"Tolonglah Mbak, terus teranglah pada Una. Setidaknya Una akan menuruti perkataan Mbak," pintaku pada Mbak Ina.
Mbak Ina lalu berjalan ke arahku dan memelukku erat, dituntunnya aku ke kursi rotan hasil karya Ayah dulu di saat senggangnya.
"Mas, tunggu di teras ya," pinta Mbak Ina pada Mas Irgi.
Lelaki itu mengangguk dan sejurus kemudian telah berada di teras rumah, punggungnya terlihat dari kaca jendela.
Mbak Ina menggenggam tanganku, tangisnya mulai terdengar kembali ... bahkan kini airmatanya menetes hingga membasahi tanganku yang digenggamnya.
"Una, kejadian beberapa tahun silam merupakan salah mbak. Mas Irgi hanya korban keegoisan mbak saja, waktu itu di mana mbak pulang dari Taiwan. Ayah mengatakan kalau mbak harus kembali ke Taiwan lagi, karena begitu kamu wisuda ... ayah akan menikahkanmu dengan mas Irgi. Mbak saat itu marah pada ayah, mbak lelah harus menjadi tulang punggung keluarga. Saat itu, mbak sudah menyarankan ayah agar menjual sapi dan beberapa lahan saja sebagai modalmu menikah, sayangnya ayah tak terima saran mbak. Sempat terjadi adu mulut mbak dengan ayah yang membuat mbak tahu, rupanya mbak hanya anak selingkuhan ibu bersama lelaki lain di saat ayah bekerja keluar kota," ungkap Mbak Ina lirih.
"Astagfirullah!" pekikku.
"Saat itu, mas Irgi bertandang ke rumah hendak mengambil laptopmu yang tertinggal dan akan ke kota, kamu ingat ga, Na?" imbuh Mbak Ina.
Aku mencoba mengingat-ingat, hingga aku mengangguk pelan. Aku ingat saat itu, kebetulan Mas Irgi pulang kampung, aku yang tak pulang memintanya singgah ke rumah guna mengambil laptopku yang rusak dan akan membawanya ke tukang servis di kota.
"Mas Irgi datang di saat ayah menampar mbak dan mendengar semua misteri hidup mbak selama ini, mas Irgi pula yang menahan tangan ayah saat akan menampar mbak ... saat itu, mas Irgi membawa mbak ke kota dan mbak tinggal di kost-annya. Semua itu terjadi, Na. Semula kami hendak melupakan, mas Irgi termenung memikirkanmu. Dua hari dia hanya meringkuk di kost dan saat itu, mbak kembali pulang. Ayah meminta maaf dan meminta mbak tak membicarakan hal ini padamu. Tepat sebulan kemudian, saat mbak hendak kembali ke Taiwan, ternyata pas di PT check up, mbak positif hamil. Saat itu mbak bingung dan takut kembali ke rumah. Pada mas Irgi, mbak katakan semua. Dengan airmata yang berlinang, mas Irgi siap bertanggung jawab. Mbak juga bingung, saat itu kalian sudah menyiapkan segalanya untuk pernikahan, kan? Mbak salah, Na. Maafkan mbak! Karena mbak juga, ayah meninggal dunia, hiks hiks!" ungkap Mbak Ina panjang lebar.
Aku kembali mengingat saat terpuruk dalam hidupku, di saat Mbak Ina mengaku hamil anak Mas Irgi dan ayah meninggal dunia.
Tak terasa, aku menangis tersedu-sedu.
Hatiku kembali sakit, Mbak Ina hendak memelukku tapi kutepis tangannya. Terlebih saat ini, Mas Irgi berdiri mematung di depanku sembari menatapku penuh arti.
"Nana," lirihnya.
Ya, nama itu yang dirinya berikan padaku saat bahagia dulu. Kini, setelah bertahun-tahun. Nama itu kembali terdengar untukku dari orang yang sama namun rasa yang beda.
Mas Irgi bersimpuh di depanku, pandangan kami berdua saling bertaut. Sayangnya, tak kurasakan hangatnya cinta seperti dulu.
Kubiarkan kedua insan tersebut di tempatnya, kuseka kasar airmataku, lalu menatap aksa Mbak Ina yang masih setia menatapku dengan sendu.
"Lalu, sumpah apa yang ibu berikan pada Mbak?" tanyaku.
Mbak Ina menghela napas panjang lalu bercerita kembali, "Sebulan setelah pernikahan, mbak keguguran. Setelah itu, mbak tak pernah hamil lagi, hingga di saat ibu sekarat dan memanggil mbak ke kamar. Saat itu ibu tertawa, mentertawakan mbak dan mengatakan menyesal telah melahirkan mbak. Mbak lahir dari zinah dan rupanya takdir mbak tak jauh dari berzinah, begitu kata ibu. Saat itu ibu berkata jika mbak takkan pernah punya keturunan jika kamu belum menikah. Maka selama kamu belum menikah, semua bebanmu akan menjadi tanggung jawab mbak, itu yang membuat mbak tak dapat memiiki keturunan dengan Mas Irgi, semula mbak tak percaya. Kami melakukan banyak pengobatan medis bahkan spiritual, bahkan bayi tabung yang mahal itu pun telah mbak lakukan. Sayang semua nihil," jelas Mbak Ina.
Tanganku memijit pelipisku sendiri, aku melangkah gontai ke arah kamar.
Begitu di depan pintu, aku berkata. "Pulanglah Mbak, Mas! Una mau istirahat, minggu depan atur pertemuan Una dengan lelaki bernama Rizal itu," tukasku.
Begitu sampai ke kamar, kuraih obat tidur melebihi dosis yang biasa kuminum.
Biasanya hanya satu pil sehari, kini kutelan segenggam hingga botol obat tidur itu kosong melompong.
Dalam pikiranku, hanya bayang Ayah dan Ibu saja, kutarik selimut dan perlahan kupejamkan mata.
"Selamat tinggal!" ucapku lirih.
__________________________
Kubuka mataku, seketika aku terperanjat! Aku berada di sebuah pasar tradisional yang begitu ramai dan berdesakan.
"I-ini di mana?" tanyaku pada diri sendiri.
Ramainya orang yang berlalu lalang, membuat tubuhku terhuyung ke sana ke mari.
Tak dapat kutahan, kala tubuhku terhuyung dan aku tersungkur ke tanah.
"Aw!"pekikku.
Kubersihkan tanganku yang penuh dengan debu. Saat kucoba berdiri, ternyata kakiku terkilir. Sontak saja aku kembali terduduk di tanah.
"Mbak Una!" sapa seseorang.
Aku yang merintih kesakitan akhirnya mendongak dan mataku mengembun saat kulihat senyum teduh dari seseorang yang beberapa hari ini kuanggap gila.
"Bandi, tolong aku!" rengekku, karena saat itu aku sudah menangis tersedu-sedu.
Bandi lalu menggendongku dan membawa aku ke sebuah gubuk yang agak jauh dari keramaian tadi.
"Mbak Una, kenapa bisa ada di sini?" tanya Bandi.
Tangannya cekatan mengurut kakiku yang terkilir, dan dalam beberapa saat tulang kakiku yang diurutnya berbunyi, aku pun sampai menjerit karena rasa sakit yang amat sangat tadi.
"Sudah, Mbak! Sekarang pasti tak sakit lagi," tukasnya.
Aku pun mencoba menggerakkan kakiku yang tadi terkilir. Benar saja, aku sudah tak merasakan rasa sakit yang tadi begitu mendera.
"Terima kasih," ucapku.
"Mbak Una belum menjawab pertanyaan saya, kenapa Mbak ada di sini?" tanya Bandi lagi, lelaki aneh ini suka menanyakan hal yang sama.
"Mana saya tahu!" jawabku ketus.
"Lah, kok ga tahu! Emang tadi Mbak lagi apa? Mari diingat-ingat kembali," cakap Bandi sopan.
Aku mencoba mengingat-ingat, mataku melihat ke atas atap rumbia yang menjadi pelindung dari panas dan hujan penghuni gubuk ini.
"Tadi aku lagi tidur kok rasanya," ingatku.
"Terus?"
"Ya, tidur. Apalagi?" jawabku.
"O, jadi Mbak Una ini kelepasan ya. Hm, paham ... paham!" sahut Bandi.
"Kelepasan? Apa itu kelepasan? Setahu aku adanya juga kemasukan, lah ini. Kelepasan! Aneh, kamu!" ujarku.
"Lah, iki buktinya! Mbak kelepasan sampai ke mari, emang Mbak pikir kita ada di mana ini?" pungkas Bandi.
"Emang kita di mana?" tanyaku penasaran.
"Kita di mana, Bandi?" tanyaku sekali lagi.Lelaki berhidung mancung itu tersenyum dan kemudian mendekat padaku. "Kita di alamku, Mbak!" jawabnya.Entah mengapa aku tak puas dengan jawabannya."Bandi!" pekikku."Hmm," dengusnya. Aksanya masih setia memandang ke arah jalan. Jalan yang lenggang, tak sedikit pun tampak seperti di kampungku. Di mana kendaraan sesekali lewat. "Tunggu sebentar, ya! Saya harap Mbak tak keluar. Duduk manislah di situ." Bandi keluar setelah meminta aku menunggunya. Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut gubuk ini, gubuk yang beralasan tanah serta beratap daun rumbia. Sebuah tungku batu tersedia di sudut gubuk."Ah, bagaimana bisa aku ada di sini?" Kusentuh kakiku yang tadi terkilir, senyumku merekah kala rasa sakit itu telah hilang. Seolah tak terjadi apa pun, kakiku bisa digerakkan bebas."Rupanya Bandi mahir jadi tukang urut," gumamku yang terkekeh.Beberapa saat kemudian, lelaki tampan itu kembali dengan dua helai kain di tangannya."Mbak, ganti pa
"Bandi!" pekikku.Bagaimana aku tak memekik, aku terperanjat kala tubuh ini di angkat dan aku berada dalam rangkulannya."Sttt, jangan berisik. Kita akan segera sampai ke tujuan!" Bandi eh Kang Mas Bayu berbisik, pandangan kami bertaut."Ta-tapi aku takut jatuh," selaku.Bagaimana tidak, Kang Mas Bayu melesat tinggi di udara. Hanya dalam satu pijakan, bisa membuatnya melesat begitu jauh."Peluk Kang Mas kalau takut," bisiknya tepat di telingaku.Aku yang takut, memejamkan mata dan memeluk lehernya erat. Di mana wajahku kubenamkan di ceruk lehernya.Sejurus kemudian, Kang Mas Bayu menurunkanku. "Nimas, kita sampai. Ini padepokan yang tak akan ada yang mengenali kita. Ingat, aku suamimu dan kau istriku. Panggil aku, Kang Mas Bayu," terang Kang Mas Bayu. Aku mengangguk pelan, kugenggam erat jemarinya yang begitu besar."Jangan tinggalkan aku, ya!" celetukku ketika itu.Kami yang masuk ke padepokan tersebut, sempat berhenti sejenak. Mas Bayu menatapku dan mengangguk pelan."Kang Mas j
"Berisik! Apa yang terjadi di sini? Pagi-pagi sudah rebutan wedang jahe!" Kang Mas Bayu masuk dan meraih wedang jahe itu di tangan sang gadis."Nimas mau?" tanya Kang Mas Bayu padaku. Aku mengangguk pelan, lalu diserahkannya cawan yang berisi wedang jahe itu padaku."Habiskan, biar rahimmu hangat. Anak kita akan tumbuh sehat." Kang Mas Bayu berkata sembari mengelus perut rampingku. "Ap-apa? Jadi benar, Kang Mas sudah menikah?" cecar wanita cantik di depanku."Benar sekali!" sahutnya lugas.Wanita itu menatapku tajam, seolah hendak menelanjangiku. "Mau-maunya sama wanita tua dan tak cantik, tak ayu! Kang Mas sakit mata," sindir wanita itu.Aku hanya menghela napas panjang sembari mengelus dada, sedang Kang Mas Bayu hanya menahan tawa melihatku yang kesal."Kenapa wanita itu?" dengusku kesal. Kini kududuk di samping Kang Mas Bayu yang tengah menyantap nasi tiwul beserta lauk pauknya."Ojo ngedumel, Nimas! Ayu-nya nanti hilang," bujuk Mas Bayu."Lah, siapa sih wanita itu? Iya, dia can
"Rauna, umur udah tua tapi kali ini kau tolak lagi lamaran anak juragan empang kampung sebelah. Pusing tahu kepala mbak! Maumu apa, sih? Mau sampai kapan kamu begini? Kapan mbak bisa tidur nyenyak, jika pinta terakhir almarhum ibu belum juga bisa mbak lakukan. Nikah dong Una ...."Mbakku, Rina. Selalu memaksaku menikah dan menjodohkanku dengan banyak pria pilihannya.Aku mengerti, aku paham! Jika itu merupakan pinta almarhum Ibu yang terakhir pada Mbak Ina, tapi aku sampai sekarang belum menemukan pria yang sesuai kata hati."Mbak, bisa kasih Una waktu buat nafas gak, sih! Nanti juga Una nikah kok Mbak, dan pastinya gak akan ngerepotin Mbak. Una mohon, lelaki hari ini merupakan lelaki terakhir yang Mbak kenalkan pada Una. Jodoh itu rahasia Tuhan, Mbak! Jangan paksa kehendak Mbak pada Una!" tegasku kala itu.Mbak Rina atau Mbak Ina, panggilannya.Menatapku nyalang."Yo wes, terserah kamu aja Una! Toh keras kepala, watak kepala batu sudah mendarah daging! Aku sebagai mbak-mu, setidakny
"Jadi nama Panjenengan siapa? Nanti hamba panggil---""Rauna saja, tak perlu ada embel tuan dan hamba, panggil aja Una," selaku." Kalo gitu saya panggil Jenengan Mbak Una saja, ya!" tukas lelaki aneh itu."Terserah, Mas saja. Pulang gih, nanti kalau saya hamil gimana?" celetukku."Lah, saya baru tahu lho, ada wanita hamil dengan hanya dicium saja," kekehnya.Aku malah kesal mendengarnya, "Pulang sana, saya udah mau tutup toko. Sudah jam tunggu teman saya ini.""Saya sama Mbak ya, ga tahu mau pulang kemana, saya kan lagi dikejar-kejar sama prajurit tadi. Kalau pergi saya ga tahu kudu kemana." Bandi memelas, tatapannya begitu menyedihkan."Tapi apa kata orang nanti, kalau kamu tinggal sama saya," tukasku bimbang."Tenang, Mbak! Saya hanya bisa dilihat sama yang saya kehendaki saja. Kali ini saya hanya ingin dilihat Mbak saja.""Terserah!" tukasku acuh.Tak lama sinar surya menyinari dunia. Lah, kenapa malah nyanyi! Aku pun gegas bersiap untuk kembali pulang, memang dapat kulihat, Bandi
Setelah si Bandi itu menyosor pipiku, aku pun mengejar dirinya.Alhasil aku dapat sampai ke toko hanya dalam waktu lima belas menitan."Dasar Bandi! Awas kamu kalau nongol di toko malam ini, aku jadiin kamu umpan kucing nanti," gerutuku.Saat itu, Ani terlihat sudah bersiap pulang dan aku harus segera menggantikannya di kasir dan menunggu toko seorang diri."Mbak, tumben lari-lari mulu? Apa habis dikejar demit?" canda wanita cantik bernama Ani tersebut."Edan! Mana ada yang mau dikejar demit, kecuali kalau demitnya ganteng," tukasku.Kami pun akhirnya tertawa bersama.Tak lama datang Mbah Juju, sang kuncen makam yang sudah akrab dengaan kami, aku dan Ani."Husss, Maghrib lho ini! Ga baik cekikikan pas Magrib, nanti ada yang ikutan ketawa gimana?" tukas Mbah Juju.Seketika kami terdiam, kata-kata Mbah Juju sukses membuat Ani lari tunggang-langgang meninggalkan aku berdua dengan Mbah Juju yang menahan tawa melihat tingkah Ani yang memang penakut itu."Ani, Ani! Mbok yo ga begitu juga tak
"Mbak!"Lelaki itu memanggilku dari kejauhan sembari melambaikan tangannya, senyumnya merekah membuat ketampanannya semakin terpancar."Mengapa lelaki itu terlihat semakin tampan, ya?" gumamku.Tak lama lelaki itu telah berada di depanku, masih dengan senyum manisnya."Mbak," ucapnya lagi."Bandi, kamu kok masih ga ganti baju sih, itu ga dimarahi yang punya kostum gitu?" tanyaku yang penasaran.Keningnya mengernyit, "Baju, Mbak? Wong ini baju saya dan cuma punya satu ini, apa baju ini ga buat sya ganteng gitu di mata Mbak? Kalo ga ganteng saya ganti baju dulu, tapi baju siapa, ya?"Bandi membuatku bingung, rasanya ingin berkata dirinya orang gila.Tak ingin pusing karena tingkah konyol lelaki itu, aku pun masa bodo padanya, nyatanya kini lelaki itu membawa sekantung kembang dan mulai memakannya di depanku.Aku hanya dapat menggelengkan kepalaku saja melihat tingkah tak biasanya.Malam semakin merangkak naik, angin semilir menusuk tulang, aku mengenakan jaket yang selalu ada dalam ta
"Ga ada orang? Lah, tadi Una ngomong sama siapa?" tanya ku pada Mbah Juju."Hmmm, awas demit tho Na, mbok yo kamu pake ramah aja sama semua makhluk. Kamu ga curiga gitu," sahut Mbah Juju.Aku hanya menggeleng, seketika bulu kudukku meremang."Ih, kok seketika Una jadi merinding, ya!" tukaskuSejurus kemudian, aku memilih duduk di kursi kasir saja hingga pagi tiba.Beberapa warga mulai ke toko di saat subuh, Ibu-Ibu yang hendak mencuci ke sungai mulai berdatangan ke toko guna membeli sabun dan peralata mandi."Ndok, mbah mau sabun colek dua dan sabun mandi merk anu satu ya," ujar Mbah Tukiyem.Seorang sepuh yang kerap menjadi dukun beranak di kampung ini.Dengan cekatan, segera kuraih sabun sesuai permintaan Mbah Tukiyem."Mbah mau nyuci ya?" sapaku ramah.Mbah Tukiyem tersenyum sembari mengangguk pelan, "Nggeh, mbah mau mencuci kain jarik yang di pakai pasien mbah yang melahirkan di rumah mbah semalam," sahut Mbah Tukiyem."Tumben Mbah, lahirannya di rumah Mbah. Biasanya kan Mbah yang
"Berisik! Apa yang terjadi di sini? Pagi-pagi sudah rebutan wedang jahe!" Kang Mas Bayu masuk dan meraih wedang jahe itu di tangan sang gadis."Nimas mau?" tanya Kang Mas Bayu padaku. Aku mengangguk pelan, lalu diserahkannya cawan yang berisi wedang jahe itu padaku."Habiskan, biar rahimmu hangat. Anak kita akan tumbuh sehat." Kang Mas Bayu berkata sembari mengelus perut rampingku. "Ap-apa? Jadi benar, Kang Mas sudah menikah?" cecar wanita cantik di depanku."Benar sekali!" sahutnya lugas.Wanita itu menatapku tajam, seolah hendak menelanjangiku. "Mau-maunya sama wanita tua dan tak cantik, tak ayu! Kang Mas sakit mata," sindir wanita itu.Aku hanya menghela napas panjang sembari mengelus dada, sedang Kang Mas Bayu hanya menahan tawa melihatku yang kesal."Kenapa wanita itu?" dengusku kesal. Kini kududuk di samping Kang Mas Bayu yang tengah menyantap nasi tiwul beserta lauk pauknya."Ojo ngedumel, Nimas! Ayu-nya nanti hilang," bujuk Mas Bayu."Lah, siapa sih wanita itu? Iya, dia can
"Bandi!" pekikku.Bagaimana aku tak memekik, aku terperanjat kala tubuh ini di angkat dan aku berada dalam rangkulannya."Sttt, jangan berisik. Kita akan segera sampai ke tujuan!" Bandi eh Kang Mas Bayu berbisik, pandangan kami bertaut."Ta-tapi aku takut jatuh," selaku.Bagaimana tidak, Kang Mas Bayu melesat tinggi di udara. Hanya dalam satu pijakan, bisa membuatnya melesat begitu jauh."Peluk Kang Mas kalau takut," bisiknya tepat di telingaku.Aku yang takut, memejamkan mata dan memeluk lehernya erat. Di mana wajahku kubenamkan di ceruk lehernya.Sejurus kemudian, Kang Mas Bayu menurunkanku. "Nimas, kita sampai. Ini padepokan yang tak akan ada yang mengenali kita. Ingat, aku suamimu dan kau istriku. Panggil aku, Kang Mas Bayu," terang Kang Mas Bayu. Aku mengangguk pelan, kugenggam erat jemarinya yang begitu besar."Jangan tinggalkan aku, ya!" celetukku ketika itu.Kami yang masuk ke padepokan tersebut, sempat berhenti sejenak. Mas Bayu menatapku dan mengangguk pelan."Kang Mas j
"Kita di mana, Bandi?" tanyaku sekali lagi.Lelaki berhidung mancung itu tersenyum dan kemudian mendekat padaku. "Kita di alamku, Mbak!" jawabnya.Entah mengapa aku tak puas dengan jawabannya."Bandi!" pekikku."Hmm," dengusnya. Aksanya masih setia memandang ke arah jalan. Jalan yang lenggang, tak sedikit pun tampak seperti di kampungku. Di mana kendaraan sesekali lewat. "Tunggu sebentar, ya! Saya harap Mbak tak keluar. Duduk manislah di situ." Bandi keluar setelah meminta aku menunggunya. Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut gubuk ini, gubuk yang beralasan tanah serta beratap daun rumbia. Sebuah tungku batu tersedia di sudut gubuk."Ah, bagaimana bisa aku ada di sini?" Kusentuh kakiku yang tadi terkilir, senyumku merekah kala rasa sakit itu telah hilang. Seolah tak terjadi apa pun, kakiku bisa digerakkan bebas."Rupanya Bandi mahir jadi tukang urut," gumamku yang terkekeh.Beberapa saat kemudian, lelaki tampan itu kembali dengan dua helai kain di tangannya."Mbak, ganti pa
"Tolonglah Mbak, terus teranglah pada Una. Setidaknya Una akan menuruti perkataan Mbak," pintaku pada Mbak Ina.Mbak Ina lalu berjalan ke arahku dan memelukku erat, dituntunnya aku ke kursi rotan hasil karya Ayah dulu di saat senggangnya."Mas, tunggu di teras ya," pinta Mbak Ina pada Mas Irgi.Lelaki itu mengangguk dan sejurus kemudian telah berada di teras rumah, punggungnya terlihat dari kaca jendela.Mbak Ina menggenggam tanganku, tangisnya mulai terdengar kembali ... bahkan kini airmatanya menetes hingga membasahi tanganku yang digenggamnya."Una, kejadian beberapa tahun silam merupakan salah mbak. Mas Irgi hanya korban keegoisan mbak saja, waktu itu di mana mbak pulang dari Taiwan. Ayah mengatakan kalau mbak harus kembali ke Taiwan lagi, karena begitu kamu wisuda ... ayah akan menikahkanmu dengan mas Irgi. Mbak saat itu marah pada ayah, mbak lelah harus menjadi tulang punggung keluarga. Saat itu, mbak sudah menyarankan ayah agar menjual sapi dan beberapa lahan saja sebagai modal
"Ga ada orang? Lah, tadi Una ngomong sama siapa?" tanya ku pada Mbah Juju."Hmmm, awas demit tho Na, mbok yo kamu pake ramah aja sama semua makhluk. Kamu ga curiga gitu," sahut Mbah Juju.Aku hanya menggeleng, seketika bulu kudukku meremang."Ih, kok seketika Una jadi merinding, ya!" tukaskuSejurus kemudian, aku memilih duduk di kursi kasir saja hingga pagi tiba.Beberapa warga mulai ke toko di saat subuh, Ibu-Ibu yang hendak mencuci ke sungai mulai berdatangan ke toko guna membeli sabun dan peralata mandi."Ndok, mbah mau sabun colek dua dan sabun mandi merk anu satu ya," ujar Mbah Tukiyem.Seorang sepuh yang kerap menjadi dukun beranak di kampung ini.Dengan cekatan, segera kuraih sabun sesuai permintaan Mbah Tukiyem."Mbah mau nyuci ya?" sapaku ramah.Mbah Tukiyem tersenyum sembari mengangguk pelan, "Nggeh, mbah mau mencuci kain jarik yang di pakai pasien mbah yang melahirkan di rumah mbah semalam," sahut Mbah Tukiyem."Tumben Mbah, lahirannya di rumah Mbah. Biasanya kan Mbah yang
"Mbak!"Lelaki itu memanggilku dari kejauhan sembari melambaikan tangannya, senyumnya merekah membuat ketampanannya semakin terpancar."Mengapa lelaki itu terlihat semakin tampan, ya?" gumamku.Tak lama lelaki itu telah berada di depanku, masih dengan senyum manisnya."Mbak," ucapnya lagi."Bandi, kamu kok masih ga ganti baju sih, itu ga dimarahi yang punya kostum gitu?" tanyaku yang penasaran.Keningnya mengernyit, "Baju, Mbak? Wong ini baju saya dan cuma punya satu ini, apa baju ini ga buat sya ganteng gitu di mata Mbak? Kalo ga ganteng saya ganti baju dulu, tapi baju siapa, ya?"Bandi membuatku bingung, rasanya ingin berkata dirinya orang gila.Tak ingin pusing karena tingkah konyol lelaki itu, aku pun masa bodo padanya, nyatanya kini lelaki itu membawa sekantung kembang dan mulai memakannya di depanku.Aku hanya dapat menggelengkan kepalaku saja melihat tingkah tak biasanya.Malam semakin merangkak naik, angin semilir menusuk tulang, aku mengenakan jaket yang selalu ada dalam ta
Setelah si Bandi itu menyosor pipiku, aku pun mengejar dirinya.Alhasil aku dapat sampai ke toko hanya dalam waktu lima belas menitan."Dasar Bandi! Awas kamu kalau nongol di toko malam ini, aku jadiin kamu umpan kucing nanti," gerutuku.Saat itu, Ani terlihat sudah bersiap pulang dan aku harus segera menggantikannya di kasir dan menunggu toko seorang diri."Mbak, tumben lari-lari mulu? Apa habis dikejar demit?" canda wanita cantik bernama Ani tersebut."Edan! Mana ada yang mau dikejar demit, kecuali kalau demitnya ganteng," tukasku.Kami pun akhirnya tertawa bersama.Tak lama datang Mbah Juju, sang kuncen makam yang sudah akrab dengaan kami, aku dan Ani."Husss, Maghrib lho ini! Ga baik cekikikan pas Magrib, nanti ada yang ikutan ketawa gimana?" tukas Mbah Juju.Seketika kami terdiam, kata-kata Mbah Juju sukses membuat Ani lari tunggang-langgang meninggalkan aku berdua dengan Mbah Juju yang menahan tawa melihat tingkah Ani yang memang penakut itu."Ani, Ani! Mbok yo ga begitu juga tak
"Jadi nama Panjenengan siapa? Nanti hamba panggil---""Rauna saja, tak perlu ada embel tuan dan hamba, panggil aja Una," selaku." Kalo gitu saya panggil Jenengan Mbak Una saja, ya!" tukas lelaki aneh itu."Terserah, Mas saja. Pulang gih, nanti kalau saya hamil gimana?" celetukku."Lah, saya baru tahu lho, ada wanita hamil dengan hanya dicium saja," kekehnya.Aku malah kesal mendengarnya, "Pulang sana, saya udah mau tutup toko. Sudah jam tunggu teman saya ini.""Saya sama Mbak ya, ga tahu mau pulang kemana, saya kan lagi dikejar-kejar sama prajurit tadi. Kalau pergi saya ga tahu kudu kemana." Bandi memelas, tatapannya begitu menyedihkan."Tapi apa kata orang nanti, kalau kamu tinggal sama saya," tukasku bimbang."Tenang, Mbak! Saya hanya bisa dilihat sama yang saya kehendaki saja. Kali ini saya hanya ingin dilihat Mbak saja.""Terserah!" tukasku acuh.Tak lama sinar surya menyinari dunia. Lah, kenapa malah nyanyi! Aku pun gegas bersiap untuk kembali pulang, memang dapat kulihat, Bandi
"Rauna, umur udah tua tapi kali ini kau tolak lagi lamaran anak juragan empang kampung sebelah. Pusing tahu kepala mbak! Maumu apa, sih? Mau sampai kapan kamu begini? Kapan mbak bisa tidur nyenyak, jika pinta terakhir almarhum ibu belum juga bisa mbak lakukan. Nikah dong Una ...."Mbakku, Rina. Selalu memaksaku menikah dan menjodohkanku dengan banyak pria pilihannya.Aku mengerti, aku paham! Jika itu merupakan pinta almarhum Ibu yang terakhir pada Mbak Ina, tapi aku sampai sekarang belum menemukan pria yang sesuai kata hati."Mbak, bisa kasih Una waktu buat nafas gak, sih! Nanti juga Una nikah kok Mbak, dan pastinya gak akan ngerepotin Mbak. Una mohon, lelaki hari ini merupakan lelaki terakhir yang Mbak kenalkan pada Una. Jodoh itu rahasia Tuhan, Mbak! Jangan paksa kehendak Mbak pada Una!" tegasku kala itu.Mbak Rina atau Mbak Ina, panggilannya.Menatapku nyalang."Yo wes, terserah kamu aja Una! Toh keras kepala, watak kepala batu sudah mendarah daging! Aku sebagai mbak-mu, setidakny