"Jadi nama Panjenengan siapa? Nanti hamba panggil---"
"Rauna saja, tak perlu ada embel tuan dan hamba, panggil aja Una," selaku.
" Kalo gitu saya panggil Jenengan Mbak Una saja, ya!" tukas lelaki aneh itu.
"Terserah, Mas saja. Pulang gih, nanti kalau saya hamil gimana?" celetukku.
"Lah, saya baru tahu lho, ada wanita hamil dengan hanya dicium saja," kekehnya.
Aku malah kesal mendengarnya, "Pulang sana, saya udah mau tutup toko. Sudah jam tunggu teman saya ini."
"Saya sama Mbak ya, ga tahu mau pulang kemana, saya kan lagi dikejar-kejar sama prajurit tadi. Kalau pergi saya ga tahu kudu kemana." Bandi memelas, tatapannya begitu menyedihkan.
"Tapi apa kata orang nanti, kalau kamu tinggal sama saya," tukasku bimbang.
"Tenang, Mbak! Saya hanya bisa dilihat sama yang saya kehendaki saja. Kali ini saya hanya ingin dilihat Mbak saja."
"Terserah!" tukasku acuh.
Tak lama sinar surya menyinari dunia. Lah, kenapa malah nyanyi! Aku pun gegas bersiap untuk kembali pulang, memang dapat kulihat, Bandi tak disadari siapa pun yang lalu lalang sedari tadi di sekitar kami.
Bahkan oleh Ani, yang terang-terangan ada di depannya pun tak menyadari keberadaan Bandi.
"Nduk, mbak Una pulang ya," pamitku pada Ani.
"Oke, Mbak! Semalam ga jumpa demit, kan?" canda Ani.
"Ya ga lah, kan mbak wanita tangguh. Hahaha! Nah, kamu yang kudunya waspada! Jam segini kan belum ada yang lalu lalang, ntar ada yang manggil dari arah makam itu lho," tunjukku ke arah makam.
"Mbak Una!" pekik Ani.
Saat itu aku berlari terbirit-birit karena adanya serangan sepasang sandal yang mengudara.
"Ada demit, Ni! Ada demit!" pekikku.
Aku sampai ke rumah, dan langsung mandi. Sebelum sampai ke rumah, aku sempat singgah membeli dua bungkus nasi uduk. Satu untukku dan satu untuk Bandi.
Tapi, sepanjang jalan aku tak melihatnya, apakah dia sudah duluan ke rumahku atau lagi di jalan.
"Eh, Bandi kan ga tahu rumahku, apa mungkin dia masih menunggu di toko, ya? Biarinlah, paling sekarang nemenin Ani." Aku langsung melahap sebungkus nasi uduk.
Kata-kata polos lelaki yang mengatakan tak tahu harus pulang kemana dan dikejar para prajurit itu, membuatku tak tenang.
Aku menghela napas panjang sebelum menelepon Ani.
Tut ....
"Halo, Assalamualaikum Mbak, ada apa?" tanya Ani di seberang sana.
Aku sempat terdiam sejenak, masih menimbang-nimbang apa kata yang tepat untuk menanyakan lelaki aneh berpakaian jaman dulu itu.
"Wa'alaikumsalam, Ni. Mbak mau nanya, lelaki yang pakai baju arak-arakan itu masih di toko, ga?" tanyaku.
"Siapa Mbak? Lah, dari tadi ga ada lelaki seperti itu. Cuma anak sekolah yang lewat sama Mbah Juju aja, kan dia bersih-bersih makam. Ini, lagi ngopi ma Ani," jelas Ani.
"Eh, ga ada ya. Mungkin udah pulang, awas ya! Katanya itu orang gila yang kabur dari Yayasan Panti Waras," candaku.
"Yang benar, Mbak!" tanggap Ani serius.
aku terkekeh sembari menutup mulutku, " Ga, Mbak cuma gurau aja kok!" sahutku.
"Mbak!" pekiknya.
"Yo wes, terima kasih udah mau angkat telepon dari mbak ya, selamat pacaran sama Mbah Juju, hahaha!"
"Edan!" umpat Ani.
Panggilan pun diakhiri, aku yang masih terkekeh meraih nasi uduk itu dan memasukkannya ke dalam lemari makan.
"Mungkin saja lelaki itu benar orang gila, ya!" gumamku seorang diri.
Aku yang mengantuk lalu tertidur.
Dalam tidurku melihat seseorang duduk di meja makan dan menyantap nasi uduk yang kubelikan untuk lelaki aneh bernama Bandi tadi.
"Bandi?"panggilku.
_____________
Alarm di ponselku berbunyi, aku mengerjap beberapa saat. Rasanya badanku remuk.
Kulihat jam di ponselku, sudah jam lima sore.
Saat kubangun, nasi uduk dalam lemari sudah ada di atas meja. Anehnya, nasi itu masih utuh dengan ikatan karetnya.
"Lho, aku bermimpi ya. Rasanya tadi melihat seseorang menyantap nasi ini, utuh kok! Tapi, nasi ini ada di meja. Perasaan aku masukin ke dalam lemari makan." Kuangkat bungkusan nasi uduk itu.
"Ah, aku makan saja." Kubuka bungkusannya, lalu menyeruak bau basi.
"Eh, tadi sebelum dibuka, ga ada bau basi deh," gumamku.
Akhirnya nasi itu berakhir di tong sampah.
"Sayangkan, coba kalau Bandi ada di sini, pasti dimakan dan ga mubazir." Aku lalu beranjak ke kamar mandi, karena harus bersiap kerja kembali.
Saat hendak masuk ke dalam kamar mandi, samarku dengar suara seseorang yang terkekeh. Tunggu! Mana mungkin, soalnya aku seorang diri di rumah.
"Ah, salah dengar. Mungkin saja tetangga atau orang yang lewat depan rumah," batinku.
_________________________
Tepat setelah adzan Maghrib berkumandang, aku bergegas menuju toko tempat aku bekerja selama ini.
Ya, semenjak semua harapanku tak sejalan dengan kenyataan, aku tak pernah lagi menunaikan perintah agama. Bagiku semua sama saja.
Dulu, disaat aku dan Mas Irgi mengaminkan doa yang sama, dengan teganya dia menghancurkan harapan itu. Dia bermaksiat dengan Kakak kandungku sendiri, Mbak Ina.
Entah karena Mbak Ina adalah Kakak kandungku , sampai sedikit pun tak ada rasa marah ataupun iri dengki. Hanya saja rasa kecewa begitu besar yang kurasakan pada mereka berdua.
Itulah alasanku tak begitu suka bertemu dengan Kakakku.
Ada satu hal yang menjadi pertanyaanku hingga kini. Mbak Ina mengaku hamil saat itu, anehnya sampai saat ini tak jua memiliki keturunan.
Sempat aku berpikir jika Mbak Ina hanya berbohong, tapi apalah daya. Mereka kini sudah menjadi suami istri. Toh, semuanya sudah terjadi sepuluh tahun lalu.
"Mbak Una cantik, mikirin apa sih? Kok sampai segitunya."
Aku terhenyak, suara itu adalah suara lelaki yang kukenal semalam.
Sontak saja aku menoleh ke asal suara.
"Bandi? Kamu kemana aja, aku sudah siapkan nasi uduk tadi pagi sampai basi. Kamu ga juga datang," dengusku.
Entah mengapa aku merasa kesal sekaligus kecewa.
Mungkin saja karena uduk yang harus kubuang karena basi.
"Saya ga jadi ikut sama Mbak, tapi saya tahu nasi itu, terima kasih ya," ucapnya.
"Kamu mau ke mana lagi sekarang?" tanyaku. " Ckckck, kenapa ga ganti baju sih?"Aku berdecih saat itu. Bagaimana tidak, lelaki itu tak mengganti bajunya.
"Kenapa dengan baju saya?" tanyanya polos.
"Masih baju yang semalam," tukasku.
Bandi terkekeh, "Tapi saya wangi 'kan, Mbak?"
Aku berjalan sembari mengendus tubuh Bandi, benar saja tubuhnya wangi, malah membuatku candu.
"Mbak, udahan. Jangan begitu, nanti disangka Mbak lagi ngapain. Tuh, anak kecil di sana lihatin Mbak sampai ga bergerak," bisik Bandi.
Aku salah tingkah, benar saja. Seorang anak kecil menatapku heran.
"Mbak kesurupan, ya?" tanya anak itu.
"Eh, ga sopan kamu ya!" seruku.
"Lah, habisnya Mbak ngomong sendiri terus monyong-monyong gitu." Anak itu berlalu sambil membaca doa makan.
Teman di sampingnya malah menyorakinya, " Kamu juga kesurupan ya, Cup. Masa bacaannya doa makan," protes temannya.
"Kan saya hapalnya doa makan doang," sahut anak itu.
Aku hanya menggeleng-gelengksn kepala, sambil tersenyum melihat tingkah kedua anak kecil itu.
"Kan saya sudah bilang, ga semua bisa lihat saya." Bandi kembali berbisik padaku.
Cup! Bandi kembali menciumku, kali ini pipiku diciumnya.
"Bandi!" pekikku.
Setelah si Bandi itu menyosor pipiku, aku pun mengejar dirinya.Alhasil aku dapat sampai ke toko hanya dalam waktu lima belas menitan."Dasar Bandi! Awas kamu kalau nongol di toko malam ini, aku jadiin kamu umpan kucing nanti," gerutuku.Saat itu, Ani terlihat sudah bersiap pulang dan aku harus segera menggantikannya di kasir dan menunggu toko seorang diri."Mbak, tumben lari-lari mulu? Apa habis dikejar demit?" canda wanita cantik bernama Ani tersebut."Edan! Mana ada yang mau dikejar demit, kecuali kalau demitnya ganteng," tukasku.Kami pun akhirnya tertawa bersama.Tak lama datang Mbah Juju, sang kuncen makam yang sudah akrab dengaan kami, aku dan Ani."Husss, Maghrib lho ini! Ga baik cekikikan pas Magrib, nanti ada yang ikutan ketawa gimana?" tukas Mbah Juju.Seketika kami terdiam, kata-kata Mbah Juju sukses membuat Ani lari tunggang-langgang meninggalkan aku berdua dengan Mbah Juju yang menahan tawa melihat tingkah Ani yang memang penakut itu."Ani, Ani! Mbok yo ga begitu juga tak
"Mbak!"Lelaki itu memanggilku dari kejauhan sembari melambaikan tangannya, senyumnya merekah membuat ketampanannya semakin terpancar."Mengapa lelaki itu terlihat semakin tampan, ya?" gumamku.Tak lama lelaki itu telah berada di depanku, masih dengan senyum manisnya."Mbak," ucapnya lagi."Bandi, kamu kok masih ga ganti baju sih, itu ga dimarahi yang punya kostum gitu?" tanyaku yang penasaran.Keningnya mengernyit, "Baju, Mbak? Wong ini baju saya dan cuma punya satu ini, apa baju ini ga buat sya ganteng gitu di mata Mbak? Kalo ga ganteng saya ganti baju dulu, tapi baju siapa, ya?"Bandi membuatku bingung, rasanya ingin berkata dirinya orang gila.Tak ingin pusing karena tingkah konyol lelaki itu, aku pun masa bodo padanya, nyatanya kini lelaki itu membawa sekantung kembang dan mulai memakannya di depanku.Aku hanya dapat menggelengkan kepalaku saja melihat tingkah tak biasanya.Malam semakin merangkak naik, angin semilir menusuk tulang, aku mengenakan jaket yang selalu ada dalam ta
"Ga ada orang? Lah, tadi Una ngomong sama siapa?" tanya ku pada Mbah Juju."Hmmm, awas demit tho Na, mbok yo kamu pake ramah aja sama semua makhluk. Kamu ga curiga gitu," sahut Mbah Juju.Aku hanya menggeleng, seketika bulu kudukku meremang."Ih, kok seketika Una jadi merinding, ya!" tukaskuSejurus kemudian, aku memilih duduk di kursi kasir saja hingga pagi tiba.Beberapa warga mulai ke toko di saat subuh, Ibu-Ibu yang hendak mencuci ke sungai mulai berdatangan ke toko guna membeli sabun dan peralata mandi."Ndok, mbah mau sabun colek dua dan sabun mandi merk anu satu ya," ujar Mbah Tukiyem.Seorang sepuh yang kerap menjadi dukun beranak di kampung ini.Dengan cekatan, segera kuraih sabun sesuai permintaan Mbah Tukiyem."Mbah mau nyuci ya?" sapaku ramah.Mbah Tukiyem tersenyum sembari mengangguk pelan, "Nggeh, mbah mau mencuci kain jarik yang di pakai pasien mbah yang melahirkan di rumah mbah semalam," sahut Mbah Tukiyem."Tumben Mbah, lahirannya di rumah Mbah. Biasanya kan Mbah yang
"Tolonglah Mbak, terus teranglah pada Una. Setidaknya Una akan menuruti perkataan Mbak," pintaku pada Mbak Ina.Mbak Ina lalu berjalan ke arahku dan memelukku erat, dituntunnya aku ke kursi rotan hasil karya Ayah dulu di saat senggangnya."Mas, tunggu di teras ya," pinta Mbak Ina pada Mas Irgi.Lelaki itu mengangguk dan sejurus kemudian telah berada di teras rumah, punggungnya terlihat dari kaca jendela.Mbak Ina menggenggam tanganku, tangisnya mulai terdengar kembali ... bahkan kini airmatanya menetes hingga membasahi tanganku yang digenggamnya."Una, kejadian beberapa tahun silam merupakan salah mbak. Mas Irgi hanya korban keegoisan mbak saja, waktu itu di mana mbak pulang dari Taiwan. Ayah mengatakan kalau mbak harus kembali ke Taiwan lagi, karena begitu kamu wisuda ... ayah akan menikahkanmu dengan mas Irgi. Mbak saat itu marah pada ayah, mbak lelah harus menjadi tulang punggung keluarga. Saat itu, mbak sudah menyarankan ayah agar menjual sapi dan beberapa lahan saja sebagai modal
"Kita di mana, Bandi?" tanyaku sekali lagi.Lelaki berhidung mancung itu tersenyum dan kemudian mendekat padaku. "Kita di alamku, Mbak!" jawabnya.Entah mengapa aku tak puas dengan jawabannya."Bandi!" pekikku."Hmm," dengusnya. Aksanya masih setia memandang ke arah jalan. Jalan yang lenggang, tak sedikit pun tampak seperti di kampungku. Di mana kendaraan sesekali lewat. "Tunggu sebentar, ya! Saya harap Mbak tak keluar. Duduk manislah di situ." Bandi keluar setelah meminta aku menunggunya. Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut gubuk ini, gubuk yang beralasan tanah serta beratap daun rumbia. Sebuah tungku batu tersedia di sudut gubuk."Ah, bagaimana bisa aku ada di sini?" Kusentuh kakiku yang tadi terkilir, senyumku merekah kala rasa sakit itu telah hilang. Seolah tak terjadi apa pun, kakiku bisa digerakkan bebas."Rupanya Bandi mahir jadi tukang urut," gumamku yang terkekeh.Beberapa saat kemudian, lelaki tampan itu kembali dengan dua helai kain di tangannya."Mbak, ganti pa
"Bandi!" pekikku.Bagaimana aku tak memekik, aku terperanjat kala tubuh ini di angkat dan aku berada dalam rangkulannya."Sttt, jangan berisik. Kita akan segera sampai ke tujuan!" Bandi eh Kang Mas Bayu berbisik, pandangan kami bertaut."Ta-tapi aku takut jatuh," selaku.Bagaimana tidak, Kang Mas Bayu melesat tinggi di udara. Hanya dalam satu pijakan, bisa membuatnya melesat begitu jauh."Peluk Kang Mas kalau takut," bisiknya tepat di telingaku.Aku yang takut, memejamkan mata dan memeluk lehernya erat. Di mana wajahku kubenamkan di ceruk lehernya.Sejurus kemudian, Kang Mas Bayu menurunkanku. "Nimas, kita sampai. Ini padepokan yang tak akan ada yang mengenali kita. Ingat, aku suamimu dan kau istriku. Panggil aku, Kang Mas Bayu," terang Kang Mas Bayu. Aku mengangguk pelan, kugenggam erat jemarinya yang begitu besar."Jangan tinggalkan aku, ya!" celetukku ketika itu.Kami yang masuk ke padepokan tersebut, sempat berhenti sejenak. Mas Bayu menatapku dan mengangguk pelan."Kang Mas j
"Berisik! Apa yang terjadi di sini? Pagi-pagi sudah rebutan wedang jahe!" Kang Mas Bayu masuk dan meraih wedang jahe itu di tangan sang gadis."Nimas mau?" tanya Kang Mas Bayu padaku. Aku mengangguk pelan, lalu diserahkannya cawan yang berisi wedang jahe itu padaku."Habiskan, biar rahimmu hangat. Anak kita akan tumbuh sehat." Kang Mas Bayu berkata sembari mengelus perut rampingku. "Ap-apa? Jadi benar, Kang Mas sudah menikah?" cecar wanita cantik di depanku."Benar sekali!" sahutnya lugas.Wanita itu menatapku tajam, seolah hendak menelanjangiku. "Mau-maunya sama wanita tua dan tak cantik, tak ayu! Kang Mas sakit mata," sindir wanita itu.Aku hanya menghela napas panjang sembari mengelus dada, sedang Kang Mas Bayu hanya menahan tawa melihatku yang kesal."Kenapa wanita itu?" dengusku kesal. Kini kududuk di samping Kang Mas Bayu yang tengah menyantap nasi tiwul beserta lauk pauknya."Ojo ngedumel, Nimas! Ayu-nya nanti hilang," bujuk Mas Bayu."Lah, siapa sih wanita itu? Iya, dia can
"Rauna, umur udah tua tapi kali ini kau tolak lagi lamaran anak juragan empang kampung sebelah. Pusing tahu kepala mbak! Maumu apa, sih? Mau sampai kapan kamu begini? Kapan mbak bisa tidur nyenyak, jika pinta terakhir almarhum ibu belum juga bisa mbak lakukan. Nikah dong Una ...."Mbakku, Rina. Selalu memaksaku menikah dan menjodohkanku dengan banyak pria pilihannya.Aku mengerti, aku paham! Jika itu merupakan pinta almarhum Ibu yang terakhir pada Mbak Ina, tapi aku sampai sekarang belum menemukan pria yang sesuai kata hati."Mbak, bisa kasih Una waktu buat nafas gak, sih! Nanti juga Una nikah kok Mbak, dan pastinya gak akan ngerepotin Mbak. Una mohon, lelaki hari ini merupakan lelaki terakhir yang Mbak kenalkan pada Una. Jodoh itu rahasia Tuhan, Mbak! Jangan paksa kehendak Mbak pada Una!" tegasku kala itu.Mbak Rina atau Mbak Ina, panggilannya.Menatapku nyalang."Yo wes, terserah kamu aja Una! Toh keras kepala, watak kepala batu sudah mendarah daging! Aku sebagai mbak-mu, setidakny
"Berisik! Apa yang terjadi di sini? Pagi-pagi sudah rebutan wedang jahe!" Kang Mas Bayu masuk dan meraih wedang jahe itu di tangan sang gadis."Nimas mau?" tanya Kang Mas Bayu padaku. Aku mengangguk pelan, lalu diserahkannya cawan yang berisi wedang jahe itu padaku."Habiskan, biar rahimmu hangat. Anak kita akan tumbuh sehat." Kang Mas Bayu berkata sembari mengelus perut rampingku. "Ap-apa? Jadi benar, Kang Mas sudah menikah?" cecar wanita cantik di depanku."Benar sekali!" sahutnya lugas.Wanita itu menatapku tajam, seolah hendak menelanjangiku. "Mau-maunya sama wanita tua dan tak cantik, tak ayu! Kang Mas sakit mata," sindir wanita itu.Aku hanya menghela napas panjang sembari mengelus dada, sedang Kang Mas Bayu hanya menahan tawa melihatku yang kesal."Kenapa wanita itu?" dengusku kesal. Kini kududuk di samping Kang Mas Bayu yang tengah menyantap nasi tiwul beserta lauk pauknya."Ojo ngedumel, Nimas! Ayu-nya nanti hilang," bujuk Mas Bayu."Lah, siapa sih wanita itu? Iya, dia can
"Bandi!" pekikku.Bagaimana aku tak memekik, aku terperanjat kala tubuh ini di angkat dan aku berada dalam rangkulannya."Sttt, jangan berisik. Kita akan segera sampai ke tujuan!" Bandi eh Kang Mas Bayu berbisik, pandangan kami bertaut."Ta-tapi aku takut jatuh," selaku.Bagaimana tidak, Kang Mas Bayu melesat tinggi di udara. Hanya dalam satu pijakan, bisa membuatnya melesat begitu jauh."Peluk Kang Mas kalau takut," bisiknya tepat di telingaku.Aku yang takut, memejamkan mata dan memeluk lehernya erat. Di mana wajahku kubenamkan di ceruk lehernya.Sejurus kemudian, Kang Mas Bayu menurunkanku. "Nimas, kita sampai. Ini padepokan yang tak akan ada yang mengenali kita. Ingat, aku suamimu dan kau istriku. Panggil aku, Kang Mas Bayu," terang Kang Mas Bayu. Aku mengangguk pelan, kugenggam erat jemarinya yang begitu besar."Jangan tinggalkan aku, ya!" celetukku ketika itu.Kami yang masuk ke padepokan tersebut, sempat berhenti sejenak. Mas Bayu menatapku dan mengangguk pelan."Kang Mas j
"Kita di mana, Bandi?" tanyaku sekali lagi.Lelaki berhidung mancung itu tersenyum dan kemudian mendekat padaku. "Kita di alamku, Mbak!" jawabnya.Entah mengapa aku tak puas dengan jawabannya."Bandi!" pekikku."Hmm," dengusnya. Aksanya masih setia memandang ke arah jalan. Jalan yang lenggang, tak sedikit pun tampak seperti di kampungku. Di mana kendaraan sesekali lewat. "Tunggu sebentar, ya! Saya harap Mbak tak keluar. Duduk manislah di situ." Bandi keluar setelah meminta aku menunggunya. Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut gubuk ini, gubuk yang beralasan tanah serta beratap daun rumbia. Sebuah tungku batu tersedia di sudut gubuk."Ah, bagaimana bisa aku ada di sini?" Kusentuh kakiku yang tadi terkilir, senyumku merekah kala rasa sakit itu telah hilang. Seolah tak terjadi apa pun, kakiku bisa digerakkan bebas."Rupanya Bandi mahir jadi tukang urut," gumamku yang terkekeh.Beberapa saat kemudian, lelaki tampan itu kembali dengan dua helai kain di tangannya."Mbak, ganti pa
"Tolonglah Mbak, terus teranglah pada Una. Setidaknya Una akan menuruti perkataan Mbak," pintaku pada Mbak Ina.Mbak Ina lalu berjalan ke arahku dan memelukku erat, dituntunnya aku ke kursi rotan hasil karya Ayah dulu di saat senggangnya."Mas, tunggu di teras ya," pinta Mbak Ina pada Mas Irgi.Lelaki itu mengangguk dan sejurus kemudian telah berada di teras rumah, punggungnya terlihat dari kaca jendela.Mbak Ina menggenggam tanganku, tangisnya mulai terdengar kembali ... bahkan kini airmatanya menetes hingga membasahi tanganku yang digenggamnya."Una, kejadian beberapa tahun silam merupakan salah mbak. Mas Irgi hanya korban keegoisan mbak saja, waktu itu di mana mbak pulang dari Taiwan. Ayah mengatakan kalau mbak harus kembali ke Taiwan lagi, karena begitu kamu wisuda ... ayah akan menikahkanmu dengan mas Irgi. Mbak saat itu marah pada ayah, mbak lelah harus menjadi tulang punggung keluarga. Saat itu, mbak sudah menyarankan ayah agar menjual sapi dan beberapa lahan saja sebagai modal
"Ga ada orang? Lah, tadi Una ngomong sama siapa?" tanya ku pada Mbah Juju."Hmmm, awas demit tho Na, mbok yo kamu pake ramah aja sama semua makhluk. Kamu ga curiga gitu," sahut Mbah Juju.Aku hanya menggeleng, seketika bulu kudukku meremang."Ih, kok seketika Una jadi merinding, ya!" tukaskuSejurus kemudian, aku memilih duduk di kursi kasir saja hingga pagi tiba.Beberapa warga mulai ke toko di saat subuh, Ibu-Ibu yang hendak mencuci ke sungai mulai berdatangan ke toko guna membeli sabun dan peralata mandi."Ndok, mbah mau sabun colek dua dan sabun mandi merk anu satu ya," ujar Mbah Tukiyem.Seorang sepuh yang kerap menjadi dukun beranak di kampung ini.Dengan cekatan, segera kuraih sabun sesuai permintaan Mbah Tukiyem."Mbah mau nyuci ya?" sapaku ramah.Mbah Tukiyem tersenyum sembari mengangguk pelan, "Nggeh, mbah mau mencuci kain jarik yang di pakai pasien mbah yang melahirkan di rumah mbah semalam," sahut Mbah Tukiyem."Tumben Mbah, lahirannya di rumah Mbah. Biasanya kan Mbah yang
"Mbak!"Lelaki itu memanggilku dari kejauhan sembari melambaikan tangannya, senyumnya merekah membuat ketampanannya semakin terpancar."Mengapa lelaki itu terlihat semakin tampan, ya?" gumamku.Tak lama lelaki itu telah berada di depanku, masih dengan senyum manisnya."Mbak," ucapnya lagi."Bandi, kamu kok masih ga ganti baju sih, itu ga dimarahi yang punya kostum gitu?" tanyaku yang penasaran.Keningnya mengernyit, "Baju, Mbak? Wong ini baju saya dan cuma punya satu ini, apa baju ini ga buat sya ganteng gitu di mata Mbak? Kalo ga ganteng saya ganti baju dulu, tapi baju siapa, ya?"Bandi membuatku bingung, rasanya ingin berkata dirinya orang gila.Tak ingin pusing karena tingkah konyol lelaki itu, aku pun masa bodo padanya, nyatanya kini lelaki itu membawa sekantung kembang dan mulai memakannya di depanku.Aku hanya dapat menggelengkan kepalaku saja melihat tingkah tak biasanya.Malam semakin merangkak naik, angin semilir menusuk tulang, aku mengenakan jaket yang selalu ada dalam ta
Setelah si Bandi itu menyosor pipiku, aku pun mengejar dirinya.Alhasil aku dapat sampai ke toko hanya dalam waktu lima belas menitan."Dasar Bandi! Awas kamu kalau nongol di toko malam ini, aku jadiin kamu umpan kucing nanti," gerutuku.Saat itu, Ani terlihat sudah bersiap pulang dan aku harus segera menggantikannya di kasir dan menunggu toko seorang diri."Mbak, tumben lari-lari mulu? Apa habis dikejar demit?" canda wanita cantik bernama Ani tersebut."Edan! Mana ada yang mau dikejar demit, kecuali kalau demitnya ganteng," tukasku.Kami pun akhirnya tertawa bersama.Tak lama datang Mbah Juju, sang kuncen makam yang sudah akrab dengaan kami, aku dan Ani."Husss, Maghrib lho ini! Ga baik cekikikan pas Magrib, nanti ada yang ikutan ketawa gimana?" tukas Mbah Juju.Seketika kami terdiam, kata-kata Mbah Juju sukses membuat Ani lari tunggang-langgang meninggalkan aku berdua dengan Mbah Juju yang menahan tawa melihat tingkah Ani yang memang penakut itu."Ani, Ani! Mbok yo ga begitu juga tak
"Jadi nama Panjenengan siapa? Nanti hamba panggil---""Rauna saja, tak perlu ada embel tuan dan hamba, panggil aja Una," selaku." Kalo gitu saya panggil Jenengan Mbak Una saja, ya!" tukas lelaki aneh itu."Terserah, Mas saja. Pulang gih, nanti kalau saya hamil gimana?" celetukku."Lah, saya baru tahu lho, ada wanita hamil dengan hanya dicium saja," kekehnya.Aku malah kesal mendengarnya, "Pulang sana, saya udah mau tutup toko. Sudah jam tunggu teman saya ini.""Saya sama Mbak ya, ga tahu mau pulang kemana, saya kan lagi dikejar-kejar sama prajurit tadi. Kalau pergi saya ga tahu kudu kemana." Bandi memelas, tatapannya begitu menyedihkan."Tapi apa kata orang nanti, kalau kamu tinggal sama saya," tukasku bimbang."Tenang, Mbak! Saya hanya bisa dilihat sama yang saya kehendaki saja. Kali ini saya hanya ingin dilihat Mbak saja.""Terserah!" tukasku acuh.Tak lama sinar surya menyinari dunia. Lah, kenapa malah nyanyi! Aku pun gegas bersiap untuk kembali pulang, memang dapat kulihat, Bandi
"Rauna, umur udah tua tapi kali ini kau tolak lagi lamaran anak juragan empang kampung sebelah. Pusing tahu kepala mbak! Maumu apa, sih? Mau sampai kapan kamu begini? Kapan mbak bisa tidur nyenyak, jika pinta terakhir almarhum ibu belum juga bisa mbak lakukan. Nikah dong Una ...."Mbakku, Rina. Selalu memaksaku menikah dan menjodohkanku dengan banyak pria pilihannya.Aku mengerti, aku paham! Jika itu merupakan pinta almarhum Ibu yang terakhir pada Mbak Ina, tapi aku sampai sekarang belum menemukan pria yang sesuai kata hati."Mbak, bisa kasih Una waktu buat nafas gak, sih! Nanti juga Una nikah kok Mbak, dan pastinya gak akan ngerepotin Mbak. Una mohon, lelaki hari ini merupakan lelaki terakhir yang Mbak kenalkan pada Una. Jodoh itu rahasia Tuhan, Mbak! Jangan paksa kehendak Mbak pada Una!" tegasku kala itu.Mbak Rina atau Mbak Ina, panggilannya.Menatapku nyalang."Yo wes, terserah kamu aja Una! Toh keras kepala, watak kepala batu sudah mendarah daging! Aku sebagai mbak-mu, setidakny