubuang besok.
"Kalau boleh, saya ingin kembang itu. Ada bunga kantilnya, itu sungguh enak," ujarnya.
Kembali keningku mengernyit, kenapa belakangan ini ada orang yang menyukai kembang untuk ditaburkan di atas makam sebagai santapan, aneh!
"Kalau saya boleh tahu, mau buat Mbak apa kembangnya?" tanyaku yang penuh rasa penasaran.
"Makan, saya lapar." Tanpa kuiyakan, wanita itu sudah mengambil sebungkus kembang tersebut dan mulai memakannya dengan lahap.
Aku hanya terpaku sembari memandang wanita itu memakan kembang yang mulai layu dengan lahapnya hingga tak bersisa.
"Wow, Mbak! Biar apa sih makan kembang? Apa lagi viral gitu, atau bagaimana?" gumamku pelan.
Wanita itu tersenyum ketika kembang layu tersebut selesai dirirnya makan.
"Mbak, terima kasih, ya! Saya mau lanjut lagi mencari kang mas yang hilang," tukasnya.
Aku yang mengangguk lalu mencegat kepergian wanita itu.
"Mbak, sini dulu. Saya dandanin biar kang masnya jatuh cinta sama Mbak." Secepat kilat aku masuk ke dalam toko dan meraih tasku.
Kutuntun dia duduk di bangku kembali.
"Mbak, jangan ikut trend ya, pake lipstick nude- nude segala. Kan ga semua orang cocok, Mbak. Kayak Mbak sekarang, pakai nude malah yang ada rupa Mbak pucat gitu, mungkin itu alasannya menjauh dari Mbak. Mbak ini ga pandai dandan, hanya menjadi korban iklan doank. Jadi sini, saya poles sedikit dengan bedak dan lipstick merah menyala semerah darah dan cinta yang membara. Percaya deh, Mbak ini kayak saya. Cocok pake warna terang dan juga jadilah diri sendiri. Ok, jangan jadi korban iklan lagi ya, Mbak!"ungkapku panjang lebar.
Tanganku menari indah mendandani wanita asing yang terlihat pucat dengan pakaian seperti jaman dulu.
Tak butuh waktu lama, wanita itu sudah cantik berseri dengan lipstick merah.
" Tuh, kan. Sudah cantul, cantik betul !" pujiku.
Wanita itu tersipu malu, bahuku beberapa kali di tepuknya karena pujianku padanya.
"Ya sudah, saya pamit dulu ya, Mbak! Ga sabar pengen ketemu kang mas Bandi," tukas wanita itu, gembira.
Aku hanya melambaikan tangan padanya.
"Tadi wanita itu menyebut nama Bandi, kan? Aku ga salah dengar, kan?"
Aku yang sedang menduga nama lelaki aneh yang disebut wanita aneh itu juga, adalah Bandi.
"Ono opo iki?" gumamku.
tiba-tiba, terdengar suara orang yang sedang menyeruput kopi, aku pun menoleh ke belakang.
"Eh, ada Mbah Juju," kataku.
"Kamu ngapain lho, Na, dari tadi senyum- senyum gitu?" tanya mbah Juju.
"Una sedang berbincang dengan wanita yang mencari kang mas-nya. Ngenes, udah mau kawin, lakinya malah kabur." Aku pun duduk di samping mbah Juju.
Menyeruput kopi yang mulai dingin itu, aku bernyanyi di sebuah aplikasi.
Mbah Juju malah menatapku lekat, "Una, Mbah perhatikan kamu sedari tadi seorang diri, ga ada orang lain, kok!"
"Lah, aku tadi ngomong sama siapa kalau gitu!"seruku.
"Ga ada orang? Lah, tadi Una ngomong sama siapa?" tanya ku pada Mbah Juju."Hmmm, awas demit tho Na, mbok yo kamu pake ramah aja sama semua makhluk. Kamu ga curiga gitu," sahut Mbah Juju.Aku hanya menggeleng, seketika bulu kudukku meremang."Ih, kok seketika Una jadi merinding, ya!" tukaskuSejurus kemudian, aku memilih duduk di kursi kasir saja hingga pagi tiba.Beberapa warga mulai ke toko di saat subuh, Ibu-Ibu yang hendak mencuci ke sungai mulai berdatangan ke toko guna membeli sabun dan peralata mandi."Ndok, mbah mau sabun colek dua dan sabun mandi merk anu satu ya," ujar Mbah Tukiyem.Seorang sepuh yang kerap menjadi dukun beranak di kampung ini.Dengan cekatan, segera kuraih sabun sesuai permintaan Mbah Tukiyem."Mbah mau nyuci ya?" sapaku ramah.Mbah Tukiyem tersenyum sembari mengangguk pelan, "Nggeh, mbah mau mencuci kain jarik yang di pakai pasien mbah yang melahirkan di rumah mbah semalam," sahut Mbah Tukiyem."Tumben Mbah, lahirannya di rumah Mbah. Biasanya kan Mbah yang
"Tolonglah Mbak, terus teranglah pada Una. Setidaknya Una akan menuruti perkataan Mbak," pintaku pada Mbak Ina.Mbak Ina lalu berjalan ke arahku dan memelukku erat, dituntunnya aku ke kursi rotan hasil karya Ayah dulu di saat senggangnya."Mas, tunggu di teras ya," pinta Mbak Ina pada Mas Irgi.Lelaki itu mengangguk dan sejurus kemudian telah berada di teras rumah, punggungnya terlihat dari kaca jendela.Mbak Ina menggenggam tanganku, tangisnya mulai terdengar kembali ... bahkan kini airmatanya menetes hingga membasahi tanganku yang digenggamnya."Una, kejadian beberapa tahun silam merupakan salah mbak. Mas Irgi hanya korban keegoisan mbak saja, waktu itu di mana mbak pulang dari Taiwan. Ayah mengatakan kalau mbak harus kembali ke Taiwan lagi, karena begitu kamu wisuda ... ayah akan menikahkanmu dengan mas Irgi. Mbak saat itu marah pada ayah, mbak lelah harus menjadi tulang punggung keluarga. Saat itu, mbak sudah menyarankan ayah agar menjual sapi dan beberapa lahan saja sebagai modal
"Kita di mana, Bandi?" tanyaku sekali lagi.Lelaki berhidung mancung itu tersenyum dan kemudian mendekat padaku. "Kita di alamku, Mbak!" jawabnya.Entah mengapa aku tak puas dengan jawabannya."Bandi!" pekikku."Hmm," dengusnya. Aksanya masih setia memandang ke arah jalan. Jalan yang lenggang, tak sedikit pun tampak seperti di kampungku. Di mana kendaraan sesekali lewat. "Tunggu sebentar, ya! Saya harap Mbak tak keluar. Duduk manislah di situ." Bandi keluar setelah meminta aku menunggunya. Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut gubuk ini, gubuk yang beralasan tanah serta beratap daun rumbia. Sebuah tungku batu tersedia di sudut gubuk."Ah, bagaimana bisa aku ada di sini?" Kusentuh kakiku yang tadi terkilir, senyumku merekah kala rasa sakit itu telah hilang. Seolah tak terjadi apa pun, kakiku bisa digerakkan bebas."Rupanya Bandi mahir jadi tukang urut," gumamku yang terkekeh.Beberapa saat kemudian, lelaki tampan itu kembali dengan dua helai kain di tangannya."Mbak, ganti pa
"Bandi!" pekikku.Bagaimana aku tak memekik, aku terperanjat kala tubuh ini di angkat dan aku berada dalam rangkulannya."Sttt, jangan berisik. Kita akan segera sampai ke tujuan!" Bandi eh Kang Mas Bayu berbisik, pandangan kami bertaut."Ta-tapi aku takut jatuh," selaku.Bagaimana tidak, Kang Mas Bayu melesat tinggi di udara. Hanya dalam satu pijakan, bisa membuatnya melesat begitu jauh."Peluk Kang Mas kalau takut," bisiknya tepat di telingaku.Aku yang takut, memejamkan mata dan memeluk lehernya erat. Di mana wajahku kubenamkan di ceruk lehernya.Sejurus kemudian, Kang Mas Bayu menurunkanku. "Nimas, kita sampai. Ini padepokan yang tak akan ada yang mengenali kita. Ingat, aku suamimu dan kau istriku. Panggil aku, Kang Mas Bayu," terang Kang Mas Bayu. Aku mengangguk pelan, kugenggam erat jemarinya yang begitu besar."Jangan tinggalkan aku, ya!" celetukku ketika itu.Kami yang masuk ke padepokan tersebut, sempat berhenti sejenak. Mas Bayu menatapku dan mengangguk pelan."Kang Mas j
"Berisik! Apa yang terjadi di sini? Pagi-pagi sudah rebutan wedang jahe!" Kang Mas Bayu masuk dan meraih wedang jahe itu di tangan sang gadis."Nimas mau?" tanya Kang Mas Bayu padaku. Aku mengangguk pelan, lalu diserahkannya cawan yang berisi wedang jahe itu padaku."Habiskan, biar rahimmu hangat. Anak kita akan tumbuh sehat." Kang Mas Bayu berkata sembari mengelus perut rampingku. "Ap-apa? Jadi benar, Kang Mas sudah menikah?" cecar wanita cantik di depanku."Benar sekali!" sahutnya lugas.Wanita itu menatapku tajam, seolah hendak menelanjangiku. "Mau-maunya sama wanita tua dan tak cantik, tak ayu! Kang Mas sakit mata," sindir wanita itu.Aku hanya menghela napas panjang sembari mengelus dada, sedang Kang Mas Bayu hanya menahan tawa melihatku yang kesal."Kenapa wanita itu?" dengusku kesal. Kini kududuk di samping Kang Mas Bayu yang tengah menyantap nasi tiwul beserta lauk pauknya."Ojo ngedumel, Nimas! Ayu-nya nanti hilang," bujuk Mas Bayu."Lah, siapa sih wanita itu? Iya, dia can
"Rauna, umur udah tua tapi kali ini kau tolak lagi lamaran anak juragan empang kampung sebelah. Pusing tahu kepala mbak! Maumu apa, sih? Mau sampai kapan kamu begini? Kapan mbak bisa tidur nyenyak, jika pinta terakhir almarhum ibu belum juga bisa mbak lakukan. Nikah dong Una ...."Mbakku, Rina. Selalu memaksaku menikah dan menjodohkanku dengan banyak pria pilihannya.Aku mengerti, aku paham! Jika itu merupakan pinta almarhum Ibu yang terakhir pada Mbak Ina, tapi aku sampai sekarang belum menemukan pria yang sesuai kata hati."Mbak, bisa kasih Una waktu buat nafas gak, sih! Nanti juga Una nikah kok Mbak, dan pastinya gak akan ngerepotin Mbak. Una mohon, lelaki hari ini merupakan lelaki terakhir yang Mbak kenalkan pada Una. Jodoh itu rahasia Tuhan, Mbak! Jangan paksa kehendak Mbak pada Una!" tegasku kala itu.Mbak Rina atau Mbak Ina, panggilannya.Menatapku nyalang."Yo wes, terserah kamu aja Una! Toh keras kepala, watak kepala batu sudah mendarah daging! Aku sebagai mbak-mu, setidakny
"Jadi nama Panjenengan siapa? Nanti hamba panggil---""Rauna saja, tak perlu ada embel tuan dan hamba, panggil aja Una," selaku." Kalo gitu saya panggil Jenengan Mbak Una saja, ya!" tukas lelaki aneh itu."Terserah, Mas saja. Pulang gih, nanti kalau saya hamil gimana?" celetukku."Lah, saya baru tahu lho, ada wanita hamil dengan hanya dicium saja," kekehnya.Aku malah kesal mendengarnya, "Pulang sana, saya udah mau tutup toko. Sudah jam tunggu teman saya ini.""Saya sama Mbak ya, ga tahu mau pulang kemana, saya kan lagi dikejar-kejar sama prajurit tadi. Kalau pergi saya ga tahu kudu kemana." Bandi memelas, tatapannya begitu menyedihkan."Tapi apa kata orang nanti, kalau kamu tinggal sama saya," tukasku bimbang."Tenang, Mbak! Saya hanya bisa dilihat sama yang saya kehendaki saja. Kali ini saya hanya ingin dilihat Mbak saja.""Terserah!" tukasku acuh.Tak lama sinar surya menyinari dunia. Lah, kenapa malah nyanyi! Aku pun gegas bersiap untuk kembali pulang, memang dapat kulihat, Bandi
Setelah si Bandi itu menyosor pipiku, aku pun mengejar dirinya.Alhasil aku dapat sampai ke toko hanya dalam waktu lima belas menitan."Dasar Bandi! Awas kamu kalau nongol di toko malam ini, aku jadiin kamu umpan kucing nanti," gerutuku.Saat itu, Ani terlihat sudah bersiap pulang dan aku harus segera menggantikannya di kasir dan menunggu toko seorang diri."Mbak, tumben lari-lari mulu? Apa habis dikejar demit?" canda wanita cantik bernama Ani tersebut."Edan! Mana ada yang mau dikejar demit, kecuali kalau demitnya ganteng," tukasku.Kami pun akhirnya tertawa bersama.Tak lama datang Mbah Juju, sang kuncen makam yang sudah akrab dengaan kami, aku dan Ani."Husss, Maghrib lho ini! Ga baik cekikikan pas Magrib, nanti ada yang ikutan ketawa gimana?" tukas Mbah Juju.Seketika kami terdiam, kata-kata Mbah Juju sukses membuat Ani lari tunggang-langgang meninggalkan aku berdua dengan Mbah Juju yang menahan tawa melihat tingkah Ani yang memang penakut itu."Ani, Ani! Mbok yo ga begitu juga tak
"Berisik! Apa yang terjadi di sini? Pagi-pagi sudah rebutan wedang jahe!" Kang Mas Bayu masuk dan meraih wedang jahe itu di tangan sang gadis."Nimas mau?" tanya Kang Mas Bayu padaku. Aku mengangguk pelan, lalu diserahkannya cawan yang berisi wedang jahe itu padaku."Habiskan, biar rahimmu hangat. Anak kita akan tumbuh sehat." Kang Mas Bayu berkata sembari mengelus perut rampingku. "Ap-apa? Jadi benar, Kang Mas sudah menikah?" cecar wanita cantik di depanku."Benar sekali!" sahutnya lugas.Wanita itu menatapku tajam, seolah hendak menelanjangiku. "Mau-maunya sama wanita tua dan tak cantik, tak ayu! Kang Mas sakit mata," sindir wanita itu.Aku hanya menghela napas panjang sembari mengelus dada, sedang Kang Mas Bayu hanya menahan tawa melihatku yang kesal."Kenapa wanita itu?" dengusku kesal. Kini kududuk di samping Kang Mas Bayu yang tengah menyantap nasi tiwul beserta lauk pauknya."Ojo ngedumel, Nimas! Ayu-nya nanti hilang," bujuk Mas Bayu."Lah, siapa sih wanita itu? Iya, dia can
"Bandi!" pekikku.Bagaimana aku tak memekik, aku terperanjat kala tubuh ini di angkat dan aku berada dalam rangkulannya."Sttt, jangan berisik. Kita akan segera sampai ke tujuan!" Bandi eh Kang Mas Bayu berbisik, pandangan kami bertaut."Ta-tapi aku takut jatuh," selaku.Bagaimana tidak, Kang Mas Bayu melesat tinggi di udara. Hanya dalam satu pijakan, bisa membuatnya melesat begitu jauh."Peluk Kang Mas kalau takut," bisiknya tepat di telingaku.Aku yang takut, memejamkan mata dan memeluk lehernya erat. Di mana wajahku kubenamkan di ceruk lehernya.Sejurus kemudian, Kang Mas Bayu menurunkanku. "Nimas, kita sampai. Ini padepokan yang tak akan ada yang mengenali kita. Ingat, aku suamimu dan kau istriku. Panggil aku, Kang Mas Bayu," terang Kang Mas Bayu. Aku mengangguk pelan, kugenggam erat jemarinya yang begitu besar."Jangan tinggalkan aku, ya!" celetukku ketika itu.Kami yang masuk ke padepokan tersebut, sempat berhenti sejenak. Mas Bayu menatapku dan mengangguk pelan."Kang Mas j
"Kita di mana, Bandi?" tanyaku sekali lagi.Lelaki berhidung mancung itu tersenyum dan kemudian mendekat padaku. "Kita di alamku, Mbak!" jawabnya.Entah mengapa aku tak puas dengan jawabannya."Bandi!" pekikku."Hmm," dengusnya. Aksanya masih setia memandang ke arah jalan. Jalan yang lenggang, tak sedikit pun tampak seperti di kampungku. Di mana kendaraan sesekali lewat. "Tunggu sebentar, ya! Saya harap Mbak tak keluar. Duduk manislah di situ." Bandi keluar setelah meminta aku menunggunya. Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut gubuk ini, gubuk yang beralasan tanah serta beratap daun rumbia. Sebuah tungku batu tersedia di sudut gubuk."Ah, bagaimana bisa aku ada di sini?" Kusentuh kakiku yang tadi terkilir, senyumku merekah kala rasa sakit itu telah hilang. Seolah tak terjadi apa pun, kakiku bisa digerakkan bebas."Rupanya Bandi mahir jadi tukang urut," gumamku yang terkekeh.Beberapa saat kemudian, lelaki tampan itu kembali dengan dua helai kain di tangannya."Mbak, ganti pa
"Tolonglah Mbak, terus teranglah pada Una. Setidaknya Una akan menuruti perkataan Mbak," pintaku pada Mbak Ina.Mbak Ina lalu berjalan ke arahku dan memelukku erat, dituntunnya aku ke kursi rotan hasil karya Ayah dulu di saat senggangnya."Mas, tunggu di teras ya," pinta Mbak Ina pada Mas Irgi.Lelaki itu mengangguk dan sejurus kemudian telah berada di teras rumah, punggungnya terlihat dari kaca jendela.Mbak Ina menggenggam tanganku, tangisnya mulai terdengar kembali ... bahkan kini airmatanya menetes hingga membasahi tanganku yang digenggamnya."Una, kejadian beberapa tahun silam merupakan salah mbak. Mas Irgi hanya korban keegoisan mbak saja, waktu itu di mana mbak pulang dari Taiwan. Ayah mengatakan kalau mbak harus kembali ke Taiwan lagi, karena begitu kamu wisuda ... ayah akan menikahkanmu dengan mas Irgi. Mbak saat itu marah pada ayah, mbak lelah harus menjadi tulang punggung keluarga. Saat itu, mbak sudah menyarankan ayah agar menjual sapi dan beberapa lahan saja sebagai modal
"Ga ada orang? Lah, tadi Una ngomong sama siapa?" tanya ku pada Mbah Juju."Hmmm, awas demit tho Na, mbok yo kamu pake ramah aja sama semua makhluk. Kamu ga curiga gitu," sahut Mbah Juju.Aku hanya menggeleng, seketika bulu kudukku meremang."Ih, kok seketika Una jadi merinding, ya!" tukaskuSejurus kemudian, aku memilih duduk di kursi kasir saja hingga pagi tiba.Beberapa warga mulai ke toko di saat subuh, Ibu-Ibu yang hendak mencuci ke sungai mulai berdatangan ke toko guna membeli sabun dan peralata mandi."Ndok, mbah mau sabun colek dua dan sabun mandi merk anu satu ya," ujar Mbah Tukiyem.Seorang sepuh yang kerap menjadi dukun beranak di kampung ini.Dengan cekatan, segera kuraih sabun sesuai permintaan Mbah Tukiyem."Mbah mau nyuci ya?" sapaku ramah.Mbah Tukiyem tersenyum sembari mengangguk pelan, "Nggeh, mbah mau mencuci kain jarik yang di pakai pasien mbah yang melahirkan di rumah mbah semalam," sahut Mbah Tukiyem."Tumben Mbah, lahirannya di rumah Mbah. Biasanya kan Mbah yang
"Mbak!"Lelaki itu memanggilku dari kejauhan sembari melambaikan tangannya, senyumnya merekah membuat ketampanannya semakin terpancar."Mengapa lelaki itu terlihat semakin tampan, ya?" gumamku.Tak lama lelaki itu telah berada di depanku, masih dengan senyum manisnya."Mbak," ucapnya lagi."Bandi, kamu kok masih ga ganti baju sih, itu ga dimarahi yang punya kostum gitu?" tanyaku yang penasaran.Keningnya mengernyit, "Baju, Mbak? Wong ini baju saya dan cuma punya satu ini, apa baju ini ga buat sya ganteng gitu di mata Mbak? Kalo ga ganteng saya ganti baju dulu, tapi baju siapa, ya?"Bandi membuatku bingung, rasanya ingin berkata dirinya orang gila.Tak ingin pusing karena tingkah konyol lelaki itu, aku pun masa bodo padanya, nyatanya kini lelaki itu membawa sekantung kembang dan mulai memakannya di depanku.Aku hanya dapat menggelengkan kepalaku saja melihat tingkah tak biasanya.Malam semakin merangkak naik, angin semilir menusuk tulang, aku mengenakan jaket yang selalu ada dalam ta
Setelah si Bandi itu menyosor pipiku, aku pun mengejar dirinya.Alhasil aku dapat sampai ke toko hanya dalam waktu lima belas menitan."Dasar Bandi! Awas kamu kalau nongol di toko malam ini, aku jadiin kamu umpan kucing nanti," gerutuku.Saat itu, Ani terlihat sudah bersiap pulang dan aku harus segera menggantikannya di kasir dan menunggu toko seorang diri."Mbak, tumben lari-lari mulu? Apa habis dikejar demit?" canda wanita cantik bernama Ani tersebut."Edan! Mana ada yang mau dikejar demit, kecuali kalau demitnya ganteng," tukasku.Kami pun akhirnya tertawa bersama.Tak lama datang Mbah Juju, sang kuncen makam yang sudah akrab dengaan kami, aku dan Ani."Husss, Maghrib lho ini! Ga baik cekikikan pas Magrib, nanti ada yang ikutan ketawa gimana?" tukas Mbah Juju.Seketika kami terdiam, kata-kata Mbah Juju sukses membuat Ani lari tunggang-langgang meninggalkan aku berdua dengan Mbah Juju yang menahan tawa melihat tingkah Ani yang memang penakut itu."Ani, Ani! Mbok yo ga begitu juga tak
"Jadi nama Panjenengan siapa? Nanti hamba panggil---""Rauna saja, tak perlu ada embel tuan dan hamba, panggil aja Una," selaku." Kalo gitu saya panggil Jenengan Mbak Una saja, ya!" tukas lelaki aneh itu."Terserah, Mas saja. Pulang gih, nanti kalau saya hamil gimana?" celetukku."Lah, saya baru tahu lho, ada wanita hamil dengan hanya dicium saja," kekehnya.Aku malah kesal mendengarnya, "Pulang sana, saya udah mau tutup toko. Sudah jam tunggu teman saya ini.""Saya sama Mbak ya, ga tahu mau pulang kemana, saya kan lagi dikejar-kejar sama prajurit tadi. Kalau pergi saya ga tahu kudu kemana." Bandi memelas, tatapannya begitu menyedihkan."Tapi apa kata orang nanti, kalau kamu tinggal sama saya," tukasku bimbang."Tenang, Mbak! Saya hanya bisa dilihat sama yang saya kehendaki saja. Kali ini saya hanya ingin dilihat Mbak saja.""Terserah!" tukasku acuh.Tak lama sinar surya menyinari dunia. Lah, kenapa malah nyanyi! Aku pun gegas bersiap untuk kembali pulang, memang dapat kulihat, Bandi
"Rauna, umur udah tua tapi kali ini kau tolak lagi lamaran anak juragan empang kampung sebelah. Pusing tahu kepala mbak! Maumu apa, sih? Mau sampai kapan kamu begini? Kapan mbak bisa tidur nyenyak, jika pinta terakhir almarhum ibu belum juga bisa mbak lakukan. Nikah dong Una ...."Mbakku, Rina. Selalu memaksaku menikah dan menjodohkanku dengan banyak pria pilihannya.Aku mengerti, aku paham! Jika itu merupakan pinta almarhum Ibu yang terakhir pada Mbak Ina, tapi aku sampai sekarang belum menemukan pria yang sesuai kata hati."Mbak, bisa kasih Una waktu buat nafas gak, sih! Nanti juga Una nikah kok Mbak, dan pastinya gak akan ngerepotin Mbak. Una mohon, lelaki hari ini merupakan lelaki terakhir yang Mbak kenalkan pada Una. Jodoh itu rahasia Tuhan, Mbak! Jangan paksa kehendak Mbak pada Una!" tegasku kala itu.Mbak Rina atau Mbak Ina, panggilannya.Menatapku nyalang."Yo wes, terserah kamu aja Una! Toh keras kepala, watak kepala batu sudah mendarah daging! Aku sebagai mbak-mu, setidakny